• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daya Dukung Pengembangan Usaha

Dalam dokumen PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA (Halaman 107-112)

ANALISIS ISU ISU STRATEGIS

4.1.11 Daya Dukung Pengembangan Usaha

Daya dukung pengembangan usaha sanat penting dalam mengembangkan kota dengan lokomotif pendidikan dan pariwisata. Permasalahan dalam sistim administrasi dan manajemen investasi adalah belum adanya pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan monev terkait kegiatan investasi. Dalam rangka mempermudah kegiatan investasi Pemerintah Kota Yogyakarta telah menyediakan fasilitas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) bagi kegiatan penanaman modal tetapi belum ada pihak yang berwenang melakukan monitoring dan evaluasi terhadap jalannya investasi yang sudah masuk dan disetujui, hal ini juga terkait dengan belum adanya pihak/badan yang khusus menangani kegiatan investasi.

Kebijakan investasi selama ini belum mampu menyaring atau mencegah masuknya investasi yang dapat mengancam usaha masyarakat lokal. Belum ada peraturan ataupun regulasi yang mungkin dapat diterapkan, sehingga penanaman modal yang masuk ke Kota Yogyakarta adalah yang sesuai dengan kebutuhan bagi perkembangan perekonomian Kota Yogyakarta. Kedepan perlu adanya kebijakan investasi yang berpihak kepada usaha warga lokal.

Peta Investasi dibutuhkan dalam pemetaan tentang kebutuhan investasi untuk berbagai sektor (sektor apa saja yang membutuhkan investasi besar dan sektor mana yang sudah jenuh), sehingga dapat meningkatkan perekonomian daerah dan memicu kegiatan ekonomi masyarakat.

Kawasan perkotaan akan semakin menghadapi kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun. Dengan perubahan iklim yang semakin cepat, kota-kota di Indonesia akan menjadi lebih rentan. Menurut penelitian UNDP tahun 2007, risiko dari perubahan iklim tersebut akan berakibat pada terjadinya krisis air baku,

terhadap bencana juga tidak kalah pentingnya, mengingat kondisi geografis kota di Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam. Selain menghadapi bencana alam, kawasan perkotaan juga harus menghadapi pencemaran lingkungan baik pencemaran udara, air maupun tanah

Pencemaran sumur oleh e-coli terjadi akibat sistem pembuangan air limbah yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Padatnya permukiman penduduk menyebabkan jarak antara sumur dengan septic tank sering kurang dari 11 meter.

Padahal menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-2916-1992 tentang Spesifikasi Sumur Gali untuk Sumber Air Bersih, bahwa jarak horizontal sumur ke arah hulu dari aliran air tanah atau sumber pengotoran (bidang resapan/tangki septic tank) harus lebih dari 11 meter. Standart minimum jarak antara sumur dengan septic tank ditetapkan >10 m, dengan alasan jarak tersebut merupakan jarak aman yang tidak mungkin dapat ditempuh oleh bakteri e-coli, jika bakteri tersebut bermigrasi dari septic tank ke sumur. Bakteri e-coli merupakan bakteri patogen (bersifat anaerob) yang biasanya mempunyai usia harapan hidup selama tiga hari.

Sedangkan kecepatan aliran air dalam tanah berkisar 3 meter per hari (rata-rata kecepatan aliran air dalam tanah di pulau jawa 3 meter/hari), sehingga jarak ideal antara tangki septic dengan sumur sejauh 3 meter per hari x 3 hari = 9 meter (Soeparman, 2002). Adapun angka 1 meter atau lebih sisanya dianggap sebagai jarak pengaman. Sayangnya, jarak minimum ini sering kali diabaikan.

Penyebab lain tingginya pencemaran air tanah oleh bakteri e-coli karena kondisi geografis Kota Yogyakarta yang berada di daerah dataran lereng aliran gunung Merapi dengan kemiringan lahan yang relatif datar (antara 0-2%), memungkinkan terjadinya aliran pencemaran air tanah dari daerah utara yang lebih tinggi menuju selatan, sehingga wilayah Kota Yogyakarta menanggung beban pencemaran yang mengalir dari wilayah yang berada di atasnya, yaitu Kabupaten Sleman.

