• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.2 Daya Ledak Otot

2.2.1 Pengertian Daya Ledak Otot

Daya ledak otot adalah kemampuan otot untuk mengeluarkan kekuatan maksimal dalam waktu sangat singkat (Bompa, 2010). Daya ledak otot merupakan aktivitas secara tiba-tiba dan cepat dengan mengerahkan seluruh kekuatan. Sering disebut sebagai kekuatan eksplosif ditandai dengan adanya gerakan atau perubahan tiba-tiba yang cepat (Nala, 2011). Daya ledak dapat ditetapkan dengan seketika dan juga pada berbagai titik gerakan atau rata-rata pada berbagai porsi dari gerakan atau latihan (Knuttgen dan Komi, 2010). Daya ledak adalah tenaga yang dihasilkan persatuan waktu. Berdasarkan hal tersebut, daya ledak adalah fenomena neuromuskular yang sangat besar, dimana kekuatan adalah syarat mutlak dan kecepatan adalah kofaktor yang penting.

Berdasarkan spesifikasinya, daya ledak dapat dibagi menjadi empat, yakni: daya ledak eksplosif (explosive power), daya ledak cepat (speed power), daya ledak kuat (strength power) dan daya ledak tahan lama (endurance power) (Nala, 2011). Menurut Bompa (Widhiyanti, 2013), daya ledak dapat dibedakan menjadi dua macam berdasarkan jenis gerakannya, yakni: daya ledak asiklik dan daya ledak siklik. Daya ledak asiklik adalah daya ledak dalam waktu singkat yang dihasilkan dari aktivitas gerakan, contoh olahraganya: unsur melompat dan melempar dalam olahraga atletik dan berbagai unsur dalam olahraga senam.

17

Sedangkan daya ledak siklik adalah kebalikannya. Daya ledak siklik berlangsung dalam waktu tertentu dengan gerakan berturut-turut atau berulang-ulang. Contoh olahraganya adalah: lari, bersepeda, sepak bola, basket dan lain sebagainya. Daya ledak juga dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan beban yang dihadapi, yaitu daya ledak absolute dan ada daya ledak relative. Daya ledak absolute adalah daya ledak yang mengerahkan kekuatan untuk mengatasi beban dari luar yang maksimum. Sedangkan daya ledak relative adalah daya ledak yang mengerahkan kekuatan untuk mengatasi beban dari berat badan sendiri (Berger, 2002).

Dalam mendesain sebuah program latihan daya ledak, diperlukan pengetahuan tentang gerak dan sifat otot serta tendon selama bergerak. Latihan khusus yang fokus pada peningkatan daya ledak telah berhasil mengembangkan teknik khusus yang meliputi gerakan eksplosif di mana proses adaptasinya bergantung pada pergantian yang cepat dari kontraksi eksentrik (otot mengalami pemanjangan saat kontraksi) menuju kontraksi konsentrik (otot mengalami pemendekan selama kontraksi), contohnya adalah plyometric exercise (Whytey et al., 2006 b).

2.2.2 Mekanisme dan Fisiologi Daya Ledak Otot

Daya ledak otot dapat didefinisikan sebagai kekuatan dikalikan dengan jarak dibagi dengan waktu atau kekuatan dikalikan dengan kecepatan (William dan David, 2012). Force (kekuatan) memainkan peran kunci dalam produksi daya ledak dan jika tidak dipertahankan dengan latihan dapat mengakibatkan penurunan atau tidak ada perubahan dalam produksi daya ledak. Kekuatan mengacu pada beban dikalikan dengan percepatan sedangkan kecepatan adalah

18

jarak dibagi dengan waktu dari gerakan (William dan David, 2012). Daya ledak puncak dicapai dengan kekuatan sedang hingga minimal pada kecepatan menengah (Hoffman, 2012).

