• Tidak ada hasil yang ditemukan

Psychological Well-Being yang Positif pada Janda Lansia Suku Batak Toba yang Tinggal dengan Anak (Anak Laki-laki)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Psychological Well-Being yang Positif pada Janda Lansia Suku Batak Toba yang Tinggal dengan Anak (Anak Laki-laki)"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

1. Definisi Psychological Well-Being

Konsep well-being pada awalnya berasal dari seorang filsuf Yunani Aristippus of Cyrene (435 – 356 B.C.) yang mengungkapkan sebuah doktrin yaitu

hedonism/ hedonic well-being yang berarti kebaikan mendasar adalah kesenangan dan kenyamanan. Hedonic well-being didefinisikan sebagai efek positif yang

tinggi, efek negatif yang rendah, dan kepuasan hidup yang tinggi. Konsep

subjective being hedonic bukanlah satu-satunya cara untuk melihat well-being pada diri seseorang (Boslovic & Jengic, 2008).

Perspektif lain muncul dari Aristoteles (384 -322 B.C) yaitu konsep

eudemonia/ eudaimonic well-being yang artinya segala tindakan yang baik dan berguna adalah semua yang menciptakan kesejahteraan ataupun kebahagiaan pada

diri seseorang (Boslovic & Jengic, 2008). Waterman (1993, dalam Boslovic &

Jengic, 2008) mengungkapkan bahwa well-being tidak hanya merupakan hasil

akhir dari sesuatu yang dialami oleh individu, melainkan sebuah proses

pemenuhan atau realisasi diri seseorang dan pencapaian potensi diri individu

tersebut. Pada tahun 1984, Waterman (Ryff, 1989) juga mengungkapkan bahwa

(2)

Konsep psychological well-being oleh Ryff (1989) merujuk kepada konsep

eudemonia dan sebagai pembanding konsep hedonistic of subjective well-being (Boslovic & Jengic, 2008). Psychological well-being pada dasarnya berfokus pada

perkembangan manusia dan eksistensi seseorang dalam menghadapi tantangan

hidup (Keyes, Ryff, Shmotkin, 2002). Psychological well-being bukan hanya kepuasan hidup dan keseimbangan antara afek positif dan afek negatif namun juga

melibatkan persepsi dari keterlibatan dengan tantangan-tantangan selama hidup

(Ryff, 1989). Psychological well-being berupa perasaan yang mengarahkan

seseorang bertindak dan kemampuan untuk mengembangkan potensi yang

terdapat dalam dirinya (Walterman, 1984 dalam Ryff, 1989).

Ryff (1989) mendefinisikan psychological well-being dan

dimensi-dimensinya dengan mempertimbangkan konsep-konsep seperti self-actualization

dari Maslow (1968), fully functioning person dari Roger (1961), individuation dari

Jung (1933), dan maturity dari Allport (1961). Ryff (1989) juga merujuk pada

teori-teori perkembangan kehidupan manusia seperti psychosocial stage model

dari Erikson (1959), kecenderungan dasar dalam memenuhi hidup dari Buhler

(1935), deskripsi perubahan kepribadian pada masa dewasa dan lansia dari

Neugarten (1968), serta kriteria positif kesehatan mental dari Jahoda (1958).

Integrasi dari teori kesehatan mental, klinis, dan life-span development tersebut

merupakan gambaran dari psychological well-being oleh Ryff.

Ryff dan Singer (2006) menggambarkan psychological well-being dalam

dua poin yaitu pertama, terdiri dari pertumbuhan dan pemenuhan kebutuhan

(3)

itu hidup sehingga mampu untuk merealisasikan dirinya secara tepat. Kedua,

sangat berpengaruh terhadap kesehatan dengan memperbaiki regulasi sistem

fisiologis secara efektif. Psychological well-being pada dasarnya merupakan suatu

kemampuan untuk merealisasikan diri dan mengoptimalkan kehidupannya (Ryff,

1989). Realisasi diri adalah kemampuan individu untuk tetap bertumbuh yaitu

dengan mampu mengatasi setiap tantangan hidupnya dan memenuhi setiap

kebutuhannya (Ryff & Singer, 2008).

Ryff (1989) mendefinisikan psychological well-being sebagai suatu

dorongan untuk menyempurnakan dan merealisasikan potensi diri. Dorongan ini

dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan sehingga

memiliki psychological well-beingnya rendah atau berupaya memperbaiki kehidupannya sehingga psychological well-beingnya meningkat (Bradburn, dalam

Ryff dan Keyes, 1995). Ryff (1989) mengungkapkan bahwa individu dengan

psychological well-being yang tinggi akan mampu menerima dirinya sendiri, menjalin hubungan positif dengan orang lain, berotonomi, mampu menguasai

lingkungan, bertujuan hidup, dan selalu mengalami pertumbuhan sebagai seorang

individu.

Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti menyimpulkan psychological

well-being adalah penilaian subjektif seseorang atas hidupnya dimana dapat mengarahkan individu tersebut untuk mampu menerima dirinya secara utuh,

menjalin hubungan yang hangat dengan orang lain, menentukan arah hidupnya

(4)

kebutuhannya, bertujuan hidup yang terarah, dan mengalami pertumbuhan dalam

dirinya.

2. Dimensi Psychological Well-Being

Setiap dimensi psychological well-being ini memiliki tantangan yang

berbeda-beda dimana setiap individu harus berusaha untuk mengatasinya dan

sehingga dapat berfungsi secara positif (Ryff, 1989; Ryff & Keyes, 1995; Keyes,

Ryff, Shmotkin, 2002). Menurut Ryff (1989), Ryff & Singer (2008), dan Ryff &

Keyes (1995) ada enam dimensi psychological well-being yaitu:

a. Penerimaan Diri (Self-Acceptance)

Kemampuan untuk mengenali diri sendiri dan berupaya untuk menerima

setiap tindakan, motivasi, dan perasaannya merupakan ciri utama dari kesehatan

mental sebagaimana yang diungkapkan oleh Jahoda. Penerimaan diri merupakan

karakteristik dari seorang yang mencapai self-ectualization (Maslow), optimal functioning (Rogers), dan maturity (Allport). Menurut Erikson dan Neugarten, seseorang harus bisa menerima dirinya, termasuk masa lalu dirinya. Penerimaan

diri bersifat jangka panjang, melibatkan kesadaran, dan berupa penerimaan akan

kelebihan dan kekurangan seseorang (Ryff dan Singer, 2006).

