• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Pola Asuh Ibu Suku Batak pada Anak Laki-Laki dengan Gangguan Autisme

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Pola Asuh Ibu Suku Batak pada Anak Laki-Laki dengan Gangguan Autisme"

Copied!
353
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN POLA ASUH IBU SUKU BATAK PADA ANAK

LAKI-LAKI DENGAN GANGGUAN AUTISME

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persayaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

AYUNDA RAHMAH

081301010

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

SKRIPSI

GAMBARAN POLA ASUH IBU SUKU BATAK

PADA ANAK LAKI-LAKI DENGAN GANGGUAN AUTISME

Dipersiapkan dan disusun oleh:

AYUNDA RAHMAH 081301010

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 20 Juli 2012

Mengesahkan Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, M.Si, psikolog

NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Liza Marini, M.Psi, psikolog Penguji I

NIP. 198105202005012003 Merangkap Pembimbing

2. Eka Ervika, M.Si, psikolog Penguji II

NIP. 197710142002122001

3. Meutia Nauly, M.Si, psikolog Penguji III

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul:

Gambaran Pola Asuh Ibu Suku Batak pada Anak Laki-Laki dengan

Gangguan Autisme

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juli 2012

(4)

Gambaran pola asuh ibu Batak pada anak laki-laki dengan gangguan Autisme

Ayunda Rahmah dan Liza Marini

ABSTRAK

Keluarga adalah kelompok dari dua atau lebih individu yang dihubungkan oleh kelahiran, pernikahan, atau adopsi (Bureau, 2005). Dalam sebuah keluarga orang tua bertanggung jawab memberi pengasuhan kepada anak. Berdasarkan hasil penelitian Diana Baumrind (dalam Sigelmen, 2002) didapati 3 jenis pola asuh yaitu, authoritarian, authoritative dan permissive. Kemudian Maccoby & Martin menambahkan satu jenis pola asuh lagi yakni, uninvolved/neglectful. Jenis pola asuh terbentuk dari dua dimensi yaitu, acceptance/responsiveness dan demandingness/control. Umumnya dalam sebuah keluarga, para ibulah yang lebih berkonsentrasi mengasuh anak (Coontz, 2005 dalam Zinn, Eitzen dan Wells, 2009). Kemudian, telaah lintas budaya mendapati adanya pengaruh budaya terhadap pola asuh (Dayakisni, 2004). Suku Batak merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia. Dalam budaya Batak didapati nilai hagabeon yang terkait dengan pengharapan orang tua yang besar pada anak, khususnya pada anak laki-laki. Anak pada kenyataannya tidak selalu terlahir dalam kondisi normal, beberapa anak lahir dengan gangguan Autisme. Kondisi Autistik anak akan berpengaruh pula pada pola pengasuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pola asuh ibu dengan latar belakang suku Batak, pada anak laki-lakinya yang mengalami gangguan Autisme.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Responden dalam penelitian ini adalah tiga orang ibu berlatar belakang suku Batak yang memiliki putra dengan gangguan Autisme. Prosedur pemilihan responden dilakukan berdasarkan konstruk operasional. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, disertai observasi yang dilakukan selama wawancara berlangsung untuk mendukung hasil wawancara.

(5)

The description of Batak‟s mothers parenting style to son with Autism disorders

Ayunda Rahmah and Liza Marini

ABSTRACT

Family is a group of two or more individuals related by birth, marriage, or adoption (Bureau, 2005). In a family, parent responsible to provide care to their children. Based on the results of Diana Baumrind research (in Sigelmen, 2002) found three types of parenting style those are, authoritarian, authoritative and permissive. Maccoby & Martin later added one more type of parenting style that is, uninvolved/neglectful. This type of parenting style is formed of two dimensions, acceptance/responsiveness and demandingness/ control. Generally mother who is more concentrated on parenting in a family (Coontz, 2005 in Zinn, Eitzen and Wells, 2009). Then, cross-cultural study found that culture influenced parenting style (Dayakisni, 2004). Batak tribe is one of the tribes in Indonesia. Batak culture has a hagabeon value that associated with a great parental expectations on children, especially boys. In a fact, children are not always born in a normal condition, some children born with Autism disorder. Autistic child's condition will also affect parenting style. This study aims to find a description of parenting style of mothers with Batak ethnic background on her son who had Autism disorder.

This study uses qualitative research methods. Respondents in this study were three mothers with Batak tribe as their background, who had a son with Autism disorder. Respondent selection procedures based on operational constructs. Data collection methods were used interviews, along with observations made during the interview to support the interview.

The results showed variation pattern of parenting style by Batak‟s mothers to their Autistic son. Two of the respondents generally was using a permissive parenting with high level in dimension acceptance/responsiveness and low level in dimension demandingness/control. While one respondent has the authoritative parenting style with both of two-dimensional acceptance/responsiveness and demandingness/control are high. Understanding of cultural values as the women with Batak ethnic background of also varies. Only one respondent who still understand the hagabeon value, with two other respondents did not understand it. These changes influenced a shift in mindset that is more modern. Factors of parental education, socioeconomic class, the concept of the role of parents, parental personality, the personality of the child and the child's age, also influences parenting style of Batak 's mother with Autistic son.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia yang telah diberikan dalam penyelesaian skripsi ini. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU.

Penulis sangat menyadari tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari saat masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini akan sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr Irmawati selaku dekan Fakultas Psikologi USU

2. Kakanda Liza Marini, M.Psi selaku dosen pembimbing, yang telah bermurah hati meluangkan waktu dan membagi ilmunya yang sangat banyak membantu pengerjaan skripsi ini. Terima kasih yang tidak terhingga peneliti haturkan.

3. Ibu Eka Ervika, M.Si, psikolog dan ibu Meutia Nauly, M.Si selaku dosen penguji dan membantu memberi bimbingan dalam proses revisi, terima kasih atas keluangan waktunya.

4. Abangda Tarmidi, M.Psi selaku dosen pembimbing akademis, yang telah banyak membantu perjalanan peneliti selama menjadi mahasisiwi.

(7)

dan kenangan yang tercurah. Juga kepada seluruh Civitas Academica Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Terima kasih atas pelayanan yang bersahabat dan tulus dari semua staf pengelola.

6. Terutama kepada ke dua orang tua terhebat, Yulius Syah, S.E dan Yuniar H Rambey, S.H yang tiada henti memberi dukungan, baik materil maupun moril kepada peneliti. Sehingga peneliti bisa menyelesaikan jenjang pendidikan sampai sejauh ini. Semoga Allah selalu menyayangi dan melindungi keduanya sebagaimana keduanya selalu menyayangi dan melindungi peneliti sejak kecil. Juga tak lupa terima kasih sebesar-besarnya kepada Ahmad Zakiy dan Suryani Siregar yang banyak memberi dorongan dan bantuan kepada peneliti dalam berbagai hal, khususnya kepada kak Ni‟ yang luar biasa ikhlas.

7. Seorang pria sederhana bernama Aprizal Nasution, yang membantu hampir keseluruhan aspek hidup peneliti, termasuk dalam pembuatan skripsi ini. “Thanks, coz you always be there for me.”

8. Sahabat terbaik di dunia Mawaddah Hasanah, S.Psi, teman berbagi suka dan duka sejak awal menginjakkan kaki di Psikologi USU empat tahun silam. Teman bergadang ketika ujian, teman berdebat berbagai hal menarik, teman yang paling bisa mengerti peneliti.

9. Seorang adik cantik, Rizky Bita Ghaliah Siregar, yang selalu memberi dorongan lewat pertanyaan “kapan wisuda kak?” sehingga peneliti

(8)

10.Teman-teman angkatan 2008 yang luar biasa. Mengukir sejarah bersama, berbagi banyak cerita. Terimakasih untuk empat tahun yang tidak akan terlupakan.

11.Seluruh rekan, kakak, dan abang yang membantu memberi masukan dan informasi dalam pengerjaan skripsi ini. Kususnya kepada abangda Ikbal Sutan Nst, S.Psi, kakanda Risty Desta Mahestri Ginting, S.Psi dan banyak pihak.

12.Tidak lupa, terima kasih yang tak terhingga pula kepada para responden yang telah bersedia untuk diwawancarai. Tanpa kebersedian ibu-ibu semua skripsi ini tidak akan pernah ada.

Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu dan mendukung pengerjaan skripsi ini. Semoga hasil penelitian ini membawa manfaat bagi orang banyak.

