• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Usia dan Letak Tumor pada Pasien RSUP Haji Adam Malik Medan Periode 2013-2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Antara Usia dan Letak Tumor pada Pasien RSUP Haji Adam Malik Medan Periode 2013-2015"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh :

MAISARA BINTI HISHAMUDIN 120100423

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

HUBUNGAN ANTARA USIA DAN LETAK TUMOR PADA PASIEN KANKER KOLOREKTAL DI RSUP HAJI ADAM MALIK PERIODE 2013-2015

KARYA TULIS ILMIAH

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :

MAISARA BINTI HISHAMUDIN 120100423

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Nama : Maisara Binti Hishamudin

NIM

:120fi0423

(dr.Ilhamd, Sp.PD)

NIP : 196604231996031001

Mengetahui:

Penguji

I

Pohan, Sp.B)

NIP : 19780107200501100t

Penguji

II

(dr. Nindia Sugih Arto, Sp.PK) rr[P : 198309092009122002 Pembimbing

g=-Universitas Sumatera Utara Faknltas Kedokteran

Dekan

(4)

ABSTRAK

Kanker kolorektal adalah suatu penyakit neoplasma yang ganas yang berasal atau tumbuh di dalam struktur saluran usus besar (kolon) dan atau rektum dan didefinisikan sebagai keganasan yang terjadi pada usus besar, yang merupakan bagian dari sistem pencernaan. Menurut WHO, kanker kolorektal menduduki peringkat keempat jenis kanker yang paling sering terjadi di dunia manakala di Indonesia, kanker kolorektal menempati urutan ke tiga setelah kanker lain. . Info yang didapatkan dari DEPKES menyatakan kanker kolorektal menempati urutan ketiga kanker tersering di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara usia dan letak tumor pada pasien kanker kolorektal. Desain penelitian adalah cross sectional. Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah

consecutive sampling yaitu penderita kanker kolorektal di RSUP Haji Adam Malik Medan dari 2013 hingga 2015. Didapatkan 75 sampel yang memenuhi kriteria pemilihan sampel, dimana pasien kanker kolorektal berjenis kelamin laki-laki lebih banyak sedikit berbanding perempuan yaitu 42 kasus (56,0%) dan 33 kasus ( 44,0%). Pasien dengan usia di atas 60 tahun lebih banyak didiagnosa kanker kolorektal yaitu sebanyak 29 kasus (38,7%). Lokasi tumor di bagian kiri kolorektum paling banyak yaitu 67 kasus (89,3%). Nilai signifikan dari uji Fisher’s Exact Test adalah 0,369 ( p > 0,05 ) dan uji korelasi dan uji regresi masing-masing R=0,076 dan p=0,478. Kesimpulan penelitian adalah kanker kolorektal banyak ditemukan pada usia dekade ke-5. Lokasi terbanyak adalah rektum. Penelitian mendapatkan tiada hubungan bermakna antara usia dan letak tumor pada pasien kanker kolorektal.

(5)

ABSTRACT

Colorectal cancer is a disease in which malignant neoplasm derived or grown within the structure of the large intestine (colon) or rectum and is defined as a malignancy that occurs in the large intestine, which is part of the digestive system. According to WHO, colorectal cancer ranks fourth in cancer types most common in the world when in Indonesia, colorectal cancer ranks third after another cancer. , Information obtained from the DEPKES stated colorectal cancer ranks third most common cancer in Indonesia. The aim of this study is to determine whether there is a relationship between the age and location of the tumor in patients with colorectal cancer. The study design was cross-sectional. The sampling technique used is sampling consecutive patients with colorectal cancer in RSUP Haji Adam Malik from 2013 to 2015. It was found 75 samples that suitable with the selection criteria of the sample, which colorectal cancer patients male sex more slightly versus women, namely 42 cases ( 56.0%) and 33 cases (44.0%). Patients over the age of 60 years are more diagnosed with colorectal cancer as many as 29 cases (38,7%). The highest tumor location is at left side (distal) colorectal are the highest with 67 cases (89,3%). Value of the significant for Fisher’s Exact Test is 0,369 (p> 0.05) meanwhile in correlation test and regression test are R= 0,076 dan p= 0,478 . In conclusion, colorectal cancer found in the 5th decade of age. The location most was the left side. Studies have shown there is no significant relationship between age and loca tion of the tumor in patients with colorectal cancer.

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan tugas Karya Tulis Ilmiah ini karena berkah dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tak lupa shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.

Karya Tulis Ilmiah ini diberi judul “ Hubungan Antara Usia dan Letak Tumor pada Pasien Kanker Kolorektal di RSUP Haji Adam Malik Periode 2013-2015” disusun sebagai rangka memenuhi syarat untuk gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, peneliti berharap semoga Karya Tulis Ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.

Dalam penelitian Karya Tulis Ilmiah ini, peneliti mendapatkan bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara,

2. Dekan Fakultas Kedokteran USU yang telah menyediakan sarana dan prasarana sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik,

3. Dosen pembimbing, dr. Ilhamd Sp.PD, yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing kami dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini,

4. Penguji I, dr. Pimpin Utama Pohan, Sp.B, penguji II, dr. Nindia Sugih Arto, Sp.PK dan staf/karyawan Fakultas Kedokteran USU yang telah banyak membantu peneliti dalam menyelesaikan penelitian,

(7)

5. Teman-teman mahasiswa Stambuk 2012 Fakultas Kedokteran USU yang telah sama-sama berjuang dan saling memberikan dukungan dalam proses menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini,

6. Serta pihak lain yang tidak mungkin kami sebutkan satu-persatu atas bantuannya secara langsung maupun tidak langsung sehingga Proposal Karya Tulis ini dapat terselesaikan dengan baik.

Akhirnya peneliti mengharapkan semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat membawa manfaat terutama bagi peneliti snedir dan para pembaca sekalian.

Medan, 23 Disember 2015 Peneliti,

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ………. i

Halaman Pegesahan ……… ii

Abstrak ………. iii

Abstract ………. iv

Kata Pengantar ………. v

Daftar Isi ……… vii

Daftar Tabel ….………. xi

Daftar Gambar ………. xii

Daftar Lampiran ……….. xiii

Daftar Singkatan ……….. xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ………. 1

1.1 Latar Belakang ……… 1

1.2 Rumusan Masalah ……….. 3

1.3 Hipotesis ………. 3

1.4 Tujuan Penelitian ……… 3

1.4.1. Tujuan Umum ………. 3

1.4.2. Tujuan Khusus ……… 3

1.5 Manfaat Penelitian ………. 3

1.5.1. Manfaat Peneliti ………. 3

(9)

1.5.3. Manfaat Masyarakat ……… 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ……….. 5

2.1 Anatomi Kolon dan Rektum ……….. 5

2.2 Fisiologi Kolon dan Rektum …….………. 7

2.3 Pengertian Kanker Kolorektal ……… 12

2.4 Etiologi ……… 13

2.5 Epidemiologi ……….. 15

2.6 Faktor Risiko ……….. 16

2.6.1. Faktor Genetik / Riwayat Keluarga ……… 16

2.6.2. Riwayat Kesehatan ………. 17

2.6.3. Aktivitas Fisik ………. 18

2.6.4. Obesitas ………... 19

2.6.5. Diet ……….. 20

2.6.6. Merokok ……….. 21

2.6.7 Alkohol ………. 21

2.6.8 Riwayat Obat ……… 21

2.6.9 Usia ………... 22

2.6.10 Jenis Kelamin ……….. 23

2.6.11 Suku / Ras ………... 23

2.7 Patofisiologi Kanker Kolorektal ……….. 24

2.8 Jenis-jenis Kanker di Kolon dan Rektum ………... 25

2.9 Klasifikasi ……… 25

2.9.1 Staging ……….. 25

(10)

2.9.3 TMN Staging System……… 26

2.10 Tanda dan Gejala ……… 33

2.11 Penegakan Diagnosa ……… 34

2.11.1 Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik ……….... 34

2.11.1.1 Pemeriksaan Rektum ………. 34

2.11.2 Pemeriksaan Laboratorium ……… 35

2.11.2.1 CEA ……… 35

2.11.2.2 CA 19-9 ……….. 36

2.11.3 Pemeriksaan Penunjang ………. 36

2.11.3.1 Fleksibel Sigmoidoskopi ………. 36

2.11.3.2 Pemeriksaan Barium Enema dengan Kontras Udara .……… 37

2.11.3.3 Kolonoskopi ……… 37

2.11.3.4 Biopsi ……….. 38

2.11.3.5 Pencitraan / Imaging……… 38

2.11.4 Screening / Penapisan Kanker Kolorektal …………. 39

2.11 Penatalaksanaan ……… 39

BAB 3 KERANGKA OPERASIONAL DAN DEFINISI OPERASIONAL………... 42

3.1 Kerangka Operasional ……… 42

3.2 Definisi Operasional ……… 42

BAB 4 METODE PENELITIAN ……….. 44

4.1 Jenis Penelitian ……… 44

(11)