Aksi konsentris otot tidak menghasilkan banyak kekuatan (Hoffman, 2012). Namun, output daya ledak dapat ditingkatkan lebih besar ketika gerakan eksentrik dan konsentris digunakan bersama-sama untuk mengambil keuntungan dari sifat elastis otot dalam siklus stretch-shortening cycle (SSC) (William dan David, 2012). Siklus ini dimulai dengan gerakan balasan yang cepat mengakibatkan peregangan otot target melalui aksi eksentrik. Otot memiliki kemampuan untuk diregangkan karena memiliki komponen elastis, yang terdiri dari jaringan ikat yang mengelilingi setiap lapisan jaringan otot. Ketika otot diregangkan, mechanoreceptors khusus yang terletak di dalam otot yang dikenal sebagai serat muscle spindle juga menggeliat dan mengirim umpan balik ke sistem saraf pusat. Umpan balik ini menyebabkan sinyal langsung dari serat otot untuk berkontraksi. Keterlibatan SSC dalam latihan memberikan output daya ledak yang lebih besar (Duchateau dan Enoka, 2011).

Perekrutan motor unit memberikan dasar fisiologis untuk produksi kekuatan pada setiap kecepatan gerakan. Meskipun gerakan atletik terjadi sebagai akibat langsung dari tindakan otot rangka, hal itu terjadi dalam respon terhadap berbagai sinyal yang dikirim dan diterima dari sistem saraf. Gerakan terkontrol yang menghasilkan daya ledak selama aktivitas fisik dimulai pada korteks motorik yang terletak di lobus frontalis otak besar. Sinyal-sinyal listrik yang membentuk informasi yang kemudian diteruskan dari pusat otak yang lebih tinggi ke bawah

19

batang otak ke sumsum tulang belakang yang kemudian merangsang unit motorik tertentu untuk mengontrol tindakan otot (Gordon et al., 2004).

Jumlah motor unit yang direkrut untuk gerakan adalah salah satu faktor penentu yang paling penting dari amplitudo daya ledak yang dihasilkan karena menentukan jumlah luas penampang otot dan jumlah actin-myosin yang sesuai yang akan digunakan dalam gerakan. Pada tingkat aktivasi terrendah, hanya motor unit yang terkecil yang direkrut dan menghasilkan daya ledak minimal. Saat tingkat aktivasi meningkat, ambang rekrutmen motor unit yang lebih besar terlampaui, sehingga lebih banyak motor unit direkrut dan kekuatan bertahap menjadi lebih besar dan produksi daya ledak meningkat signifikan. Pada tingkat rangsangan tertentu, semua motor unit yang tersedia di dalam otot direkrut, menghasilkan daya ledak tertinggi.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa rangsangan listrik yang diberikan menghasilkan output daya ledak yang lebih besar dibandingkan dengan kontraksi

volunteer (William dan David, 2012). Hal ini menunjukkan potensi output daya

ledak maksimal otot dihambat oleh proses fisiologis tertentu. Untuk meraih output daya ledak maksimal mungkin akibat hilangnya inhibisi oleh proses tertentu dalam tubuh (Kraemer et al., 2012).

Banyak penelitian telah difokuskan pada fenomena coactivation, atau aktivasi otot antagonisbersama dengan otot-otot agonisdari gerakan. Karena otot-otot antagonis yang digunakan dalam gerakan menentang arah gerakan, hal ini dapat menghambat kontraksi maksimum otot. Meskipun dapat merugikan terhadap output daya ledak maksimal, penelitian saat ini menunjukkan bahwa

20

kontraksi otot antagonis untuk menstabilkan sendi, memungkinkan untuk kontrol yang lebih baik dari gerakan ini dan mencegah kerusakan jaringan dari

overextension (Behm et al., 2002).

Mekanisme mencegah cedera yang lainnya adalah melalui golgi tendon organ. GTO adalah organ proprioceptorterletak di dalam tendon yang melekatkan otot ke tulang dan mengontrol jumlah gaya yang diterapkan pada tendon (Potts, 2006). Ketika kontraksi otot, menyebabkan tarikan pada tendon untuk memindahkan tulang. Jika jumlah kekuatan yang terlalu besar pada tendon, GTO diaktifkan dan menghambat otot untuk mencegah kerusakan pada otot, tendon atau tulang. Meskipun GTO bertindak sebagai ukuran keamanan terhadap cedera, namun di sisi lain juga membatasi jumlah kekuatan yang dapat dikembangkan oleh otot. Disinhibisi dari GTO telah secara teoritis mampu membantu meningkatkan output daya ledak, namun, dengan kemungkinan mengorbankan potensi cedera (Issurin, 2005). Dengan demikian, mengurangi aktivitas GTO dengan mempertimbangkan keamanan mungkin merupakan mekanisme potensial untuk menghasilkan output daya ledak yang lebih baik.