Medan, Juli 2012 Penulis

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah. ... 17

C. Tujuan Penelitian ... 17

D. Manfaat Penelitian ... 17

E. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II LANDASAN TEORI ... 20

A. Pola Asuh ... 20

1. Pengertian Pola Asuh ... 20

2. Dimensi Pola Asuh ... 21

3. Jenis-Jenis Pola Asuh ... 23

4. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh... 25

B. Suku Batak ... 26

(10)

2. Nilai 3H dalam Suku Batak ... 27

C. Autisme ... 30

1. Pengertian Autisme ... 30

2. Gejala-Gejala Autisme ... 31

3. Perkembangan Gangguan Autisme ... 32

D. Ibu ... 34

1. Pengertian Ibu ... 34

2. Ibu Batak ... 35

3. Ibu dengan Anak Autis ... 36

E. Gambaran Pola Asuh Ibu Suku Batak pada Anak Laki-Laki dengan Gangguan Autisme ... 39

F. Paradigma Penelitian ... 44

BAB III METODE PENELITIAN ... 45

A. Pendekatan Kualitatif... 45

B. Responden Penelitian ... 46

1. Karakteristik Responden ... 46

2. Jumlah Responden ... 47

3. Prosedur Pengambilan Responden……….. 48

4. Lokasi Penelitian ... 48

C. Metode Pengambilan Data... 49

1. Wawancara……….. 49

(11)

E. Kredibilitas Penelitian ... 53

F. Prosedur Penelitian ... 54

1. Tahap Awal Penelitian ... 54

2. Pelaksanaan Penelitian ... 56

3. Tahap Pencatatan Data ... 59

4. Teknik dan Prosedur Analisa Data ... 59

BAB IV HASIL ANALISIS DATA ... 64

A. Responden 1 (Ibu Sari Ginting-samaran)... 65

1. Identitas Diri... 65

2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara... 65

3. Data Observasi... 66

4. Data Wawancara... 70

5. Analisis Gambaran Pola Asuh Ibu Suku Batak pada Anak Laki Laki dengan Gangguan Autisme... 115

6. Rekapitulasi Gambaran Pola Asuh... 132

B. Responden 2 (Ibu Lili Pane-samaran) ... 135

1. Identitas Diri... 135

2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara... 135

3. Data Observasi... 136

4. Data Wawancara... 140

(12)

6. Rekapitulasi Gambaran Pola Asuh... 219

A. Responden 3 (Ibu Ela Ginting-samaran) ... 227

1. Identitas Diri... 227

2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara... 227

3. Data Observasi... 228

4. Data Wawancara... 233

5. Analisis Gambaran Pola Asuh Ibu Suku Batak pada Anak Laki Laki dengan Gangguan Autisme... 297

6. Rekapitulasi Gambaran Pola Asuh... 313

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 318

A. Kesimpulan... 318

B. Saran... 325

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

(15)

Gambaran pola asuh ibu Batak pada anak laki-laki dengan gangguan Autisme

Ayunda Rahmah dan Liza Marini

ABSTRAK

Keluarga adalah kelompok dari dua atau lebih individu yang dihubungkan oleh kelahiran, pernikahan, atau adopsi (Bureau, 2005). Dalam sebuah keluarga orang tua bertanggung jawab memberi pengasuhan kepada anak. Berdasarkan hasil penelitian Diana Baumrind (dalam Sigelmen, 2002) didapati 3 jenis pola asuh yaitu, authoritarian, authoritative dan permissive. Kemudian Maccoby & Martin menambahkan satu jenis pola asuh lagi yakni, uninvolved/neglectful. Jenis pola asuh terbentuk dari dua dimensi yaitu, acceptance/responsiveness dan demandingness/control. Umumnya dalam sebuah keluarga, para ibulah yang lebih berkonsentrasi mengasuh anak (Coontz, 2005 dalam Zinn, Eitzen dan Wells, 2009). Kemudian, telaah lintas budaya mendapati adanya pengaruh budaya terhadap pola asuh (Dayakisni, 2004). Suku Batak merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia. Dalam budaya Batak didapati nilai hagabeon yang terkait dengan pengharapan orang tua yang besar pada anak, khususnya pada anak laki-laki. Anak pada kenyataannya tidak selalu terlahir dalam kondisi normal, beberapa anak lahir dengan gangguan Autisme. Kondisi Autistik anak akan berpengaruh pula pada pola pengasuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pola asuh ibu dengan latar belakang suku Batak, pada anak laki-lakinya yang mengalami gangguan Autisme.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Responden dalam penelitian ini adalah tiga orang ibu berlatar belakang suku Batak yang memiliki putra dengan gangguan Autisme. Prosedur pemilihan responden dilakukan berdasarkan konstruk operasional. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, disertai observasi yang dilakukan selama wawancara berlangsung untuk mendukung hasil wawancara.

(16)

The description of Batak‟s mothers parenting style to son with Autism disorders

Ayunda Rahmah and Liza Marini

ABSTRACT

Family is a group of two or more individuals related by birth, marriage, or adoption (Bureau, 2005). In a family, parent responsible to provide care to their children. Based on the results of Diana Baumrind research (in Sigelmen, 2002) found three types of parenting style those are, authoritarian, authoritative and permissive. Maccoby & Martin later added one more type of parenting style that is, uninvolved/neglectful. This type of parenting style is formed of two dimensions, acceptance/responsiveness and demandingness/ control. Generally mother who is more concentrated on parenting in a family (Coontz, 2005 in Zinn, Eitzen and Wells, 2009). Then, cross-cultural study found that culture influenced parenting style (Dayakisni, 2004). Batak tribe is one of the tribes in Indonesia. Batak culture has a hagabeon value that associated with a great parental expectations on children, especially boys. In a fact, children are not always born in a normal condition, some children born with Autism disorder. Autistic child's condition will also affect parenting style. This study aims to find a description of parenting style of mothers with Batak ethnic background on her son who had Autism disorder.

This study uses qualitative research methods. Respondents in this study were three mothers with Batak tribe as their background, who had a son with Autism disorder. Respondent selection procedures based on operational constructs. Data collection methods were used interviews, along with observations made during the interview to support the interview.

The results showed variation pattern of parenting style by Batak‟s mothers to their Autistic son. Two of the respondents generally was using a permissive parenting with high level in dimension acceptance/responsiveness and low level in dimension demandingness/control. While one respondent has the authoritative parenting style with both of two-dimensional acceptance/responsiveness and demandingness/control are high. Understanding of cultural values as the women with Batak ethnic background of also varies. Only one respondent who still understand the hagabeon value, with two other respondents did not understand it. These changes influenced a shift in mindset that is more modern. Factors of parental education, socioeconomic class, the concept of the role of parents, parental personality, the personality of the child and the child's age, also influences parenting style of Batak 's mother with Autistic son.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Keluarga merupakan kelompok sosial terkecil dalam suatu tatanan kehidupan sosial. Bureau (2005) mendefinisikan keluarga sebagai kelompok dari dua atau lebih individu yang dihubungkan oleh kelahiran, pernikahan, atau adopsi dan tinggal bersama serta berbagi fungsi sosial lainnya satu dengan yang lain. Seiring perkembangan zaman fungsi keluarga juga mengalami perubahan dari masa ke masa. Dahulu, pandangan tradisional mengatakan orang mengakui pernikahan hanya untuk memperoleh keamanan ekonomi, penyediaan barang-barang dan jasa, serta untuk memperoleh status sosial, dan juga untuk melanjutkan keturunan. Kemudian terjadi perubahan pandangan mengenai fungsi keluarga, yakni orang menginginkan pernikahan yang dilandasi cinta, keinginan untuk hidup bersama dan memuaskan kebutuhan emosional, mampu membesarkan anak sebagai penerus keturunan, selain juga ingin memiliki keamanan ekonomi. Hal-hal tersebut kini menjadi penting terkait dengan alasan mengapa seseorang menikah, cinta dan afeksi merupakan harapan utama orang dalam pernikahan saat ini (Barich dan Bielby, 1996 dalam Degenova, 2008). Ketika anak hadir sebagai buah dari pernikahan dalam sebuah keluarga, tugas perkembangan dari pasangan yang sudah menikah bertambah menjadi orang tua (Papalia, 2008).

(18)

Akbar, 2008) proses menjadi orang tua meliputi antara lain kelahiran anak, perawatan, dan memberi pengasuhan pada anak. Mengasuh anak dikenal sebagai hal penting yang mempengaruhi pengalaman manusia dan dapat mengubah manusia secara emosional, sosial, dan intelektual. Mengasuh anak adalah sebuah proses yang menunjukkan suatu interaksi antara orang tua dan anak yang berkelanjutan dan proses ini memberikan suatu perubahan, baik pada orang tua maupun anak (Levine dalam Martin & Colbert, 1997). Kewajiban sebagai orang tua secara umum juga diungkapkan Brooks (dalam Akbar, 2008) yaitu dalam mengasuh anak orang tua berkewajiban untuk memelihara, melindungi, dan mengarahkan anak dalam berkembang. Hal ini dipertegas dengan hasil wawancara dengan ibu Risna sebagai berikut,

“Semenjak memiliki anak rasanya semakin bertambah tanggung jawab yang om tante pikul. Tersadar waah sekarang kami sudah jadi orang tua. Bahagia senang rasanya, tapi kami sadar kewajiban jadi orang tua untuk anak-anak kami juga gak mudah, besarkan anak itu gak bisa main-main. Kami selalu berusaha jadi orang tua yang baik, ngasi pengasuhan, pendidikan dan menuhi kebutuhan anak-anak kami, biar anak-anak kami bisa tumbuh besar jadi orang sukses.”