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ………. 44

4.3.1 Populasi ………. 44

4.3.2 Sampel ……… 44

4.4 Metode Pengumpulan Data ……… 45

4.5 Metode Pengolahan dan Analisa Data ……… 45

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 46

5.1 Hasil Penelitian ……….. 46

5.1.1 Deskriptif Umum Lokasi Penelitian ……….. 46

5.1.2 Deskripsi Data Penelitian …….……….. 46

5.1.3. Analisis Deskriptif ……… 47

5.1.4. Hasil Analisis Data ………. 49

5.1.4.1 Uji Normalitas Data ……… 49

5.1.4.2 Analisis Chi-Square Hubungan Usia dan Letak Tumor ……… 49

5.1.4.3 Analisis Bivariat Korelasi ……….. 49

5.2 Pembahasan ………. 51

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ……… 54

6.1 Kesimpulan ……….. 54

6.2 Saran ……… 54

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 3.2 Definisi Operasional ………. 42

Tabel 5.1 Distribusi Jenis Kelamin,Usia dan Letak

Tumor pada Pasien Kanker Kolorektal …………. 47

Tabel 5.2 Distribusi Letak Tumor Pada Pasien Kanker

Kolorektal ……….. 48

Tabel 5.3 Analisa Hubungan Usia dan Letak Tumor pada

Pasien Kanker Kolorektal ……… 49

Tabel 5.4 Analisa Bivariat Korelasi Hubungan Usia dan

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.9.3 Sistem TMN Staging untuk Klasifikasi Dukes

( Bastheda, 2005 ) ……… 33

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul

Lampiran 1 Data Catatan Medik Pasien

Lampiran 2 Frequencies

Lampiran 3 Descriptives

Lampiran 4 Crosstabs

Lampiran 5 Nonparametric Correlation

Lampiran 6 Regression

Lampram 7 Explore

Lampiran 8 Riwayat Hidup

(15)

DAFTAR SINGKATAN

AI American Indian

AJCC American Joint Committee on Cancer

ANS Alaskan North Slope

APC Adenomatous Poliposis Coli

API Asean Pasific Island

AS Amerika Serikat

ASR Age Standardized Rate

CEA Carcinoembrionic Antigen

Cl⁻ Ion Klorida

cm centimeter

CT Computed Tomography

DCBE Double-Contrast Barium Enema

DCC Deleted In Carcinoma Colon

Depkes Departemen Kesehatan

DMMR Deficient Mismatch Repair

DNA Deoxyribonucleic acid

FAP Familial Adenomatous Polyposis

FKUI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

FOBT Fecal Occult Blood Test

GISTs Gastrointestinal Stroma Tumor’s

HCl Hidrogen Klorida

(16)

HNPPC Hereditary Non-Polyposis Colorectal Cancer

hPMS 1,2 hMLH Post-meiotic segregation 1,2

H2O Air ( water )

ICD International Classification of Disease

KKR Kanker Kolorektal

K-ras V-Ki-ras2 Kristen rat sarcoma viral oncogene homolog

LOH Loss Of Heterozygocity

MRI Magnetic Resonance Imaging

NaHCO3 Natrium bikarbonat

NSAID Non Steroid Anti-Inflammation Drugs

OAINS Obat Anti-Inflamasi Non Steroid

PET Positron Emission Tomography

PMS 2 Post-meiotic segregation 2

P53 Tumor Protein-53

RER Replication Error

RSUP Rumah Sakit Umum Pusat

RSUPHAM Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik

USG Ultrasonografi

USU Universitas Sumatera Utara

(17)

ABSTRAK

Kanker kolorektal adalah suatu penyakit neoplasma yang ganas yang berasal atau tumbuh di dalam struktur saluran usus besar (kolon) dan atau rektum dan didefinisikan sebagai keganasan yang terjadi pada usus besar, yang merupakan bagian dari sistem pencernaan. Menurut WHO, kanker kolorektal menduduki peringkat keempat jenis kanker yang paling sering terjadi di dunia manakala di Indonesia, kanker kolorektal menempati urutan ke tiga setelah kanker lain. . Info yang didapatkan dari DEPKES menyatakan kanker kolorektal menempati urutan ketiga kanker tersering di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara usia dan letak tumor pada pasien kanker kolorektal. Desain penelitian adalah cross sectional. Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah

consecutive sampling yaitu penderita kanker kolorektal di RSUP Haji Adam Malik Medan dari 2013 hingga 2015. Didapatkan 75 sampel yang memenuhi kriteria pemilihan sampel, dimana pasien kanker kolorektal berjenis kelamin laki-laki lebih banyak sedikit berbanding perempuan yaitu 42 kasus (56,0%) dan 33 kasus ( 44,0%). Pasien dengan usia di atas 60 tahun lebih banyak didiagnosa kanker kolorektal yaitu sebanyak 29 kasus (38,7%). Lokasi tumor di bagian kiri kolorektum paling banyak yaitu 67 kasus (89,3%). Nilai signifikan dari uji Fisher’s Exact Test adalah 0,369 ( p > 0,05 ) dan uji korelasi dan uji regresi masing-masing R=0,076 dan p=0,478. Kesimpulan penelitian adalah kanker kolorektal banyak ditemukan pada usia dekade ke-5. Lokasi terbanyak adalah rektum. Penelitian mendapatkan tiada hubungan bermakna antara usia dan letak tumor pada pasien kanker kolorektal.

(18)

ABSTRACT

Colorectal cancer is a disease in which malignant neoplasm derived or grown within the structure of the large intestine (colon) or rectum and is defined as a malignancy that occurs in the large intestine, which is part of the digestive system. According to WHO, colorectal cancer ranks fourth in cancer types most common in the world when in Indonesia, colorectal cancer ranks third after another cancer. , Information obtained from the DEPKES stated colorectal cancer ranks third most common cancer in Indonesia. The aim of this study is to determine whether there is a relationship between the age and location of the tumor in patients with colorectal cancer. The study design was cross-sectional. The sampling technique used is sampling consecutive patients with colorectal cancer in RSUP Haji Adam Malik from 2013 to 2015. It was found 75 samples that suitable with the selection criteria of the sample, which colorectal cancer patients male sex more slightly versus women, namely 42 cases ( 56.0%) and 33 cases (44.0%). Patients over the age of 60 years are more diagnosed with colorectal cancer as many as 29 cases (38,7%). The highest tumor location is at left side (distal) colorectal are the highest with 67 cases (89,3%). Value of the significant for Fisher’s Exact Test is 0,369 (p> 0.05) meanwhile in correlation test and regression test are R= 0,076 dan p= 0,478 . In conclusion, colorectal cancer found in the 5th decade of age. The location most was the left side. Studies have shown there is no significant relationship between age and loca tion of the tumor in patients with colorectal cancer.

(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kanker kolorektal adalah suatu penyakit neoplasma yang ganas yang berasal atau tumbuh di dalam struktur saluran usus besar (kolon) dan atau rektum dan didefinisikan sebagai keganasan yang terjadi pada usus besar, yang merupakan bagian dari sistem pencernaan. Kanker berkembang jauh lebih sedikit dalam usus kecil berbanding di kolon atau rektum (kolorektum). Usus kecil bergabung dengan usus besar di perut bagian kanan bawah (American Cancer Society, 2014). Kanker kolorektal tumbuh secara perlahan, dijangka sekitar 10 tahun ke 20 tahun. Umumnya, karsinoma kolon jarang ditemukan sebelum umur 40 tahun kecuali bila mereka merupakan komplikasi dari penyakit kolitis ulseratif, kolitisgranulomatosa, poliposis multipel familial, sindrom Gardner, dan sindrom Turcot (Mochamad Aleq Sander, 2009). Secara umum didapatkan kejadian kanker kolorektal meningkat tajam setelah usia 50 tahun ( Murdani Abdullah, 2009 ).

(20)

penduduk. Penyakit tersebut banyak ditemukan di Amerika Utara, Australia, Selandia Baru dan sebagian Eropa. Kejadian beragam di antara berbagai populasi etnik, rasa tau populasi multietnik / multi rasial (Murdani Abdullah, 2009). Berdasarkan perhitungan oleh The American Cancer Society (ACS), terdapat 136,830 kasus kanker kolorektal dan terjadi 50,130 kematian.

Di Indonesia, seperti yang diteliti oleh Anis Kurahmawati (2012), sampel dengan kelompok usia paling banyak pada kelompok kasus adalah > 60 tahun yakni 43,3% dan distribusi jenis kelamin laki-laki lebih tinggi berbanding perempuan sabanyak 76,7% dan 23,3%. Berbeda dengan penelitian oleh Mochamad Aleq Sander (2009), mendapatkan pasien perempuan lebih tinggi berbanding laki-laki yaitu 54,6% dan 45,4%. Namun didapat dari penelitian beliau bahwa pasien dengan yang berusia di bawah 40 tahun memiliki kasus sebanyak 19 (11,7%) dan di atas 55 tahun sebanyak 61 kasus (37,4%), serta lokasi tumor paling banyak adalah di rektum yaitu 33 kasus (20,2%).