Dimensi penerimaan diri menjelaskan tentang kemampuan individu untuk

menilai dirinya secara positif (Ryff, 1989). Seseorang yang baik dalam dimensi

penerimaan diri akan memiliki sikap positif terhadap dirinya, mengetahui dan

menerima seluruh aspek dalam dirinya baik aspek positif maupun negatif,

(5)

dalam dimensi penerimaan diri akan merasa tidak puas akan dirinya, kecewa akan

masa lalu, meragukan kemampuannya, dan mengharapkan keadaan yang berbeda

dengan keadaan dirinya pada kenyataan (Ryff dan Keyes, 1995).

b. Hubungan Positif dengan Orang lain (Positive Relations with Others)

Menurut Jahoda, kemampuan untuk mencintai merupakan komponen

utama dari kesehatan mental. Maslow berpendapat bahwa seorang self-ectualizer

akan memiliki perasaan empati yang kuat terhadap setiap makhluk dan memiliki

kapasitas cinta yang besar, persahabatan yang karib, dan pengenalan yang baik

akan orang lain. Kematangan seseorang akan terlihat dari kehangatan yang

dimilikinya dalam berhubungan dengan orang lain seperti yang diungkapkan

Allport. Erikson mengatakan bahwa pada masa dewasa seseorang dituntut untuk

memiliki kesatuan yang dekat dengan orang lain atau memiliki intimacy dan

mampu mengarahkan orang lain (generativity) (Ryff dan Singer, 2006).

Dimensi hubungan positif dengan orang lain menjelaskan mengenai

kemampuan untuk membangun hubungan yang menyenangkan, dekat, intim, dan

penuh kasih sayang dengan orang lain (Ryff 1989). Seseorang yang baik dalam

dimensi hubungan positif dengan orang lain merupakan sosok yang hangat,

memiliki kepuasan, memiliki hubungan yang terpercaya dengan orang lain, peduli

atas kesejahteraan orang lain, berempati yang kuat, peka dalam perasaan,

keintiman, memahami dan memelihara hubungan dengan orang lain. Di lain sisi,

seseorang yang kurang baik dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain

merupakan sosok yang kurang akrab, memiliki hubungan yang terpercaya dengan

(6)

terisolasi dan frustasi dalam hubungan interpersonal, tidak berkeinginan untuk

terikat dengan orang lain (Ryff dan Keyes, 1995).

c. Otonomi (Autonomy)

Maslow mengambarkan seorang self-actualizer mengurus kebutuhannya

sendiri dan mampu bertahan terhadap tekanan. Roger mengungkapkan bahwa

seseorang yang mencapai optimal functioning akan menggunakan internal locus

of control dalam bertindak, tidak memperhatikan penerimaan orang lain, tetapi mengevaluasi seseorang dengan standar personal. Menurut Jung, karakteristik

seseorang yang individuation akan bebas dari setiap aturan, tidak bergantung pada

keyakinan kolektif, ketakutan, dan hukum massa. Erikson, Neugarten, dan Jung

mencatat pentingnya penentuan keputusan berdasarkan batin dan memperoleh

kebebasan atas norma sepanjang hidupnya (Ryff dan Singer, 2006).

Dimensi otonomi menekankan pada kemampuan seseorang untuk

menentukan diri sendiri, mandiri, serta melakukan evaluasi atas dirinya

berdasarkan standar personal (Ryff, 1989). Individu yang baik dalam dimensi

otonomi akan mampu untuk menentukan arah hidupnya sendiri, bersikap mandiri,

mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara

tertentu, mengelola setiap perilakunya, dan mengevaluasi dirinya berdasarkan

standar personal. Sebaliknya, individu yang buruk dalam dimensi otonomi

berfokus pada harapan dan evaluasi orang lain, membuat keputusan berdasarkan

penilaian orang lain, dan konformitas terhadap tekanan sosial (Ryff dan Keyes,

(7)

d. Penguasaan Lingkungan (Environment Mastery)

Jahoda menyatakan bahwa salah satu ciri kesehatan mental adalah mampu

memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisiknya.

Erikson menjelaskan mengenai pentingnya kemampuan untuk memanipulasi dan

mengendalikan lingkungan yang komplek, serta kapasitas untuk bertindak dan

mengubah dunia sekitar dengan aktivitas fisik dan mental. Allport mengatakan

bahwa kemampuan untuk memperluas diri dengan cara mampu berpartisipasi atas

orang lain merupakan ciri lain dari maturity (Ryff dan Singer, 2006).

Dimensi penguasaan lingkungan menekankan pada kemampuan untuk

menguasai lingkungan di sekitarnya serta mampu menciptakan dan memperoleh

lingkungan yang menguntungkan dirinya (Ryff, 1989). Individu yang baik dalam

dimensi penguasaan lingkungan akan memiliki keyakinan untuk menguasai dan

mampu mengelola lingkungannya, menggunakan kesempatan dengan efektif, dan

mampu memilih dan menciptakan konteks yang sesuai dengan nilai dan

kebutuhan dirinya. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi

penguasaan lingkungan akan mengalami kesulitan dalam mengelola

kesehariannya, merasa tidak mampu untuk mengubah dan memperbaiki

lingkungannya, tidak menyadari adanya kesempatan, dan kurang mampu

mengendalikan lingkungan luar (Ryff dan Keyes, 1995).

e. Tujuan Hidup (Purpose in Life)

Jahoda mendefinisikan kesehatan mental sebagai pentingnya keyakinan

yang menunjukkan adanya suatu tujuan dan kebermaknaan hidup. Allport

(8)

tujuan hidup yang jelas. Erikson menyatakan bahwa perubahan tujuan dan target

pada diri seseorang akan menggambarkan setiap tahap kehidupan yang berbeda

(Ryff dan Singer, 2006).