Daya ledak adalah bagian dari banyak gerakan baik intensitas rendah maupun intensitas tinggi. Mekanisme yang mendasari daya ledak melibatkan sejumlah karakteristik fisiologis dalam sistem neuromuskuler individu. Komposisi motor unit untuk ukuran serat otot, jenis dan jumlah memainkan peran penting bagi seorang atlet. Latihan yang optimal berdasarkan pada pemahaman bioenergetika pemulihan dan waktu sesi pelatihan merupakan masalah desain penting bagi pengembangan program latihan (Newton et al., 2006).

21

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Ledak Otot

Menurut Berger (2002), ada dua faktor yang mempengaruhi daya ledak, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh manusia dan cenderung menetap, contohnya: genetik, umur, indeks massa tubuh dan jenis kelamin. Sedangkan faktor eksternalnya meliputi: motivasi, suhu dan kelembaban relatif udara. Berikut uraian dari faktor-faktor tersebut di atas.

1. Genetik

Genetik manusia, unit yang kecil yang tersusun atas sekuen

Deoxyribonucleic Acid (DNA) adalah bahan paling mendasar dalam menentukan

hereditas. Keunggulan genetik yang bersifat pembawaan atau genetik tertentu diperlukan untuk berhasil dalam cabang olahraga tertentu. Beberapa komponen dasar seperti proporsi tubuh, karakter, psikologis, otot merah, otot putih dan suku, sering menjadi pertimbangan untuk pemilihan atlet (Widhiyanti 2013). Tubuh seseorang secara genetik rata-rata tersusun oleh 50% serabut otot tipe lambat dan 50% serabut otot tipe cepat pada otot yang digunakan untuk bergerak (Quinn, 2013). Bagi orang yang memiliki kemampuan daya ledak di atas rata-rata biasanya secara genetis memiliki persentase otot tipe cepat yang lebih tinggi (Shergold, 2013).

2. Umur

Massa otot semakin besar seiring dengan bertambahnya umur seseorang. Pembesaran otot ini erat sekali kaitannya dengan kekuatan otot, di mana kekuatan otot merupakan komponen penting dalam peningkatan daya ledak. Kekuatan otot

22

akan meningkat sesuai dengan pertambahan umur (Kamen dan Roy, 2000). Selain ditentukan oleh pertumbuhan fisik, kekuatan otot ini ditentukan oleh aktivitas ototnya. Laki-laki dan perempuan akan mencapai puncak kekuatan otot pada usia 20-30 tahun. Kemudian di atas umur tersebut mengalami penurunan, kecuali diberikan pelatihan. Namun umur di atas 65 tahun kekuatan ototnya sudah mulai berkurang sebanyak 20% dibandingkan sewaktu muda (Nala, 2011).

3. Indeks Massa Tubuh

Indeks massa tubuh adalah nilai yang diambil dari perhitungan antara berat badan dan tinggi badan seseorang. Dimana IMT merupakan hasil dari berat badan dengan satuan kilogram dibagi dengan tinggi badan dengan satuan meter yang telah dikuadratkan (Arga, 2008).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat kegemukan memiliki pengaruh yang besar terhadap performa empat komponen fitness dan tes-tes kemampuan atletik. Kegemukan tubuh berhubungan dengan keburukan performa atlet pada tes-tes speed (kecepatan), endurance (daya tahan), balance (kesimbangan) agility (kelincahan) serta power (daya ledak) (Arga, 2008).