Tingginya pencemaran air sumur oleh bakteri e-coli dapat dilihat dari angka kesakitan akibat penyakit diare dan juga jumlah penderita penyakit diare di Kota Yogyakarta. Besar angka kesakitan diare tahun 2008 sebesar 18,06 dengan persentase tertangani sebesar 30,29%. Pada 2009, angka kesakitan diare menurun menjadi 16,80, dengan persentase tertangani sebesar 100%. Jika dilihat dari jumlah penderita penyakit diare, mulai tahun 2006 s.d. 2009 jumlahnnya fluktuatif. Tahun

2006, penderita berjumlah 5876 orang, meningkat pada 2007 menjadi 6816 orang, kemudian turun secara drastis menjadi 2714 orang, namun pada 2009 naik kembali secara signifikan menjadi 7658 orang.

Untuk meningkatkan kualitas air tanah pada daerah berpenduduk padat dan di pinggiran sungai disiasati dengan pembuatan pengelolaan limbah komunal yang paling tidak harus berjarak lebih dari 50 meter dari perumahan/permukiman.

Di Kota Yogyakarta telah dibangun 43 sarana Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal domestik, 37 di antaranya tersebar di sepanjang bantaran tiga sungai yakni Code, Winongo, dan Gajahwong, yang sebagian besar belum berfungsi secara optimal. Selain itu, juga sudah dilakukan pembuangan dengan sistem air limbah terpusat, yaitu pembuangan air limbah melalui pipa yang dialirkan ke pengolahan limbah di Sewon, Bantul. Sistem pembuangan air limbah terpusat di Sewon tersebut telah tersambung dengan saluran pembuangan 10.119 rumah tangga.

Penyediaan sarana dan prasarana air bersih non perpipaan, dilakukan dengan kegiatan penyediaan sarana prasarana air minum dan penyehatan lingkungan terutama berkaitan dengan sanitasi, berupa pemasangan water treatment dan rehab MCK umum. Sampai dengan tahun 2010, dari 716 unit MCK umum telah terpasang water treatment sebanyak 216 unit. Jumlah ini tentunya sangatlah sedikit karena perbandingan antara jumlah MCK umum yang telah terpasang water treatment hanya 30,17%.

Sebagaimana pada umumnya perkotaan, pencemaran udara merupakan permasalahan yang dihadapi oleh Kota Yogyakarta. Pencemaran udara meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk Kota Yogyakarta. Jumlah penduduk Kota Yogyakarta tahun 1971 berjumlah 340.908 jiwa, jumlah tersebut meningkat tahun 1980 menjadi 398.192 jiwa, meningkat kembali tahun 1990 menjadi 412.059 jiwa, dan terakhir meningkat hingga 455.946 jiwa. Peningkatan jumlah penduduk akan diikuti peningkatan aktifitas, termasuk aktifitas yang menghasilkan emisi.

Adapun aktifitas yang menghasilkan emisi antara lain terkait konsumsi bahan bakar fosil, listrik, dan air.

Peningkatan konsumsi bahan bakar fosil untuk transportasi dapat dilihat dari angka jumlah kendaraan bermotor penduduk Kota Yogyakarta yang meningkat

bermotor meningkat secara drastis, terutama untuk jenis kendaraan bus yang meningkat lebih dari tiga kali lipat dan sepeda motor yang meningkat hampir dua kali lipat. Peningkatan juga terjadi pada jenis kendaraan bermotor yang lain, seperti sedan yang meningkat dari 32332 buah menjadi 36533 buah dan truk dari 12730 buah menjadi 12992 buah. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor, berimbas pada peningkatan konsumsi bahan bakar fosil, baik berupa bensin premium, maupun solar. Padahal, menurut IPCC (1996) setiap liter bensin premium mengemisi 2,33 kgCO2 dan solar 2,67 kgCO2.

Aktifitas penduduk Kota Yogyakarta terkait konsumsi listrik, secara tidak langsung juga turut menyumbang emisi (in direct/off-site emission). Tabel diatas menunjukkan bahwa peningkatan jumlah pelanggan, akan diikuti oleh peningkatan daya tersambung dan jumlah energi terjual, dengan jumlah energi terjual tertinggi ada pada tahun 2005. Berdasarkan data energi yang terjual, diketahui bahwa tahun 2005 jumlah energi yang terjual mencapai 576.601.596 kwh. Jika setiap kwh energi listrik mengemisi 0,718 kgCO2, maka pada 2005 penduduk Kota Yogya menyumbang indirect emission berasal dari konsumsi listrik sebesar 4,14 x 108 kgCO2.

Aktifitas penduduk Kota Yogyakarta terkait konsumsi air PDAM, juga menyumbang off-site emission. Produksi setiap m3 air PDAM, membutuhkan energi listrik sekitar 0,71 kwh/m3, padahal setiap kwh listrik mengemisi 0,781 kgCO2. Maka, berdasarkan data PDAM Kota Yogyakarta diketahui total produksi air tahun 2005 sebesar 18.635.137 m3. Ini berarti bahwa pada 2005, jumlah of-site emission yang dihasilkan dari produksi air PDAM Kota Yogyakarta sebesar 9,5 x 106 kgCO2.