Dimensi tujuan hidup menjelaskan tentang seseorang yang berfungsi

secara positif akan memiliki tujuan dan arahan dimana semuanya itu akan

memunculkan perasaan akan makna hidup (Ryff, 1989). Seseorang yang baik

dalam dimensi tujuan hidup akan memiliki tujuan hidup yang jelas dan hidupnya

lebih terarah, memegang keyakinan yang memberikan tujuan hidup, dan memiliki

target yang hendak dicapai dalam kehidupannya. Sementara seseorang yang

kurang baik dalam dimensi tujuan hidup memiliki makna hidup yang tidak baik,

target yang sedikit, kurang memiliki arahan hidup, tidak memiliki tujuan di masa

lalu, dan tidak memiliki keyakinan bahwa hidup ini berarti (Ryff dan Keyes,

1995).

f. Pertumbuhan Personal (Personal Growth)

Berdasarkan teori self-actualization Maslow dan kesehatan mental Jahoda,

kemampuan untuk merealisasikan potensi personal merupakan hal yang yang

dimiliki oleh seseorang yang mencapai optimal functioning. Roger juga

menggambarkan bahwa individu yang mencapai optimal functioning akan terbuka

atas pengalaman baru sehingga dirinya akan berkembang dan mampu mengatasi

masalahnya. Erikson, Neuharten, Jung, dan Buhler mengungkapkan adanya

pertumbuhan yang berlanjut dan kemamampuan untuk menghadapi tantangan

(9)

Dimensi pertumbuhan personal menjelaskan tentang keberlanjutan dari

pertumbuhan dan perkembangan, serta individu menyadari potensi dirinya untuk

dikembangkan menjadi suatu hal yang baru (Ryff, 1989). Individu yang baik

dalam dimensi pertumbuhan personal memiliki perasaan akan perkembangan

yang berlanjut, melihat dirinya semakin bertumbuh dan meluas, terbuka atas

pengalaman baru, merealisasikan potensi diri, melihat perubahan yang positif

dalam diri dan perilakunya sepanjang waktu, serta berubah dalam cara

merefleksikan diri menjadi lebih mengenali dirinya dan efektif. Sementara

individu yang kurang baik dalam dimensi pertumbuhan personal mengalami

stagnasi personal, kurang mengalami perubahan sepanjang waktu, bosan dan

kehilangan minat atas hidupnya, dan merasa tidak mampu untuk mengembangkan

sikap dan perilaku baru (Ryff dan Keyes, 1995).

3. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

a. Usia

Beberapa dimensi psychological well-being berubah signifikan seiring

bertambahnya usia dan beberapa dimensi lainnya akan tetap stabil. Secara umum,

pertumbuhan personal dan tujuan hidup pria dan wanita akan menurun. Lansia

akan selalu mengingat kehidupannya di masa lalu dan tidak memiliki keinginan

untuk berkembang di masa yang akan datang (Lopez, J., Hidalgo, T., Bravo, B.N.,

Martinez, I.P., Pretel, F.A., Postigo, J.M.L., & Rabadan, F.E., 2010).

Penerimaan diri dan hubungan positif dengan orang lain tidak terdapat

(10)

Dimensi otonomi dan penguasaan lingkungan seorang lansia akan meningkat

(Lopez, J., Hidalgo, T., Bravo, B.N., Martinez, I.P., Pretel, F.A., Postigo, J.M.L.,

& Rabadan, F.E., 2010). Berkurangnya tantangan psikologis di akhir kehidupan

dan kehidupan sosial yang sudah terbatas menjadi pendukung meningkatnya

dimensi otonomi dan penguasaan lingkungan (Ryff & Singer, 1996).

b. Jenis Kelamin

Ryff (1989) mengungkapkan ditemukan perbedaan tingkat psychological

well-being pada wanita dan pria terutama pada dimensi hubungan positif dengan orang lain. Perbedaan ini dikarenakan gender stereotype yang telah melekat sejak

kecil dalam diri pria sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sedangkan wanita

adalah sosok yang pasif, tergantung, dan memiliki sensitifitas yang tinggi

terhadap perasaan orang lain (Papalia, 2007). Selain itu, wanita juga dianggap

memiliki hubungan yang lebih akrab dengan kehidupan sosial daripada pria,

sementara pria memiliki pergaulan hanya dengan lingkungan professional mereka.

Oleh karena itu, wanita lebih terintegrasi secara sosial dan lebih tinggi dalam

hubungan positif dengan orang lain dibandingkan pria (Lopez, J., Hidalgo, T.,

Bravo, B.N., Martinez, I.P., Pretel, F.A., Postigo, J.M.L., & Rabadan, F.E., 2010).

c. Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi seperti tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan,

pekerjaan, finansial, dan rekreasi turut mempengaruhi psychological well-being

seseorang. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa seseorang dengan status

(11)

memiliki tujuan hidup, mampu menerima dirinya, mengalami pertumbuhan

personal, dan dapat menguasai lingkungannya dengan baik. Keadaan ekonomi

yang semakin membaik cenderung akan meningkatkan psychological well-being.

Selain itu, sebuah penelitian menunjukkan bahwa lingkungan tempat tinggal akan

mempengaruhi psychological well-being dan kesehatan individu tersebut. Hal ini dikarenakan kehadiran orang lain di sekitar individu dan kebebasan individu

dalam bertindak di lingkungan tempat tinggalnya (Lopez, J., Hidalgo, T., Bravo,

B.N., Martinez, I.P., Pretel, F.A., Postigo, J.M.L., & Rabadan, F.E., 2010).

d. Life Event

Pengalaman individu sejak awal kehidupan akan mempengaruhi persepsi

yang dimilikinya terhadap suatu keadaan. Sebagai contoh, pada masa lansia akan

ditemukan berbagai masalah kesehatan fisik pada wanita lansia. Hal ini akan

mengarahkan seorang wanita lansia untuk membandingkan dirinya dengan wanita

lansia lainnya terutama wanita lansia yang sehat. Sebuah penelitian menunjukkan

bahwa setelah membandingkan dirinya dengan wanita lansia lainnya, penilaian

wanita lansia terhadap dirinya akan berubah. Penilaian ini dapat berpengaruh

terhadap well-being wanita lansia tersebut selama hidupnya (Ryff & Singer, 1996).