Oleh itu, penelitian hubungan antara usia dan letak tumor pada pasien kanker kolorektal dapat dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat sebagai pertimbangan melakukan pengobatan dan secara khusus bagi rumah sakit bermanfaat sebagai bahan evaluasi penyusunan program layanan kesehatan dan prosedur kerja. Hal ini mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang hubungan usia dan letak tumor pada pasien kanker kolorektal dengan interval usia < 39 tahun, 40-49 tahun, 50-59 tahun dan > 60 tahun, serta letak tumor dengan pembagian kanan dan kiri. Selain itu, memperhitungkan jumlah variable lain yang berasal dari faktor penderita, faktor pengobatan, dan dari sel kanker itu sendiri di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUPHAM) Medan. Dipilihnya RSUPHAM sebagai tempat penelitian karena rumah sakit tersebut merupakan pusat rujukan pasien kanker kolorektal di Medan.

(21)

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu bagaimanakah hubungan antara usia dan letak tumor pada pasien kanker kolorektal di RSUP Haji Adam Malik periode 2013-2015?

1.3 HIPOTESIS

Atas mempertimbangkan landasan teori yang akan dikemukakan, maka hipotesis penelitian ini adalah ada hubungan usia dan letak tumor pada pasien kanker kolorektal di RSUP Haji Adam Malik periode 2013-2015.

1.4 TUJUAN PENELITIAN 1.4.1 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan antara usia dan letak tumor pada pasien kanker kolorektal di RSUP Haji Adam Malik Periode 2013-2015.

1.4.2 Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui distribusi pasien kanker kolorektal berdasarkan usia. b. Untuk mengetahui distribusi pasien kanker kolorektal berdasarkan letak

tumor.

1.5 MANFAAT PENELITIAN 1.5.1 Manfaat Peneliti

(22)

dalam menerapkan ilmu yang telah didapatkan selama masa perkuliahan khususnya dalam melakukan penelitian ini.

1.5.2 Manfaat Institut

Sebagai bahan masukan dan memberikan informasi kepada pihak Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik terutama pembuat keputusan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dalam perawatan dan pengobatan bagi penderita kanker kolorektal.

1.5.3 Manfaat Masyarakat

(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI KOLON DAN REKTUM

Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1,5 m (5 kaki) yang terbentang dari sekum sehingga kanalis ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil yaitu sekitar 6,5 cm (2,5 inci), tetapi makin dekat anus diameternya semakin kecil.

Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam usus halus. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asenden, transversum, desenden, dan sigmoid. Tempat kolon membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut disebut sebagai fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliakan dan membentuk lekukan berbentuk-S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Bagian usus besar terakhir disebut sebagai rektum dan membentang dari kolon sigmoid hingga anus (muara dari bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani ekternus dan internus. Panjang rektum dan kanalis ani adalah sekitar 15cm (5,9 inci).

(24)

sigmoid distal, sehingga rektum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang lengkap. Panjang taenia lebih pendek daripada usus, sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang disebut sebagai haustra. Apendises epiploika adalah kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak dan melekat sepanjang taenia. Lapisan mukosa usus besar jauh lebih tebal daripada lapisan mukosa usus halus dan tidak mengandung vili atau rugae. Kripte Lieberkuhn (kelenjar intestinal) terletak lebih dalam dan mempunyai lebih banyak sel goblet dibandingkan dengan usus halus.

Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan belahan kanan berdasarkan pada suplai darah yang diterima. Arteria mesentrika superior mendarahi belahan kanan (sekum, kolon asendens, dan dua pertiga proksimal kolon transversum), dan arteria mesentrika inferior mendarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens, kolon sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Suplai darah tambahan ke rektum berasal dari arteri hemoroidalis media dan inferior yang dicabangkan dari arteria iliaka interna dan aorta abdominalis.

Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior adalah melalui vena mesenterika superioir, vena mesenterika inferior, dan vena hemoradialis superior (bagian sistem portal yang mengalirkan darah ke hati). Vena hemoradialis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka sehingga merupakan bagian sirkulasi sistemik. Terdapat anostomosis antara vena hemoradialis superior, media, dan inferior, sehingga tekanan portal yang meningkat dapat menyebabkan terjadinya aliran balik ke dalam vena dan mengakibatkan hemoroid.

(25)

bersinaps dalam ganglia seliaka dan aortikorenalis, kemudian serabut pasca ganglionik menuju kolon. Rangsangan simpatis menghambat sekresi dan kontraksi, serta merangsang sfingter rektum. Rangsangan parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan (Emilia et al, 2002).

2.2 FISIOLOGI KOLON DAN REKTUM

Kolon adalah organ pengering dan penyimpan. Kolon normalnya menerima sekitar 500 ml kimus dari usus halus per hari. Karena sebagian besar pencernaan dan penyerapan telah diselesaikan di usus halus maka isi yang disalurkan ke kolon terdiri dari residu makanan yang tak tercerna (misalnya selulosa), komponen empedu yang tidak terserap, dan cairan. Kolon mengekstraksi H2O dan garam dari isi lumennya.

Apa yang tertinggal dan akan dikeluarkan disebut feses (tinja). Fungsi utama usus besar adalah untuk menyimpan tinja sebelum defekasi. Selulosa dan bahan lain yang tak tercerna di dalam diet membentuk sebagian massa dan karenanya membantu mempertahankan keteraturan buang air.

Kontraksi haustra secara perlahan menganduk isi kolon maju-mundur. Lapisan otot polos longitudinal luar tidak mengelilingi usus besar secara penuh. Lapisan ini terdiri dari tiga pita otot longitudinal yang terpisah, taeniae coli, yang berjalan di sepanjang usus besar. Taeniae coli ini lebih pendek daripada otot polos sirkular dan lapisan mukosa dibawahnya jika kedua lapisan ini dibentangkan datar. Karena itu, lapisan-lapisan dibawahnya disatukan membentuk kantung atau haustra. Haustra bukanlah sekedar kumpulan permanen yang pasif; haustra secara aktif berganti lokasi akibat kontraksi lapisan otot polos sirkular.

(26)

dapat mencapai tiga puluh menit, sementara kontraksi segmentasi di usus halus bergantung dengan frekuensi 9 sampai 12 kali per menit. Lokasi kantung haustra secara bertahap berubah sewaktu segmen yang semula melemas dan membentuk kantung mulai berkontraksi secara perlahan sementara bagian tadinya berkontraksi melemas secara bersamaan untuk membentuk kantung baru. Gerakan ini tidak mendorong isi usus tetapi secara perlahan mengaduknya maju-mundur sehingga isi kolon terpajan ke mukosa penyerapan. Kontraksi haustra umumnya dikontrol oleh refleks-refleks lokal yang melibatkan pleksus instrinsik.

Gerakan massa mendorong tinja bergerak jauh. Tiga atau empat kali sehari, umumnya setelah makan, terjadi peningkatan mencolok motilitas saat segmen-segmen besar kolon asenden dan transversum berkontraksi secara simultan, mendorong tinja sepertiga sampai tiga perempat panjang kolon dalam beberapa detik. Kontraksi massif ini, yang secara tepat dinamai gerakan massa, mendorong isi kolon ke bagian distal usus besar, tempat bahan disimpan terjadi defekasi.

Ketika makanan masuk ke lambung, terjadi refleks gastrokolon yang diperantarai dari lambung ke kolon oleh gastrin dan saraf otonom ekstrinsik, yang menjadi pemicu utama gerakan massa di kolon. Pada banyak orang, refleks ini paling jelas setelah sarapan dan sering diikuti oleh keinginan untuk buang air besar. Karena itu, ketika makanan masuk ke saluran cerna, terpicu refleks-refleks yang memindahkan isi yang sudah ada ke bagian distal untuk menyediakan tempat bagi makanan yang baru masuk. Efek gastroileum memindahkan isi usus halus yang masih ada ke dalam usus besar, dan efek gastrokolon mendorong isi kolon ke dalm rektum, memicu refleks defekasi.

(27)

sigmoid berkontraksi lebih kuat. Jika sfingter ani eksternus (yaitu otot rangka) juga melemas maka defekasi. Karena otot rangka, sfingter ani eksternus berada di bawah kontrol volunter. Perengangan awal dinding rektum disertai oleh timbulnya rasa ingin buang air besar. Jika keadaan ini memungkinkan defekasi maka pengencangan sfingter ani eksternus secara sengaja dapat menjegah defekasi meskipon refleks defekasi telah aktif. Jika defekasi ditunda maka dinding rektum yang semula teregang secara perlahan melemas, dan keinginan untuk buang air besar mereda sampai gerakan massa berikutnya mendorong lebih banyak tinja ke dalam rektum dan kembali meregang rektum secara memicu refleks defekasi. Selama periode inaktivitas, kedua sfingter tetap berkontraksi untuk menjamin kontinensia tinja.

Jika defekasi terjadi biasanya dibantu oleh gerakan mengejan volunter yang melibatkan kontraksi otot abdomen dan ekspirasi paksa dengan glottis tertutup secara bersamaan. Tindakan ini sangat meningkatkan tekanan intra abdomen, yang membantu mendorong tinja.

Terjadi konstipasi jika tinja terlalu kering. Jika defekasi ditunda terlalu lama makan dapat terjadi konstipasi (sembelit). Ketika isi kolon tertahan lebih lama daripada normal maka H20 yang diserap dari tinja meningkat sehingga tinja menjadi

(28)

distensi berkepanjangan usus besar, terutama rektum ; gejala segera hilang setelah peregangan mereda.

