• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENAMBAHAN BALLISTIC STRETCHING PADA LATIHAN KNEE TUCK JUMP LEBIH EFEKTIF DIBANDINGKAN LATIHAN KNEE TUCK JUMP TERHADAP PENINGKATAN DAYA LEDAK OTOT TUNGKAI PADA PEMAIN VOLI LAKI-LAKI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENAMBAHAN BALLISTIC STRETCHING PADA LATIHAN KNEE TUCK JUMP LEBIH EFEKTIF DIBANDINGKAN LATIHAN KNEE TUCK JUMP TERHADAP PENINGKATAN DAYA LEDAK OTOT TUNGKAI PADA PEMAIN VOLI LAKI-LAKI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA."

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENAMBAHAN

BALLISTIC STRETCHING

PADA LATIHAN

KNEE TUCK JUMP

LEBIH EFEKTIF DIBANDINGKAN

LATIHAN

KNEE TUCK JUMP

TERHADAP PENINGKATAN

DAYA LEDAK OTOT TUNGKAI PADA PEMAIN VOLI

LAKI-LAKI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

I MADE DWI APRI PRAMANA

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

2

PENAMBAHAN

BALLISTIC STRETCHING

PADA LATIHAN

KNEE TUCK JUMP

LEBIH EFEKTIF DIBANDINGKAN

LATIHAN

KNEE TUCK JUMP

TERHADAP PENINGKATAN

DAYA LEDAK OTOT TUNGKAIPADA PEMAIN VOLI

LAKI-LAKI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

Skripsi ini diajukan sebagai

Salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA FISIOTERAPI

Oleh:

I MADE DWI APRI PRAMANA

NIM. 1202305020

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2016

(3)
(4)
(5)
(6)

6

PENAMBAHAN

BALLISTIC STRETCHING

PADA LATIHAN

KNEE TUCK JUMP

LEBIH EFEKTIF DIBANDINGKAN

LATIHAN

KNEE TUCK JUMP

TERHADAP PENINGKATAN

DAYA LEDAK OTOT TUNGKAI PADA PEMAIN VOLI

LAKI-LAKI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

ABSTRAK

Daya ledak otot adalah salah satu komponen kebugaran yang sangat diperlukan oleh seorang atlet. Daya ledak otot adalah kombinasi antara kecepatan dan kekuatan kontraksi otot. Bagi pemain voli, daya ledak otot tungkai mutlak diperlukan untuk mencapai performa yang maksimal dalam setiap pertandingannya. Berdasarkan teori bahwa latihan pliometrik dapat meningkatkan daya ledak otot tungkai. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan efektivitas penambahan ballistic stretching pada latihan knee tuck jump terhadap peningkatan daya ledak otot tungkai.

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan penelitian yang digunakan adalah Pre Test and Post Test Control Group Design. Sampel dibagi menjadi dua kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 10 orang. Kelompok I yang diberikan penambahan ballistic stretching pada latihan knee

tuck jump. Kelompok II diberikan latihan knee tuck jump. Pengukuran daya ledak

otot tungkai menggunakan vertical jum test. Latihan dilakukan selama empat minggu dengan frekuensi tiga kali dalam satu minggu. Selanjutnya dilakukan uji normalitas dengan Saphiro-Wilk Test dan uji homogenitas dengan Levene’s test.

Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan daya ledak otot tungkai pada kelompok I sebesar 14,30 cm dan pada kelompok II terjadi peningkatan sebesar 7,70 cm. Hasil uji paired sample t-test didapatkan perbedaan yang signifikan dengan nilai p=0,000 (p<0,05) pada kelompok I dan nilai p=0,000 (p<0,05) pada kelompok II. Uji beda selisih dengan independent t-test menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok I dan kelompok II dimana p=0,000 (p<0,05) dengan persentase sebesar 30,95% pada kelompok I dan 16,73% pada kelompok II.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penambahan ballistic stretching pada latihan knee tuck jump lebih efektif daripada latihan knee tuck jump dalam meningkatkan daya ledak otot tungkai pada pemain voli laki-laki Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Kata kunci: Daya ledak otot, ballistic stretching, knee tuck jump, vertical jump test.

(7)

7

ADDITION BALLISTIC STRETCHING ON KNEE TUCK JUMP EXERCISE MORE EFFECTIVE THAN KNEE TUCK JUMP EXERCISE TO INCREASE POWER OF LEG MUSCLE OF VOLLEYBALL PLAYERS MALE IN THE

FACULTY OF MEDICINE UDAYANA UNIVERSITY

ABSTRACT

Muscle power is a component of fitness that is needed by an athlete. Muscle power is a combination between speed and strength of muscle contraction. For volleyball players, leg muscle power is absolutely necessary to achieve maximum performance in every game. Based on the theory that plyometrics exercises can increase the power of leg muscle. The purpose of this study was to compare the effectiveness of the addition of ballistic stretching on knee tuck jump exercise to increase the power of leg muscle.

This study is experimental research using Pre Test and Post Test Control Group Design. The samples were divided into two groups. Each group consisted of 10 people. The first group was given additional ballistic stretching on knee tuck jump exercise. The second group was given knee tuck jump exercise. measurement the power of leg muscle using vertical jump test. Exercise carried out for four weeks with a frequency of three times a week. The next test with the Shapiro-Wilk normality test and homogeneity test by Levene's test.

The results showed an increase in the power of leg muscle in group I by 14.30 cm and in group II an increase of 7.70 cm. Results of paired sample t-test found a significant difference with p = 0.000 (p <0.05) in group I and the value of p = 0.000 (p <0.05) in group II. Different test difference with independent t-test showed significant difference between group I and group II where p = 0.000 (p <0.05) with the percentage of 30.95% in group I and 16.73% in group II.

Based on these results we can conclude that the addition of ballistic stretching on knee tuck jump exercise is more effective than knee tuck jump exercise in increasing the power of leg muscle on volleyball players male in the faculty of medicine udayana university.

Keywords: Muscle power, ballistic stretching, knee tuck jump, vertical jump test.

(8)

8

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu yang berjudul “Penambahan Ballistic Stretching pada Latihan Knee Tuck Jump Lebih Efektif Dibandingkan Dengan Latihan Knee Tuck Jump terhadap Peningkatan Daya Ledak Otot Tungkai pada Pemain Voli Laki-Laki Fakultas Kedokteran Universitas Udayana”.

Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana Fisioterapi. Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam penyusunan Skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terkait dalam penulisan Skripsi ini, yaitu kepada:

1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT, (K), M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. Prof. Dr. dr. I Nyoman Adiputra, MOH, PFK selaku Ketua Program Studi Fisioterapi Universitas Udayana.

3. I Putu Sutha Nurmawan, SSt.FT, M.Fis selaku pembimbing sekaligus pengajar yang telah banyak memberikan petunjuk dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

4. dr. I Putu Adiarta Griadhi, M.Fis selaku pembimbing yang telah banyak memberikan petunjuk dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Aiptu. I Wayan Mandri, Ni Wayan Korji, Ni Wayan Wulandari Wiyanti, Amd.Keb, dan seluruh keluarga besar yang selalu mendoakan dan memberi dukungan serta motivasi tanpa hentinya agar penulis berjuang

(9)

9

dan berusaha menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya hingga terselesaikannya skripsi ini.

6. Seluruh teman - teman AXOPLASMIC, Fisioterapi FK Unud 2012 yang selalu membantu dan memberikan semangat dalam berbagai cara baik itu melalui tawa, canda, ataupun nasihat-nasihat yang memacu semangat. Terimakasih banyak sudah mengingatkan satu sama lainnya untuk sama-sama berjuang.