Setiap pengalaman akan bervariasi pada setiap orang baik mengenai lokasi

terjadinya, tantangan, maupun upaya mengatasi tantangan tersebut. Setiap

pengalaman dan kesempatan yang ada membuat setiap individu memberikan

interpretasi yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, setiap pengalaman yang dialami

(12)

kehilangan atau memperoleh psychological well-being dalam hidupnya (Ryff &

Singer, 1996).

e. Keagamaan

Aktivitas keagamaan seperti berdoa, membaca kitab suci, dan kehidupan

rohani yang berkualitas sangat berkaitan dengan well-being seseorang terutama

wanita lansia (Koenig, Smiley, dan Gonzales, 1988; Santrock, 2009). Aktivitas

keagamaan menyediakan kebutuhan psikologis yang penting bagi seorang lansia,

membantu lansia dalam menghadapi kematiannya, menemukan makna hidupnya,

dan menerima setiap penurunan yang terjadi di usia tuanya (Daaleman, Perera,

dan Studenski, 2004; Santrock, 2009). Suatu penelitian menunjukkan bahwa

meskipun kehadiran seorang lansia di gereja berkurang namun perasaan

religiusitas dan kekuatan atau kenyamanan yang diterima dari agama akan tetap

stabil bahkan meningkat (Idler, Kasl, dan Hays, 2001; Santrock, 2009). Hal ini

menunjukkan bahwa keagamaan berperan penting dalam membantu seorang

lansia terutama janda lansia menjalani kehidupannya.

B. SUKU BANGSA BATAK TOBA 2. Suku Bangsa Batak Toba

Menurut Koentjaraningrat (2002), budaya adalah daya budi berupa cipta,

karsa, serta rasa. Koentjaraningrat (2002) mengungkapkan bahwa kebudayaan

merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam

rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

(13)

perpaduan pikiran atau logika, tata cara perilaku atau etika, perasaan atau estetika,

dan keterampilan atau praktika dalam rangka perkembangan hubungan manusia

dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan (Rajamarpodang,

1992). Oleh karena itu, disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan nilai, karya,

ataupun tindakan yang terdapat dalam suatu kelompok masyarakat, bersifat

mengikat, dan mengatur kehidupan dalam bermasyarakat.

Seorang ahli Antrologi, J.J. Honigmann mengungkapkan tiga wujud

kebudayaan yaitu ideas, activities, dan artifact. Wujud pertama yaitu ide, gagasan,

nilai, norma, dan peraturan dalam suatu kebudayaan akan terlihat dalam

adat-istiadat yang diberlakukan. Wujud kedua yaitu activities terdiri atas

aktivitas-aktivitas manusia dalam berinteraksi dengan orang lain dan berdasarkan adat tata

kelakuan. Wujud ketiga yaitu artifact berupa karya konkret dari semua

masyarakat. Ketiga wujud kebudayaan ini akan mengatur dan mengarahkan

tindakan dan karya manusia dalam bermasyarakat (Koentjaraningrat, 2002).

Masyarakat Batak Toba merupakan salah satu subsuku bangsa Batak yang

memiliki nilai budaya yang berasal dari turun-temurun dan menjadi aturan dalam

kehidupan bermasyarakat (Rajamarpodang, 1992). Dalihan na tolu, sistem

keturunan patrilineal, dan tiga tujuan hidup yaitu hagabeon, hamoraon, dan

hasangapon merupakan salah satu contoh nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat Batak Toba. Masyarakat Batak Toba selalu diharapkan untuk bisa

menjalani hidupnya sesuai dengan adat-istiadat yang berlaku (Sianipar, 2013).

(14)

apa yang dianggap baik atau tidak baik dalam kehidupannya (Koentjaraningrat,

2002).

3. Prinsip Keturunan

Prinsip keturunan masyarakat Batak Toba adalah patrilineal yaitu garis

turunan etnis adalah dari laki-laki (Rajamarpodang, 1992). Berdasarkan prinsip

patrilineal, anak laki-laki memiliki kedudukan yang sangat penting dalam

kelanjutan generasi (Rajamarpodang, 1992). Bagi masyarakat Batak Toba, anak

laki-laki dianggap sangat penting yaitu sebagai penerus keturunan (marga ayah),

pengganti kedudukan dalam acara adat dan tanggung jawab adat, serta pembawa

nama dalam silsilah kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba (Pardosi, 1989).

Secara khusus bagi seorang wanita atau ibu, anak laki-laki dianggap sebagai

penanggung jawab dalam keluarga sebagaimana tanggung jawab yang dimiliki

oleh seorang suami terhadap istri dan keluarganya (Rajamarpodang, 1992).

Keberadaan anak laki-laki dalam masyarakat Batak Toba menjadi sangat penting

dan sangat diharapkan.

Keluarga Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki akan dianggap Na

Punu (yang punah) karena tidak ada atau dapat melanjutkan silsilah ayah dan tidak akan pernah lagi diingat atau diperhitungkan dalam silsilah. Na Punu artinya

generasi seseorang sudah punah atau tidak berkelanjutan lagi pada silsilah Batak

Toba sebab tidak mempunyai anak laki-laki sebagai penyambung generasi

berikutnya. Pandangan akan berharganya anak laki laki-laki memunculkan

(15)

anak laki-laki. Selain itu, masyarakat Batak Toba yang pada dasarnya adalah

monogami akan melakukan poligami sebagai upaya untuk memperoleh anak

laki-laki (Rajamarpodang, 1992).