Kemungkinan penyebab tertundanya defekasi yang dapat menimbulkan konstipasi mencakup (1) mengabaikan keinginan untuk buang air besar; (2) berkurangnya motilitas kolon karena usia, emosi, atau diet rendah serat; (3) obstruksi gerakan feses di usus besar oleh tumor lokal atau spasme kolon; dan (4) gangguan reflkes defekasi, misalnya karena cedera jalur-jalur saraf yang terlibat.

Sekresi usus besar seluruhnya bersifat protektif. Usus besar tidak mengeluarkan enzim pencernaan apapun. Tidak ada yang diperlukan karena pencernaan telah selesai sebelum kimus mencapai kolon. Sekresi kolon terdiri larutan mucus basa (NaHCO3) yang berfungsi adalah melindungi mukosa usus besar dari

cedera mekanis dan kimiawi. Mucus menghasilkan pelumasan untuk mempermudah feses bergerak, sementara NaHCO3 menetralkan asam-asam iritan yang diproduksi

oleh fermentasi bakteri lokal. Sekresi meningkat sebagai respon terhadap simulasi mekanis dan kimiawi mukosa kolon yang diperantarai oleh refleks pendek dan persarafan parasimpatis. Tidak terjadi pencernaan di usus besar karena tidak terdapat enzim pencernaan. Namun, bakteri kolon mencerna sebagian dari selulosa untuk kepentingan mereka.

(29)

bakteri yang berbeda hidup di kolon. Mikroorganisme kolon ini biasanya tidak sahaja membahayakan tetapi pada kenyataannya dapat bermanfaat. Sebagai contoh, bakteri penghuni (1) meningkatkan imunitas usus dengan berkompetisi memperebutkan nutrien dan ruang dengan mikroba yang berpotensi patogen; (2) mendorong motilitas kolon; (3) membantu memelihara integritas mukosa kolon; dan (4) memberi kontribusi nutrisi. Sebagai contoh, bakteri mensistesis vitamin K yang dapat diserap dan meningkatkan keasaman kolon sehingga mendorong penyerapan kalsium, magnesium, dan seng. Selain itu, berbeda dari anggapan sebelumnya, sebagian dari glukosa yang dibebaskan selama pemprosesan serat makanan oleh bakteri diserap oleh mukosa kolon.

Usus besar menyerap garam dan air, mengubah isi lumen menjadi feses. Sebagian penyerapan berlangsung didalam kolon, tetapi dengan tingkatan yang lebih rendah daripada di usus halus. Karena permukaan lumen kolon cukup halus maka luas permukaan absorptifnya jauh lebih kecil daripada usus halus. Jika motilitas usus halus yang tinggi menyebabkan isi usus cepat masuk ke kolon sebelum absorpsi nutrien tustas maka kolon tidak dapat menyerap sebagian besar bahan ini dan bahan akan keluar sebagai diare.

Kolon dalam keadaan normal menyerap garam dan H2O. Natrium diserap

secara aktif, Cl⁻ mengikuti secara pasif menuruni gradien listrik, dan H2O mengikuti

secara osmotis. Kolon menyerap sejumlah elektrolit lain serta vitamin K yang disintesis oleh bakteri kolon.

Melalui absorpsi garam dan H2O terbentuk massa tinja yang padat. Dari 500 g

bahan yang masuk ke kolon setiap hari dari usus halus, kolon normalnya menyerap sekitar 350 ml , meninggalkan 150 g feses untuk dikeluarkan dari tubuh setiap hari. Bahan feses ini biasanya terdiri dari 100 g H2O dan 50 g bahan padat, termasuk

(30)

mengeluarkan zat sisa dari tubuh. Produk sisa utama yang di ekskresikan di tinja adalah bilirubin. Konstituen-konstituen tinja lain adalah residu makanan yang tidak terserap dan bakteri, yang sebenarnya tidak pernah menjadi sebgaian dari tubuh.

Gas usus diserap atau dikeluarkan. Kadang-kadang selain feses yang keluar dari anus, gas usus, atau flatus, juga keluar. Gas ini terutama berasal dari dua sumber : (1) udara yang tertelan (hingga 500 ml udara mungkin tertelan ketika makan) dan (2) gas yang diproduksi oleh fermentasi bakteri di kolon. Adanya gas yang mengalir melalui isi lumen menimbulkan suara berkumur yang dikenal sebagai borborigmi. Bersendawa, mengeluarkan sebagian besar udara yang tertelan dari lambung, tetapi sebagian masuk ke usus. Di usus biasanya hanya sedikit terdapat gas karena gas cepat diserap atau diteruskan ke dalam kolon. Sebagian besar gas di kolon disebabkan oleh aktivitas bakteri, dengan jumlah dan sifat gas bergantung pada jenis makanan yang dikonsumsi dan karakteristik bakteri kolon. Sebagian makanan, misalnya kacang-kacangan, mengandungi tipe-tipe karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh manusia tetapi dapat diserang oleh bakteri penghasil gas. Banyak dari gas ini yang diserap melalui mukosa usus. Sisanya dikeluarkan melalui anus.

Untuk secara selektif mengeluarkan gas ketika feses juga ada di rektum, yang bersangkutan secara sengaja mengontraksikan otot-otot abdomen dan sfingter ani eksternus secara bersamaan. Ketika kontraksi abdomen meningkatkan tekanan yang menekan sfingter ani eksternus yang menutup maka terbentuk gradien terkanan yang memaksa udara keluar dengan kecepatan tinggi melalui lubang anus yang berbentuk celah dan terlalu sempit untuk keluarnya feses. Lewatnya udara dengan kecepatan tinggi menyebabkan tepi-tepi lubang anus bergetar, menghasilkan nada rendah khas yang menyertai keluarnya gas (Sherwood, 2002).

2.3 PENGERTIAN KANKER KOLOREKTAL

(31)

adalah neoplasma ganas epithelial dengan sel-sel penyusunnya identik struktural bahkan kadang-kadang fungsional, dengan sel-sel epitel kelenjar normal pasangannya apokrin, ekrin, endokrin, dan kelenjar parenkim. Oleh WHO kanker rektum dimasukkan ke dalam International Classification of Disease (ICD) dengan kode C nomor 20 dan kanker kolon dengan kode C nomor 18.

2.4 ETIOLOGI

Perkembangan kanker kolorektal merupakan interaksi antara faktor lingkungan dan faktor genetik. Faktor lingkungan multipel beraksi terhadap predisposisi genetik atau defek yang didapat dan berkembang menjadi kanker kolorektal . Terdapat 3 kelompok kanker kolorektal berdasarkan perkembangannya, yaitu : 1) kelompok yang diturunkan (inherited) yang mencakup kurang dari 10% dari kasus kanker kolorektal; 2) kelompok sporadic, yang mencakup sekitar 70%; 3) kelompok familial, mencakup 20%.

(32)

Kanker kolorektal adalah proses penyakit multifaktorial. Faktor genetik, paparan lingkungan (termasuk diet), dan kondisi peradangan saluran pencernaan semua terlibat dalam perkembangan kanker kolorektal. Meskipun banyak tentang genetika kanker kolorektal masih belum diketahui, penelitian saat ini menunjukkan bahwa faktor genetik memiliki korelasi terbesar untuk kanker kolorektal. Mutasi keturunan dari gen APC adalah penyebab familial adenomatosa poliposis (FAP), yang mempengaruhi individu membawa resiko hampir 100% dari kanker usus sebesar usia 40 tahun.

Sindrom herediter nonpolyposis kanker usus (HNPCC, Sindrom Lynch) menimbulkan tentang risiko seumur hidup 40% untuk mengembangkan kanker kolorektal; individu dengan sindrom ini juga pada peningkatan risiko untuk kanker

urothelial, kanker endometrium, dan kanker kurang umum lainnya. Sindrom Lynch ditandai dengan deficient mismatch repair (DMMR) karena mutasi diwariskan di salah satu gen perbaikan mismatch, seperti hMLH1, hMSH2, hMSH6, hPMS1, hPMS2, dan gen yang belum ditemukan kemungkinan lainnya.

HNPCC merupakan penyebab dari sekitar 6% dari semua kanker usus besar. Meskipun penggunaan aspirin dapat mengurangi risiko kolorektal neoplasia di beberapa populasi, sebuah studi oleh Bakar et al, ditemukan tidak berpengaruh pada kejadian kanker kolorektal di operator Sindrom Lynch dengan penggunaan aspirin, pati resisten, atau keduanya.

(33)

Obesitas dan gaya hidup pilihan seperti merokok, konsumsi alkohol, dan kebiasaan menetap juga telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker kolorektal. Konsumsi alkohol yang tinggi dikaitkan dengan risiko tinggi untuk kanker kolorektal, pada individu dengan riwayat keluarga penyakit (American Society Cancer, 2014).