7. Para sahabat yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terimakasih banyak sudah selalu berbagi cerita-cerita motivasi dan memberikan semangat walaupun kita terbatas ruang dan waktu.

8. Dosen - dosen pengajar dan staf Program Studi Fisioterapi yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Seluruh kerabat dan sejawat yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak penulis sangat harapkan.

Denpasar, Mei 2016

Penulis

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN………... iv

ABSTRAK……… v

ABSTRACT……… vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 6

1.3Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Umum ... 6

1.3.2 Tujuan Khusus ... 7

1.4Manfaat Penelitian ... 7

1.4.1 Manfaat Umum ... 7

1.4.2 Manfaat Khusus ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1Kajian Anatomi dan Fisiologi ... 8

2.1.1 Anatomi Otot Tungkai Bawah ... 8

2.1.2 Fisiologi Otot Rangka ... 15

2.2Daya Ledak Otot ... 16

2.2.1 Pengertian Daya Ledak Otot ... 16

2.2.2 Mekanisme dan Fisiologi Daya Ledak Otot ... 17

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya Ledak Otot... 21

(11)

11

2.2.4 Sistem Energi Daya Ledak Otot………... 23

2.2.5 Pengukuran Daya Ledak Otot ... 25

2.3PlyometricExercise ... 26

2.3.1 Pengertian Plyometric Exercise ... 26

2.3.2 Mekanisme dan Fisiologi Plyometric Exercise... 27

2.3.3 Pedoman Plyometric Exercise ... 29

2.3.4 Tes Klatt ... 34

2.4Latihan Knee Tuck Jump ... 36

2.4.1 Pengertian Latihan Knee Tuck Jump... 36

2.4.2 Pelaksanaan Latihan Knee Tuck Jump ... 36

2.4.3 Durasi Latihan Knee Tuck Jump ... 38

2.5Stretching ... 38

2.5.1 Pengertian Stretching ... 38

2.5.2 Kajian Fisiologi Stretching ... 39

2.5.3 Ballistic Stretching ... 42

2.5.4 Kajian Fisiologi Ballistic Stretching ... 43

2.5.5 Aplikasi Ballistic Stretching pada Latihan Knee Tuck Jump ... 44

2.6Vertical Jump ... 45

2.6.1 Pengertian Vertical Jump ... 45

2.6.2 Vertical Jump pada Bola Voli ... 45

2.6.3 Biomekanik Vertical Jump ... 46

2.6.4 Vertical Jump Test ... 46

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, HIPOTESIS 3.1Kerangka Berpikir ... 48

3.2Kerangka Konsep ... 51

3.3Hipotesis ... 52

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1Desain Penelitian ... 53

4.2Lokasi dan Waktu Penelitian ... 54

(12)

12

4.3Populasi dan Sampel ... 55

4.3.1 Populasi ... 55

4.3.2 Sampel ... 55

4.3.3 Besar Sampel ... 56

4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel... 58

4.4Variabel Penelitian ... 59

4.5Definisi Operasional Variabel ... 59

4.6Instrumen Penelitian ... 62

4.7Prosedur Penelitian ... 62

4.7.1 Prosedur Pendahuluan ... 62

4.7.2 Prosedur Pelaksanaan ... 63

4.8Alur Penelitian ... 67

4.9Teknik Analisis Data... 68

4.10Jadwal Penelitian………... 69

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1Data Karakteristik Sampel ... 70

5.2Uji Normalitas dan Homogenitas ... 71

5.3Pengujian Hipotesis ... 73

5.3.1 Uji Beda Peningkatan Daya Ledak Otot Tungkai Sebelum dan Sesudah Latihan ... 73

5.3.2 Uji Komparasi Peningkatan Daya Ledak Otot Tungkai Sesudah Pelatihan pada Kedua Kelompok ... 75

BAB VI PEMBAHASAN 6.1Karakteristik Sampel ... 77

6.2Distribusi dan Varians Sampel Penelitian ... 78

6.3Peningkatan Daya Ledak Otot Tungkai pada Kelompok Perlakuan... 78

6.4Peningkatan Daya Ledak Otot Tungkai pada Kelompok Kontrol ... 81

6.5Beda Pengaruh Penambahan Ballistic Stretching pada Latihan Knee Tuck Jump dan Latihan Knee Tuck Jump ... 83

(13)

13

6.6Kelemahan Penelitian ... 84 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1Simpulan ... 85 7.2Saran ... 85 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(14)

14

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Otot Quadriceps Femoris ... 8

Gambar 2.2 Grup Otot Hamstring ... 10

Gambar 2.3 Grup Otot Plantarfleksor Ankle ... 11

Gambar 2.4 Grup Otot Dorsifleksor Ankle ... 12

Gambar 2.5 Otot Gluteus Maximus ... 14

Gambar 2.6 Otot Gluteus Medius dan Minimus ... 15

Gambar 2.7 Tes Klatt ... 36

Gambar 2.8 Latihan Knee Tuck Jump ... 37

Gambar 2.9 Metode Ballistic Stretching ... 44

Gambar 2.10 Vertical Jump Test ... 47

Gambar 3.1 Skema Kerangka Konsep ... 51

Gambar 4.1 Desain Penelitian ... 53

Gambar 4.2 Alur Penelitian... 67

(15)

15

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Repetisi Plyometric Exercise ... 32

Tabel 2.2 Kriteria Lolos Tes Klatt ... 34

Tabel 4.1 Jadwal Penelitian... 69

Tabel 5.1 Distribusi Data Sampel Berdasarkan Umur, IMT, TB, dan BB ... 71

Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Peningkatan Daya Ledak Otot Tungkai Sebelum dan Sesudah Pelatihan ... 72

Tabel 5.3 Uji Daya Ledak Otot Tungkai sebelum Pelatihan ... 73

Tabel 5.4 Uji Daya Ledak Otot Tungkai sebelum dan sesudah Pelatihan 1 ... 74

Tabel 5.5 Uji Daya Ledak Otot Tungkai sebelum dan sesudah Pelatihan 2 ... 74

Tabel 5.6 Uji Daya Ledak Otot Tungkai sesudah Pelatihan ... 75

Tabel 5.7 Presentase peningkatan Daya Ledak Otot Tungkai Setelah Pelatihan .. 76

(16)
(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia orientasi pembangunan kesehatan sejak tahun 2010 menekankan pada upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif (Litbang Depkes, 2013). Salah satu upaya preventif dalam kesehatan adalah dengan aktivitas olahraga.

Olahraga adalah suatu kegiatan fisik menurut cara dan aturan tertentu dengan tujuan meningkatkan efisiensi fungsi tubuh yang hasil akhirnya meningkatkan kesegaran jasmani dan berpengaruh pula pada peningkatan prestasi pada cabang olahraga yang diikuti (Halim, 2004). Olahraga dapat dilakukan secara individual dan berkelompok. Olahraga yang dilakukan lebih dari satu orang sering didefinisikan sebagai bentuk persaingan, permainan dan menentukan kemampuan, fisik dan strategi (Yasriuddin, 2012). Setiap cabang olahraga memiliki karakteristik masing-masing sesuai dengan tujuan tugas-tugas gerak dan prosedur pelaksanaannya. Terdapat beberapa tujuan dari pelaksanaan kegiatan olahraga menurut kebutuhannya diantaranya: rekreasi, pendidikan, kesehatan, kesegaran jasmani dan prestasi (Nala, 2011). Melihat tujuan dari melakukan kegiatan olahraga, pada masa sekarang ini banyak cabang olahraga yang menjadi kegemaran masyarakat, salah satunya adalah olahraga bola voli.

