• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA

A. Daun Pepaya (Carica Folium)

Pepaya (Carica papaya Linn.) termasuk dalam famili Caricaceae, genus Carica, dan merupakan spesies Carica papaya Linn. Pepaya biasanya dikenal dengan nama daerah antara lain gedang (Sunda, Lampung, Bali); betik, kates, telo gantung (Jawa) (Anonim, 2009b).

2. Deskripsi

Daun pepaya memiliki helaian daun rapuh; warna permukaan atas hijau tua, permukaan bawah berwarna hijau lebih muda; bentuk bundar dengan tulang-tulang daun menjari, pinggir daun bercangap sampai berbagi menjari, cuping-cuping daun berlekuk sampai berbagi tidak beraturan, tulang cuping daun menyirip. Ujung daun lancip pangkal daun berbentuk jantung. Tulang daun sangat menonjol di permukaan bawah. Garis tengah helaian daun 25 cm sampai 75 cm (Anonim, 1989).

3. Kandungan Kimia

Menurut Duke (2008) daun pepaya mengandung senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas antibakteri, antara lain: carpaine, caffeic acid, ascorbic acid, gentisic acid, dan lauric acid.

4. Kegunaan

Menurut penelitian Shuid, Anwar, & Yusof (2005), ekstrak daun pepaya dapat digunakan sebagai obat luka karena mengandung carpaine yang

memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Selain memiliki aktivitas antibakteri, daun pepaya juga dapat mengatasi batu ginjal, hipertensi, malaria, keputihan, kekurangan asi, menambah nafsu makan, memperlancar pencernaan, dan obat demam berdarah (Anonim, 2009d; Anonim, 2009e).

B. Acne

Infeksi ganda yang terjadi pada kulit (jerawat, furunkulosis) paling sering terjadi pada para remaja. Pada jerawat, lipase dari stafilokokus dan korinebacteria melepaskan asam-asam lemak dari lipid dan menyebabkan iritasi jaringan. Tetrasiklin merupakan salah satu antibiotik yang digunakan untuk pengobatan jerawat jangka panjang (Jawetz, Melnick & Adelberg, 1995).

Untuk menentukan perawatan yang cocok untuk jerawat perlu penanganan penyebab jerawat. Beberapa penyebab saling berhubungan satu sama lain, tetapi pada dasarnya ada tiga faktor utama penyebab jerawat (Mitsui, 1993):

1. Sekresi sebum yang berlebihan

Kelenjar sebaseus memproduksi sebum secara kontinyu. Sebum disekresi oleh saluran kelenjar sebaseus menuju ke permukaan kulit melalui pori folikel rambut. Pada masa pubertas (umur 10-16 tahun), kelenjar sebaseus menjadi sangat aktif dan terkadang keseimbangan antara jumlah sebum yang diproduksi dan kemampuan sekresi sebum tidak dapat dikendalikan sehingga menyebabkan hipersekresi, maka sekresi sebum terganggu, sebum menyumbat folikel rambut dan menyebabkan inflamasi.

2. Hiperkeratosis

Hiperkeratosis muncul pada infundibulum folikel rambut dan menyebabkan lapisan tanduk menyumbat pori folikel rambut, menyebabkan komedo. Jika lapisan tanduk menyumbat pori folikel dari kelenjar sebaseus, sebum tidak dapat terekskresi dengan baik, dan menyebabkan jumlah bakteri jerawat meningkat.

3. Efek adanya bakteri

Saat sebum terakumulasi sebagai hasil dari sekresi yang berlebihan atau hiperkeratosis pada infundibulum rambut, jumlah bakteri penyebab jerawat dan bakteri-bakteri flora normal pada saluran rambut meningkat. Lipase dari bakteri-bakteri tersebut memecah trigliserida pada sebum untuk membentuk asam lemak bebas yang menyebabkan inflamasi. Permukaan kulit yang berjerawat memiliki kadar asam lemak bebas tinggi dan kadar trigliserida rendah. Walaupun bakteri tidak secara langsung menjadi penyebab timbulnya jerawat, namun bakteri menyebabkan jerawat kecil menjadi tambah parah dan menginduksi terbentuknya jerawat yang lebih parah.