2.5 EPIDEMIOLOGI

Kanker kolorektal adalah kanker urutan ketiga yang banyak yang menyerang pria dengan persentase 10,0% dan yang kedua terbanyak pada wanita dengan persentase 9,2% dari seluruh penderita kanker di seluruh dunia. Hampir 55% kasus kanker kolorektal terjadi di negara maju dengan budaya barat. Adanya variasi geografis dalam insidensi di seluruh dunia dimana insidensi tertinggi diperkirakan berada di Australia dan Selandia Baru dengan Age Standardized Rate (ASR) 44,8 pada pria dan 32,2 pada wanita per 100.000. Hal ini berkaitan karena Australia dan Selandia Baru adalah negara tujuan migrasi, terdapat hubungan peningkatan resiko kanker kolorektal dibandingkan dengan populasi dari negara asal.

Kematian pasien kanker kolorektal lebih banyak terjadi di daerah yang kurang berkembang dengan persentase 52% dari jumlah kematian pasien kanker kolorektal di dunia. Tingkat kematian pasien kanker kolorektal tertinggi diperkirakan di Eropa Tengan dan Timur dengan ASR 20,3 per 100.000 untuk laki-laki dan 11,7 per 100.000 untuk perempuan. Tingkat kematian terendah terdapat di Afrika Barat dengan ASR 3,5 per 100.000 untuk laki-laki dan 3,0 per 100.000 untuk perempuan.

(34)

Perbandingan insidensi pada laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1 dan kurang 50% kanker kolon dan rektum ditemukan di rektosigmoid.

Kanker kolorektal banyak dijumpai pada usia produktif. Data kesehatan pada tahun 1996-2000 menunjukkan bahwa puncak insidensi kanker di Jakarta terjadi pada usia 40-49 tahun dan 50-69 tahun. Data lainnya dari Depkes menunjukkan insidensi kanker kolorektal dengan usia kurang dari 45 tahun pada 4 kota besar di Indonesia sebagai berikut, 47,85% di Jakarta, 54,5% di Bandung, 44,3% di Makassar dan 48.2% di Padang.

2.6 FAKTOR RISIKO

Ada banyak faktor yang diketahui yang meningkatkan atau menurunkan risiko kanker kolorektal, beberapa faktor yang dapat diubah sementara yang lain tidak. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi termasuk riwayat pribadi atau keluarga kanker kolorektal atau polip adenomatosa dan sejarah pribadi penyakit radang usus kronis. The American Cancer Society dan organisasi lain merekomendasikan bahwa beberapa orang pada peningkatan risiko untuk kanker kolorektal karena kondisi ini mulai screening pada usia lebih dini. Studi epidemiologi juga telah mengidentifikasi banyak faktor risiko yang dapat dimodifikasi untuk kanker kolorektal. Ini termasuk aktivitas fisik, obesitas, konsumsi tinggi merah dan / atau diproses daging, merokok, dan konsumsi alkohol sedang hingga berat.

2.6.1 Faktor Genetik / Riwayat Keluarga

(35)

riwayat keluarga kanker kolorektal berhubungan dengan kelangsungan hidup yang lebih baik penyakit, mungkin karena peningkatan kesadaran dan deteksi dini.

Sekitar 5% dari pasien dengan kanker kolorektal memiliki sindrom genetik yang terdefinisi dengan baik yang menyebabkan penyakit. Yang paling umum ini adalah Sindrom Lynch (juga dikenal sebagai nonpolyposis herediter kanker kolorektal). Sekitar 1 dari 35 pasien kanker kolorektal memiliki Sindrom Lynch. Meskipun individu dengan Sindrom Lynch cenderung untuk berbagai jenis kanker (misalnya, endometrium, perut, dan ovarium), risiko kanker kolorektal adalah tertinggi. Selain pencegahan melalui screening, ada bukti yang mendukung kemoprevensi antara pasien berisiko tinggi ini. Sebuah uji klinis secara acak baru-baru ini menunjukkan kanker usus 63% lebih sedikit di antara pasien Sindrom Lynch yang mengambil aspirin harian (600 mg).

Adenomatosa poliposis familial (FAP) adalah yang paling umum sindrom genetik predisposisi kedua, dan ditandai oleh perkembangan ratusan hingga ribuan polip kolorektal pada individu yang terkena. Tanpa intervensi, risiko seumur hidup dari kanker kolorektal mendekati 100% pada usia 40. Meskipun identifikasi akurat keluarga dengan riwayat kanker kolorektal dan / atau kelainan genetik predisposisi diperlukan sehingga pengujian dapat dimulai pada usia dini, penelitian telah menunjukkan dokumentasi yang keluarga sejarah kanker dalam catatan medis yang kurang dalam setengah dari pasien perawatan primer.

2.6.2 Riwayat Kesehatan

(36)

Riwayat polip adenomatosa juga meningkatkan risiko kanker kolorektal. Hal ini terutama berlaku jika polip yang besar atau jika ada lebih dari satu. Sebuah riwayat keluarga adenoma tampaknya meningkatkan risiko, meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan di daerah ini.

Orang yang memiliki penyakit radang usus kronis, sebuah kondisi di mana usus meradang selama periode waktu yang panjang, memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker kolorektal yang meningkat dengan tingkat dan durasi penyakit. Bentuk yang paling umum dari penyakit radang usus yang ulceratif kolitis dan penyakit Crohn. Diperkirakan bahwa 18% dari pasien dengan sejarah 30-tahun dari kolitis ulserativa akan mengembangkan kanker kolorektal. Namun, ada beberapa bukti bahwa risiko kanker pada pasien ini mungkin lebih rendah dalam beberapa tahun terakhir karena manajemen penyakit ditingkatkan (melalui penggunaan obat untuk mengendalikan peradangan) dan penggunaan skrining untuk mendeteksi lesi premalignant.

Banyak studi telah menemukan bahwa pasien dengan diabetes memiliki peningkatan risiko kanker kolorektal. Meskipun onset dewasa (Tipe 2) diabetes (jenis yang paling umum) dan saham kanker faktor risiko yang sama kolorektal, termasuk obesitas dan gaya hidup, asosiasi ini tetap bahkan setelah memperhitungkan aktivitas fisik, indeks massa tubuh, dan lingkar pinggang. Studi menunjukkan bahwa hubungan mungkin lebih kuat pada pria dibandingkan pada wanita. Sebuah pertumbuhan badan penelitian menunjukkan bahwa beberapa obat diabetes secara independen mempengaruhi risiko kanker kolorektal. Secara umum, pasien kanker kolorektal dengan diabetes tampaknya memiliki kelangsungan hidup sedikit lebih buruk dibandingkan pasien non-diabetes.

2.6.3 Aktivitas fisik

(37)

ilmiah menemukan bahwa yang paling aktif secara fisik orang memiliki risiko 25% lebih rendah dari kanker usus besar daripada orang-orang paling aktif. Sebaliknya, pasien kanker kolorektal yang tidak aktif memiliki risiko kematian yang lebih tinggi kanker kolorektal dibandingkan mereka yang lebih aktif. Selain itu, studi epidemiologi menemukan bahwa:

• Semakin aktif secara fisik orang, semakin rendah risiko kanker usus besar.

• Kedua aktivitas fisik rekreasi dan pekerjaan mengurangi risiko.

• Orang menetap yang menjadi aktif di kemudian hari dapat mengurangi risiko mereka.

Berdasarkan temuan ini, serta banyak manfaat kesehatan lain dari aktivitas fisik secara teratur, American Cancer Society dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit merekomendasikan terlibat dalam setidaknya 150 menit aktivitas intensitas sedang atau 75 menit aktivitas kuat intensitas setiap minggu (atau kombinasi dari ini), sebaiknya menyebar sepanjang minggu. Pada tahun 2012, hanya sekitar setengah dari orang dewasa AS bertemu pedoman ini aktivitas fisik.

2.6.4 Obesitas

(38)

2.6.5 Diet

Perbedaan geografis di tingkat kanker kolorektal dan perubahan temporal dalam resiko antara populasi imigran menunjukkan bahwa diet dan gaya hidup sangat mempengaruhi terjadinya kanker kolorektal. Meskipun penelitian ini masih mengumpulkan pada peran unsur makanan tertentu pada risiko kanker kolorektal, bukti saat ini menunjukkan bahwa:

• Konsumsi tinggi daging merah dan / atau diproses meningkatkan risiko dari kedua usus besar dan kanker rektum. Alasan hubungan ini tetap tidak jelas, tetapi mungkin terkait dengan karsinogen (zat penyebab kanker) yang terbentuk ketika daging merah dimasak pada suhu tinggi untuk jangka waktu yang panjang dan / atau aditif nitrit untuk pengawetan makanan.

• Asupan serat makanan, serat sereal, dan biji-bijian dikaitkan dengan penurunan risiko kanker kolorektal. Secara khusus, untuk setiap 10 gram konsumsi serat harian ada pengurangan 10% risiko kanker.

• Moderat buah harian dan sayuran sedikit protektif terhadap usus (tapi tidak dubur) kanker dibandingkan dengan konsumsi rendah; konsumsi yang sangat tinggi muncul untuk menambahkan manfaat tambahan sedikit.

•Konsumsi lebih tinggi dari produk keseluruhan susu, susu, dan kalsium mengurangi risiko kanker kolorektal. Efek perlindungan ini tampaknya terlepas dari kandungan lemak susu.