(18)

2

orang dewasa. Dalam upaya meningkatkan prestasi tentunya tidak terlepas dari kondisi fisik yang dimiliki oleh pemainnya. Kondisi fisik adalah tingkat kemampuan fisik dalam memenuhi setiap aktivitas tubuh (Nala, 2011). Dalam permainan bola voli banyak macam komponen biomotorik yang diperlukan, salah satu yang dominan adalah daya ledak otot tungkai. Tinggi lompatan mencerminkan kemampuan daya ledak otot anggota gerak bawah. Pada cabang olahraga bola voli ketinggian dalam melompat sangat diperlukan oleh setiap pemain. Dalam meningkatkan prestasi permainan bola voli tidak terlepas dari berbagai faktor penunjang antara lain kondisi fisik, teknik, taktik dan mental (Harsono, 1988).

Pengaruh bola voli begitu kuat dan populer, bahkan olahraga ini kini berkembang dengan banyaknya kemunculan tim-tim bola voli di berbagai sekolah, instansi pemerintahan atau swasta dan Universitas di Indonesia. Bahkan di Bali, khususnya di Universitas Udayana, hampir seluruh fakultas memiliki tim bola voli. Fakultas Kedokteran sebagai bagian dari Universitas Udayana juga memiliki tim bola voli pada setiap program studinya, ini dibuktikan oleh adanya partisipasi dari masing-masing program studi dalam acara tahunan Porsehipp (Pekan Olahraga dan Seni Hippocrates) yang digelar di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

(19)

3

regu dipisah oleh sebuah net yang terpasang di tengah-tengah lapangan dengan ketinggian 2,43 meter untuk putra dan 2,24 meter untuk putri (Muhajir, 2007). Maka pemain bola voli, sangat memerlukan kemampuan melompat yang tinggi kearah vertical tanpa awalan. Vertical jump adalah suatu kemampuan untuk naik ke atas melawan gravitasi dengan menggunakan kemampuan otot. Untuk mampu melompat yang tinggi secara tiba-tiba perlu diberikan pelatihan. Kemampuan melompat secara tiba-tiba dalam komponen biomotorik disebut daya ledak.

Daya ledak adalah kemampuan melakukan aktivitas secara tiba-tiba dan cepat dengan mengerahkan seluruh kekuatan dalam waktu yang relatif sangat singkat. Daya ledak sering disebut kekuatan eksplosif ditandai dengan gerakan atau perubahan tiba-tiba yang cepat, di mana tubuh terdorong ke atas secara vertikal atau horizontal dengan cara melompat dengan mengerahkan kekuatan otot maksimal (Nala, 2011). Dalam olahraga bola voli, komponen daya ledak otot tungkai memiliki peran yang besar, mengingat olahraga bola voli adalah olahraga yang membutuhkan kerjasama antara anggota gerak atas dan anggota gerak bawah. Yang dimaksud daya ledak otot tungkai dalam hal ini adalah kemampuan jaringan tubuh berupa otot yang berada di sepanjang ekstremitas atau anggota gerak bawah untuk menghasilkan daya ledak.

(20)

4

atau kinerja. Latihan merupakan suatu aktivitas yang kompleks, suatu kinerja yang dilakukan secara sistematis dalam durasi yang panjang, progresif dan berjenjang, secara individual, dengan tujuan untuk mendapatkan suatu bentuk fungsi fisiologis dan psikologis tertentu agar dapat memenuhi berbagai tuntutan tugas sewaktu berolahraga (Nala, 2011). Diperlukan kerjasama dari berbagai disiplin ilmu untuk meningkatkan performa kebugaran seorang pemain bola voli. Salah satu disiplin ilmu yang berperan penting di dalamnya adalah fisioterapi.

Sesuai dengan Kepmenkes 1363, seorang fisioterapi memiliki kemampuan untuk mengembangkan gerak dan fungsi tubuh seorang, jadi kompetensi dan ruang lingkup seorang fisioterapi tidak terbatas pada penyembuhan dan rehabilitasi saja. Fisioterapi berperan dalam upaya peningkatan prestasi atlet dengan cara mengoptimalkan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional sesuai hasil analisis kebutuhan jenis olahraga sehingga tercapai prestasi yang maksimal (Arga, 2008).

(21)

5

Plyometric exercise sendiri terdiri dari beberapa tipe, antara lain :

Bounding, hopping, jumping, leaping, skipping dan richochet (Widhiyanti, 2013).

Masing-masing tersebut mempunyai karakter dan teknik yang berbeda. Adapun jenis plyometric exercise yang akan diterapkan oleh peneliti adalah tipe jumping. Dimana dalam pelaksanaannya peneliti akan menerapkan plyometric exercise

knee tuck jump. Peneliti tertarik mengangkat tipe latihan ini karena secara

aplikatif latihan ini mampu membantu pemain bola voli dalam meningkatkan daya ledak otot tungkai serta meningkatkan vertical jump pada pemain bola voli tersebut. Penelitian Markovic (2007) menyimpulkan bahwa latihan plyometrik dapat meningkatkan power tungkai, dengan hasil pada knee tuck jump sebesar 85%.

Untuk lebih meningkatkan kemampuan otot tungkai dalam penelitian ini peneliti mencoba menggunakan metode penambahan pemberian pereganganpada latihan knee tuck jump. Jenis peregangan yang diberikan disini adalah ballistic

stretching. Menurut Freshmen (2002) ballistic stretching merupakan suatu

gerakan penguluran dimana dalam penerapannya terjadi proses tersentak-sentak dengan cepat atau memantul-mantulkan gerakan. Peneliti akan melihat pengaruh penambahan pemberian ballistic stretching pada latihan knee tuck jump terhadap peningkatan daya ledak otot tungkai.

(22)

6

jump terhadap peningkatan daya ledak otot tungkai pada pemain voli laki-laki fakultas kedokteran universitas udayana”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan

diteliti adalah:

1. Apakah ada pengaruh latihan knee tuck jump terhadap peningkatan daya ledak otot tungkai pada pemain voli laki-laki Fakultas Kedokteran Universitas Udayana?

2. Apakah ada pengaruh penambahan ballistic stretching pada latihan knee tuck jump terhadap peningkatan daya ledak otot tungkai pada pemain voli laki-laki Fakultas Kedokteran Universitas Udayana?

3. Apakah ada perbedaan pengaruh penambahan ballistic stretching pada latihan

knee tuck jump terhadap peningkatan daya ledak otot tungkai pada pemain

voli laki-laki Fakultas Kedokteran Universitas Udayana?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

(23)

7

1.3.2 Tujuan Khusus

Sejalan dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1) Untuk mengetahui efektivitas penambahan ballistic stretching pada pada latihan knee tuck jump terhadap peningkatan daya ledak otot tungkai pada pemain voli laki-laki Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 2) Untuk mengetahui perbedaan pengaruh antara penambahan ballistic

stretching pada latihan knee tuck jump terhadap peningkatan daya ledak

otot tungkai pada pemain voli laki-laki Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Ilmiah

1. Diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan informasi bagi para pembaca (mahasiswa) tentang pengaruh penambahan ballistic

stretching pada latihan knee tuck jump terhadap daya ledak otot tungkai

pada pemain voli.

2. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan bagi para pembaca (mahasiswa) dalam mengembangkan penelitian selanjutnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

(24)

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1Kajian Anatomi dan Fisiologi

2.1.1 Anatomi Otot Tungkai Bawah

Daerah tungkai memiliki beberapa grup otot besar yang dapat memberikan kontribusi terhadap daya ledak tungkai khususnya saat melakukan latihan tipe

jumping. Beberapa grup otot besar yang dapat memberikan kontribusi terhadap

vertical jump adalah:

1. Group Otot Ekstensor Knee dan Fleksor Hip (Quadriceps Femoris)

Otot quadriceps femoris adalah salah satu otot rangka yang terdapat pada bagian depan paha manusia. Otot ini mempunyai fungsi dominan ekstensi pada knee (Watson, 2002). Otot quadricepsfemoris terdiri atas empat otot, yaitu:

(25)

9

a. Otot Rectus Femoris

Terletak paling superfisial pada facies ventalis berada diantara otot

quadriceps yang lain yaitu otot vastus lateralis dan medialis. Berorigo

pada Spina Illiaca Anterior Inferior (caput rectum) dan pada os ilium di

cranialis acetabulum (caput obliquum) dan mengadakan insersio pada

tuberositas tibia dengan perantaran ligamentum patellae. Otot ini

digolongkan ke dalam otot tipe 1 (Watson, 2002). b. Otot Vastus Lateralis

Tipe otot ini adalah otot tipe II yang berada pada sisi lateral yang mengadakan perlekatan pada facies ventro lateral trochanter major dan

labium lateral linea aspera femoris (Watson, 2002).

c. Otot Vastus Medial

Melekat pada labium medial linea aspera (dua pertiga bagian bawah) dan termasuk otot tipe II (Watson, 2002).

d. Otot Vastus Intermedius

Mengadakan perlekatan pada facies ventro-lateral corpus femoris juga merupakan otot tipe II (Watson, 2002).

2. Grup Otot Fleksor knee dan Ekstensor Hip (Hamstring)

Hamstring merupakan otot paha bagian belakang yang berfungsi sebagai

(26)

10

Gambar 2.2 Group otot hamstring (Watson, 2002) a. Otot Biceps Femoris

Mempunyai dua buah caput. Caput longum dan breve, caput longum berorigo pada pars medialis tuber Ichiadicum dan M. semitendinosus sedangkan caput breve berorigo pada labium lateral linea aspera

femoris, insersio otot ini pada capitulum fibula (Watson, 2002).

b. Otot Semitendinosus

Otot ini berorigo pada pars medialis tuber ichiadicum dan berinsersio pada facies medialis ujung proximal tibia (Watson, 2002).

c. Otot Semimembranosus

Melekat di sebelah pars lateralis tuber ichiadicum turun ke arah sisi medial regio posterior femoris dan berinsersio pada facies posterior

(27)

11

3. Grup Otot Plantarfleksor Ankle

Gambar 2.3 Group otot plantarfleksor ankle (Watson, 2002) a. Otot Gastrocnemius

Otot ini merupakan serabut otot fast-twitch yang sangat kuat untuk plantarfleksi kaki pada ankle joint. Otot gastrocnemius merupakan otot yang paling superfisial pada dorsal tungkai dan terdiri dari dua caput pada bagian atas calf. Dua caput tersebut bersamaan dengan soleus membentuk triceps surae. Bagian lateral dan medial otot masih terpisah satu sama lain sejauh memanjang kebawah pada middle dorsal tungkai. Kemudian menyatu dibawah membentuk tendon yang besar yaitu tendon Achilles (Hamilton, 2002).

b. Otot Soleus

Seperti otot gastrocnemius, otot soleus berfungsi pada gerakan plantarfleksi kaki pada ankle joint. Otot ini terletak di dalam

(28)

12

calf, di mana bagian lateral solueus terletak pada bagian atas dari tendon calcaneus. Serabut otot soleus masuk ke dalam tendon

calcaneal dalam pola bipenniform. Otot ini dominan memiliki serabut

slow-twitch (Hamilton, 2002).

4. Group Otot Dorsifleksor Ankle

Gambar 2.4 Group otot dorsifleksor ankle (Watson, 2002)

a. Tibialis Anterior

Otot ini terletak di sepanjang permukaan anterior tibia dari condylus

lateral kebawah pada aspek medial regio tarsometatarsal. Sekitar

setengah sampai dua pertiga kebawah tungkai otot ini menjadi

tendinous. Tendon berjalan didepan malleolus medial sampai pada

cuneiform pertama. Otot ini berperan dalam gerakan dorsifleksi ankle

(29)

13

setengah orang yang berdiri bebas dan ketika dalam posisi forward lean (Hamilton, 2002).

b. Extensor Digitorum Longus

Otot ini memanjang pada empat jari-jari kaki. Otot ini juga berperan pada gerakan dorsifleksi ankle joint dan tarsal joint serta membantu eversi dan abduksi kaki. Otot ini berbentuk penniform, terletak di lateral dari tibialis anterior pada bagian atas tungkai dan lateral dari extensor

hallucis longus pada bagian bawahnya. Tepat didepan ankle joint

tendon ini membagi empat tendon pada masing-masing jari-jari kaki (Hamilton, 2002).

c. Extensor Hallucis Longus

Otot ini berperan dalam gerakan ekstensi dan hiperekstensi ibu jari kaki. Otot extensor hallucis longus juga berperan pada gerakan dorsifleksi ankle dan tarsal joint. Seperti otot di atas, otot ini juga berbentuk penniform. Pada bagian atas otot ini terletak di dalam tibialis

anterior dan extensor digitorum longus, tetapi sekitar setengah bawah

tungkai tendon ini menyebar diantara dua otot tersebut di atas sehingga otot ini menjadi superfisial. Setelah mencapai ankle tendonnya ke arah medial melewati permukaan dorsal kaki sampai pada ujung ibu jari kaki (Hamilton, 2012).

(30)

14

a. Gluteus maximus

[image:30.595.264.404.276.438.2]

Otot ini merupakan otot yang terbesar yang terdapat di sebelah luar ilium membentuk perineum. Fungsinya antagonis dari iliopsoas yaitu rotasi fleksi dan endorotasi femur. Fungsi utama dari gluteus maximus adalah untuk menjaga bagian belakang tubuh tetap tegap atau untuk mendorong kedudukan pinggul ke posisi yang tepat (Lestari, 2015).

Gambar 2.5 otot gluteus maximus (Watson, 2002)

b. Gluteus medius dan minimus

Otot ini terdapat di bagian belakang dari sendi ilium di bawah gluteus

maksimus. Fungsinya abduksi dan endorotasi dari femur dan bagian

(31)
[image:31.595.238.423.113.282.2]

15

Gambar 2.6 otot gluteus medius dan minimus (Watson, 2002) 2.1.2 Fisiologi Otot Rangka

Karakteristik otot rangka secara fisiologis ada 4 aspek yaitu: contractility yaitu kemampuan otot untuk mengadakan respon (memendek) bila dirangsang.

Exstensibility (distensibility) yaitu kemampuan otot untuk memanjang bila otot

ditarik atau ada gaya yang bekerja pada otot tersebut bila otot rangka diberi beban.

Elasticity yaitu kemampuan otot untuk kembali kebentuk dan ukuran semula

setelah mengalami exstensibility atau distensibility (memanjang) atau contractility (memendek). Exsitability electric yaitu kemampuan untuk merespon terhadap rangsangan tertentu dengan memproduksi sinyal-sinyal listrik disebut tindakan potensi (Tortora dan Derrickson, 2009).