5. Hamoraon, Hasangapon, dan Hagabeon

Masyarakat Batak Toba memiliki tiga tujuan hidup yang hendak dicapai

yaitu:

a. Hagabeon

Masyarakat Batak Toba mengartikan hagabeon sebagai keluarga yang

besar, menjadi panutan masyarakat, dan panjang umur. Sumber daya manusia

menjadi sangat penting bagi masyarakat Batak Toba. Kekuatan yang tangguh

hanya dapat dibangun dengan jumlah manusia yang banyak (Harahap dan

Siahaan, 1987).

b. Hamoraon

Masyarakat Batak mengartikan hamoraon bukan hanya sekadar harta

kekayaan saja, tetapi mengenai jumlah keturunan terutama anak laki-laki

(Sihombing, 1986). Seseorang yang memiliki hamoraon artinya telah mapan

dalam karakter ekonominya. Salah satu ungkapan masyarakat Batak Toba yaitu

“anakkonki do hamoraon di au” menunjukkan bahwa anak laki-laki merupakan

kekayaan bagi seorang Batak Toba (Harahap dan Siahaan, 1987).

c. Hasangapon

(16)

hasangapon adalah seseorang yang dapat memberi kebijakan, memiliki kearifan, dan teladan bagi masyarakat. Hasangapon merupakan hasil yang diperoleh setelah

mencapai hagabeon dan hamoraon (Harahap dan Siahaan, 1987).

C. JANDA LANSIA 1. Janda Lansia

Kehilangan anggota keluarga, sahabat, pasangan merupakan suatu hal

yang umum terjadi pada masa lansia. Kematian pasangan hidup menimbulkan

dukacita mendalam pada pasangan yang ditinggalkan. Kematian pasangan hidup

juga melahirkan satu status baru bagi seorang lansia dimana dirinya disebut

sebagai duda atau janda (Craig, 1996).

Menjadi janda atau duda menjadi suatu tantangan baru dimana lansia harus

mengatasi dukacita yang dialaminya sepeninggalan pasangan. Selain itu, seorang

janda ataupun duda lansia dituntut untuk membangun kehidupan baru sebagai

orang tua tunggal dan kakek atau nenek tunggal (Lemme, 1995). Kematian

pasangan hidup menyebabkan hilangnya peran dan identitas lansia sebagai

seorang pasangan yang telah terjalin lama, intim, dan memiliki peran personal

bagi mereka (Berk, 2007).

Kematian pasangan merupakan suatu peristiwa yang paling traumatik bagi

seorang wanita (Matlin, 2008). Penyesuaian terhadap kematian pasangan ini akan

sangat dipengaruhi oleh proses kematian pasangan. Ketika pasangan meninggal

terjadi secara tiba-tiba dan tanpa diperkirakan, maka pasangan yang ditinggalkan

(17)

pasangan telah mengalami penyakit yang parah, maka pasangan yang ditinggalkan

telah menyiapkan dirinya sebelum pasangan meninggal dunia. Penyesuaian atas

kematian pasangan menjadi sangat sulit dilakukan dimana seorang janda lansia

harus menyesuaikan diri kembali pada kehidupannya yang disertai perasaan

dukacita bercampur kelegaan (Brubaker, 1985; Lemme, 1995).

Kesepian menjadi masalah terbesar yang dialami oleh lansia pada

umumnya sepeninggalan pasangan mereka (Berk, 2007). Upaya mengatasi

kesepian ini tergantung pada usia, dukungan sosial, dan kepribadian pada lansia

tersebut. Dukungan sosial yang bersumber dari keluarga, teman, rekan kerja, dan

kegiatan menyenangkan lainnya menjadi faktor yang sangat dibutuhkan dalam

mengatasi masalah setelah kematian pasangan (Lemme, 1995).

Janda lansia berupaya untuk memperoleh dukungan dari keluarga, teman,

rekan kerja, maupun melakukan hobinya (Lopata, 1979; Craig, 1996). Pada

umumnya, janda lansia lebih banyak mendapat dukungan dan bantuan dari

anaknya (Spitze & Logan, 1989, 1990; Craig, 1996). Anak sangat berperan dalam

menyediakan dukungan bagi janda lansia.

2. Dekade Kehidupan Lansia

Craig (1996) membagi usia lansia ke dalam 4 dekade kehidupan yaitu:

a. Young Old (60-90 tahun)

Kebanyakan lansia yang berusia 60-an akan memulai beradaptasi terhadap

peran barunya dan berupaya mengatasi penurunan fungsi diri serta menghadapi

(18)

diakibatkan oleh pensiun, berkurangnya rekan kerja, dan hubungan yang mulai

renggang dengan teman akan terjadi pada usia ini. Kebanyakan pensiunan akan

menjadi mentor, memberi nasihat, dan melakukan usaha-usaha yang sederhana

(Craig, 1996).

b. Middle-Aged-Old (70-79 tahun)

Pada usia 70-an kebanyakan lansia akan berjuang dari kehilangan

keluarga, sahabat, dan rekan kerja, terutama pasangan hidup. Selain itu, kesehatan

lansia menjadi lebih bermasalah di usia ini. Penurunan kesehatan ini akan memicu

penurunan kesehatan yang lebih lanjut bahkan ketidakmampuan pada dekade

berikutnya (Craig, 1996).

c. Old-Old (80-89 tahun)

Pada usia ini seorang lansia akan hidup dalam proses yang berkelanjutan

dimana akan selalu mengingat pengalaman dulu hingga saat ini yang tersimpan

dalam memorinya. Kebanyakan lansia pada usia ini akan kesulitan dalam

beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Mereka membutuhkan

bantuan baik dalam mengelola hubungan sosial maupun berbudaya (Craig, 1996).

d. Very Old-Old (90-99 tahun)

Pada kelompok usia ini, kesehatan seorang lansia akan lebih menurun

dibandingkan kelompok usia sebelumnya. Kebanyakan lansia pada usia ini akan

tetap berhasil mengubah aktivitas mereka sehingga memperoleh apa yang mereka

butuhkan. Pada umumnya lansia pada dekade ini akan lebih bahagia, tenang, dan

(19)