•Tingkat darah yang lebih tinggi dari vitamin D berhubungan dengan risiko sedikit lebih rendah terkena kanker kolorektal dibandingkan dengan tingkat darah rendah.

(39)

peningkatan kadar folat antara Amerika sebagai akibat dari fortifikasi wajib tepung diperkaya dan sereal pada tahun 1998 yang bertanggung jawab untuk dijelaskan

uptick di tingkat insiden kanker kolorektal pada akhir 1990-an. Namun, analisis terbaru dari data dari American Cancer Society Cancer Prevention Study-II

menegaskan hubungan terbalik antara jumlah folat diet dan kanker kolorektal dilaporkan pada sebelumnya.

Dengan demikian, penelitian menunjukkan bahwa setelah rekomendasi Diet Society, yang mencakup membatasi konsumsi daging merah dan olahan; makan berbagai sayuran dan buah-buahan setiap hari; dan memilih biji-bijian bukan produk biji-bijian olahan, akan membantu mengurangi risiko kanker kolorektal. Mengkonsumsi tingkat direkomendasikan kalsium juga dapat membantu menurunkan risiko.

2.6.6 Merokok

Merokok tembakau menyebabkan kanker kolorektal. Asosiasi tampaknya kuat untuk dubur dari kanker usus besar dan untuk subtipe molekul tertentu kanker kolorektal.

2.6.7 Alkohol

Kanker kolorektal telah dikaitkan dengan penggunaan alkohol moderat dan berat. Orang-orang yang memiliki rata-rata seumur hidup 2 sampai 4 minuman beralkohol per hari memiliki risiko 23% lebih tinggi dari kanker kolorektal dibandingkan mereka yang mengkonsumsi kurang dari 1 gelas per hari.

2.6.8 Riwayat Obat

(40)

populasi umum karena potensi efek samping perdarahan gastrointestinal dari aspirin dan NSAID tradisional atau serangan jantung dari selektif COX-2 inhibitor (sejenis NSAID yang umum digunakan untuk mengobati arthritis). Namun, orang-orang yang sudah mengambil NSAID untuk kondisi medis lain mungkin memiliki risiko lebih rendah terkena kanker kolorektal sebagai sisi manfaat.

Wanita yang menggunakan hormon menopause memiliki tingkat yang lebih rendah dari kanker kolorektal dibandingkan mereka yang tidak. Penurunan risiko ini terutama jelas pada wanita dengan penggunaan hormon jangka panjang, meskipun pengembalian risiko dengan yang pengguna tiada dalam waktu tiga tahun dari penghentian. Namun, penggunaan hormon menopause meningkatkan risiko kanker payudara dan kanker lainnya, serta penyakit kardiovaskular, sehingga tidak dianjurkan untuk pencegahan kanker kolorektal. Penggunaan kontrasepsi oral juga dapat dikaitkan dengan sedikit menurun risiko. Bifosfonat oral yang digunakan untuk mengobati dan mencegah osteoporosis, juga dapat mengurangi risiko.

American Cancer Society tidak merekomendasikan obat atau suplemen untuk mencegah kanker kolorektal karena ketidakpastian tentang efektivitas, dosis yang tepat, dan toksisitas potensial.

2.6.9 Usia

Usia merupakan faktor paling relevan yang mempengaruhi risiko kanker kolorektal pada sebagian besar populasi. Risiko dari kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan usia, terutama pada pria dan wanita berusia 50 tahun atau lebih dan hanya 3% dari kanker kolorektal muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun. Kebanyakan kasus kanker kolorektal didiagnosis pada usia sekitar 50 tahun dan umumnya sudah memasuki stadium lanjut sehingga

(41)

keluhan dan tanda-tanda fisik timbul sebagai bagian dari komplikasi seperti obstruksi, perdarahan invasi lokal, kaheksia. Obstruksi kolon biasanya terjadi di

kolon transversum, kolon desendens dan kolon sigmoid karena ukuran lumennya lebih kecil daripada bagian kolon yang lebih proksimal.

2.6.10 Jenis Kelamin

Secara keseluruhan, angka kejadian kanker kolorektal dan kematian sekitar 30% sampai 40% lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita. Alasan untuk ini tidak sepenuhnya dipahami, tetapi mungkin mencerminkan interaksi kompleks antara perbedaan jenis kelamin terkait paparan hormon dan faktor risiko. Perbedaan jenis kelamin dalam pola risiko juga dapat membantu menjelaskan mengapa sebagian besar tumor pada wanita yang terletak di kolon proksimal, 45% dibandingkan 36% pada pria.

2.6.11 Suku / Ras

Tingkat kanker kolorektal yang tertinggi pada pria hitam dan perempuan dan terendah di Asia / Kepulauan Pasifik (API) laki-laki dan perempuan . Selama 2006-2010, tingkat insiden kanker kolorektal pada orang kulit hitam sekitar 25% lebih tinggi daripada di kulit putih dan sekitar 50% lebih tinggi dibandingkan dengan API. Sebuah kesenjangan yang lebih besar ada untuk angka kematian kanker kolorektal, yang tingkat di kulit hitam sekitar 50% lebih tinggi daripada di kulit putih dan dua kali lipat dalam API.

(42)

2.7 PAFISIOLOGI KANKER KOLOREKTAL

Dari Medscape menjelaskan, genetik, kanker kolorektal merupakan penyakit kompleks, dan perubahan genetik sering dikaitkan dengan perkembangan dari lesi premalignant (adenoma) untuk adenokarsinoma invasif. Urutan peristiwa molekuler dan genetik yang mengarah ke transformasi dari

polip adenomatosa keganasan terbuka telah ditandai. Secara awal adalah mutasi dari APC (gen adenomatosa poliposis), yang pertama kali ditemukan pada individu dengan adenomatosa poliposis familial (TPI). Protein yang dikode oleh APC penting dalam aktivasi onkogen cmyc dan cyclin D1, yang mendorong perkembangan ke fenotipe ganas. Meskipun FAP adalah sindrom herediter terhitung hanya sekitar 1% dari kasus kanker usus besar, mutasi APC sangat sering pada kanker kolorektal sporadis.

Selain mutasi, peristiwa epigenetik seperti metilasi DNA yang abnormal juga dapat menyebabkan pembungkaman gen supresor tumor atau aktivasi onkogen. Peristiwa ini membahayakan keseimbangan genetik dan akhirnya menyebabkan transformasi maligna. Gen penting lainnya di karsinogenesis kolon meliputi onkogen KRAS, kromosom 18 hilangnya heterozigositas (LOH) yang mengarah ke inaktivasi SMAD4 (DPC4), dan DCC (dihapus dalam kanker usus besar) gen supresi tumor. Kromosom lengan 17P penghapusan dan mutasi mempengaruhi p53 tumor resistensi berunding gen supresor kematian sel terprogram (apoptosis) dan dianggap peristiwa akhir karsinogenesis kolon.

(43)

semua kanker usus besar. HMSI juga ditemukan di sekitar 20% dari kanker usus besar sporadis.

2.8 JENIS-JENIS KANKER DI KOLON DAN REKTUM

Beberapa jenis kanker dapat mulai di usus besar atau rektum.

 Adenokarsinoma: Lebih dari 95% dari kanker kolorektal adalah jenis kanker yang dikenal sebagai adenokarsinoma. Kanker ini dimulai pada sel-sel yang membentuk kelenjar yang membuat lendir untuk melumasi bagian dalam usus besar dan rektum. Ketika dokter berbicara tentang kanker kolorektal, ini hampir selalu apa yang mereka maksudkan.

Lainnya, jenis kurang umum dari tumor juga dapat mulai di usus besar dan rektum. Ini termasuk:

 Tumor karsinoid: Tumor ini mulai dari sel penghasil hormon khusus dalam usus.

 Tumor stroma gastrointestinal (GISTs): Tumor ini mulai dari sel-sel khusus pada dinding usus besar disebut sel interstitial dari Cajal. Beberapa jinak (non-kanker); lain ganas (kanker). Tumor ini dapat ditemukan di mana saja di saluran pencernaan, tetapi mereka tidak biasa di usus besar.

 Limfoma: Ini adalah kanker dari sel-sel sistem kekebalan tubuh yang biasanya mulai di kelenjar getah bening, tetapi mereka juga dapat mulai di usus besar, rektum, atau organ lainnya.

 Sarkoma: Tumor ini dapat dimulai dalam pembuluh darah serta otot dan jaringan ikat di dinding usus besar dan rektum. Sarkoma dari usus besar atau rektum jarang.

(44)

Staging tumor tidak dapat diketahui sampai setelah operasi, yaitu dengan analisis spesimen yang diambil ketika operasi oleh ahli patologi

Karakteristik yang diperhitungkan dalam sistem staging adalah:

1. Derajat penetrasi tumor melalui dinding rektum.

2. Ada atau tidaknya keterlibatan kelenjar getah bening.

3. Ada atau tidaknya metastasis jauh.

2.9.2 Klasifikasi Karsinoma Rekti menurut DUKES DukesA : Tumor tidak menembus propia muskularis

DukesB : Tumor menembus propia muskularis, mengenai jaringan ekstra tetapi

belum ada metastase ke kelenjar getah bening regional

DukesC : Didapati deposit sekunder pada kelenjar getah bening regional. ini dibagi lagi menjadi:

Duke C1 : hanya kelenjar getah bening pararektal lokal terlibat

Duke C2 : kelenjar getah bening yang menyertai suplai pembuluh

darah terlibat

Dukes D : Akhir-akhir ini, stadium D dipopulerkan oleh Turnbull.