(32)

16

memungkinkan untuk respon lebih efisien terhadap berbagai jenis kebutuhan pada otot (Wiarto, 2013).

2.2 Daya Ledak Otot

2.2.1 Pengertian Daya Ledak Otot

Daya ledak otot adalah kemampuan otot untuk mengeluarkan kekuatan maksimal dalam waktu sangat singkat (Bompa, 2010). Daya ledak otot merupakan aktivitas secara tiba-tiba dan cepat dengan mengerahkan seluruh kekuatan. Sering disebut sebagai kekuatan eksplosif ditandai dengan adanya gerakan atau perubahan tiba-tiba yang cepat (Nala, 2011). Daya ledak dapat ditetapkan dengan seketika dan juga pada berbagai titik gerakan atau rata-rata pada berbagai porsi dari gerakan atau latihan (Knuttgen dan Komi, 2010). Daya ledak adalah tenaga yang dihasilkan persatuan waktu. Berdasarkan hal tersebut, daya ledak adalah fenomena neuromuskular yang sangat besar, dimana kekuatan adalah syarat mutlak dan kecepatan adalah kofaktor yang penting.

(33)

17

Sedangkan daya ledak siklik adalah kebalikannya. Daya ledak siklik berlangsung dalam waktu tertentu dengan gerakan berturut-turut atau berulang-ulang. Contoh olahraganya adalah: lari, bersepeda, sepak bola, basket dan lain sebagainya. Daya ledak juga dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan beban yang dihadapi, yaitu daya ledak absolute dan ada daya ledak relative. Daya ledak absolute adalah daya ledak yang mengerahkan kekuatan untuk mengatasi beban dari luar yang maksimum. Sedangkan daya ledak relative adalah daya ledak yang mengerahkan kekuatan untuk mengatasi beban dari berat badan sendiri (Berger, 2002).

Dalam mendesain sebuah program latihan daya ledak, diperlukan pengetahuan tentang gerak dan sifat otot serta tendon selama bergerak. Latihan khusus yang fokus pada peningkatan daya ledak telah berhasil mengembangkan teknik khusus yang meliputi gerakan eksplosif di mana proses adaptasinya bergantung pada pergantian yang cepat dari kontraksi eksentrik (otot mengalami pemanjangan saat kontraksi) menuju kontraksi konsentrik (otot mengalami pemendekan selama kontraksi), contohnya adalah plyometric exercise (Whytey et al., 2006 b).

2.2.2 Mekanisme dan Fisiologi Daya Ledak Otot

(34)

18

jarak dibagi dengan waktu dari gerakan (William dan David, 2012). Daya ledak puncak dicapai dengan kekuatan sedang hingga minimal pada kecepatan menengah (Hoffman, 2012).

Aksi konsentris otot tidak menghasilkan banyak kekuatan (Hoffman, 2012). Namun, output daya ledak dapat ditingkatkan lebih besar ketika gerakan eksentrik dan konsentris digunakan bersama-sama untuk mengambil keuntungan dari sifat elastis otot dalam siklus stretch-shortening cycle (SSC) (William dan David, 2012). Siklus ini dimulai dengan gerakan balasan yang cepat mengakibatkan peregangan otot target melalui aksi eksentrik. Otot memiliki kemampuan untuk diregangkan karena memiliki komponen elastis, yang terdiri dari jaringan ikat yang mengelilingi setiap lapisan jaringan otot. Ketika otot diregangkan, mechanoreceptors khusus yang terletak di dalam otot yang dikenal sebagai serat muscle spindle juga menggeliat dan mengirim umpan balik ke sistem saraf pusat. Umpan balik ini menyebabkan sinyal langsung dari serat otot untuk berkontraksi. Keterlibatan SSC dalam latihan memberikan output daya ledak yang lebih besar (Duchateau dan Enoka, 2011).

(35)

19

batang otak ke sumsum tulang belakang yang kemudian merangsang unit motorik tertentu untuk mengontrol tindakan otot (Gordon et al., 2004).

Jumlah motor unit yang direkrut untuk gerakan adalah salah satu faktor penentu yang paling penting dari amplitudo daya ledak yang dihasilkan karena menentukan jumlah luas penampang otot dan jumlah actin-myosin yang sesuai yang akan digunakan dalam gerakan. Pada tingkat aktivasi terrendah, hanya motor unit yang terkecil yang direkrut dan menghasilkan daya ledak minimal. Saat tingkat aktivasi meningkat, ambang rekrutmen motor unit yang lebih besar terlampaui, sehingga lebih banyak motor unit direkrut dan kekuatan bertahap menjadi lebih besar dan produksi daya ledak meningkat signifikan. Pada tingkat rangsangan tertentu, semua motor unit yang tersedia di dalam otot direkrut, menghasilkan daya ledak tertinggi.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa rangsangan listrik yang diberikan menghasilkan output daya ledak yang lebih besar dibandingkan dengan kontraksi

volunteer (William dan David, 2012). Hal ini menunjukkan potensi output daya

ledak maksimal otot dihambat oleh proses fisiologis tertentu. Untuk meraih output daya ledak maksimal mungkin akibat hilangnya inhibisi oleh proses tertentu dalam tubuh (Kraemer et al., 2012).

(36)

20

kontraksi otot antagonis untuk menstabilkan sendi, memungkinkan untuk kontrol yang lebih baik dari gerakan ini dan mencegah kerusakan jaringan dari

overextension (Behm et al., 2002).

Mekanisme mencegah cedera yang lainnya adalah melalui golgi tendon organ. GTO adalah organ proprioceptorterletak di dalam tendon yang melekatkan otot ke tulang dan mengontrol jumlah gaya yang diterapkan pada tendon (Potts, 2006). Ketika kontraksi otot, menyebabkan tarikan pada tendon untuk memindahkan tulang. Jika jumlah kekuatan yang terlalu besar pada tendon, GTO diaktifkan dan menghambat otot untuk mencegah kerusakan pada otot, tendon atau tulang. Meskipun GTO bertindak sebagai ukuran keamanan terhadap cedera, namun di sisi lain juga membatasi jumlah kekuatan yang dapat dikembangkan oleh otot. Disinhibisi dari GTO telah secara teoritis mampu membantu meningkatkan output daya ledak, namun, dengan kemungkinan mengorbankan potensi cedera (Issurin, 2005). Dengan demikian, mengurangi aktivitas GTO dengan mempertimbangkan keamanan mungkin merupakan mekanisme potensial untuk menghasilkan output daya ledak yang lebih baik.

(37)

21

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Ledak Otot

Menurut Berger (2002), ada dua faktor yang mempengaruhi daya ledak, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh manusia dan cenderung menetap, contohnya: genetik, umur, indeks massa tubuh dan jenis kelamin. Sedangkan faktor eksternalnya meliputi: motivasi, suhu dan kelembaban relatif udara. Berikut uraian dari faktor-faktor tersebut di atas.

1. Genetik

Genetik manusia, unit yang kecil yang tersusun atas sekuen

Deoxyribonucleic Acid (DNA) adalah bahan paling mendasar dalam menentukan

hereditas. Keunggulan genetik yang bersifat pembawaan atau genetik tertentu diperlukan untuk berhasil dalam cabang olahraga tertentu. Beberapa komponen dasar seperti proporsi tubuh, karakter, psikologis, otot merah, otot putih dan suku, sering menjadi pertimbangan untuk pemilihan atlet (Widhiyanti 2013). Tubuh seseorang secara genetik rata-rata tersusun oleh 50% serabut otot tipe lambat dan 50% serabut otot tipe cepat pada otot yang digunakan untuk bergerak (Quinn, 2013). Bagi orang yang memiliki kemampuan daya ledak di atas rata-rata biasanya secara genetis memiliki persentase otot tipe cepat yang lebih tinggi (Shergold, 2013).