Masing-masing dari ketiga faktor di atas dapat menyebabkan jerawat, namun interaksi kompleks ketiga faktor tersebut dapat menyebabkan jerawat semakin parah. Selain ketiga faktor tersebut, faktor genetik, makanan, dan stress juga dapat menyebabkan timbulnya jerawat (Mitsui, 1993).

C. Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan sari pekat tumbuh-tumbuhan atau hewan yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ansel 2005, Anonim 1995).

Ekstrak biasanya memiliki potensi 2 sampai 6 x berat bahan mentah obat yang dipakai sebagai bahan pada permulaan pembuatan. Kandungannya terutama dari bahan mentah obat, dengan bagian terbesar adalah zat yang tidak aktif dan komponen yang menyusun bahan mentah obat dihilangkan. Fungsi ekstrak yaitu untuk mempresentasikan karakter dan aktivitas medisinal dari tanaman obat dalam jumlah kecil dengan bentuk fisik yang lebih stabil (Allen, Popovich, & Ansel, 2005).

Maserasi merupakan salah satu metode ekstraksi, dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Anonim, 1986).

D. Gel 1. Gel

Gel merupakan sistem semisolid terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik kecil atau molekul organik besar, terpenetrasi oleh suatu cairan (Anonim, 1995). Gel mempunyai sistem semi kaku di mana pergerakan medium dispersinya terbatas karena adanya jalinan struktur tiga dimensi dari partikel atau makromolekul terdispersi (Allen & Loyd, 2002).

Interaksi antara bahan-bahan di fase koloid, baik anorganik maupun organik, membentuk struktur viskositas fase kontinyu. Dengan demikian, gel menunjukkan karakter intermediet antara cairan dan padatan (Zatz & Kushla, 1996).

2. Karakteristik Gel

Gelling agent yang digunakan untuk produk farmasetik maupun untuk kosmetik seharusnya inert, aman, dan tidak reaktif dengan komponen-komponen lain dalam formula. Penggunaan gelling agent pada formulasi sediaan cair harus menunjukkan solidlike matriks selama penyimpanan yang tidak dapat pecah dengan mudah ketika diberi gaya geser saat pengocokan atau selama aplikasi topikal (Zatz & Kushla, 1996).

Gel menunjukkan perubahan viskositas yang kecil di bawah variasi temperatur penggunaan normal dan penyimpanan. Penambahan pengawet yang sesuai dapat mencegah kontaminasi dan kehilangan karakteristik gel yang lain karena adanya gangguan mikroba (Zatz & Kushla, 1996).

Gel untuk penggunaan topikal tidak boleh lengket. Konsentrasi pembentuk gel yang terlalu tinggi atau berat molekul yang berlebihan dapat menghasilkan gel yang sulit diaplikasikan. Tujuannya untuk menghasilkan gel yang stabil, elegan, ekonomis sesuai dengan penggunaan yang dimaksudkan (Zatz & Kushla, 1996).

3. Mekanisme Pembentukan Gel

Konsistensi gel disebabkan oleh gelling agent, biasanya polimer dengan membentuk matriks tiga dimensi. Gaya intermolekuler akan mengikat molekul solven pada matriks polimer sehingga mobilitas solven berkurang yang menghasilkan sistem tertentu dengan peningkatan viskositas (Buchmann, 2001).