Hasil pengukuran kualitas udara di beberapa titik di Kota Yogyakarta, menunjukkan bahwa kualitas udara ambien tahun 2008, baik untuk SO2, CO, NO2, partikel debu, dan Pb, masih berada di bawah ambang batas. Namun, hasil pengukuran tahun 2010, menunjukkan kondisi sangat berbeda. Di beberapa titik, konsentrasi gas dan partikel pencemar udara tercatat telah melebihi ambang batas.

Misalnya, hasil pengukuran di Jl. Laksda Adisucipto (depan saphir), menunjukkan kandungan gas SO2 dan O3 ambien 1,5 kali lebih besar untuk SO2 dan hampir 2 kali lipat untuk O3, dari standart baku mutu udara ambien yang ditentukan.

Selain itu, hasil pengukuran partikel debu (PM 2,5) di dua titik juga menunjukkan nilai yang melebihi ambang batas, yaitu di Terminal Giwangan dan Simpang Empat Gedongtengen. Jumlah PM 2,5 di Terminal Giwangan mencapai 86,5

ηg/m3 dan di Simpang Empat Gedongtengen mencapai 80,6 ηg/m3, padahal nilai baku mutu untuk PM 2,5 adalah 65 ηg/m3. Kondisi terparah dijumpai untuk hasil pengukuran gas CO, karena di semua titik pengukuran menunjukkan bahwa kandungan gas CO ambien telah jauh melampaui baku mutu lingkungan. Kandungan gas CO ambien tertinggi dijumpai di lokasi Pertigaan Jl. Malioboro, jumlah gas CO ambien telah mencapai 157.556 ηg/m3, atau 4500 kali lebih besar dari standart baku mutu lingkungan yang ditentukan. Ini menunjukkan, bahwa kondisi pencemaran udara Kota Yogyakarta sudah cukup parah, dan butuh penanganan serius. Upaya penanganan pencemaran udara ditindaklanjuti dengan berbagai cara antara lain uji emisi bagi kendaraan bergerak secara berkala serta pembangunan RTH publik dan pembuatan taman di tepi sungai.

Penciptaan ketentraman dan ketertiban kota menjadi permasalahan yang terus ditingkatkan untuk memberikan kenyamanan dan keamanan bagi warga kota dan masyarakat pendatang khususnya para wisatawan. Rasa nyaman dan aman untuk berwisata di Kota Yogyakarta dapat dilihat dari jumlah kunjungan wisatawan tiap tahun baik domestik maupun internasional serta lama tinggal wisatawan di Kota Yogyakarta. Meskipun prestasi yang ditunjukkan pada sektor wisata terus membaik, perlu dijaga dan dicari inovasi baru yang menjadi daya tarik bagi kenyamanan wisatawan.

Kenyamanan di jalan, ruang publik di lokasi wisata dan sekitarnya perlu menjadi perhatian khusus bagi pemerintah Kota Yogyakarta. Adanya pengamen dan peminta-minta di persimpangan jalan, di ruang publik maupun di kawasan wisata membuat wisatawan terganggu dan gerah akan keberadaannya. Meskipun tidak berdampak langsung bagi sektor pariwisata akan tetapi kondisi seperti ini lambat laun jelas menjadi bumerang bagi pariwisata.

4.2 Isu Strategis Pembangunan Kota Yogyakarta

Melihat kondisi hasil pembangunan yang telah dilaksanakan dan permasalahan yang dihadapi, serta melihat pada isu strategis nasional dan regional maka dalam pembangunan lima tahun ke depan ada beberapa isu strategis yaitu :

1. Reformasi Birokrasi 2. Kinerja Aparatur

4. Perbaikan Sarana Prasarana Perkotaan 5. Pelayanan Adminitrasi Publik

6. Pendidikan Inklusif 7. Ekonomi Kerakyatan

8. Percepatan Pengurangan Kemiskinan 9. Peningkatan Pembangunan SDM 10. Peningkatan Ekonomi Daerah 11. Kota yang Nyaman dan Aman

Berbagai isu strategis dimaksud merupakan tantangan yang perlu diantisipasi dan juga potensi sumberdaya yang perlu dikembangkan untuk keberhasilan pencapaian cita-cita pembangunan.

Dalam dokumen PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA (Halaman 107-112)