(Komunikasi Personal, 05 November 2011)

(19)

anaknya, berkaitan dengan kehangatan dan dukungan orang tua. Sedangkan dimensi demandingness/control menggambarkan bagaimana standar yang ditetapkan oleh orang tua bagi anak, berkaitan dengan kontrol perilaku dari orang tua kepada anak-anaknya (Sigelmen, 2002).

Kedua dimensi di atas akan membentuk beberapa jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anak. Menurut Baumrind (dalam Sigelman, 2002) pola asuh terdiri dari tiga jenis yakni, authoritative, authoritarian dan permissive, kemudian Maccoby & Martin (1983) menambahkan satu jenis pola asuh lagi dengan pola asuh Neglectful. Authoritarian parenting merupakan pola asuh yang mengkombinasikan tingginya demandingness/control dan rendahnya acceptence/responsive. Authoritative parenting; memiliki keseimbangan dalam kedua dimensi baik demandingness/control maupun acceptence/responsive. Selanjutnya pada permissive parenting pola pengasuhan ini mengandung demandingness/control yang rendah dan acceptence/responsive yang tinggi. Terakhir neglectful parenting merupakan orang tua yang mengkombinasikan rendahnya demandingness/control dan acceptence/responsive yang rendah pula (Sigelmen, 2002).

(20)

seimbang antar ayah dan ibu, karena fenomena banyaknya ibu berkerja saat ini, namun tetap banyak dijumpai para ibu yang memilih menjadi ibu rumah tangga agar dapat total mengurus keperluan keluarga terutama pengasuhan anak. Hal ini juga terkait dengan kepuasan dalam rumah tangga yang dialami ibu. Ibu yang paling tidak puas dengan pernikahan mereka adalah mereka yang melihat diri mereka tidak terorganisir dan tidak mampu menghadapi tuntutan sebagai ibu. Maka harapan dapat mengasuh anak dengan baik dan mengorganisir dirinya serta keluarga dengan baik merupakan salah satu hal yang diharapkan oleh wanita dewasa menikah yang telah menjadi ibu (Degenova, 2008). Dapat dilihat pada kutipan wawancara dengan ibu Hafni sebagai berikut,

“Kalau nantulang milih fokus jadi ibu rumah tangga aja un, karena pengen bisa 100% ngurus adek-adek apa lagi F kan kayak gini, ngurus tulang dan rumah. Insyaallah dari hasil pencarian tulang udah bisa mencukupi sehari-hari, jadi gak perlu ikut kerja juga.”

(Komunikasi Personal, 03 November 2011)

(21)

adanya pengaruh budaya terhadap pola pengasuhan yang juga berdampak besar pada perkembangan anak (Dayakisni, 2004). Darling (1999) juga menyampaikan ada tiga faktor yang mempengaruhi pola asuh, yakni jenis kelamin anak, kebudayaan, dan kelas sosial ekonomi.

Mengenai kebudayaan sendiri, Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki kekayaan aneka ragam budaya. Budaya di Indonesia dipengaruhi oleh suku-suku yang ada. Salah satu suku yang mendominasi di Indonesia adalah suku dari Utara pulau Sumatera, yakni suku Batak. Batak terdiri dari beberapa fouk, seperti Batak Toba, Dairi, Simalungun, Karo dan Mandailing (Tinambunan, 2010). Orang-orang yang bersuku Batak umumnya dijumpai berdomisili di provinsi Sumatera Utara, termasuk di ibukotanya yakni kota Medan. Meski perkembangan zaman mengakibatkan orang-orang Batak juga dapat dijumpai di berbagai daerah di Indonesia, tetap pada hakikatnya suku Batak berasal dari provinsi Sumatera Utara (Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, 1997).

(22)

kota-kota, tetapi sangat berpengaruh pada saat itu, hal ini juga menyebar ke Tapanuli Utara dan Selatan (Hasselgren, 2008)

Masyarakat Batak yang bermukim di kota Medan mengalami perubahan dalam pembentukan organisasi-organisasi yang semakin didominasi oleh orang Kristen Batak Toba. Perkembangan-perkembangan yang terjadi berimplikasi bahwa komunitas Melayu dari awal tahun 1920-an mulai kehilangan kebudayaannya dan identitasnya dalam suku etnis semula. Medan menjadi lingkungan yang multi-etnis dimana lebih mudah bagi kelompok-kelompok lain untuk menonjolkan jati dirinya. Meskipun perbedaan etnis menjadi realitas penting di Medan, tetapi diantara penduduk urban pribumi juga memiliki rasa kebersamaan. Di dalam berbagai perkembangan ini, tidak tampak adanya etnis yang dominan baik secara suku maupun agama. Kelompok imigran yang banyak dijumpai di kota Medan adalah Batak Toba dan Mandailing (Ibid, 2008).

(23)

aktif membentuk kelompok dalam satu pola pikir dan tujuan yang disbeut dengan partungkoan.

Suku Batak terkenal sangat menjujung tinggi budaya yang mereka anut (Gultom, 1992). Banyak nilai-nilai dari suku Batak yang masih diterapkan oleh orang Batak dalam menjalani kehidupannya. Suku Batak juga memiliki nilai atau keyakinan yang masih dipegang teguh oleh kebanyakan masyarakat atau keluarga berlatar belakang suku Batak khususnya Batak Toba sampai dengan saat ini. Dikenal 7 filsafah kehidupan Batak yakni; Mardebata, Marpinompar, Martutur, Maradat, Marpangkirimon, Marpatik dan Maruhum. Salah satu keyakinan yang terkandung dalam filsafah Marpangkirimon yang juga masih dipegang teguh oleh orang Batak adalah sebuah tujuan hidup yang lebih dikenal dengan istilah 3H, yaitu hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Tujuan hidup 3H ini terbentuk dalam lingkungan suku Batak karena merupakan wujud dari kebudayaan yang terus menerus terwaris dan mendarah daging bagi masyarakat Batak dan memberi banyak pengaruh terhadap kehidupan orang Batak, termasuk dalam perjalanan rumah tangga (Tinambunan, 2010).

Nilai yang pertama yaitu hamoraon. Hamoraon (kekayaan) adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang. Kekayaan selalu identik dengan harta kekayaan dan anak. Tanpa anak akan merasa tidak kaya, walaupun banyak harta, seperti diungkapkan dalam bahasa Batak, Anakkonhido hamoraon diahu (anakku adalah harta yang paling berharga bagi saya) (Tinambunan, 2010).

(24)

yang tak ternilai bagi orang tua, keluarga dan kerabat. Bagi orang Batak, kebahagiaan dalam berketurunan (gabe) ini terasa lengkap dalam sebuah keluarga apabila keluarga itu memiliki anak laki-laki dan perempuan. Sebuah keluarga Batak belum dikatakan gabe kalau hanya memiliki anak laki-laki atau hanya ada anak perempuannya saja (Harahap & Siahaan dalam Irmawati, 2007). Menjadi penekanan dalam nilai ini selanjutnya adalah bagi orang tua anak laki-laki adalah penerus keturunannya, sehingga anak laki-laki sering disebut sebagai sinuan tunas, artinya tunas yang baru. Ungkapan ini memperlihatkan bahwa anak laki-laki memiliki keistimewaan dalam pandangan orang tua, terlihat pula dari perbandingan jumlah anak laki-laki yang diinginkan lebih banyak dari anak perempuan (Tinambunan, 2010). Dapat diperkuat dari hasil wawancara dengan ibu Hafni dan ibu Risna berikut,

“Pada dasarnya tulang dan nantulang menerima saja apa pemberian Allah, tapi memang ada kebahagiaan tersendiri ketika tahu anak kami laki-laki. Kan sebagai orang Batak punya anak laki-laki itu hal yang membanggakan. Sebagai anak laki-laki, kami berharap dek F bisa tumbuh menjadi orang yang bisa bertahan dalam kehidupan, membawa nama baik keluarga khusunya marga Rambe.”