2. Umur

(38)

22

akan meningkat sesuai dengan pertambahan umur (Kamen dan Roy, 2000). Selain ditentukan oleh pertumbuhan fisik, kekuatan otot ini ditentukan oleh aktivitas ototnya. Laki-laki dan perempuan akan mencapai puncak kekuatan otot pada usia 20-30 tahun. Kemudian di atas umur tersebut mengalami penurunan, kecuali diberikan pelatihan. Namun umur di atas 65 tahun kekuatan ototnya sudah mulai berkurang sebanyak 20% dibandingkan sewaktu muda (Nala, 2011).

3. Indeks Massa Tubuh

Indeks massa tubuh adalah nilai yang diambil dari perhitungan antara berat badan dan tinggi badan seseorang. Dimana IMT merupakan hasil dari berat badan dengan satuan kilogram dibagi dengan tinggi badan dengan satuan meter yang telah dikuadratkan (Arga, 2008).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat kegemukan memiliki pengaruh yang besar terhadap performa empat komponen fitness dan tes-tes kemampuan atletik. Kegemukan tubuh berhubungan dengan keburukan performa atlet pada tes-tes speed (kecepatan), endurance (daya tahan), balance (kesimbangan) agility (kelincahan) serta power (daya ledak) (Arga, 2008).

4. Jenis Kelamin

(39)

23

wanita tidak sebaik laki-laki. Bahkan pada umur 18 tahun ke atas, kekuatan otot bagian atas tubuh pada laki-laki dua kali lipat daripada perempuan, sedangkan kekuatan otot tubuh bagian bawah berbeda sepertiganya (Nala, 2011).

5. Motivasi

Motivasi Olahraga adalah keseluruhan daya penggerak (motif–motif) didalam diri individu yang menimbulkan kegiatan berolahraga, menjamin kelangsungan latihan dan memberi arah pada kegiatan latihan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki (Gunarsa, 2004). Dengan motivasi yang baik akan dicapai hasil latihan maksimal.

6. Suhu dan Kelembaban Relatif

Suhu sangat berpengaruh terhadap performa otot. Suhu yang terlalu panas menyebabkan seseorang akan mengalami dehidrasi saat latihan. Dan suhu yang terlalu dingin menyebabkan seorang atlet susah mempertahankan suhu tubuhnya, bahkan menyebabkan kram otot (Widhiyanti, 2013). Pada umumnya upaya penyesuaian fisiologis atau adaptasi orang Indonesia terhadap suhu tropis sekitar 290-300C dan kelembaban relatif antara 85%-95%.

2.2.4 Sistem Energi Daya Ledak

Kontraksi otot memerlukan jumlah energi yang besar. Adenosin Tri Posfat (ATP) menyediakan energi untuk kontraksi otot (Saryonoi, 2011). Dalam proses kontraksi sel otot, ATP berguna untuk:

1. Proses kontraksi

(40)

24

3. Mempertahankan gradient ion Na/K melewati sarcolemma (potensial membran)

Penggunaan energi kontraksi otot terbagi menjadi dua, yaitu: 1. Kebutuhan Energi Jangka Pendek

Kebutuhan energi jangka pendek terdiri dari dua sistem, yaitu: a) Sistem creatine phospate

ADP + creatine phospatecreatine + ATP (enzim: creatine kinase). Reaksi ini terjadi pada sarcoplasma. ATP dipecah selama kontraksi, kadar creatine phospate cepat habis selama intensitas kontraksi yang tinggi. Dapat memepertahankan kontraksi maksimum selama 8-10 detik. Kreatin fosfat dihasilkan selama kondisi istirahat (ATP + creatine

ceratin phospate + ADP). Refosforilasi ceratin terjadi pada

membrane mitocondria (Saryonoi, 2011).

Suplai ceratine phospate dihabiskan selama 30 detik. Tidak ada oksigen yang diperlukan oleh creatine phospate untuk bekerja, fosforilasi bersifat langsung (Saryonoi, 2011).

b) Sistem glikogen asam laktat

(41)

25

dapat berkontraksi. Oksigen diperlukan untuk membebaskan asam laktat (Saryonoi, 2011).

2. Kebutuhan Energi Jangka Panjang

Proses respirasi aerob diperlukan untuk sintesis ATP yang diperlukan pada aktivitas yang lama. Respirasi aerob menghasilkan 36 ATP atau satu molekul glukosa. Setelah 40 detik aktivitas, sistem respirasi dan kardiovaskuler harus mengangkut cukup oksigen untuk respirasi aerob. Laju konsumsi oksigen meningkat selama 3-4 menit dan kemudian kadar menetap pada kondisi stabil. Metabolisme aerob terjadi pada glukosa, asam lemak dan molekul berenergi tinggi lainnya. Pembatasan metabolisme energi aerob tergantung pada penurunan glikogen dan glukosa darah, kehilangan cairan dan elektrolit (Saryonoi, 2011).

2.2.5 Pengukuran Daya Ledak Otot

(42)

26

dilakukan berdasarkan perhitungan dari kerja persatuan waktu. Contohnya:

vertical power jump dan vertical arm pull. (Alamsyah, 2008)

Pada penelitian ini dilakukan evaluasi perubahan daya ledak dengan

vertical jump test. Tes dilakukan sebanyak 3 kali percobaan, dan yang digunakan

adalah hasil pencapaian terbaik.

2.3

Plyometric Exercise

2.3.1 Pengetian dan Perkembangan Plyometric Exercise

Plyometric berasal dari bahasa Yunani yang akar katanya adalah plyo dan

metric. Plyo bermakna tambah atau lagi dan metric berarti ukuran. Dengan

demikian plyometric diartikan sebagai menambah ukuran, ukuran daya ledak otot (Nala, 2011). Plyometric exercise dapat diterjemahkan sebagai latihan-latihan yang menghasilkan pergerakan otot sehingga menyebabkan refleks regang dalam otot. Plyometric adalah latihan-latihan atau ulangan yang bertujuan menghubungkan gerakan kecepatan dan kekuatan untuk menghasilkan gerakan-gerakan eksplosif (Arga, 2008). Terminologi plyometric ini sendiri pertama kali dimunculkan pada tahun 1975 oleh Fred Wilt salah seorang pelatih atletik warga Amerika (Lubis, 2013).

(43)

27

Secara profesional latihan ini dimulai pada tahun 1960 ketika Yuri Veroshanki pelatih atletik asal Rusia menggunakan metode plyometric exercise kepada atlet lompatnya dan mengalami kesuksesan yang luar biasa dipertandingan. Plyometric mulai menjadi perhatian selama sejak 1972 ketika Olimpiade Munich, Jerman Barat. Negara Rusia dengan Valery Borzov menang pada nomor lari 100 meter dengan catatan waktu 10,00 detik dan menang di nomor sprint lari 200 meter, kesuksesan tersebut karena kontribusi dari penggunaan metode plyometric exercise, yang pada akhirnya Yuri Veroshanki dipanggil sebagai bapak penelitian plyometric (Lubis 2013).