4. Sifat Fisis Gel dan Stabilitas Gel a. Daya Sebar

Efikasi suatu terapi topikal tergantung pada daya sebar formulasi untuk menghantarkan dosis standar. Faktor yang mempengaruhi daya sebar adalah formulanya kaku atau tidak, kecepatan dan lama tekanan yang menghasilkan kelengketan, temperatur pada tempat aksi. Kecepatan penyebaran bergantung pada viskositas formula, kecepatan evaporasi pelarut dan kecepatan peningkatan viskositas karena evaporasi. Konsistensi optimum suatu formula menjamin dosis yang sesuai telah diaplikasikan atau dihantarkan ke target. Penghantaran dosis obat yang tepat sangat tergantung pada daya sebar suatu formula. (Garg, Garg & Sigla, 2002).

b. Viskositas

Viskositas adalah suatu pernyataan tahanan dari suatu cairan untuk mengalir; makin tinggi viskositas maka makin besar tahanannya ( Martin, Swarbrick, & Cammarata, 1993). Viskositas, elastisitas dan reologi merupakan karakteristik formulasi yang penting dalam produk akhir sediaan semisolid. Peningkatan viskositas akan menaikkan waktu retensi pada tempat aksi tetapi akan menurunkan daya sebar. Viskositas sediaan menentukan lama tinggal sediaan pada kulit, sehingga obat dapat dihantarkan dengan baik. Viskositas sediaan ditingkatkan oleh bahan baku yang digunakan secara umum, misalnya polimer yang memiliki tingkat viskositas tertentu (Donovan & Flanagan, 1996).

c. Pergeseran Viskositas

Perubahan viskositas sediaan dari waktu ke waktu perlu menjadi perhatian utama, karena viskositas merupakan hal yang penting dalam mempengaruhi stabilitas dan karakteristik sediaan. Beberapa faktor bertanggung jawab dalam perubahan viskositas dispersi selama penyimpanan. Faktor tersebut antara lain bahan-bahan yang dapat meningkatkan viskositas atau interaksi bahan tersebut dengan sistem dispersi. Faktor lain yang dapat berpengaruh yaitu agregasi partikel yang tidak tergantung pada kandungan polimer, meskipun polimer dapat mengurangi kecepatan perubahan ukuran partikel (Zatz, Berry & Alderman, 1996).

Gel juga menunjukkan ketidakstabilan gel seperti fenomena sineresis yang diindikasikan dengan tekanan keluar dari cairan interstitial (Nairn, 1997) sehingga cairan tersebut terkumpul pada permukaan gel. Sineresis tidak hanya terjadi pada hidrogel organik tetapi juga pada organogel dan hidrogel inorganik. Pada umumnya, sineresis menyebabkan penurunan konsentrasi polimer ( Zatz & Kushla, 1996 ).

E. Carbopol 940

Suatu golongan polimer hidrofilik dengan ikatan telah ditemukan dan dipatenkan oleh Brown pada tahun 1958. Polimer ini dinamakan carbopol yang berkembang menjadi suatu produk yang terkenal dengan sebutan “carbomer” pada berbagai farmakope.

Struktur dari asam akrilat (CH2=CHCOOH) yang hanya memiliki satu ikatan rangkap membuat polimer ini cenderung menjadi linier. Carbomer berasal dari polimer sintesis dengan berat molekul tinggi dari ikatan silang asam akrilat dengan allyl eter dari sukrosa lain atau allyl eter dari pentaprythriol. Carbopol homopolimer mengandung tidak kurang dari 56,0 % dan tidak lebih dari 68,0 % gugus asam karboksilat, dihitung berdasarkan zat yang sudah dikeringkan (Ravissot & Drake, 2000).

Gambar 1. Struktur carbomer (Ravissot & Drake, 2000)

Aplikasi dalam gel dan lotion (topikal, oral, dan mucosal) adalah kegunaan paling umum untuk carbomer dalam sistem berair atau solven polar dalam upaya meningkatkan viskositas untuk stabilisasi gel, emulsi, atau suspensi. Untuk keperluan ini serbuk carbomer didispersikan dalam air dan dibiarkan terhidrasi. Carbopol yang terdispersi dalam air bersifat asam. Oleh karena itu perlu ditambahkan basa kuat seperti NaOH hingga dicapai pH optimum 4,5-11 (Barry, 1983), di mana pada pH tersebut carbopol memiliki viskositas yang optimum. Karena produk-produk ini memiliki bobot molekul yang besar, mereka mampu menata diri ke dalam struktur terdifusi yang akan mempengaruhi sifat reologi sistem (Ravissot & Drake, 2000).