3. Tugas Perkembangan Lansia

Menurut Havighurst (Hurlock, 2000), tugas-tugas perkembangan seorang

lansia adalah:

a. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan

Lansia diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan berkurangnya

kekuatan dan penurunan kesehatan secara bertahap. Lansia akan melakukan

perbaikan dan perubahan peran yang pernah dilakukan baik terhadap dirinya

sendiri maupun dengan orang lain. Lansia juga diharapkan untuk mencari

kegiatan lain sebagai pengganti atas kegiatan terdahulu yang dilakukannya saat

masih muda (Hurlock, 2000).

b. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan

keluarga

Bagi beberapa lansia mengikuti kegiatan-kegiatan sosial sangat sulit untuk

dilaksanakan karena keadaan kesehatan dan pendapatan yang berkurang setelah

pensiun. Hal ini membuat banyak lansia terpaksa mundur dari kegiatan-kegiatan

sosial. Oleh karena itu, lansia diharapkan untuk menyusun kembali pola hidup

yang disesuaikan dengan kondisi dirinya saat ini (Hurlock, 2000).

c. Menyesuaikan diri dengan kematian atau hilangnya pasangan hidup

Pada masa lansia, setiap individu dituntut untu mempersiapkan dan

menyesuaikan diri atas kematian pasangan hidupnya. Kematian pasangan hidup

lebih menjadi masalah bagi wanita lansia dibandingkan pria lansia. Kematian

(20)

sendiri. Hal ini memberikan tuntutan baru bagi janda lansia untuk melakukan

perubahan pada aturan hidup (Hurlock, 2000).

d. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia

Ketika anak-anak mulai bertumbuh dewasa dan mulai memiliki kesibukan

sendiri, hubungan anak dengan orang tua menjadi berkurang. Oleh karena itu,

lansia dituntut untuk membangun hubungan dengan orang lain yang seusia

mereka. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk mengatasi kesepian yang

sering dialami oleh lansia, terutama ketika pasangan telah meninggal dunia,

menghadapi pensiun, dan kegiatan sosial yang mulai berkurang (Hurlock, 2000).

e. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan

Pengaturan kehidupan fisik ini sering disebut dengan istilah living

arrangement. Setiap lansia diperhadapkan dengan tiga pilihan yaitu living alone (tinggal seorang diri di rumah sendiri), living with adult children (tinggal bersama

anak yang sudah dewasa dan menikah), dan living in institutions (tinggal di

instritusi seperti panti jompo) (Papalia, 2007). Pada masa lansia akan muncul

suatu pertimbangan apakah keinginan dan kebutuhan yang biasa mereka penuhi

pada masa-masa sebelumnya masih dapat terpenuhi atau tidak. Setiap tempat

tinggal akan mempengaruhi bagaimana keadaan psikologis lansia tersebut dan

pemenuhan kebutuhannya sehari-hari (Hurlock, 2000).

f. Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes

Sejak awal kehidupan, lansia telah berhubungan dengan setiap orang baik

seusia maupun tidak seusia dengannya. Pada masa ini, lansia akan kembali

(21)

namun hal ini dianggap sulit oleh beberapa lansia. Pada masa lansia, setiap lansia

akan bergabung dengan kelompok yang sebagian besar dan ditolak oleh

masyarakat. Hal ini berkaitan dengan ageism yang muncul pada masyarakat.

Sebagai akibatnya, lansia kurang termotivasi untuk terlibat dengan masyarakat

dan muncul anggapan bahwa itu tidak menghasilkan suatu kebanggaan bagi

mereka (Hurlock, 2000).

4. Perubahan pada Lansia

a. Perubahan Kemampuan Motorik pada Lansia

Beberapa perubahan fisik terjadi pada masa lansia dan sering dikaitkan

dengan aging pada lansia. Kulit lansia menjadi lebih pucat, berbercak, kurang elastis, dan kulit keriput. Urat nadi mulai terlihat pada bagian tangan. Rambut

beruban dan menjadi lebih tipis. Lansia terlihat lebih pendek dikarenakan

penipisan tulang yang terlihat pada bagian belakang leher. Keadaan ini

menyebabkan lansia khususnya lansia wanita dapat mengalami osteoporosis

(Papalia, 2007).

Kebanyakan lansia akan mengalami penurunan yang tajam baik pada

kemampuan sensori maupun psikomotor. Beberapa lansia lainnya menunjukkan

adanya penurunan fungsi diri yang terjadi dengan lambat. Hal ini tidak terlepas

dari faktor perbedaan individu seperti life style. Masalah penglihatan dan

pendengaran merupakan masalah yang paling sering muncul pada lansia.

Penurunan fungsi pendengaran dan penglihatan sering menjadi pemicu

(22)

motorik akan membatasi lansia dalam melakukan berbagai tindakan (Papalia,

2007).

b. Hubungan dengan Anak dan Cucu

1. Hubungan dengan Anak

Hubungan antara orang tua lansia dengan anak pada umumnya semakin

hari kurang memuaskan. Keadaan ini tidak terlepas dari pengaruh kemampuan

lansia dalam menyesuaikan diri terhadap anak serta memahami kebutuhan dan

keadaan mereka di usia saat ini (Hurlock, 2000). Di samping itu, hubungan orang

tua lansia dan anak di masa lalu juga dapat menentukan hubungan yang dijalin

saat ini (Hurlock, 2000). Hubungan baik yang terjalin di masa lalu akan dapat

melahirkan hubungan baik di masa mendatang, dan sebaliknya (Wilson, Shuey,

dan Elder, 2003; Santrock, 2009). Terkhusus bagi wanita, pada umumnya

hubungan ibu dan anak menjadi lebih baik dibandingkan dengan hubungan ayah

dan anak. Wanita dianggap lebih luwes menyesuaikan diri dengan anak daripada

pria. Selain itu, hubungan ibu dan anak dianggap sebagai suatu hubungan yang

berkelanjutan sejak anak lahir (Hurlock, 2000).

Setelah memasuki masa lansia, kebanyakan lansia cenderung akan

ketergantungan terhadap anak baik ketergantungan secara ekonomi maupun

kebutuhan lainnya yang dibantu oleh anak. Di sisi lain, anak memiliki tanggung

jawab lainnya seperti merawat anak-anak dan mencukupi kebutuhan keluarga.