Kini plyometric exercise adalah salah satu latihan yang favorit yang dilakukan oleh pelatih olahraga, terutama kepada cabang olahraga yang membutuhkan kemampuan daya ledak otot tungkai atau otot lengan. Plyometric

exercise dapat disesuaikan dengan tuntutan cabang olahraga yang ditekuni. Hal ini

berarti bahwa gerakan yang dilakukan dalam latihan ini harus sesuai dengan gerakan yang dominan dalam olahraga tersebut. Plyometric exercise lower body merupakan plyometric exercise yang cocok untuk olahraga sepak bola, lari sprint,

hocky, rugby, baseball dan lain-lain (Comfort dan Abrahamson, 2010).

2.3.2 Mekanisme dan Fisiologi Plyometric Exercise

Plyometric exercise membantu meningkatkan kekuatan eksplosif dan

kecepatan pada jaringan otot fast twitch. Latihan ini memanfaatkan sifat

stretch-recoil yang melekat pada otot (misalnya, kontraksi eksentrik terjadi saat otot

(44)

28

a. Fase pemanjangan (kontraksi eksentrik) b. Fase amortization

c. Fase take off (kontraksi konsentrik)

Selama fase pemanjangan, otot menghasilkan tegangan seperti per yang diregangkan. Tipe kontraksi ini disebut kontraksi eksentrik. Selama kontraksi eksentrik, tegangan terbangun di dalam otot. Fase amorrtization adalah fase saat dimulainya fase pemanjangan hingga awal dari fase take-off. Ini adalah fase terpenting saat melakukan plyometric exercise. Selama fase ini berlangsung, otot harus merubah tegangan muskular yang dihasilkan selama fase pemanjangan menjadi percepatan selama fase take-off berlangsung. Sifat elastis yang melekat di dalam otot dan reflek neuromuskular (stretch reflex) bertanggung jawab untuk perubahan tersebut. Take-off terjadi melalui kontraksi konsentrik dari otot. Selama fase ini, otot mengalami pemendekan saat berkontraksi.

Terdapat tiga teori yang menjelaskan tentang peningkatan daya ledak otot melalui plyometric exercise. Yang pertama, peregangan yang cepat dari otot agonis mengaktivasi muscle spindle yang menyebabkan peningkatan laju neuron sensoris yang berhubungan dengan rantai nuclear intrafusal dan kantung serat otot (Kolt dan Mackler, 2007). Peningkatan laju saraf sensoris menyebabkan peningkatan kontraksi otot agonis dan sinergis dengan alpha motor neuron melalui

monosynaptic spinal reflex yang memicu peningkatan kontraksi otot secara

menyeluruh (Kolt dan Mackler, 2007).

(45)

29

tegangan di dalam otot. GTO memberikan mekanisme protektif dengan menghambat produksi kekuatan agonis ketika tegangan mencapai level yang dapat merusak otot. Plyometric exercise diketahui dapat mengurangi sensasi dari GTO, yang pada akhirnya mampu memproduksi kekuatan dengan meminimalisir penghambatan kekuatan agonis (Kolt dan Mackler, 2007).

Teori yang ketiga berdasarkan pada adaptasi neuromuskular. Antara kontraksi eksentrik dan konsentrik biasanya memilki rentang waktu tertentu. Melalui plyometric exercise maka transisi antara kontraksi eksentrik menuju konsentrik dapat diminimalisir, waktu reaksi antara impuls saraf dan kontraksi otot dapat dikurangi dan dapat memperkuat lebih banyak motor unit (Kolt dan Mackler, 2007).

Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa secara fisiologis

plyometric exercise meningkatkan daya ledak otot melalui proses adaptasi yang

berkesinambungan pada sistem neuromuskuloskeletal. 2.3.3 Pedoman Plyometric Exercise

Sebuah hasil latihan yang maksimal harus memiliki prinsip latihan. Tanpa adanya prinsip atau patokan yang harus diikuti oleh semua pihak yang terkait, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evaluasi pelatihan akan sulit mencapai hasil yang maksimal (Nala, 2011).

Plyometric exercise harus disesuaikan dengan karakteristik individu dan

(46)

30

seharusnya tidak melakukan plyometric exercise intensitas tinggi. Individu dengan riwayat cedera juga sebaiknya mendapat persetujuan dokter untuk melakukan latihan ini (Deuster et al., 2007).

Dalam plyometric exercise, pedoman latihan yang harus diperhatikan antara lain:

a) Frekuensi dan Lamanya Latihan

Frekuensi adalah jumlah latihan yang dilakukan per minggu atau kekerapan latihan per minggu (Nala, 2011). Frekuensi latihan untuk mengembangkan komponen daya ledak otot, jika dilakukan tujuh kali seminggu dianggap densitasnya terlalu tinggi. Menurut Deuster et al. (2007), untuk plyometric

exercise, rentangnya biasanya dilakukan satu hingga tiga kali per minggu.

Menurut Kolt dan Mackler (2007), plyometric exercise sering dilakukan dua kali per minggu, dengan waktu 48 jam sebagai periode istirahat dan recovery.

Lamanya latihan adalah berapa minggu atau berapa bulan program tersebut dijalankan sehingga memperoleh kondisi yang diharapkan (Widhiyanti, 2013). Peningkatan otot rangka sudah Nampak apabila dilakukan pelatihan minimal 4-6 minggu (Widhiyanti, 2013). Plyometric exercise dapat menunjukkan adaptasi yang signifikan dengan latihan selama empat minggu (Rezaimanesh et al., 2011).

(47)

31

b) Intensitas

Intensitas pada plyometric exercise adalah level tekanan yang diterima oleh sistem neuromuskular, jaringan penghubung dan sendi. Hal tersebut tergantung pada tipe latihan yang dilakukan. Intensitas selalu diukur dengan tingkat kesulitan gerakan. Semakin sulit gerakan, intensitasnya semakin tinggi. Beberapa guideline dalam plyometric exercise dapat disajikan sebagai berikut (Deuster et al., 2007):

 Lompatan vertikal lebih stressfull daripada lompatan horisontal.

 Mendarat dengan satu kaki lebih stressfull daripada mendarat dengan

dua kaki.

 Semakin tinggi permukaan tanah dari tubuh maka semakin bertenaga

dan semakin stressfull latihan yang dilakukan.

 Menambahkan beban eksternal akan meningkatkan stress pada tubuh.

c) Waktu

Waktu latihan sebaiknya pendek, tetapi berisi dan padat dengan kegiatan– kegiatan yang bermanfaat. Waktu latihan berlangsung terlalu lama dan terlalu melelahkan akan berbahaya karena setiap latihan akan dipandang suatu siksaan. Hari-hari latihan berikutnya dilihat dengan perasaan enggan dan jenuh. d) Repetisi

(48)

32

kondisi dan tingkat keberhasilan latihan. Banyaknya ulangan atau repetisi berkisar antara 6-10 kali dengan semakin sedikit ulangan untuk rangkaian yang lebih berat dan lebih banyak ulangan untuk latihan-latihan yang lebih ringan (Arga, 2008).