Ibu Hafni (Komunikasi Personal, 03 November 2011)

“Waktu hamil tante kepikirannya anak laki-laki terus, apa lagi waktu anak pertama, jadi pas lahir laki-laki rasanya senang bangga. Om juga bangga ada yang neruskan marga „Manik‟, apalagi ompungnya senang kali. Yah ternyata memang dikabulkan laki-laki tapi dengan kondisi Autis ini. Tante mikirnya ini cobaan, gimanapun kami tetap sayang, D tetap anak laki-laki kebanggan kami.”

Ibu Risna (Komunikasi Personal, 05 November 2011)

(25)

kedudukan dalam acara adat dan tanggung jawab adat, dan (c) anak laki-laki pembawa nama dalam silsilah kekerabatan dalam masyarakat Batak.

Nilai terakhir dari konsep 3H adalah hasangapon. Hasangapon (kemuliaan dan kehormatan) merupakan suatu kedudukan seseorang yang dimilikinya di dalam lingkungan masyarakat (Tinambunan, 2010). Simanjuntak (dalam Irmawati, 2007) menyatakan bahwa untuk mencapai hasangapon seseorang harus terlebih dahulu berketurunan (gabe) dan memiliki kekayaan (mora).

Filasafah hidup yang diyakini orang-orang dengan latar belakang suku Batak akan memberi kekhasan tersendiri bagi orang tua suku Batak termasuk dalam pengasuhan anak-anak mereka. Khususnya terkait pada nilai 3H yang sudah dipaparkan di atas, pengharapan yang sangat besar pada anak terlihat pada nilai hagabeon, orang tua Batak menggantungkan harapan hidup mereka pada anak khususnya anak laki-laki sebagai penerus marga (Tinambunan, 2010).

(26)

authoritarian tetap masih ada berkaitan dengan keinginan agar anak bersikap taat pada aturan agama dan orangtua. Pola pengasuhan ini diikuti juga oleh sikap

orangtua yang mendorong pencapaian pendidikan anak dibidang

pendidikan/akademik berupa dukungan, kontrol dan kekuasaan, yang mereka perlihatkan dalam mengarahkan kegiatan anak pada pencapaian prestasi tertentu.

Sebuah seminar nasional peringatan 100 tahun gugurnya pahlawan Raja Sisingamangaraja XII dengan pembicara Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S., juga menyampaikan bahwa nilai dalam keluarga Batak berpusat pada 3H yakni hagabeon-hamoraon-hasangapon yang harus dijunjung tinggi, sehingga harus menjaga kesehatan agar panjang umur dan berketurunan, harus kerja keras dan hemat agar dapat sejahtera, dan harus ditambah sifat penolong, idaman masyarakat, dan berpengetahuan luas supaya terhormat. Pengasuhan anak menjadi faktor penting dalam keluarga, orang tua Batak harus mampu mengasuh anak-anaknya dengan sebaik mungkin sehingga anak-anak mereka akan mampu membawa nama baik keluarga Batak. Penekanan pada prestasi anak menjadi hal yang sangat penting dalam pengasuhan orang tua Batak. Anak dituntun untuk dapat berprestasi dan sukses di masa depannya, dan orang tua berperan aktif sebagai fasilitator keberhasilan anak.

(27)

keperluan di dalam rumah termasuk pengasuhan anak-anaknya (Tinambunan, 2010). Tugas wanita Batak dalam keluarga sudah diasosiasikan semenjak mereka anak-anak, terlebih lagi dalam masyarakat Batak yang „mengagungkan‟ anak laki -laki, ibu dituntun oleh keluarga harus mampu mendidik dan membesarkan anak agar berhasil sesuai dengan tuntutan keluarga (Maulina dan Sutatminingsih, 2005). Terlihat jelas bahwa latar belakang suku orang tua, dalam hal ini suku Batak, memberikan banyak pengaruh pada orang tua dalam menjalani keluarga dan mengasuh anak. Dimana nilai-nilai yang dibawa orang tua sebagai orang Batak menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi gaya pengasuhan orang tua pada anak-anak mereka. Keluarga Batak sendiri khususnya orang tua terhubung dengan nilai 3H yakni hagabeon-hamoraon-hasangapon.

Ternyata dalam perjalanan sebuah keluarga, ketika sang anak hadir dalam keluarga anak-anak yang dilahirkan tidak selalu normal seperti adanya. Ditemui pula anak-anak yang dilahirkan dengan kebutuhan khusus. Pada dasarnya setiap orang tua berharap akan memiliki anak-anak yang bertumbuh kembang secara normal. Seorang anak dikatakan normal apabila mampu berkembang dengan baik dan seimbang seiring pertumbuhannya dan berlangsung seperti individu lain pada umumnya. Sedangkan pada kondisi anak-anak dengan kebutuhan khusus akan mengarah pada keterlambatan dan gangguan pada perkembangan dan tumbuh kembangnya, salah satunya Autisme (Papalia, 2008).

(28)

kebiasaan untuk melakukan pengulangan tingkah laku yang sama (Yusuf, 2003). Anak-anak dengan Autisme mengalami kegagalan dalam perkembangan yang tergolong dalam kriteria Gangguan Pervasif dengan kehidupan Autistik yang tidak disertai dengan halusinasi dan delusi dan lebih banyak dijumpai pada anak laki-laki (APA, 1995).

Akhir-akhir ini kasus Autisme menunjukkan peningkatan di Indonesia. Bila Amerika dapat menentukan bahwa kejadian di negaranya adalah 1:150 (satu anak Autistik per seratus lima puluh anak) dan Inggris berani mengeluarkan angka 1:100, tidak demikian dengan Indonesia. Meskipun beberapa profesional memperkirakan angka tersebut tidak banyak berbeda dengan di Indonesia, tapi hal tersebut tidak mungkin dipastikan tanpa data-data yang akurat. Saat ini di Indonesia sedang dilakukan pendataan mengenai jumlah penderita Autisme (Yayasan Autisma Indonesia, 2009).

Orang tua yang memiliki anak dengan gangguan Autisme akan memiliki tantangan tersendiri dalam membesarkan sang anak. Reaksi pertama orang tua ketika anaknya didiagnosa mengalami Disabilities adalah tidak percaya (shock), sedih, kecewa, merasa bersalah, marah dan menolak, tidak mudah bagi orang tua untuk mengalami fase ini (Pueschel, Bernier, & Wiedenman 1988). Hal ini umunya menjadi lebih kompleks dan dirasakan secara mendalam oleh pihak ibu, diperkuat berdasarkan kutipan wawancara dengan 2 orang orang tua yang memiliki anak dengan gangguan Autisme, yakni dengan ibu Risna dan ibu Hafni sebagai berikut,

(29)

kalau teringat. Ini lagi terus berusaha ikhlas, tawakal sama ketetapan Allah.”

Ibu Hafni (Komunikasi Personal, 03 November 2011)

“Kami merasa takut menghadapi kenyataan, bingung karena tidak paham apa itu “Autis”. Bertanya–tanya dalam hati, ini kesalahan siapa? Juga marah pada diri sendiri dan tante juga takut untuk hamil lagi.”

Ibu Risna (Komunikasi Personal, 05 November 2011)

Sebagai ibu, meski memiliki anak dengan gangguan Autisme tentunya kewajibannya memberi pengasuhan yang baik pada anak harus tetap dilaksanakan. Salah satu jurnal oleh Rachmayanti membahas penerimaan orang tua terhadap anak dengan gangguan Autisme, yang juga terkait dengan pola asuhnya, menggunakan tori Ross (2004, dalam bukunya “On Death and Dying”) digambarkan reaksi-reaksi orang tua kepada anak-anak dengan kebutuhan khusus. Penerimaan orang tua terhadap anak berkebutuhan khusus terbagi menjadi lima tahap sebagai berikut; tahap pertama adalah Denial (menolak menerima kenyataan), kemudian kedua adalah tahap Anger (marah), ketiga tahap Bargaining (menawar), tahap keempat yakni Depression (depresi) dan tahapan terakhir adalah Acceptance (pasrah dan menerima kenyataan).

(30)

pengasuhannya pada anak, maka pada dasarnya pola pengasuhan orang tua khususnya pada anak dengan gangguan Autisme dapat berubah sesuai kondisi. Dikatakan pula orang tua cenderung over protektif dalam pengasuhannya pada anak Autis yang mengarah pada gaya pengasuhan permissive (Rachmayanti, 2004).

Peran dan tanggung jawab yang dipikul oleh orang tua akan lebih besar apabila anak yang dilahirkan berkebutuhan khusus (Heward, 1996, dalam Akbar 2008). Diperkuat dengan wawancara pada ibu Hafni berikut,

“Banyak yang udah kami coba lakukan untuk membantu F, seperti mendatangkan terapis ke rumah, mengajak F berolah raga di lapangan, mengajak F berenang, mengajak F jalan-jalan, memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan keperluannya, juga yang pasti terus berusaha menjadi orang tua yang baik, meski terasa sulit. Kadang rasanya pengen nyerah karena perkembangan F juga begitu-begitu saja, tapi nantulang langsung istighfar. F titipan Allah nantulang harus tanggung jawab, besarkan F sebaik mungkin, biarlah Allah yang nentukan akhirnya, yang penting sebagai orang tua nantulang harus tetap berusaha demi F.”