Ketergantungan ini pada dasarnya menjadi suatu tantangan yang sangat berat bagi

(23)

Di samping ketergantungan pada lansia, kebanyakan lansia merasa sulit

melepaskan peran otoriternya terhadap anak (Hurlock, 2000). Lansia kesulitan

menyesuaikan diri dengan “kehilangan” anaknya dan memunculkan masalah

seperti overprotective dan ikut campur masalah keluarga anak. Beberapa anak terkadang lebih menghiraukan perkataan orang tua dibandingkan pasangannya

sehingga tidak jarang terjadi masalah antara pasangan anak maupun orang tua

lansia (Degenova, 2008).

Ketergantungan dan peran otoriter orang tua menjadi suatu hal negatif

dalam hubungan antara orang tua dan anak namun di sisi lain terdapat suatu hal

yang dapat menciptakan hubungan baik antara orang tua dan anak. Di masa tua,

kebanyakan lansia menganggap dirinya tidak berguna dan hal ini berpengaruh

terhadap well-being lansia tersebut. Di ketidakberdayaannya kebanyakan lansia akan mengalami perasaan positif ketika mereka mampu menyediakan bantuan

bagi orang lain yang membutuhkan. Salah satu contohnya adalah banyak lansia

yang khawatir dengan keadaan anak tanpa menghiraukan usia anak saat ini

(Newman dan Newman, 2006).

Bagi seorang lansia, perhatian dan dukungan keluarga dapat mengurangi

stress yang dialaminya dan melindunginya dari konsekuensi negatif seperti

penyakit dan depresi (Muller dan Norris, 1991; Newman dan Newman, 2006).

Setiap lansia merasa nyaman dengan kebutuhannya yang selalu disediakan namun

seorang lansia akan mengalami perasaan negatif ketika tidak ada kesempatan

baginya untuk membantu orang lain yang membutuhkan (Liang, Krause, dan

(24)

seperti masalah pernikahan, keuangan, kesehatan, dan masalah lainnya, orang tua

akan merasa terbeban dengan keadaan tersebut. Tak jarang orang tua akan terlibat

dalam membantu setiap masalah yang dialami oleh anaknya. Orang tua akan

merasa senang apabila dirinya dapat membantu anak sebaik bantuan yang

diterimanya dari anak (Marks, 1995; Degenova, 2008). Memberikan bantuan

terhadap anak walaupun tidak dibalas akan berpengaruh terhadap psychological

well-being seorang orang tua daripada hanya menerima bantuan dari anak. Oleh karena itu dikatakan bahwa kehidupan anak dapat mempengaruhi psychological

well-being seorang orang tua (Degenova, 2008). 2. Hubungan dengan Cucu

Seorang kakek atau nenek dapat membantu cucu dalam menciptakan

kehidupannya yang lebih baik lagi. Sebagai kakek atau nenek dalam hal ini nenek

dapat menciptakan perasaan nyaman dan berbagi kasih sayang dengan cucu.

Kasih sayang seorang nenek akan membantu pertumbuhan cucu, memberi rasa

nyaman, dan percaya bagi cucu. Cucu akan dibantu belajar memahami suatu

keadaan, percaya, dan mengerti akan orang lain. Seorang nenek juga berperan

dalam menyediakan suatu pondasi bagi cucu dalam menjalani kehidupannya di

masa depan. Melalui pengalaman hidup yang bernilai dan pelajaran di masa lalu,

seorang nenek dapat mengajarkan cucu hal-hal yang baik. Ketika anak mengalami

keterbatasan baik dalam waktu maupun uang, seorang nenek bertugas mengawasi

cucunya. Banyak peran baik yang dapat dilakukan seorang nenek ataupun kakek

(25)

Suatu hasil penelitian menunjukan bahwa hubungan cucu dan nenek atau

kakek akan sangat dipengaruhi oleh usia cucu (Hurlock, 2000). Cucu yang berusia

remaja pada dasarnya lebih mampu memahami perkataan nenek atau kakeknya

mengenai keadaan yang terjadi dibandingkan anak-anak (Degenova, 2008).

Ketika cucu masih berusia kanak-kanak, nenek atau kakek biasanya berperan

sebagai babysitter cucu atau teman bermain cucu terutama jika tinggal serumah.

Apabila cucu sudah memasuki usia tengah baya, cucu turut bertanggung jawab

terhadap kakek atau nenek mereka. Pada umumnya, lansia menganggap cucu

merupakan gambaran kepribadian dan nilai-nilai dimilikinya selama ini (Craig,

1996).

c. Kehidupan Pensiun

Pensiun menjadi suatu pengalaman traumatik yang dialami oleh seorang

lansia. Pensiun mengakibatkan hilangnya status, peran, dan prestasi yang pernah

dicapai oleh seorang lansia. Pada dasarnya, setiap lansia telah mempersiapkan diri

untuk memasuki masa pensiun namun seorang lansia akan mengalami identity

crisis yang diungkapkan oleh Erikson. Lansia akan memiliki identitas yang berbeda dengan ketika dirinya masih dewasa, terkadang diperlakukan seperti

anak-anak, terkadang sebagai orang tua, dan terkadang sebagai orang dewasa.

Identity crisis terjadi sebagai akibat dari perubahan drastis pada lansia dimana pada kehidupan awal sebagai pekerja yang sibuk berubah menjadi seorang

(26)

D. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING YANG POSITIF PADA JANDA LANSIA SUKU BATAK TOBA YANG TINGGAL DENGAN “ANAK (ANAK LAKI- LAKI)

Setiap janda lansia pada dasarnya dituntut untuk memenuhi setiap tugas

perkembangannya di masa tua (Hurlock, 2000). Salah satu tugas perkembangan

janda lansia adalah pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan (selanjutnya

disebut living arrangement) (Papalia, 2007). Living arrangement berfungsi dalam

mengatur kembali kehidupan seorang janda lansia dengan mempertimbangkan

cara pemenuhan kebutuhan janda lansia dan penentuan bersama siapa dirinya

tinggal dan melanjutkan kehidupannya (Hurlock, 2000).