Pada stadium ini didapati metastasis jauh, biasanya ke hepar

2.9.3 TMN Staging System

(45)

 T menggambarkan seberapa jauh utama (primer) tumor telah tumbuh ke dalam dinding usus dan apakah telah tumbuh menjadi daerah terdekat.

 N menggambarkan luasnya menyebar ke terdekat (regional) kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening adalah koleksi berbentuk kacang kecil sel sistem kekebalan yang penting dalam memerangi infeksi.

 M menunjukkan apakah kanker telah menyebar (metastasis) ke organ tubuh lainnya. (Kanker kolorektal dapat menyebar hampir di mana saja di tubuh, tetapi situs yang paling umum dari penyebaran adalah hati dan paru-paru.)

Angka atau huruf muncul setelah T, N, dan M untuk memberikan rincian lebih lanjut tentang masing-masing faktor. Angka 0 sampai 4 mengindikasikan peningkatan keparahan. Huruf X berarti "tidak dapat dinilai karena informasi ini tidak tersedia."

Kategori T untuk kanker kolorektal

 T kategori kanker kolorektal menggambarkan luasnya penyebaran melalui lapisan yang membentuk dinding usus besar dan rektum. Lapisan ini, dari dalam ke luar itu, antara lain:

 Lapisan dalam (mukosa)

 Sebuah lapisan otot tipis (mukosa muskularis)

 Jaringan fibrosa di bawah lapisan otot ini (submukosa)

 Sebuah lapisan otot tebal (muskularis propria) yang kontrak untuk memaksa isi usus bersama

 Tipis, lapisan terluar dari jaringan ikat (subserosa dan serosa) yang mencakup sebagian besar dari usus besar, tetapi tidak rektum

 Tx: Tidak ada keterangan dari batas tumor ini dimungkinkan karena informasi yang tidak lengkap.

(46)

 T1: Kanker telah tumbuh melalui mukosa muskularis dan meluas ke submukosa.

 T2: Kanker telah tumbuh melalui submukosa dan meluas ke propria muskularis (lapisan otot luar tebal).

 T3: Kanker telah tumbuh melalui propria muskularis dan ke dalam lapisan terluar dari usus besar atau rektum tapi tidak melalui mereka. Ini belum mencapai apapun organ atau jaringan di dekatnya.

 T4a: Kanker telah tumbuh melalui serosa (juga dikenal sebagai peritoneum visceral), lapisan terluar dari usus.

 T4b: Kanker telah tumbuh melalui dinding usus besar atau rektum dan melekat atau menyerang ke jaringan atau organ di dekatnya.

N kategori untuk kanker kolorektal

 Kategori N menunjukkan jika kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di dekatnya dan, jika demikian, berapa banyak kelenjar getah bening yang terlibat. Untuk mendapatkan ide yang akurat tentang keterlibatan kelenjar getah bening, kebanyakan dokter menyarankan bahwa setidaknya 12 kelenjar getah bening dihapus selama operasi dan melihat di bawah mikroskop.

 Nx: Tidak ada keterangan dari keterlibatan kelenjar getah bening ini dimungkinkan karena tidak lengkap informasi.

 N0: Tidak ada kanker di kelenjar getah bening di dekatnya.

 N1: Sel-sel kanker ditemukan di atau dekat 1 sampai 3 kelenjar getah bening terdekat

 N1A: Sel-sel kanker ditemukan di kelenjar getah bening di dekatnya 1.

(47)

 N1C: deposit Kecil sel kanker ditemukan di daerah lemak di dekat kelenjar getah bening, tapi tidak dikelenjar getah bening sendiri.

 N2: Sel-sel kanker ditemukan dalam 4 atau lebih kelenjar getah bening terdekat

 N2A: Sel-sel kanker ditemukan dalam 4 sampai 6 kelenjar getah bening di dekatnya.

 N2B: Sel-sel kanker ditemukan dalam 7 atau lebih kelenjar getah bening di dekatnya.

M kategori untuk kanker kolorektal

Kategori M menunjukkan apakah atau tidak kanker telah menyebar (metastasis) ke organ jauh, seperti hati, paru-paru, atau kelenjar getah bening jauh.

 M0: Tidak ada penyebaran jauh terlihat.

 M1a: Kanker telah menyebar ke organ jauh atau 1 set kelenjar getah bening jauh.

 M1b: Kanker telah menyebar ke lebih dari 1 organ jauh atau mengatur kelenjar getah bening yang jauh, atau telah menyebar ke bagian yang jauh dari peritoneum (selaput rongga perut)

Staging grouping

Setelah kategori T, N, dan M seseorang telah ditentukan, biasanya setelah operasi, informasi ini dikombinasikan dalam proses yang disebut tahap pengelompokkan. Panggung dinyatakan dalam angka Romawi dari tahap I (paling canggih) untuk tahap IV (paling canggih). Beberapa tahap yang dibagi dengan huruf.

Tahap 0

Tis, N0, M0: Kanker masih dalam tahap awal. Ini belum tumbuh

(48)

Tahap ini juga dikenal sebagai karsinoma in situ atau karsinoma intramukosal.

Tahap I

T1-T2, N0, M0: Kanker telah tumbuh melalui mukosa muskularis ke

submukosa

 (T1) atau juga mungkin telah tumbuh menjadi propria muskularis (T2). Ini belum menyebar ke kelenjar getah bening terdekat atau tempat yang jauh.

Tahap IIA

T3, N0, M0: Kanker telah tumbuh ke dalam lapisan terluar dari usus

besar atau rektum tapi tidak pergi melalui mereka (T3). Ini belum mencapai organ terdekat. Ini belum menyebar ke kelenjar getah bening terdekat atau tempat yang jauh.

Tahap IIB

T4a, N0, M0: Kanker telah tumbuh melalui dinding usus besar atau

rektum tapi belum tumbuh menjadi jaringan lain di dekatnya atau organ (T4a). Ini belum menyebar ke kelenjar getah bening terdekat atau tempat yang jauh.

Tahap IIC

T4b, N0, M0: Kanker telah tumbuh melalui dinding usus besar atau

rektum dan melekat atau telah tumbuh menjadi jaringan lain di dekatnya atau organ (T4b). Ini belum menyebar ke kelenjar getah bening terdekat atau tempat yang jauh.

Tahap IIIA

Salah satu berikut ini berlaku.

T1-T2, N1, M0: Kanker telah tumbuh melalui mukosa ke dalam

(49)

bening terdekat (N1A / N1B) atau ke daerah lemak di dekat kelenjar getah bening tetapi tidak node sendiri (N1c). Ini belum menyebar ke tempat yang jauh.

T1, N2a, M0: Kanker telah tumbuh melalui mukosa ke dalam

submukosa (T1). Hal ini telah menyebar ke 4 sampai 6 kelenjar getah bening terdekat (N2a). Ini belum menyebar ke tempat yang jauh.

Tahap IIIB

Salah satu berikut ini berlaku.

T3-T4a, N1, M0: Kanker telah tumbuh ke dalam lapisan terluar dari

usus besar atau rektum (T3) atau melalui peritoneum visceral (T4a) tetapi belum mencapai organ terdekat. Hal ini telah menyebar ke 1 sampai 3 kelenjar getah bening terdekat (N1A / N1B) atau ke daerah lemak di dekat kelenjar getah bening tetapi tidak node sendiri (N1c). Ini belum menyebar ke tempat yang jauh.

T2-T3, N2a, M0: Kanker telah tumbuh menjadi propria muskularis

(T2) atau ke lapisan terluar dari usus besar atau rektum (T3). Hal ini telah menyebar ke 4 sampai 6 kelenjar getah bening terdekat (N2a). Ini belum menyebar ke tempat yang jauh.

T1-T2, N2B, M0: Kanker telah tumbuh melalui mukosa ke dalam

submukosa (T1) atau juga mungkin telah tumbuh menjadi propria muskularis (T2). Hal ini telah menyebar ke 7 atau lebih kelenjar getah bening terdekat (N2B). Ini belum menyebar ke tempat yang jauh.

Tahap IIIC

Salah satu berikut ini berlaku.

T4a, N2a, M0: Kanker telah tumbuh melalui dinding usus besar atau

(50)

T3-T4a, N2B, M0: Kanker telah tumbuh ke dalam lapisan terluar dari

usus besar atau rektum (T3) atau melalui peritoneum visceral (T4a) tetapi belum mencapai organ terdekat. Hal ini telah menyebar ke 7 atau lebih kelenjar getah bening terdekat (N2B). Ini belum menyebar ke tempat yang jauh.