(Komunikasi Personal, 03 November 2011)

Kehadiran anak dengan kebutuhan khusus dalam sebuah keluarga secara umum menimbulkan reaksi emosional pada orang tua, merupakan pengalaman stres yang tidak biasa, khususnya bagi para ibu (Hutt dan Gibby, 1979) yang secara tidak langsung akan terkait dengan bagaimana sang ibu memberi pengasuhan pada anaknya yang mengalami Autisme.

(31)

maka sangat besar keinginan untuk memiliki keturunan pada suku Batak khususnya berjenis kelamin laki-laki (Tinambunan, 2010). Namun ketika pasangan suku Batak telah berhasil memiliki keturunan anak laki-laki, tetapi dengan kondisi memiliki gangguan Autisme, tentu saja orang tua dengan latar belakang suku Batak tetap berkewajiban memberi pengasuhan terbaik terhadap anaknya. Terlihat dari kutipan wawancara dengan ibu Hafni berikut,

“...kalau bicara sebagai orang Batak kami ya orang tua senang punya anak laki-laki salah satunya F sebagai penerus marga, walaupun dengan kekurangannya. Kami akan terus berusaha membesarkan F sebaik mungkin, Nantulang selalu berdoa sama Allah semoga masih ada harapan, semoga kerja keras kami sebagai orang tua memberi hasil suatu saat.” (Komunikasi Personal, 01 November 2011)

(32)

gagal memberi keturunan seperti pemaparan B. Samosir, maka dikhawatirkan akan berpengaruh negatif pula pada pengasuhannya.

Semakin terlihat bahwa beberapa faktor khususnya budaya dan kondisi anak mempengaruhi pola asuh. Kondisi keterbatasan anak dengan gangguan Autismenya serta pengaruh nilai-nilai budaya suku Batak yang menjadi latar belakang ibu membuat semakin komplekslah tugas pengasuhan anak oleh ibu suku Batak. Saat ini jutaan keluarga menghadapi tantangan sehari-hari dalam membesarkan anak dengan gangguan Autisme, termasuk keluarga-keluarga berlatar belakang suku Batak. Mengingat keluarga merupakan lembaga sosial pertama dan terpenting bagi seorang anak untuk berinteraksi dengan lingkungannya (Degenova, 2008).

(33)

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas maka, peneliti merumuskan pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini yaitu,

a. Bagaimana gambaran pola asuh ibu suku Batak pada anak laki-laki dengan gangguan Autisme?

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai pola asuh ibu suku Batak pada anak laki-laki dengan gangguan Autisme.

D. MANFAAT PENELITIAN

Ada dua manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini, yaitu: D.1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis, antara lain:

a) Dapat memberikan masukan yang bermanfaat dan memperluas serta menambah informasi dari segi teoritis bagi disiplin ilmu Psikologi khususnya pada bidang Psikologi Perkembangan. Secara lebih spesifik pada aspek pola asuh terkait dengan pengaruh budaya.

(34)

D.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis, antara lain:

a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi peneliti dan masyarakat mengenai gambaran pola asuh oleh ibu khususnya yang berlatar belakang suku Batak, pada anak Autis khususnya anak laki-laki.

b) Memberi sumbangan informasi yang bermanfaat kepada para orang tua terkait pola pengasuhan anak, khususnya pada orang tua yang memiliki anak dengan gangguan Autisme dan pada orang tua dengan latar belakang suku Batak agar dapat memberi pengasuhan yang tepat.

c) Memberikan informasi kepada masyarakat yang belum menikah mengenai gambaran-gambaran kemungkinan yang ada di dalam pernikahan. Khususnya ketika menjadi orang tua, termasuk kemungkinan memiliki anak Autis sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam menghadapi kondisi tersebut dan proses belajar untuk nantinya menjalani sebuah keluarga.

(35)

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan berisi tentang uraian singkat mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian. BAB II : Landasan teori berisi landasan teoritis yang bersumber dari literatur

dan pendapat para ahli/pakar yang dapat digunakan sebagai landasan berpikir dalam pembahasan penelitian ini.

BAB III : Metode penelitian menjelaskan mengenai metode penelitian kualitatif, responden penelitian, metode pengambilan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas dan validitas penelitian, dan prosedur penelitian.

BAB IV : Analisa data dan pembahasan berisi uraian mengenai hasil penelitian, analisis data dan pembahasan.

(36)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. POLA ASUH

A.1. Pengertian Pola Asuh

Hetherington & Whiting (1999) menyatakan bahwa pola asuh sebagai proses interaksi total antara orang tua dengan anak, seperti proses pemeliharaan, pemberian makan, membersihkan, melindungi dan proses sosialisasi anak dengan lingkungan sekitar. Orang tua akan menerapkan pola asuh yang terbaik bagi anaknya dan orang tua akan menjadi contoh bagi anaknya.

Menurut Gunarsa (2002) pola asuh orang tua merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (makan, minum, pakaian, dan lain sebagainya) dan kebutuhan psikologis (afeksi atau perasaan) tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan.

(37)

Pola asuh orang tua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orang tua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak (Baumrind dalam Irmawati, 2002).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah suatu proses interaksi total orang tua dan anak, yang meliputi kegiatan seperti memelihara, memberi makan, melindungi, dan mengarahkan tingkah laku anak selama masa perkembangan serta memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak dan terkait dengan kondisi psikologis bagaimana cara orang tua mengkomunikasikan afeksi (perasaan) dan norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan.

A.2. Dimensi Pola Asuh

Baumrind (dalam Sigelman, 2002) menyatakan bahwa pola asuh terbentuk dari adanya dua dimensi pola asuh, yaitu; (1) Acceptance/Responsiveness; menggambarkan bagaimana orang tua berespons kepada anaknya, berkaitan dengan kehangatan dan dukungan orang tua. Mengacu pada beberapa aspek, yakni;

1) sejauh mana orang tua mendukung dan sensitif pada kebutuhan anak-anaknya,

2) sensitif terhadap emosi anak, 3) memperhatikan kesejahteraan anak,

(38)

5) serta bersedia untuk memberikan kasih sayang dan pujian saat anak-anak mereka berprestasi atau memenuhi harapan mereka.

Dapat menerima kondisi anak, orang tua responsif penuh kasih sayang dan sering tersenyum, memeberi pujian, dan mendorong anak-anak mereka. Mereka juga membiarkan anak-anak mereka tahu ketika mereka nakal atau berbuat salah. Orang tua kurang menerima dan responsif sering kali cepat mengkritik, merendahkan, menghukum, atau mengabaikan anak-anak mereka dan jarang mengkomunikasikan kepada anak-anak bahwa mereka dicintai dan dihargai.

Selanjutnya dimensi (2) Demandingness/Control; menggambarkan bagaimana standar yang ditetapkan oleh orang tua bagi anak, berkaitan dengan kontrol perilaku dari orang tua. Mengacu pada beberapa aspek yakni;

1) pembatasan; orang tua membatasi tingkah laku anak menunjukkan usaha orang tua menentukan hal-hal yang harus dilakukan anak dan memberikan batasan terhadap hal-hal yang ingin dilakukan anak,

2) tuntutan; agar anak memenuhi aturan, sikap, tingkah laku dan tanggung jawab sosial sesuasi dengan standart yang berlaku sesuai keinginan orang tua,

3) sikap ketat; berkaitan dengan sikap orang tua yang ketat dan tegas dalam menjaga agar anak memenuhi aturan dan tuntutan mereka. Orang tua tidak menghendaki anak membantah atau mengajukan keberatan terhadap peraturan yang telah ditentukan,

(39)

keputusan, rencana dan relasi anak, orang tua tidak melibatkan anak dalam membuat keputusan tersebut, orang tua beranggapan apa yang mereka putuskan untuk anak adalah yang terbaik dan benar untuk anak.

5) kekuasaan sewenang-wenang; menggambarkan bahwa orang tua

menerapkan kendali yang ketat, kekuasaan terletak mutlak pada orang tua. Mengendalikan atau menuntut aturan yang ditetapkan orang tua, mengharapkan anak mereka untuk mengikuti mereka, dan memantau anak-anak mereka dengan ketat untuk memastikan bahwa aturan-aturan dipatuhi. Orang tua yang kurang dalam pengendalikan atau menuntut (sering disebut orang tua permisif) membuat tuntutan yang lebih sedikit dan memungkinkan anak-anak mereka memiliki banyak kebebasan dalam mengeksplorasi lingkungan, mengungkapkan pendapat mereka dan emosi, dan membuat keputusan tentang kegiatan mereka sendiri.