Gel carbomer terbentuk saat netralisasi pada pH 5-10 dengan penambahan logam hidroksida atau amin seperti diisopropanolamin dan treitanolamin. Netralisasi dapat memperpanjang rantai carbomer dengan meningkatkan repulsion untuk membentuk jaringan gel. Electrostatic repulsion mempunyai peran dalam pembentukan gel yang dipengaruhi pH dan kandungan garam (Swarbrick & Boylan, 1992).

F. Humectant

Humectant adalah agen yang mengontrol perubahan kelembaban antara produk dengan udara pada kulit (Strianse, 1957). Pelembab biasanya mengandung substansi dengan bobot molekul rendah dengan sifat penarik air yang disebut humectant. Substansi-substansi ini berpenetrasi pada kulit dan meningkatkan derajat hidrasi stratum corneum (Loden, 2000).

Walaupun air dikenal memiliki peranan penting dalam mengatur kelembutan kulit, humectant juga memiliki sifat yang sama. Penelitian menunjukkan jika NMF (Natural Moisturizing Factor) dihilangkan dari kulit, air saja tidak cukup menjaga elastisitas kulit (Loden, 2000).

Humectant yang akan digunakan dalam formula antara lain: 1. Gliserol

Gliserol (British Pharmacopeia) atau Gliserin (United State Pharmacope) memiliki rumus empirik C3H8O3 dengan bobot molekul 92,09. Pemeriannya yaitu jernih, tidak berwarna, tidak berbau, kental, berupa cairan higroskopis, rasa manis (kira-kira 0,6 kali lebih manis dibanding sukrosa) (Price, 2005).

C OH C H H H OH C O H H H

Gambar 2. Struktur Gliserol (Price, 2005)

Fungsi dari gliserol yaitu sebagai emolien, humectant, plasticizer, pelarut, bahan pemanis dan bahan pengisotonis. Pada sediaan topikal, gliserol

digunakan sebagai humectant dan emolien yang dapat melembabkan kulit. Konsentrasi gliserol dalam kosmetik sebagai humectant dan emolien sebesar 30%. Gliserol bersifat higroskopis (Price, 2005). Gliserol murni mengalami dekomposisi jika dipanaskan. Campuran antara gliserol dengan air, cetyl alkohol dan propilen glikol stabil secara kimia (Price, 2005).

Gliserol merupakan humectant yang paling umum digunakan namun cenderung menimbulkan rasa berat (heavy) dan basah (tacky) yang dapat ditutupi dengan mengkombinasikan bersama humectant lain (Zocchi, 2001). 2. Propilenglikol

Propilenglikol memiliki berat molekul yang lebih kecil, viskositas yang lebih rendah dan kemampuan menguap yang lebih tinggi dibandingkan dengan gliserol (Sagarin, 1957). Propilenglikol merupakan bahan yang berfungsi sebagai humectant, pelarut, plasticizer. Fungsi lain propilenglikol adalah sebagai pengawet pada konsentrasi 15 – 30%, hygroscopic agent, desinfectan, stabilizer vitamin dan pelarut pengganti yang dapat campur dengan air (Anonim, 1983; Anger, Claude, Rupp & Lo, 1996). Propilenglikol dapat digunakan sebagai gelling agent pada konsentrasi 1-5%, stabil pada pH 3-6 dan harus mengandung pengawet (Allen & Loyd, 2002). Propilenglikol merupakan bahan yang tidak berbahaya dan aman digunakan pada produk kosmetik dengan konsentrasi lebih dari 50% (Loden, 2001). Propilenglikol tidak menyebabkan iritasi lokal bila diaplikasikan pada membran mukosa, subkutan atau injeksi intramuskular, dan telah dilaporkan tidak terjadi hipersensitifitas pada 38% pemakai propilenglikol secara topical (Anonim, 1983).