Penentuan living arrangement tidak terlepas dari pengaruh nilai budaya janda lansia tersebut (Papalia, 2007). Setiap suku bangsa memiliki adat istiadat

masing-masing dimana jika dilanggar akan memberi sanksi atas orang tersebut

misalnya suku bangsa Batak Toba (Sihombing, 1986). Kehidupan masyarakat

Batak Toba juga tidak terlepas dari nilai lainnya seperti hamoraon, hasangapon,

dan hagabeon. Hamoraon, hasangapon, dan hagabeon merupakan tiga tujuan hidup masyarakat Batak Toba yang harus terpenuhi (Harahap dan Siahaan, 1987).

Prinsip keturunan patrilineal merupakan prinsip keturunan yang berlaku

pada masyarakat Batak Toba. Anak laki-laki (selanjutnya disebut anak) akan

mendominasi semua aspek kehidupan dalam masyarakat Batak Toba (Vergouwen,

1964). Bagi seorang wanita atau ibu khususnya, anak dianggap sebagai sosok

yang bertanggung jawab dalam keluarga seperti tanggung jawab yang dimiliki

(27)

nilai tersebut melahirkan suatu adat di tengah-tengah masyarakat Batak Toba

bahwa orang tua yang sudah lansia diharuskan tinggal dengan anak. Kekukuhan

adat ini mendorong janda lansia untuk tinggal dengan anak dan diharapkan agar

setiap tujuan hidup yaitu hamoraon, hasangapon, dan hagabeon dapat tercapai pada diri janda lansia tersebut.

Lingkungan tempat tinggal baru dan keluarga anak baik anak, menantu perempuan (selanjutnya disebut “parumaen”), dan cucu (selanjutnya disebut

“pahompu”) menjadi suatu tantangan bagi seorang janda lansia. Seorang janda

lansia dituntut untuk mampu merealisasikan dirinya setelah berada di rumah anak.

Seseorang yang mampu merealisasikan dirinya adalah mereka yang mengalami

pertumbuhan dan mampu memenuhi kebutuhannya (Ryff & Singer, 2006).

Kemampuan merealisasikan diri merupakan poin penting penentu psychological

well-being (Ryff & Singer, 2006). Psychological well-being berupa perasaan yang mengarahkan seseorang bertindak dan kemampuan untuk mengembangkan

potensi yang terdapat dalam dirinya (Walterman, 1984 dalam Ryff, 1989).

Psychological well-being berfokus pada perkembangan manusia dan eksistensi seseorang dalam menghadapi tantangan hidup (Keyes, Ryff, Shmotkin,

2002). Setelah tinggal di rumah anak, banyak tantangan yang diperoleh seorang

janda lansia yang dapat mempengaruhi psychological well-being mereka. Salah

satu tantangan tersebut adalah janda lansia sulit dalam menyesuaian diri terhadap

anak yang dalam hal ini keluarga anak dan sulit memahami kebutuhan dan

keadaannya (Hurlock, 2000). Selain itu, seorang janda lansia juga mengalami

(28)

lainnya (Hurlock, 2000). Kepada anak, janda lansia seringkali tidak melepaskan

peran otoriternya sehingga tidak jarang ditemukan perselisihan antara janda lansia

dan pasangan anaknya yaitu parumaen (Degenova, 2008).

Tinggal dengan keluarga anak tidak jarang membuat janda lansia khawatir

akan keadaan keluarga anak sehingga dirinya akan membantu kesulitan keluarga

anak (Degenova, 2008). Sebagai seorang nenek, janda lansia juga dituntut untuk mempersiapkan pahompu untuk masa depannya yang lebih baik (Degenova, 2008). Tantangan lain yang dihadapi oleh seorang janda lansia adalah pensiun

dimana dirinya kehilangan status, peran, dan prestasi yang dicapainya selama ini

(Hurlock, 2000). Setiap tantangan ini tentu akan berdampak pada psychological

(29)

E. PARADIGMA BERPIKIR

Janda Lansia Suku Batak Toba yang Tinggal dengan Anak

(Anak Laki-Laki)

Kemampuan untuk merealisasikan diri

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

1. Penerimaan Diri

2. Hubungan Positif dengan Orang Lain 3. Otonomi

: Faktor yang Mempengaruhi Variabel yang Diteliti

Referensi

Dokumen terkait

Honorarium Pengelola Keuangan ( Penguna Anggaran, Bendahara Pengeluaran, Pembantu Bendahara Pengeluaran, Bendahara Penerimaan, Bendahara Gaji, Penyimpanan Barang, Pengurus

Maka hipotesis kesepuluh yang menyatakan bahwa ROA secara persial memiliki pengaruh positive yang signifikan terhadap CAR pada Bank Umum Swasta Nasional Non

menjadi subjek dengan komitmen politik yang menjadikan dunia sebagai ruang hidup.. bersama

Namun, faktor yang memengaruhi kemampuan koneksi matematis mahasiswa dalam menyelesaikan masalah open ended tidak hanya kecerdasan linguistik, melainkan juga faktor

Aspek pemahaman diukur melalui test tertulis, aspek aplikasi/portfolio diukur melalui tugas tersetruktur berupa hasil rancangan.. aspek analisis diukur melalui test tertulis

4.0 KEMAHIRAN YANG DIUKUR DALAM UJIAN APTITUD AM TAHUN 3. Kemahiran yang diukur dalam Ujian Aptitud Am Tahun

Responden dalam penelitian tentang Hubungan Persepsi Pengguna Layanan Tentang Mutu Pelayanan Unit Rawat Inap VIP (Gryatama) Dengan Minat Pemanfaatan Ulang di BRSU

Pengaruh Ekstrak Etanolik Biji Kelor (Moringa oleifera, Lam.) terhadap Ekspresi ICAM-1 pada Arteri Carotis Interna dan Jaringan Otak Tikus Putih (Rattus