A.3. Jenis-Jenis Pola Asuh

Berdasarkan hasil penelitian Diana Baumrind (dalam Sigelmen, 2002) dikatakan terdapat 3 jenis pola asuh yaitu: authoritarian, authoritative dan permissive. Kemudian Maccoby & Martin menambahkan satu jenis pola asuh lagi dengan pola asuh uninvolved/ neglectful.

(40)

dan biasanya mengandalkan taktik kekuasaan seperti hukuman fisik untuk memenuhi kebutuhannya.

2. Authoritative parenting; orang tua authoritative lebih flexibel; mereka mengendalikan dan menggunakan kontrol, tetapi mereka juga menerima dan responsif. Seimbang dalam kedua dimensi baik demandingness/control maupun acceptance/responsive. Mereka membuat peraturan yang jelas dan secara konsisten melakukannya, mereka juga menjelaskan rasionalisasi dari peraturan mereka dan pembatasannya. Mereka juga responsif pada kebutuhan anak-anak mereka dan sudut pandang anak, serta melibatkan anak dalam pengambilan keputusan keluarga. Mereka dapat diterima secara rasional dan demokratis dalam pendekatan mereka, meski dalam hal ini jelas mereka berkuasa, tetapi mereka berkomunikasi secara hormat dengan anak-anak mereka.

3. Permissive parenting; pola pengasuhan ini mengandung demandingness/control yang rendah dan acceptance/responsive yang tinggi. Orang tua permisif penyabar, mereka membuat beberapa pengendalian pada

anak-anak untuk berperilaku matang, mendorong anak untuk

mengekspresikan perasaan dan dorongan mereka dan jarang menggunakan kontrol pada prilaku mereka.

(41)

mungkin menolak mereka atau yang lainnya mereka kewalahan dengan masalah-masalah mereka sendiri yang mana mereka tidak dapat memberikan energi yang cukup untuk menetapkan dan menegakkan aturan.

A.4. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh

Darling (1999) mengatakan ada tiga faktor yang mempengaruhi pola asuh, yaitu:

1. Jenis kelamin anak

Jenis kelamin anak mempengaruhi bagaimana orang tua mengambil tindakan pada anak dalam pengasuhannya. Umumnya orang tua akan bersikap lebih ketat pada anak perempuan dan memberi kebebasan lebih pada anak laki-laki. Namun tanggung jawab yang besar diberikan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.

2. Kebudayaan

Latar belakang budaya menciptakan perbedaan dalam pola asuh anak. Hal ini juga berkaitan dengan perbedaan peran dan tuntutan pada laki-laki dan perempuan dalam suatu kebudayaan.

3. Kelas sosial ekonomi

(42)

B. SUKU BATAK

B.1. Pengertian Suku Batak

Batak merupakan salah satu suku di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah, Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola dan Batak Mandailing (Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, 1997)

Mayoritas orang Batak menganut agama Kristen dan sisanya beragama Islam. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut ajaran ini sudah semakin berkurang (Tinambunan, 2010).

(43)

B.2. Nilai 3H dalam Suku Batak

Masyarakat Batak memiliki nilai-nilai, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yang sangat di junjung tinggi. Menurut Tinambunan (2010), orang Batak berpegang teguh pada nilai-nilai yang ditanamkan kepada mereka melalui 7 falsafah hidup yang menjadi pegangan hidup, yakni; Filsafah Mardebata (Punya Tuhan), Filsafah Marpinompar (Punya Keturunan), Filsafah Martutur (Punya Kekerabatn), Falsafah Maradat (Punya Adat Istiadat), Falasafah Marpangkirimon (Punya Pengharapan), Filsafah Marpatik (Punya Aturan), dan Filsafah Maruhum (Punya Hukum).

Nilai falasafah Marpangkirimon yang artinya mempunyai pengharapan (cita-cita) secara lebih spesifik memiliki pemaknaan yakni mencapai hamoraon (pencapaian harta/materi), hagabeon (mendapatkan anak laki-laki dan perempuan), dan hasangapon (punya kedudukan dan dihormati dalam lingkungan masyarakat).

Tujuan hidup yang lebih dikenal dengan 3H ini yang pertama yaitu hamoraon. Hamoraon (kekayaan) adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang. Kekayaan selalu identik dengan harta kekayaan dan anak. Tanpa anak akan merasa tidak kaya, walaupun banyak harta, seperti diungkapkan bahwa : Anakkonhido hamoraon diahu (anakku adalah harta yang paling berharga bagi saya).

(44)

berketurunan (gabe) ini terasa lengkap dalam sebuah keluarga apabila keluarga itu memiliki anak laki-laki dan perempuan. Sebuah keluarga Batak belum dikatakan gabe kalau hanya ada anak perempuannya saja atau anak laki-laki saja. Berkaitan dengan nilai hagabeon ini, ada satu ungkapan tradisional Batak Toba yang terkenal disampaikan pada saat upacara pernikahan adalah ungkapan yang mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniai putra 17 dan putri 16 (Harahap & Siahaan dalam Irmawati, 2007). Ungkapan ini memperlihatkan bahwa anak laki-laki memiliki keistimewaan dalam pandangan orang tua, karena dalam perbandingan jumlah kelihatan harus lebih banyak. Bagi seorang “bapak” maka

anak laki-laki adalah penerus keturunannya, sehingga anak laki-laki sering disebut sebagai sinuan tunas, artinya tunas yang baru (Tinambunan, 2010).

(45)

hasangapon merupakan status tertinggi dalam kehidupan orang Batak khususnya Batak Toba karena di dalam hasangapon sudah terdapat hamoraon dan hagabeon.

Masih bicara mengenai kedudukan anak laiki-laki yang sangat di inginkan, (dalam Tinambunan, 2010) secara lengkap Pardosi (1989) menyatakan beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat Batak Toba menginginkan anak laki-laki yaitu: (a) anak laki dianggap penerus keturunan (marga ayah), (b) anak laki-laki dapat menggantikan kedudukan dalam acara adat dan tanggung jawab adat, dan (c) anak laki-laki pembawa nama dalam silsilah kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba.

Kekayaan (hamoraon), anak (hagabeon) dan kehormatan (hasangapon) sangatlah penting bagi keluarga Batak. Namun di antara nilai-nilai tersebut, anak (hagabeon) merupakan nilai yang paling penting. Dalam nilai gabe, juga tercakup unsur-unsur kaya dan kehormatan. Aspirasi orangtua mengenai pendidikan anak ternyata agar anaknya mampu bersekolah sampai tingkat perguruan tinggi. Pembentukan motivasi berprestasi pada anak-anak Batak Toba sekalipun pada awalnya bersifat ekstrinsik namun kemudian hasil penelitian menunjukan bahwa motivasi ini terinternaiisasi menjadi motivasi intrinsik. Berbicara mengenai pola pengasuhan, orangtua cenderung bergaya authoritative. Sekalipun demikian, gaya authoritarian tetap masih ada berkaitan dengan keinginan agar anak bersikap taat pada aturan agama dan orangtua. Pola pengasuhan ini diikuti juga oleh sikap

orangtua yang mendorong pencapaian pendidikan anak dibidang

(46)

perlihatkan dalam mengarahkan kegiatan anak pada pencapaian prestasi tertentu (Irmawati, 2002).

C. AUTISME

C.1. Pengertian Autisme

Autisme berasal dari kata Yunani “autos” yang berarti self (diri). Kata

Autisme ini digunakan didalam bidang psikiatri untuk menunjukkan gejala menarik diri (Budhiman, 2002 dalam Yusuf, 2003). Dalam kamus psikologi umum (1982), Autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita Autisme sering disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri (Yusuf, 2003).

Autisme pertama kali ditemukan oleh Kanner pada tahun 1943. Dia mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidak mampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan bahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, ecolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya (Safaria, 2005).

(47)

perkembangan keterampilan sosial dan berbahasa, seperti perhatian, persepsi, daya nilai terhadap realitas dan gerakan-gerakan motorik (Davison, 2006).

C.2. Gejala-Gejala Autisme

Anak-anak yang mengalami gangguan Autisme menunjukkan kurang respon terhadap orang lain, mengalami kendala berat dalam kemampuan komunikasi, dan memunculkan respon yang aneh terhadap berbagai aspek di lingkungan sekitarnya, yang kesemua ini berkembang pada masa 30 bulan pertama anak. Para ahli gangguan perkembangan anak menjelaskan gangguan ini dengan nama Autism Infantil (Safaria, 2005).