4. Jenis Kelamin

Kekuatan otot laki-laki sedikit lebih kuat daripada kekuatan otot perempuan pada usia 10-12 tahun. Perbedaan kekuatan yang signifikan terjadi seiring pertambahan umur, di mana kekuatan otot laki-laki jauh lebih kuat daripada wanita (Bompa, 2005). Pengaruh hormon testosteron memacu pertumbuhan tulang dan otot pada laki-laki, ditambah perbedaan pertumbuhan fisik dan aktivitas fisik wanita yang kurang juga menyebabkan kekuatan otot

23

wanita tidak sebaik laki-laki. Bahkan pada umur 18 tahun ke atas, kekuatan otot bagian atas tubuh pada laki-laki dua kali lipat daripada perempuan, sedangkan kekuatan otot tubuh bagian bawah berbeda sepertiganya (Nala, 2011).

5. Motivasi

Motivasi Olahraga adalah keseluruhan daya penggerak (motif–motif) didalam diri individu yang menimbulkan kegiatan berolahraga, menjamin kelangsungan latihan dan memberi arah pada kegiatan latihan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki (Gunarsa, 2004). Dengan motivasi yang baik akan dicapai hasil latihan maksimal.

6. Suhu dan Kelembaban Relatif

Suhu sangat berpengaruh terhadap performa otot. Suhu yang terlalu panas menyebabkan seseorang akan mengalami dehidrasi saat latihan. Dan suhu yang terlalu dingin menyebabkan seorang atlet susah mempertahankan suhu tubuhnya, bahkan menyebabkan kram otot (Widhiyanti, 2013). Pada umumnya upaya penyesuaian fisiologis atau adaptasi orang Indonesia terhadap suhu tropis sekitar 290-300C dan kelembaban relatif antara 85%-95%.

2.2.4 Sistem Energi Daya Ledak

Kontraksi otot memerlukan jumlah energi yang besar. Adenosin Tri Posfat (ATP) menyediakan energi untuk kontraksi otot (Saryonoi, 2011). Dalam proses kontraksi sel otot, ATP berguna untuk:

1. Proses kontraksi

24

3. Mempertahankan gradient ion Na/K melewati sarcolemma (potensial membran)

Penggunaan energi kontraksi otot terbagi menjadi dua, yaitu: 1. Kebutuhan Energi Jangka Pendek

Kebutuhan energi jangka pendek terdiri dari dua sistem, yaitu: a) Sistem creatine phospate

ADP + creatine phospatecreatine + ATP (enzim: creatine kinase). Reaksi ini terjadi pada sarcoplasma. ATP dipecah selama kontraksi, kadar creatine phospate cepat habis selama intensitas kontraksi yang tinggi. Dapat memepertahankan kontraksi maksimum selama 8-10 detik. Kreatin fosfat dihasilkan selama kondisi istirahat (ATP + creatine

ceratin phospate + ADP). Refosforilasi ceratin terjadi pada

membrane mitocondria (Saryonoi, 2011).

Suplai ceratine phospate dihabiskan selama 30 detik. Tidak ada oksigen yang diperlukan oleh creatine phospate untuk bekerja, fosforilasi bersifat langsung (Saryonoi, 2011).

b) Sistem glikogen asam laktat

Menghasilkan ATP selama 30-40 detik untuk aktivitas maksimum, misalnya berlari mengelilingi lapangan basket. Otot memperoleh glukosa dari darah dan simpanan glikogen. Penggunaan metabolisme glukosa secara anaerob akan menghasilkan asam laktat. Peningkatan keasaman (asam laktat) dan kekurangan ATP menyebabkan otot tidak

25

dapat berkontraksi. Oksigen diperlukan untuk membebaskan asam laktat (Saryonoi, 2011).

2. Kebutuhan Energi Jangka Panjang

Proses respirasi aerob diperlukan untuk sintesis ATP yang diperlukan pada aktivitas yang lama. Respirasi aerob menghasilkan 36 ATP atau satu molekul glukosa. Setelah 40 detik aktivitas, sistem respirasi dan kardiovaskuler harus mengangkut cukup oksigen untuk respirasi aerob. Laju konsumsi oksigen meningkat selama 3-4 menit dan kemudian kadar menetap pada kondisi stabil. Metabolisme aerob terjadi pada glukosa, asam lemak dan molekul berenergi tinggi lainnya. Pembatasan metabolisme energi aerob tergantung pada penurunan glikogen dan glukosa darah, kehilangan cairan dan elektrolit (Saryonoi, 2011).