Rumus molekul C3H8O2, bobot molekul :76,10. nama kimia : (+)-propana-1,2 diol, nama lain :metal glikol, (+)-propana-1,2 dihidroksi propan. Cairan kental, jernih, tidak berwarna, rasa sedikit tajam, dan higroskopik. Dapat dicampur dengan air, alkohol, aseton, dan kloroform. Larut dalam eter dan dapat melarutkan minyak menguap, tetapi tidak dapat campur dengan minyak lemak (Windholz, 1976). Humectant seperti gliserin, sorbitol, atau propilenglikol adalah substansi higroskopis yang larut air, digunakan untuk mencegah proses pengeringan dan formula itu sendiri (Barel, Paye, & Maibach, 2001).

Rumus Bangun :

Gambar 3. Struktur propilenglikol (Barel et al, 2001)

Di dalam gel propilenglikol berfungsi sebagai penahan lembab, yang memungkinkan suatu kelembutan dan daya sebar yang tinggi dari sediaan, dan melindungi gel dari kemungkinan pengeringan (Voigt, 1994).

G. Staphylococcus epidermidis

Staphylococcus epidermidis adalah bakteri Gram positif, koagulase negatif, dan merupakan bagian dari bakteri flora normal pada kulit. (Holt, Krieg, Sneath, Stanley, & Williams, 2000; Jawetz, Melnick, & Adelberg, 1995).

Gambaran infeksi lokal Staphylococcus adalah suatu pimple, infeksi folikel rambut, atau suatu abses, biasanya suatu reaksi peradangan yang hebat, terlokalisisr, sakit, dan mengalami pernanahan sentral dan sembuh bila nanah dikeluarkan (Jawetz dkk., 1986).

S. epidermidis merupakan flora normal pada kulit, namun infeksi lokal dapat menyebabkan jerawat dan infeksi folikel rambut. Inflamasi primer yang disebabkan Propionibacterium acnes akan menjadi lebih parah karena adanya inflamasi sekunder yang disebabkan oleh S. epidermidis (Ardina dkk., 2007).

H. Factorial Design

Desain faktorial merupakan metode rasional untuk menyimpulkan dan mengevaluasi secara obyektif efek dari besaran yang berpengaruh terhadap kualitas produk. Desain faktorial digunakan dalam penelitian di mana efek dari faktor atau kondisi yang berbeda dalam penelitian akan diketahui. Desain faktorial merupakan desain yang dipilih untuk mendeterminasi efek-efek secara simultan dan interaksi antar efek tersebut. Dengan demikian metode ini merupakan metode yang sesuai untuk menentukan formula yang optimum dalam gel, dimana dalam gel ada kombinasi dua humectant yang digunakan dalam berbagai konsentrasi. Dengan metode ini akan dapat dilihat efek konsentrasi tiap-tiap humectant dan dapat pula terlihat bagaimana hasil interaksi kedua humectant tersebut (Bolton, 1990).

Desain faktorial merupakan aplikasi persamaan regresi yaitu teknik untuk memberikan model hubungan antara variabel respon dengan satu atau lebih variabel bebas. Model yang diperoleh dari analisis tersebut berupa persamaan matematika. Desain faktorial dua level berarti ada dua faktor (misal A dan B) yang masing-masing faktor diuji pada dua level yang berbeda, yaitu level rendah dan level tinggi. Dengan desain faktorial dapat didesain suatu percobaan untuk mengetahui faktor yang domain berpengaruh secara signifikan terhadap suatu respon (Bolton, 1990).

Optimasi campuran dua bahan (berarti ada dua faktor) dengan desain faktorial (two level factorial design) dilakukan berdasarkan rumus :

Y = b0 + b1X1 + b2X2 + b12X1X2………..(1) Dengan :

