• Tidak ada hasil yang ditemukan

29 Leu. mesenteroides SU-LS59

4.2. Pengaruh Fermentasi dan Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan terhadap Sifat Kimia TTM

4.2.7. Daya cerna in-vitro TTM

Fermentasi kultur campuran BAL berpengaruh nyata dalam meningkatkan daya cerna TTM. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa perlakuan fermentasi (F) berpengaruh paling signifikan (p<0,05) meningkatkan daya cerna tepung talas sebesar 64,93 %, jika dibandingkan dengan kontrol (K) yaitu 56,42 % (Gambar 12). Peningkatan daya cerna pada perlakuan fermentasi (F) disebabkan oleh hidrolisis pati talas oleh amilase dan pululanase sehingga terbentuk amilosa rantai pendek, oligosakarida, maltosa, maltotriosa, glukosa dengan berat molekul yang lebih rendah sehingga lebih mudah dicerna dan menyebabkan peningkatan indeks glikemik. Peningkatan daya cerna pada perlakuan fermentasi (F) tersebut berkorelasi dengan penurunan kadar RS dan serat pangan. Tepung talas fermentasi (F) dapat diaplikasikan sebagai bahan pangan yang mudah dicerna dan cepat diabsorbsi oleh tubuh sebagai sumber energi khususnya bagi penderita malnutrisi.

Gambar 12. Pengaruh fermentasi dan siklus OC terhadap daya cerna in-vitro TTM Keterangan: Huruf yang sama pada diagram batang menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata dengan

taraf nyata λ5 %, (α= 5 %), setelah dilakukan uji statistik dengan BNT pada SPSS 17.0

Notasi: K (kontrol, tanpa fermentasi dan OC), OC-1S (1 siklus OC), OC-2S (2 siklus OC), F (fermentasi, tanpa OC), FOC-1S (fermentasi dengan 1 siklus OC) FOC-2S (fermentasi dengan 2 siklus OC).

Pemanasan bertekanan-pendinginan (OC) berpengaruh nyata terhadap penurunan daya cerna TTM. Hal ini ditunjukkan pada perlakuan 1 siklus pemanasan pendinginan (OC-1S), perlakuan 2 siklus pemanasan bertekanan-pendinginan (OC-2S), fermentasi dengan 1 siklus pemanasan bertekanan-bertekanan-pendinginan 1S), dan fermentasi dengan 2 siklus pemanasan bertekanan-pendinginan (FOC-2S) yang terbukti berpengaruh sangat signifikan (p<0,05) dalam menurunkan daya cerna tepung talas jika dibandingkan dengan kontrol (Gambar 12). Penurunan daya cerna pada perlakuan pemanasan bertekanan-pendinginan berhubungan dengan meningkatnya kadar RS dan serat pangan akibat proses retrogradasi sebagaimana penelitian Vatanasuchart et al. (2012) pada tepung pisang maupun Faridah et al. (2013)

a b c d c c

pada pati garut. Tepung talas OC-1S, OC-2S, FOC-1S, dan FOC-2S sangat tepat diaplikasikan sebagai sumber prebiotik dan bahan pangan fungsional bagi penderita penyakit diabetes karena daya cernanya yang rendah sehingga lebih lambat diabsorbsi oleh tubuh. Perhitungan analisis daya cernain-vitro TTM dapat dilihat di Lampiran 7. 4.2.8. Analisis korelasi kadar pati, gula pereduksi, serat pangan dan daya cerna TTM

Analisis korelasi merupakan teknik analisis dalam statistik bivariat yang digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel. Diantara sekian banyak teknik-teknik pengukuran asosiasi, terdapat dua teknik-teknik korelasi yang sangat populer sampai sekarang, yaitu Korelasi Pearson Product Moment dan Korelasi Rank Spearman. Koefesien korelasi (R) adalah pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Besarnya koefesien korelasi berkisar antara +1 sampai dengan -1. Koefesien korelasi menunjukkan kekuatan hubungan linier dan arah hubungan dua variabel acak. Jika koefesien korelasi positif, maka kedua variabel mempunyai hubungan searah artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan tinggi pula. Sebaliknya, jika koefesien korelasi negatif, maka kedua variabel mempunyai hubungan terbalik. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan menjadi rendah dan berlaku sebaliknya. Untuk memudahkan melakukan interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel, Mattjik dan Sumertajaya (2002) memberikan kriteria sebagai berikut: (0 : Tidak ada korelasi antara dua variabel); (>0 – 0,25: Korelasi sangat lemah); (>0,25 – 0,5: Korelasi cukup); (>0,5 – 0,75: Korelasi kuat); (>0,75 – 0,99: Korelasi sangat kuat); (1: Korelasi sempurna).

Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa kadar total pati memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap kadar gula pereduksi dengan nilai koefisien korelasi mencapai R = 0,913 (Gambar 13 a). Penurunan kadar total pati akibat perlakuan fermentasi kultur campuran BAL, pemanasan bertekanan-pendinginan maupun kombinasi keduanya berkorelasi negatif dengan peningkatan kadar gula pereduksi. Korelasi ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Zaragoza et al. (2010), Jenie et al. (2012) dan Nurhayati et al. (2014) pada tepung pisang. Degradasi pati talas akibat pemanasan otoklaf menyebabkan putusnya sebagian kecil ikatan glikosidik pada amilosa maupun amilopektin yang berkontribusi terhadap terbentuknya gula pereduksi. Demikian halnya dengan perlakuan fermentasi kultur campuran BAL yang dapat meningkatkan kadar gula pereduksi akibat terjadinya hidrolisis ikatan linier α-1,4 amilosa oleh enzim amilase dan ikatan percabangan α-1,6 amilopektin.

Berdasarkan hasil analisis korelasi diketahui bahwa kadar amilosa memiliki korelasi kuat terhadap kadar amilopektin dengan nilai koefisien korelasi yaitu R = 0,677 (Gambar 13 b). Hal tersebut juga menunjukkan bahwa terjadinya penurunan kadar amilosa dan amilopektin selama produksi TTM disebabkan oleh proses pemanasan otoklaf maupun fermentasi kultur campuran BAL penghasil amilase dan pululanase yang menghidrolisis kedua substrat tersebut. Korelasi ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Zaragoza et al. (2010) dan Moongngarm (2013).

Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa kadar pati resisten memiliki korelasi yang sangat kuat (hampir sempurna) terhadap kadar serat pangan total dengan nilai koefisien korelasi mencapai R = 0,986 (Gambar 13 c). Hasil ini membuktikan hipotesis bahwa peningkatan kadar pati resisten melalui perlakuan pemanasan bertekanan-pendinginan (OC) maupun kombinasi fermentasi dengan OC berkorelasi positif

terhadap peningkatan kadar serat pangan total. Hal ini disebabkan pati resisten teranalisis sebagai sumber serat pangan yang tidak larut, namun secara fisilogis memiliki peranan sebagai serat pangan larut di dalam tubuh. Korelasi ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Ozturk et al. (2011) pada pati jagung dan Vatanasuchart et al. (2012) pada pati pisang.

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

(g) (h)

Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa kadar pati resisten memiliki korelasi yang sangat kuat (hampir sempurna) terhadap daya cerna pati talas secara in-vitro

dengan nilai koefisien korelasi sebesar R = 0,979 (Gambar 13 d). Hasil ini semakin membuktikan hipotesis bahwa kadar pati resisten berkorelasi negatif terhadap daya cerna pati talas. Peningkatan kadar pati resisten pada akan menyebabkan terjadinya penurunan daya cerna pati. Korelasi ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilaporkan oleh Sajilata et al. (2006) pada pati gandum, Ozturk et al. (2011) pada pati jagung dan Vatanasuchart et al. (2012) pada pati pisang.

Hampir serupa dengan analisis korelasi antara pati resisten dengan daya cerna, hasil analisis korelasi antara kadar serat pangan memiliki korelasi yang sangat kuat (hampir sempurna) terhadap daya cerna pati talas dengan nilai koefisien korelasi mencapai R = 0,995 (Gambar 13 e). Hasil ini membuktikan hipotesis bahwa kadar serat pangan berkorelasi negatif terhadap daya cerna pati talas secara in-vitro. Peningkatan kadar serat pangan akan menyebabkan terjadinya penurunan daya cerna pati. Korelasi ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilaporkan oleh Anderson et al. (2002) pada pati beras dan Njintang et al. (2006) pada tepung talas tanpa modifikasi.