2.2.5 Pengukuran Daya Ledak Otot

Daya ledak merupakan suatu ukuran dari perfoma otot, yang berkaitan dengan kekuatan dan kecepatan gerak dan dapat didefinisikan sebagai kerja per unit waktu atau gaya dikalikan jarak dibagi dengan waktu. Dengan demikian tes yang bertujuan untuk mengukur daya ledak seharusnya melibatkan komponen gaya, jarak dan waktu. Ada dua tes daya ledak otot. Pengukuran yang pertama yaitu athletic power measurement. Pada pengukuran ini hasil pengukuran dinyatakan dengan satuan jarak (inchi, cm, kaki, dll) sedangkan gaya dan kecepatan tidak diukur. Contohnya: vertical jump test dan standing long jump test. Pengukuran yang kedua adalah work power measurement. Pada pengukuran ini

26

dilakukan berdasarkan perhitungan dari kerja persatuan waktu. Contohnya:

vertical power jump dan vertical arm pull. (Alamsyah, 2008)

Pada penelitian ini dilakukan evaluasi perubahan daya ledak dengan

vertical jump test. Tes dilakukan sebanyak 3 kali percobaan, dan yang digunakan

adalah hasil pencapaian terbaik.

2.3

Plyometric Exercise

2.3.1 Pengetian dan Perkembangan Plyometric Exercise

Plyometric berasal dari bahasa Yunani yang akar katanya adalah plyo dan

metric. Plyo bermakna tambah atau lagi dan metric berarti ukuran. Dengan

demikian plyometric diartikan sebagai menambah ukuran, ukuran daya ledak otot (Nala, 2011). Plyometric exercise dapat diterjemahkan sebagai latihan-latihan yang menghasilkan pergerakan otot sehingga menyebabkan refleks regang dalam otot. Plyometric adalah latihan-latihan atau ulangan yang bertujuan menghubungkan gerakan kecepatan dan kekuatan untuk menghasilkan gerakan-gerakan eksplosif (Arga, 2008). Terminologi plyometric ini sendiri pertama kali dimunculkan pada tahun 1975 oleh Fred Wilt salah seorang pelatih atletik warga Amerika (Lubis, 2013).

Dari studi kepustakaan menunjukan bahwa Galen (129–199 AD), seorang dokter pribadi kaisar Marcus Aurelius dan juga dokter untuk para Gladiator di Roma sebagai orang pertama yang telah mencoba menuangkan pemikirannya ke dalam serangkaian karya tulis mengenai periodisasi latihan, yang di dalamnya terdapat metode plyometric exercise.

27

Secara profesional latihan ini dimulai pada tahun 1960 ketika Yuri Veroshanki pelatih atletik asal Rusia menggunakan metode plyometric exercise kepada atlet lompatnya dan mengalami kesuksesan yang luar biasa dipertandingan. Plyometric mulai menjadi perhatian selama sejak 1972 ketika Olimpiade Munich, Jerman Barat. Negara Rusia dengan Valery Borzov menang pada nomor lari 100 meter dengan catatan waktu 10,00 detik dan menang di nomor sprint lari 200 meter, kesuksesan tersebut karena kontribusi dari penggunaan metode plyometric exercise, yang pada akhirnya Yuri Veroshanki dipanggil sebagai bapak penelitian plyometric (Lubis 2013).

Kini plyometric exercise adalah salah satu latihan yang favorit yang dilakukan oleh pelatih olahraga, terutama kepada cabang olahraga yang membutuhkan kemampuan daya ledak otot tungkai atau otot lengan. Plyometric

exercise dapat disesuaikan dengan tuntutan cabang olahraga yang ditekuni. Hal ini

berarti bahwa gerakan yang dilakukan dalam latihan ini harus sesuai dengan gerakan yang dominan dalam olahraga tersebut. Plyometric exercise lower body merupakan plyometric exercise yang cocok untuk olahraga sepak bola, lari sprint,

hocky, rugby, baseball dan lain-lain (Comfort dan Abrahamson, 2010).