Secara umum ada beberapa gejala Autisme yang akan tampak semakin jelas saat anak telah mencapai usia 3 tahun, (Budiman, 1998 dalam Yusuf, 2003) yaitu;

1. Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal seperti terlambat bicara, mengeluarkan kata-kata dalam bahasanya sendiri yang tidak dapat dimengerti, echolalia, sering meniru dan mengulang kata tanpa ia mengerti maknanya, dan seterusnya.

2. Gangguan dalam bidang interaksi sosial, seperti menghindar kontak mata, tidak melihat jika dipanggil, menolak untuk dipeluk, lebih suka bermain sendiri, dan seterusnya.

(48)

permainan yang sama dan monoton. Kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu seperti gambar, karet, dan lainnya, yang dibawanya kemana-mana.

4. Gangguan pada bidang perasaan atau emosi, seperti kurangnya empati, simpati, dan toleransi, kadang-kadang tertawa dan marah sendiri tanpa sebab yang nyata dan sering mengamuk tanpa kendali bila tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.

5. Gangguan dalam persepsi sensoris seperti mencium-cium dan menggigit mainan atau benda, bila mendengar suara tertentu langsung menutup telinga, tidak menyukai rabaan dan pelukan, dan lain sebagainya.

Gejala - gejala tersebut di atas tidak harus ada semuanya pada setiap anak Autisme, tergantung dari berat-ringannya gangguan yang diderita anak.

C.3. Perkembangan Gangguan Autisme

Pada penyandang Autisme, tanda-tanda hambatan perkembangan telah mulai tampak pada masa bayi, dikatan oleh Miller dalam Wenar, 1994 (dalam Yusuf, 2003), terdapat ciri-ciri seperti kurangnya kontak mata, kurangnya reaksi pada saat akan digendong, kurang mampu tersenyum meski pada orang terdekatnya, kecemasan yang aneh dan kekurang mampuan bermain “cilukba”.

Tubuh bayi juga terkesan “kaku” sehingga sulit untuk direngkuh dalam pelukan.

(49)

mencari perlindungan bila terluka bahkan cenderung menarik diri dan menghindar. Selanjutnya penguasaannya akan bahasa dan pemahaman komunikasi juga mengalami hambatan. Tidak ada komunikasi timbal balik dengan orang lain. Selain itu anak juga kurang mampu melakukan “imitasi sosial” atau meniru perilaku orang lain pada usianya. Kemampuannya untuk bermainnya juga terbatas pada bermain sendiri (solitary play) dan permainan tersebut cenderung terbatas dan diulangulang secara kaku (Yusuf, 2003).

Pada pertengahan masa kanak-kanak, anak penyandang Autisme menunjukkan kecenderungan untuk tidak berteman, tidak kooperatif dan kurang mampu berempati pada orang lain. Respon sosial mereka terkesan aneh dan kurang pada tempatnya sehingga mereka mengalami masalah dalam penyesuaian sosialnya. Aktivitasnya bersifat ritualistik dan rutin serta mereka mengalami stress jika terjadi perubahan dari aktivitas biasa yang dilakuka (Yusuf, 2003).

(50)

dan mampu masuk kelingkungan sosial yang birokratis. Namun disisi lain, mayoritas anak Autisme akan terus berkembang dengan gangguan perkembangan yang parah. Mereka tetap hidup dalam alamnya sendiri namun tidak menjadi schizophrenia dalam arti mengalami delusi dan halusinasi (Yusuf, 2003).

D. IBU

D.1. Pengertian Ibu

Erikson memandang perkembangan hubungan intim sebagai tugas krusial bagi seorang dewasa awal. Kebutuhan untuk membentuk hubungan yang kuat, stabil, dekat, dan saling peduli merupakan motivator terkuat perilaku manusia dalam memustukan menikah termasuk pada seorang wanita. Pernikahan (dalam berbagai bentuknya) adalah sesuatu yang universal dan memenuhi kebutuhan dasar ekonomis, emosional, seksual, sosial, dan pengasuhan anak (Papalia, 2008).

Pernikahan yang membentuk sebuah keluarga menghasilkan tugas-tugas perkembangan baru, salah satunya adalah menjadi orang tua. Fokus pada peran yang diemban oleh pihak wanita, peran tersebut umumnya dikenal dengan nama atau sebutan „ibu‟. Ibu berperan mulai dari kehamilan, kelahiran, hingga

membesarkan anak (Papalia, 2008).

(51)

dan menjadi ibu dapat mengalami hal-hal yang mengakibatkan stres. Dikatakan dalam Degenova (2008) ibu yang paling tidak puas dengan pernikahan mereka adalah mereka yang melihat diri mereka tidak terorganisir dan tidak mampu menghadapi tuntutan sebagai ibu. Maka harapan dapat mengasuh anak dengan baik dan mengorganisir dirinya serta keluarga dengan baik merupakan salah satu hal yang diharapkan oleh wanita dewasa menikah yang telah menjadi ibu.

D.2. Ibu Batak

Suku Batak sangat menjunjung tinggi kehormatan wanita, konsep Dalihan Na Tolu menggambarkan dengan jelas bahwa kedudukan wanita sangat dihormati. Dalihan Na Tolu adalah ide vital, suatu kompleks gagasan yang merupakan pandangan hidup dan sumber perilaku masyarakat khusunya terkait kekerabatan, dan salah satu aspek penting di dalamnya terkait dengan posisi wanita. Dalihan Na Tolu terdiri dari unsur-unsur hula-hula (pemberi gadis), boru (penerima gadis), dan dongan sabutuha (kerabat semarga). Pihak keluarga dari isteri menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak. Kepada wanita dengan marga yang sama para pria Batak juga memberi penghormatan dan menganggap wanita tersebut saudari kandung meski pada dasarnya hanya terikat marga yang sama tanpa hubungan darah (Gultom, 1992).

(52)

yang bekerja keras demi keluarganya. Disatu sisi ibu melaksanakan tugas-tugasnya di luar rumah menjaga nama baik keluarga dan membantu kondisi keluarga, di sisi lain juga berperan aktif mengatur segala keperluan di dalam rumah termasuk pengasuhan anak-anaknya. Ibu Batak mendapat banyak sorotan dari seluruh keluarga, mengingat budaya Batak yang lebih pada Extended Family, dimana baik keluarga pihak laki-laki maupun perempuan menaruh perhatian lebih, mulai dari pengharapan akan mampunya seorang wanita Batak memberi keturunan laki-laki dan perempuan, serta kemampuan mendidik anak hingga sukses (Tinambunan, 2010).

Tugas wanita Batak dalam keluarga ini sudah diasosiasikan semenjak mereka anak-anak, terlebih lagi dalam masyarakat Batak yang „mengagungkan‟ anak laki-laki, ibu mendapat tuntutan yang tegas dari keluarga untuk harus mampu mendidik dan membesarkan anak agar berhasil sesuai dengan tuntutan keluarga (Maulina dan Sutatminingsih, 2005).

D.3. Ibu Dengan Anak Autis

(53)

Menggunakan teori Ross dalam “On Death and Dying”, mengenai reaksi-reaksi manusia dalam menghadapi “cobaan” dalam hidup, Rachmayanti

membahas kondisi yang dialami orang tua dengan anak berkebutuhan khusus, dibagi menjadi lima tahap yang dijabarkan sebagai berikut:

a. Tahap Denial (menolak menerima kenyataan)

Dimulai dari rasa tidak percaya saat menerima diagnosa dari seorang ahli, perasaan orang tua selanjutnya akan diliputi kebingungan. Bingung atas arti diagnosa, bingung akan apa yang harus dilakukan, sekaligus bingung mengapa hal ini dapat terjadi pada anak mereka. Kebingungan ini sangat manusiawi, karena umumnya, orang tua mengharapkan yang terbaik untuk keturunan mereka.

Tidak mudah bagi orang tua manapun untuk dapat menerima apa yang sebenarnya terjadi. Kadangkala, terselip rasa malu pada orang tua untuk mengakui bahwa hal tersebut dapat terjadi di keluarga mereka. Keadaan ini bisa menjadi bertambah buruk, jika keluarga tersebut mengalami tekanan sosial dari lingkungan untuk memberikan keturunan yang ”sempurna”. Kadang dalam hati muncul pernyataan ”tidak mungkin hal ini

terjadi pada anak saya” atau ”tidak pernah terjadi keadaan seperti ini di

keluarga kami”.

b. Tahap Anger (marah)

(54)

mengasuh anak tersebut. Pernyataan yang sering muncul dalam hati (sebagai reaksi atas rasa marah) muncul dalam bentuk ”Tidak adil

rasanya...”, ”Mengapa kami yang mengalami ini?” atau ”Apa salah kami?”

c. Tahap Bargaining (menawar)

Pada tahap ini, orang tua berusaha untuk menghibur diri dengan pernyataan seperti “Mungkin kalau kami menunggu lebih lama lagi, keadaan akan membaik dengan sendirinya”.

d. Tahap Depression (depresi)

Muncul dalam bentuk putus asa, tertekan dan kehilangan harapan. Kadangkala depresi dapat juga menimbulkan rasa bersalah, terutama di pihak ibu, yang khawatir apakah keadaan anak mereka akibat dari kelalaian selama hamil, atau akibat dosa di masa lalu. Ayahpun sering dihinggapi rasa bersalah, karena merasa tidak dapat memberikan keturunan yang sempurna. Kondisi orang tua khususnya ibu dalam tahap ini memberi banyak efek pada anak, dimana kondisi depresi ibu berpengaruh terhadap pengasuhan anak yang tidak menentu.