Y = respon hasil atau sifat yang diamati X1, X2 = level bagian A , level bagian B

b0, b1, b2, b12 = koefisien, dapat dihitung dari hasil percobaan b0 = rata-rata hasil semua percobaan

b1, b2, b12 = koefisien yang dihitung dari hasil percobaan

Pada desain faktorial dua level dan dua faktor diperlukan empat percobaan (2n= 4, dengan 2 menunjukkan level dan n menunjukkan jumlah faktor). Penamaan formula untuk jumlah percobaan = 4 adalah formula (1) untuk percobaan I, formula a untuk percobaan II, formula b untuk percobaan III, dan formula ab untuk percobaan IV (Bolton, 1990). Respon yang ingiun diukur harus dapat dikuantitatifkan. Rancangan percobaan desain faktorial dengan dua faktor dan dua level :

Tabel I. Rancangan percobaan desain faktorial dengan dua faktor dan dua level

Formula Faktor A Faktor B

(1) - - a + - b - + ab + + Keterangan :

Faktor I - = level rendah + = level tinggi Faktor II - = level rendah + = level tinggi

Formula (1) = faktor 1 level rendah, faktor II level rendah Formula a = faktor 1 level tinggi, faktor II level rendah Formula b = faktor 1 level rendah, faktor II level tinggi Formula ab = faktor 1 level tinggi, faktor II level tinggi

Berdasarkan persamaan di atas, dengan substitusi secara matematika, dapat dihitung efek masing-masing faktor, maupun efek interaksi. Besarnya efek dapat dicari dengan menghitung selisih antara rata- rata respon pada level rendah. Konsep perhitungan efek menurut Bolton (1990) sebagai berikut : Efek faktor I = ((a-(1)+(ab-b))/2

Efek faktor II = ((b-(1)+(ab-a))/2 Efek interaksi = ((ab-b)+(a-1))/2

Desain faktorial memiliki beberapa keuntungan. Metode ini memiliki efisiensi yang maksimum untuk memperkirakan efek yang dominan dalam menentukan respon. Keuntungan utama desain faktorial adalah bahwa metode ini memungkinkan untuk mengidentifikasi efek masing-masing faktor, maupun efek interaksi antar faktor. Metode ini ekonomis, dapat mengurangi jumlah penelitian jika dibandingkan dengan meneliti dua efek faktor secara terpisah (Bolton, 1990).

I. Landasan Teori

Infeksi ganda yang terjadi pada kulit (jerawat, furunkulosis) sering terjadi pada remaja. Pada jerawat, lipase dari stafilokokus dan korinebacteria melepaskan asam-asam lemak dari lipid dan menyebabkan iritasi jaringan (Jawetz dkk, 1995). Ardina dkk. (2007) telah melakukan penelitian tentang efek antibakteri ekstrak daun pepaya terhadap S. epidermidis dan P. acnes. Ekstrak daun pepaya dapat digunakan untuk mencegah inflamasi jerawat lebih jauh, seperti inflamasi sekunder oleh S. epidermidis.

Gliserol dan propilenglikol adalah humectant yang biasa digunakan pada kosmetik. Gliserol merupakan humectant yang paling umum digunakan namun cenderung menimbulkan rasa berat (heavy) dan basah (tacky) yang dapat ditutupi dengan mengkombinasikan bersama humectant lain. Propilenglikol memiliki berat molekul yang lebih kecil, viskositas yang lebih rendah dan kemampuan menguap yang lebih tinggi dibandingkan dengan gliserol (Sagarin, 1957). Adanya perbedaan viskositas antara gliserol dan propilenglikol dapat berpengaruh pada viskositas gel.

Uji potensi antibakteri gel antiacne ekstrak daun pepaya dilakukan untuk mengetahui diameter zona hambat gel antiacne terhadap S. epidermidis. Optimasi gliserol dan propilenglikol dalam formula gel antiacne ekstrak daun pepaya dengan metode factorial design bertujuan mengetahui faktor yang dominan antara gliserol dan propilenglikol dalam menentukan sifat fisik dan stabilitas gel, serta memperoleh area komposisi optimum formula gel antiacne ekstrak daun pepaya.

K. Hipotesis

Ada faktor yang dominan dalam mempengaruhi respon dari salah satu faktor (antara gliserol dan propilenglikol). Hipotesis disusun berdasarkan penggunaan Yate’s Treatment sebagai analisis statistik.

Dokumen terkait