2.3.2 Mekanisme dan Fisiologi Plyometric Exercise

Plyometric exercise membantu meningkatkan kekuatan eksplosif dan

kecepatan pada jaringan otot fast twitch. Latihan ini memanfaatkan sifat

stretch-recoil yang melekat pada otot (misalnya, kontraksi eksentrik terjadi saat otot

memanjang) (Whytey dan Godfrey, 2006 a). Gerakan plyometrik dapat dibagi menjadi tiga fase, (Whytey dan Godfrey, 2006 a) yaitu:

28

a. Fase pemanjangan (kontraksi eksentrik) b. Fase amortization

c. Fase take off (kontraksi konsentrik)

Selama fase pemanjangan, otot menghasilkan tegangan seperti per yang diregangkan. Tipe kontraksi ini disebut kontraksi eksentrik. Selama kontraksi eksentrik, tegangan terbangun di dalam otot. Fase amorrtization adalah fase saat dimulainya fase pemanjangan hingga awal dari fase take-off. Ini adalah fase terpenting saat melakukan plyometric exercise. Selama fase ini berlangsung, otot harus merubah tegangan muskular yang dihasilkan selama fase pemanjangan menjadi percepatan selama fase take-off berlangsung. Sifat elastis yang melekat di dalam otot dan reflek neuromuskular (stretch reflex) bertanggung jawab untuk perubahan tersebut. Take-off terjadi melalui kontraksi konsentrik dari otot. Selama fase ini, otot mengalami pemendekan saat berkontraksi.

Terdapat tiga teori yang menjelaskan tentang peningkatan daya ledak otot melalui plyometric exercise. Yang pertama, peregangan yang cepat dari otot agonis mengaktivasi muscle spindle yang menyebabkan peningkatan laju neuron sensoris yang berhubungan dengan rantai nuclear intrafusal dan kantung serat otot (Kolt dan Mackler, 2007). Peningkatan laju saraf sensoris menyebabkan peningkatan kontraksi otot agonis dan sinergis dengan alpha motor neuron melalui

monosynaptic spinal reflex yang memicu peningkatan kontraksi otot secara

menyeluruh (Kolt dan Mackler, 2007).

Teori yang kedua mengemukakan penurunan sensitivitas golgi tendon organ untuk meregang. GTO berada di dalam tendon otot, diaktivasi oleh

29

tegangan di dalam otot. GTO memberikan mekanisme protektif dengan menghambat produksi kekuatan agonis ketika tegangan mencapai level yang dapat merusak otot. Plyometric exercise diketahui dapat mengurangi sensasi dari GTO, yang pada akhirnya mampu memproduksi kekuatan dengan meminimalisir penghambatan kekuatan agonis (Kolt dan Mackler, 2007).

Teori yang ketiga berdasarkan pada adaptasi neuromuskular. Antara kontraksi eksentrik dan konsentrik biasanya memilki rentang waktu tertentu. Melalui plyometric exercise maka transisi antara kontraksi eksentrik menuju konsentrik dapat diminimalisir, waktu reaksi antara impuls saraf dan kontraksi otot dapat dikurangi dan dapat memperkuat lebih banyak motor unit (Kolt dan Mackler, 2007).

Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa secara fisiologis

plyometric exercise meningkatkan daya ledak otot melalui proses adaptasi yang

berkesinambungan pada sistem neuromuskuloskeletal. 2.3.3 Pedoman Plyometric Exercise

Sebuah hasil latihan yang maksimal harus memiliki prinsip latihan. Tanpa adanya prinsip atau patokan yang harus diikuti oleh semua pihak yang terkait, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evaluasi pelatihan akan sulit mencapai hasil yang maksimal (Nala, 2011).