Putus asa, sebagai bagian dari depresi, akan muncul saat orang tua mulai membayangkan masa depan yang akan dihadapi sang anak. Terutama jika mereka memikirkan siapa yang dapat mengasuh anak mereka, pada saya mereka meninggal.

Harapan atas masa depan anak menjadi keruh, dan muncul dalam bentuk pertanyaan ”Akankah anak kami mampu hidup mandiri dan berguna bagi

(55)

menghindar dari lingkungan sosial terdekat, lelah sepanjang waktu dan kehilangan gairah hidup.

e. Tahap Acceptance (pasrah dan menerima kenyataan)

Pada tahap ini, orang tua sudah menjadi kenyataan baik secara emosi maupun intelektual. Sambil mengupayakan ”penyembuhan”, mereka mengubah persepsi dan harapan atas anak. Orang tua pada tahap ini cenderung mengharapkan yang terbaik sesuai dengan kapasitas dan kemampuan anak mereka.

Patut dicatat bahwa, kelima tahap tersebut di atas tidak harus terjadi secara berurutan. Bisa saja ada satu tahap atau lebih yang terlompati, atau kembali muncul jika ada hal-hal yang mengingatkan ketidak ”sempurnaan” anak mereka (bila dibandingkan dengan anak lain yang sebaya). Terlihat pula tiap tahap dari kondisi orang tua khususnya ibu berpengaruh terhadap pengasuhan anak, ibu dengan anak Autis terkait dengan pengasuhannya dapat berubah sesuai kondisi (Rachmayanti, 2004).

E. GAMBARAN POLA ASUH IBU SUKU BATAK PADA ANAK

LAKI-LAKI DENGAN GANGGUAN AUTISME

(56)

masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan (Gunarsa, 2002). Pola pengasuhan menurut Baumrind (dalam Sigelman, 2002) mengandung dua dimensi tingkah laku yakni, dimensi acceptance/resposiveness dan dimensi demandingness/control (Sigelmen, 2002). Kedua dimensi di atas akan membentuk pola asuh, terdiri dari tiga jenis yakni authoritative, authoritarian dan permissive, kemudian Maccoby & Martin (1983) menambahkan satu jenis pola asuh lagi dengan pola asuh Neglectful (Sigelmen, 2002).

Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Wuri Prasetyawati (2000), menunjukkan bahwa prilaku orang tua berpengaruh terhadap kepribadian anak, bahkan sejak awal-awal kehidupan. Dikatakan pemberian pola asuh yang tepat oleh orang tua dapat membantu anak berkembang dengan baik. Pola asuh yang penuh dukungan dan kasih sayang, memberikan aspirasi pendidikan yang sesuai dengan kemampuan anak, penekanan pada peraturan yang konsisten, komunikasi yang terbuka serta menghormati keberadaan anak, dapat membantu anak menjadi anak yang ceria, percaya diri mandiri, dapat menghargai orang lain dan berhasil. Penelitian ini menunjukkan adanya sebuah kontribusi yang besar dari orang tua terkait pola pengasuhannya terhadap tumbuh kembang seorang anak. Bagaimana anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang baik tidak dapat dilepaskan dari peran orang tua.

(57)

memberi makan, mengganti popok atau pakaian anak, membersihkan anak, dan aktivitas pengasuhan lainnya. Sementara ayah terlibat dengan beberapa interaksi terkait permainan sosial dan beberapa aktivitas kerja. Pemberian pengasuhan yang tepat baik dari ayah maupun ibu dapat membantu tumbuh kembang anak. Meskipun pengasuhan anak adalah tanggung jawab orang tua baik ayah maupun ibu, pada umumnya dalam sebuah keluarga para ibulah yang lebih berkonsentransi pada kewajiban menjaga rumah tangga dan terutama membesarkan ataupun mengasuh anak, sedangkan ayah menyediakan kebutuhan keluarga (Coontz, 2005 dalam Zinn, Eitzen dan Wells, 2009).

Sebuah keluarga tidak selalu memiliki anak-anak yang terlahir dengan kondisi normal, akan ditemui anak-anak yang lahir dengan kondisi mengalami gangguan atau abnormalitas. Abnormalitas atau berkebutuhan khusus akan mengarah pada keterlambatan dan gangguan pada perkembangan dan tumbuh kembangnya. Salah satu jenis disabilities adalah Autisme (Papalia, 2008). Memiliki anak dengan gangguan Autisme tentu tidaklah mudah, kondisi anak membutuhkan penanganan tersendiri oleh orang tua dalam membantu tumbuh kembang anak. Pola pengasuhan merupakan salah satu aspek yang penting, dimana dengan pemberian pengasuhan yang tepat diharapkan dapat membantu tumbuh kembang anak Autis ke arah yang lebih baik.

(58)

mampu berkembang, belajar dan berprestasi dengan lebih baik bila adanya keterlibatan orang tua dalam aktivitasnya, termasuk dalam pemberian pola asuh.

Penelitian oleh Ratnadewi (2008) mengatakan bahwa orang tua memiliki peran dominan dalam upaya penyembuhan anak Autis karena orang tua merupakan orang yang paling dapat mengerti dan dimengerti anak penyandang Autisme, khusunya ibu yang intens berinteraksi dengan anak. Orang tua dituntut mengerti hal-hal seputar Autisme dan mampu mengorganisir kegiatan

penyembuhan, dan memberikan pengasuhan yang tepat pada anak.

Kecenderungan orang tua dalam pengasuhan anak sering kali dijumpai mengarah pada pola pengasuhan permissive atau neglectful, dimana orang tua merasa pasrah dan menyerah dengan kondisi anak hingga anak dibiarkan tanpa pemberian kontrol oleh orang tua. Padahal para ahli mengatakan tidak akan dapat bekerja tanpa peran serta orang tua (McCandless, 2003).

(59)

yang dilakukan oleh orang tua berlatar belakang suku Batak Toba kepada anak-anaknya dipengaruhi oleh adanya nilai-nilai yang dianutnya sebagai seseorang berlatar suku Batak Toba yakni nilai 3H, hagabeon, hamoraon dan hasangapon.

Khusus pada pola asuh suku Batak, penelitian oleh Irmawati (2002) menghasilkan kesimpulan terkait pola asuh yang diterapkan orang tua Batak, yang mana dalam penelitian spesifik pada suku Batak Toba, bahwa orang tua cenderung menggunakan pola asuh authoritative meskipun masih ditemui orang tua yang menggunakan pola asuh authoritarian. Pola asuh ini diikuti pula dengan sikap orang tua yang mendorong pencapaian pendidikan anak dibidang akademik berupa dukungan, kontrol dan kekeuasaan yang mereka perlihatkan dalam mengarahkan kegiatan anak.

Gambar

Gambaran Pola Asuh Ibu Suku Batak pada Anak Laki-Laki

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana relasi yang antara ibu dan anak autis, di mana partisipan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ibu rumah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ibu dewasa madya yang memiliki anak tunggal usia emerging adulthood hanya memunculkan dua tipe nilai anak yaitu nilai

Pola asuh demokratis informan kepada anak untuk memberikan penjelasan verbal atau nasihat dalam proses penerapan nilai-nilai pendidikan ekonomi oleh ibu rumah tangga karier membentuk

Berangkat dari hal tersebut, penulis tertarik ingin mengetahui apa saja nilai-nilai budaya yang terdapat pada lagu tersebut dan apa fungsi dari lagu-lagu populer Batak Toba terhadap

Oleh karena itu, berdasarkan pro dan kontra dari hasil penelitian (Taganing & Fortuna, 2012) dan (Hariyani, Marmawi, dan Sutarmanto, 2013) maka hal ini

Tuhan Yang Maha Esa pengayom segenap alam yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga dalam penulisan karya ilmiah ini saya tidak mengalami kendala yang

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perbedaan Pola Asuh Anak oleh Ibu yang Bekerja dan Ibu yang

Distribusi Frekuensi Responden Pola Asuh Ibu Dalam Melatih Perkembangan Personal Sosial Pada Anak Prasekolah Di TK Darma Wanita Desa Beton Kecamatan Siman Kabupaten