Tabel 12. Kadar pati resisten dalam basis sampel TTM dan basis total pati

Sampel tepung talas % Pati Resisten (basis sampel TTM) % Pati Resisten (basis total pati)

Tanpa fermentasi K 4,13±0,05a 5,15±0,09a OC-1S 7,92±0,18b 10,11±0,28b OC-2S 11,15±0,11c 14,49±0,19c Dengan fermentasi F 3,82±0,11a 5,09±0,20a FOC-1S FOC-2S 11,45±0,04c 11,76±0,12c 15,30±0,10c 15,93±0,28c

Keterangan: Huruf yang sama pada kolom menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata dengan taraf

nyata λ5 %, (α= 5 %), setelah dilakukan uji statistik dengan BNT pada SPSS 17.0

Notasi: K (kontrol, tanpa fermentasi dan OC), OC-1S (1 siklus OC), OC-2S (2 siklus OC), F (fermentasi, tanpa OC), FOC-1S (fermentasi dengan 1 siklus OC) FOC-2S (fermentasi dengan 2 siklus OC).

Sementara itu hasil analisis korelasi antara kadar amilosa dengan kadar pati resisten menunjukkan nilai korelasi yang cukup dengan koefisien sebesar R = 0,293 (Gambar 13 f). Hal ini menunjukkan bahwa kadar amilosa yang tinggi pada suatu bahan pangan tidak terlalu signifikan peranannya dalam upaya peningkatan kadar pati resisten. Korelasi ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilaporkan oleh Jenie et al. (2013) dan Nurhayati et al. (2014) pada tepung pisang. Peningkatan kadar pati resisten tidak selalu disebabkan oleh tingginya kadar amilosa total, akan tetapi lebih dipengaruhi oleh tingginya jumlah amilosa rantai pendek (DP 19-29) yang terbentuk melalui hidrolisis amilase dan pululanase maupun lintnerisasi dengan hidrolisis asam kuat. Jumlah amilosa rantai pendek dapat dianalisis dengan teknik Gel Permeation Chromatography

(GPC) sebagaimana penelitian Faridah et al. (2010) pada pati garut. Faridah et al.

komponen amilosa rantai pendek mampu berikatan dengan iodin (I2) sehingga membentuk warna biru tua kehitaman. Amilosa rantai pendek dengan DP (25-30) tersebut dapat dihasilkan dari hidrolisis amilopektin pada ikatan percabangan α-1,6 glikosidik oleh enzim pululanase (Srichuwong et al. 2005 dan Faridah et al. 2010).

Hasil analisis korelasi antara gula pereduksi dengan pati resisten menunjukan bahwa kedua variabel tersebut memiliki tingkat korelasi yang sangat lemah dengan nilai koefisien yaitu R = 0,132 (Gambar 13 g). Dengan demikian peningkatan kadar gula pereduksi dalam pati talas tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan kadar pati resisten selama pengolahan. Korelasi ini sesuai dengan laporan Zaragoza et al. (2010) dan Moongngarm (2013). Beberapa faktor lain yang berpengaruh dalam penurunan kadar pati resisten pada TTM diantaranya adalah kadar lemak dan protein. Kadar protein dan lemak pada pati talas berpengaruh terhadap suhu gelatinisasi dan kadar pati resisten yang terbentuk. Kadar lemak (0,64-0,74%) dan protein (1,87-2,53%) pada talas akan menghambat proses retrogradasi pati talas sehingga menyebabkan rendahnya kadar pati resisten pada TTM. Moongngarm (2013) melaporkan bahwa setelah dilakukan hidrolisis protein dan lemak, maka kadar pati resisten meningkat secara signifikan.

Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa (%) kadar pati resisten dalam basis bobot sampel TTM memiliki korelasi yang sangat kuat (hampir sempurna) terhadap (%) kadar pati resisten dalam basis total pati dengan nilai koefisien korelasi mencapai R = 0,998 (Gambar 13 h). Hasil ini membuktikan bahwa terjadinya peningkatan kadar pati resisten dalam sampel sangat berkorelasi positif terhadap peningkatan kadar pati resisten dalam total pati (Tabel 12). Korelasi ini sesuai dengan laporan Zaragoza et al.

(2010) dan Moongngarm (2013).

Dokumen terkait