Plyometric exercise harus disesuaikan dengan karakteristik individu dan

menyesuaikan dengan aktivitas yang akan dilatih. Tekanan yang lebih besar akan dialami oleh otot, sendi dan jaringan penghubung pada individu yang lebih gemuk. Individu yang memiliki berat berlebih (lebih berat dari 90 Kg),

30

seharusnya tidak melakukan plyometric exercise intensitas tinggi. Individu dengan riwayat cedera juga sebaiknya mendapat persetujuan dokter untuk melakukan latihan ini (Deuster et al., 2007).

Dalam plyometric exercise, pedoman latihan yang harus diperhatikan antara lain:

a) Frekuensi dan Lamanya Latihan

Frekuensi adalah jumlah latihan yang dilakukan per minggu atau kekerapan latihan per minggu (Nala, 2011). Frekuensi latihan untuk mengembangkan komponen daya ledak otot, jika dilakukan tujuh kali seminggu dianggap densitasnya terlalu tinggi. Menurut Deuster et al. (2007), untuk plyometric

exercise, rentangnya biasanya dilakukan satu hingga tiga kali per minggu.

Menurut Kolt dan Mackler (2007), plyometric exercise sering dilakukan dua kali per minggu, dengan waktu 48 jam sebagai periode istirahat dan recovery.

Lamanya latihan adalah berapa minggu atau berapa bulan program tersebut dijalankan sehingga memperoleh kondisi yang diharapkan (Widhiyanti, 2013). Peningkatan otot rangka sudah Nampak apabila dilakukan pelatihan minimal 4-6 minggu (Widhiyanti, 2013). Plyometric exercise dapat menunjukkan adaptasi yang signifikan dengan latihan selama empat minggu (Rezaimanesh et al., 2011).

Dengan berbagai pertimbangan teoritis dan terkait intern pemain bola voli FK UNUD, maka dalam penelitian ini latihan dilakukan tiga kali sesi pertemuan dalam satu minggu, dengan diberi jeda waktu istirahat dan recovery tidak lebih dari 48 jam. Latihan dilaksanakan selama empat minggu.

31

b) Intensitas

Intensitas pada plyometric exercise adalah level tekanan yang diterima oleh sistem neuromuskular, jaringan penghubung dan sendi. Hal tersebut tergantung pada tipe latihan yang dilakukan. Intensitas selalu diukur dengan tingkat kesulitan gerakan. Semakin sulit gerakan, intensitasnya semakin tinggi. Beberapa guideline dalam plyometric exercise dapat disajikan sebagai berikut (Deuster et al., 2007):

 Lompatan vertikal lebih stressfull daripada lompatan horisontal.

 Mendarat dengan satu kaki lebih stressfull daripada mendarat dengan dua kaki.

 Semakin tinggi permukaan tanah dari tubuh maka semakin bertenaga dan semakin stressfull latihan yang dilakukan.

 Menambahkan beban eksternal akan meningkatkan stress pada tubuh. c) Waktu

Waktu latihan sebaiknya pendek, tetapi berisi dan padat dengan kegiatan– kegiatan yang bermanfaat. Waktu latihan berlangsung terlalu lama dan terlalu melelahkan akan berbahaya karena setiap latihan akan dipandang suatu siksaan. Hari-hari latihan berikutnya dilihat dengan perasaan enggan dan jenuh. d) Repetisi

Dalam prinsip plyometric exercise, repetisi adalah jumlah ulangan suatu latihan, sedangkan set adalah suatu rangkaian kegiatan dari satu repetisi. Tidak ada riset yang menunjukkan secara rinci aturan berkaitan dengan set dan repetisi. Literatur lebih menganjurkan agar pelatih menyesuaikan dengan

32

kondisi dan tingkat keberhasilan latihan. Banyaknya ulangan atau repetisi berkisar antara 6-10 kali dengan semakin sedikit ulangan untuk rangkaian yang lebih berat dan lebih banyak ulangan untuk latihan-latihan yang lebih ringan (Arga, 2008).

Peningkatan latihan dilakukan secara bertahap, yakni dengan cara

Dokumen terkait