T4b, N1-N2, M0: Kanker telah tumbuh melalui dinding usus besar

atau rektum dan melekat atau telah tumbuh menjadi jaringan lain di dekatnya atau organ (T4b). Hal ini telah menyebar ke setidaknya satu kelenjar getah bening terdekat atau ke daerah lemak di dekat kelenjar getah bening (N1 atau N2). Ini belum menyebar ke tempat yang jauh.

Tahap IVA

Setiap T, Apa saja N, M1a: Kanker mungkin atau mungkin tidak

telah tumbuh melalui dinding usus besar atau rektum, dan itu mungkin atau mungkin tidak telah menyebar ke kelenjar getah bening di dekatnya. Hal ini telah menyebar ke organ jauh 1 (seperti hati atau paru-paru) atau mengatur kelenjar getah bening (M1a).

Tahap IVB

Setiap T, Apa saja N, M1b: Kanker mungkin atau mungkin tidak

(51)
[image:51.612.115.504.114.364.2]

Gambar 2.9.3 Sistem TMN Staging untuk Klasifikasi Dukes ( Bethesda, 2005) 2.10 TANDA DAN GEJALA

(52)

kolorektal, seperti infeksi, wasir, sindrom iritasi usus, atau penyakit inflamasi usus. Kanker kolorektal dapat menyebabkan satu atau lebih gejala di bawah ini :

 Perubahan kebiasaan buang air besar, seperti diare, sembelit, atau penyempitan tinja, yang berlangsung selama lebih dari beberapa hari

 Sebuah perasaan bahwa anda harus memiliki buang air besar yang tidak lega dengan demikian

 Rektal perdarahan

 Darah dalam tinja yang mungkin membuatnya terlihat gelap

 Kram atau perut (belly) nyeri

 Kelemahan dan kelelahan

 Penurunan berat badan yang tidak diinginkan

2.11 PENEGAKAN DIAGNOSA

2.11.1 Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik

Menanyakan tanda-tanda atau gejala yang mungkin. Menanyakan riwayat medis lengkap untuk memeriksa gejala dan faktor risiko, termasuk sejarah keluarga penderita. Untuk pemeriksaan fisik, dokter akan memeriksa bagian abdomen untuk mendeteksi ada massa atau pembesaran organ. Melakukan pemeriksaan colok dubur :

2.11.1.1 Pemeriksaan Rektum

Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan anterior, serta spina iskiadika, sakrum dan koksigeus dapat diraba dengan mudah. Metastasis intraperitoneal dapat teraba pada bagian

anterior rektum dimana sesuai dengan posisi anatomis kantong douglas

sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik. Terabanya massa abdominal menunjukkan suatu penyakit yang sudah lanjut. Pada rectal examination

(53)

a. Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah terhadap cincin anorektal, serviks uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os koksigeus.

b. Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi pembedahan lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada lapisan otot dinding rektum. Pada lesi yang sudah mengalami ulserasi lebih dalam umumnya terjadi perlekatan dan fiksasi karena penetrasi atau perlekatan ke struktur ekstrarektal seperti kelenjar prostat, buli-buli, dinding posterior vagina atau dinding anterior uterus.

2.11.2 Pemeriksaan Laboratorium

Penelitian laboratorium dilakukan dengan tujuan menilai fungsi organ pasien (hati, ginjal) untuk mengantisipasi prosedur diagnostik dan terapi dan juga untuk memperkirakan beban tumor. Studi mungkin termasuk yang berikut:

 Jumlah sel darah lengkap

 Tes fungsi hati

 Tes fungsi ginjal

 Tumor marker :

 Carcinoembrionic Antigen (CEA)  CA 19-9

2.11.2.1 CEA

CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang masuk ke dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai marker

serologi untuk memonitor status kanker kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastasis ke hepar. CEA tidak spesifik untuk

(54)

bermakna pada monitoring berkelanjutan dan berguna sebagai pertanda prognosis setelah pembedahan dan sebagai pembanding dengan nilai sebelum dilakukan operasi. Tingginya kadar CEA pre-operatifmerupakan suatu indikator prognostik yang buruk. Tingginya kadar CEA dalam serum menunjukkan bahwa kanker lebih ekstensif dan kemungkinan terjadi kekambuhan post-operatif. Setelah dilakukan reseksi kanker secara lengkap, kadar CEA serum akan turun menjadi normal, kegagalan serum CEA menjadi normal post-operatif menunjukkan reseksi yang dilakukan tidak lengkap dan masih tersisa. Nilai normal: < 5,0 ng/ml .

2.11.2.2 CA 19-9

Kegunaan pemeriksaan CA 19-9 adalah sebagai penanda tumor (tumor marker). Selain itu digunakan untuk diagnosis kanker pankreas, membantu membedakan kanker pankreas dan saluran empedu, serta kondisi non kanker seperti pankreatitis, memonitor respon terhadap terapi, memonitor prognosis kanker pankreas, pemeriksaan pendukung seperti: CEA, bilirubin, fungsi hati.

2.11.3 Pemeriksaan Penunjang

2.11.3.1 Fleksibel Sigmoidoskopi

(55)

2.11.3.2 Pemeriksaan Barium Enema dengan Kontras Udara

Penggunaan prosedur ini, yang juga Disebut Double-Contrast Barium Enema (DCBE), telah menjadi sangat jarang karena meningkatnya ketersediaan kolonoskopi. Barium sulfat diperkenalkan ke dalam usus dibersihkan melalui rektum untuk sebagian mengisi dan membuka usus besar. Air kemudian diperkenalkan untuk memperluas usus dan meningkatkan kualitas sinar-X yang diambil. Metode ini kurang sensitif dibandingkan kolonoskopi untuk memvisualisasikan polip kecil atau kanker. Jika polip atau kelainan lainnya terlihat, pasien harus dirujuk untuk kolonoskopi sehingga usus besar dapat diperiksa lebih lanjut.

2.11.3.3 Kolonoskopi

(56)

2.11.3.4 Biopsi

Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya biopsi maka sikat sitologi akan sangat berguna. Pada penelitian mengenai gambaran histologi kanker kolorektal dari tahun 1998-2001 di Amerika Serikat yang melibatkan 522.630 kasus kanker kolorektal. Didapatkan gambaran histopatologi dari kanker kolorektal sebesar 96% berupa adenokarsinoma, 2% karsinoma lainnya (termasuk

karsinoid tumor), 0,4% epidermoid karsinoma, dan 0,08% berupa

sarkoma.

2.11.3.5 Pencitraan / Imaging

Pencitraan yang memadai dari dada dan perut harus diperoleh untuk tujuan pementasan, idealnya sebelum operasi. Perut / panggul

Computed Tomography (CT), kontras USG perut / hati, dan perut / panggul Magnetic Resonance Imaging (MRI) scan sesuai untuk pencitraan perut dan hati, untuk tujuan pementasan. Pencitraan juga mungkin termasuk rontgen dada atau CT dada scan, dan studi barium perut untuk lebih menggambarkan lesi primer sebelum operasi.

(57)

2.11.4 Screening / Penapisan Kanker Kolorektal

Penapisan (screening) merupakan suatu deteksi dini dengan melakukan investigasi pada individu asimptomatik yang bertujuan untuk mendeteksi adanya penyakit pada stadium dini dapat dilakukan tindakan kuratif. Sehingga akan berakibat menurunnya mortalitas. Dengan deteksi dini/ penapisan juga akan didapatkan lesi prekursorkanker, jika diterapi akan menurunkan insidensi kanker kolorektal.

Pemerik

Gambar

Gambar 2.9.3 Sistem TMN Staging untuk Klasifikasi Dukes ( Bethesda, 2005)
Gambar 3.1 Kerangka Operasional
Tabel 3.2 Definisi operasional
Tabel 5.1 Distribusi Fekuensi Jenis Kelamin, Usia dan Letak Tumor
+4

Referensi

Dokumen terkait

Harapan peneliti selanjutnya adalah dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca baik itu pengetahuan tentang adat dan kebudayaan yang ada di Kecamatan Paloh

Sejatinya, kedua kalimat tersebut memiliki koherensi yang kuat dimana hak perdata dari seorang ayah hanya dapat diterima oleh anak sah atau anak yang lahir sebagai akibat

Arsip faktur di pelihara dengan cara di ikat menggunakan karet dan di beri label bulan sesuai dengan volume arsip faktur yang didapat oleh Apotek Hasil, sedangkan

 Siswa diminta menuliskan kesimpulan tentang hasil kegiatannya dalam menyelesaikan permasalahan kontekstual menggunakan ide model-model matematika sebagai aplikasi

To this end, the proposed surface reconstruc- tion framework starts with an automatic ground extraction phase performed through the use of a 3D point cloud segmentation

BIDANG DATA, INFORMASI PELAYANAN UMUM, &amp; PENGADUAN DAN BIDANG PENGOLAHAN &amp; PENERBITAN PERIZINAN &amp; NON PERIZINAN NAMA SOP : Pelayanan Izin Study Kelayakan Lingkungan

This work introduced a new visualization scheme for massive mobile mapping data based on the parallax scrolling technique.. An overview of layered models are derived from the

Peraturan Menteri Negara Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2015 tentang Izin Lokasi.. Peraturan Daerah Kabupaten Kerinci Nomor 24 Tahun 2012