[image:48.595.132.494.349.439.2]

Peningkatan latihan dilakukan secara bertahap, yakni dengan cara meningkatkan jumlah set dan mengurangi jeda waktu antar set setiap sesi latihan. Dalam hal ini, penulis menentukan jumlah set dan repetisi berdasarkan tabel berikut:

Tabel 2.1. Repetisi Plyometric Exercise (Arga, 2008)

No Type of Exercise Intensity Repetition Set

1 Shock tension/High Maximal 8-10 2-3

2 Drop Jump Very High 10-15 2-3

3 Hopping exercise High 10-15 2-3

4 Low reactive jump Moderate 10-20 2-3

5 Low impact jump Low 10-30 2-4

Berdasarkan tabel tersebut, latihan knee tuck jump masuk ke dalam tipe latihan

low reactive jump dengan intensitas sedang dilakukan dalam 2-3 set dengan

jumlah repetisi 10-20, dengan peningkatan secara bertahap. e) Tipe

Adapun tipe plyometric exercise untuk tungkai adalah sebagai berikut (Furqon dan Dowes, 2002):

1) Bounding

(49)

33

2) Hopping

Gerakan hopping adalah gerakan yang menekankan pada loncatan ke arah vertikal, kombinasi ke arah horisontal dan kecepatan maksimum gerakan kaki. Hopping dilakukan dengan satu atau dua kaki. Model pelatihan

hopping sesuai untuk olahraga seperti sepak bola, karena sepak bola

menuntut daya ledak vertikal, horisontal serta kecepatan yang dipadukan menjadi satu dalam permainannya.

3) Jumping

Dalam gerakan jumping menekankan pada ketinggian maksimum, sedangkan komponen horisontal dan kecepatan adalah faktor kedua.

Jumping dapat dilakukan dengan satu atau dua kaki.

4) Leaping

Gerakan leaping menekankan pada jarak horisontal dan ketinggian maksimum. Leaping dapat dilakukan dengan satu atau dua kaki.

5) Skipping

Skipping menekankan pada komponen ketinggian maksimal dan

memperhatikan pula jarak horisontal. Gerakan ini dilakukan dengan melangkah-meloncat secara bergantian.

6) Ricochet

(50)

34

Plyometric exercise pada tungkai yang akan diteliti dalam upaya

peningkatan daya ledak otot tungkai pemain bola voli lebih ditekankan pada gerakan jumping. Adapun jenis latihan yang diberikan adalah knee tuck jump. 2.3.4 Tes Klatt

Tes klatt dirancang oleh Lois Klatt, PhD, direktur laboratorium kinerja fisik di Concordia College, River Forest, Illinois. Tes klatt ini secara efektif digunakan untuk menyoroti kemungkinan ketidakseimbangan otot di daerah lutut, pinggul, panggul dan punggung bawah. Tes klatt ini sangat cepat dan sederhana dalam penerapannya. Hasil dari tes ini umumnya memberikan gambaran yang akurat tentang apa yang perlu ditangani dalam program latihan. Tujuan dari tes klatt adalah untuk menilai keseimbangan, stabilitas dan kemampuan melompat seorang atlet sebagai prasyarat untuk melakukan program plyometric exercise (Kim, 2010).

Tes ini dirancang dan dikembangkan untuk mengidentifikasi ketidakseimbangan otot dan digunakan untuk mengidentifikasi rasio kekuatan antara otot quadriceps, hamstring, abduktor dan adduktor serta melihat kelemahan antara sisi kiri dan kanan tubuh bagian bawah (kim, 2010).

[image:50.595.136.493.621.755.2]

Kriteria untuk lolos dalam tes klatt ini akan dijabarkan dalam tabel berikut: Tabel 2.2 Kriteria lolos tes klatt (Kim, 2010)

No Posisi Kriteria Lolos Tidak lolos 1. Berdiri diatas

platform dengan salah satu kaki ke depan dalam posisi fleksi hip dan sedikit fleksi knee

(51)

35

serta sedikit dorsifleksor ankle.

2. Pada saat mendarat perhatikan tubuh dan posisi kaki yang mendarat. Posisi tubuh gemetar atau condong kesalah satu sisi kanan atau kiri dan kaki yang menumpu juga tidak stabil. Tidak condong kesalah satu sisi kanan atau kiri dan kaki yang menumpu tetap stabil. Condong kesalah satu sisi kanan atau kiri dan kaki yang menumpu tidak stabil.

Adapun tahapan dalam melaksanakan tes klatt ini sebagai berikut: 1. Mulailah berdiri dengan tegak di atas platform setinggi 20-25cm.

2. Kemudian posisikan tangan kedepan dada dan kunci tangan dengan merapatkan jari tangan satu dengan lainnya.

3. Posisikan salah satu kaki ke depan dengan posisi fleksi hip dan sedikit fleksi knee telapak kaki sedikit dengan posisi dorsifleksi.

4. Tahan posisi tersebut selama 10 detik untuk melihat apakah postur serta kaki sampel gemetar.

5. Kemudian kaki yang satunya mengambil posisi melompat dari platform menuju ke lantai.

6. Perhatikan posisi sampel saat mendarat untuk melihat keseimbangan, stabilisasi dan kekuatan otot bagian bawah tungkai.

(52)
[image:52.595.185.449.112.274.2]

36

Gambar 2.7 Tes Klatt (Kim, 2010).

2.4 Latihan Knee Tuck Jump

2.4.1 Pengertian Latihan Knee Tuck Jump

Knee tuck jump dalam pelaksanaanya memiliki aturan sendiri, knee tuck

jump adalah latihan yang dilakukan pada permukaan yang rata dan bergegas seperti rumput, matras, atau keset. Latihan ini dilakukan dalam suatu rangkaian lompatan eskplosif yang cepat. Knee tuck jump merupakan latihan gerakan melompat dan mendarat dengan mengeper. Latihan knee tuck jump akan berpengaruh terhadap otot-otot tungkai dan pinggul khususnya gluteus,

gastrocnemius, quadrisep, hamstring, dan hip flexors. Latihan ini merupakan

bentuk latihan untuk meningkatkan power karena latihan ini akan membentuk kemampuan unsur kekuatan dan unsur kecepatan otot yang menjadi dasar terbentuknya kekuatan otot (Radcliffe dan Farentinos, 2002).

2.4.2 Pelaksanaan Latihan Knee Tuck Jump

Petunjuk pelaksanaan latihan daya ledak otot tungkai menggunakan knee

(53)

37

1. Ambil sikap berdiri tegak lurus, dengan kedua kaki diregangkan selebar bahu. 2. Tempatkan kedua tangan di depan dada dengan telapak tangan menghadap

kebawah.

[image:53.595.156.474.306.482.2]

3. Dimulai dengan posisi quarter squad, kemudian lompatlah ke atas dengan cepat, gerakan lutut kearah dada dan usahakan menyentuh telapak tangan dan selanjutnya mendarat dengan kedua kaki. Setelah mendarat ulangi lagi ke posisi awal sampai batas repetisi selesai. (Radcliffe dan Farentinos, 2002).

Gambar 2.8 Latihan Knee Tuck Jump (Widhinata, 2010)

Plyometric Exercise adalah suatu latihan yang memiliki ciri khusus, yaitu

(54)

38

memberikan respon lebih cepat dan lebih kuat terhadap perubahan-perubahan yang ringan dan panjang ototnya.

2.4.3 Durasi Latihan Knee Tuck Jump

Pelatihan sebaiknya dilakukan 3 kali seminggu dan diselingi dengan satu hari istirahat untuk memberikan kesempatan kepada otot untuk berkembang dan beradaptasi pada hari istirahat tersebut (Harsono, 2000). Pelatihan paling sedikit 3 kali seminggu bagi pemula, hal ini disebabkan karena ketahanan seseorang akan menurun setelah 48 jam tidak melakukan pelatihan. Jadi sebelum ketahanan menurun harus sudah berlatih lagi (fox, 1992). Penelitian dilaksanakan selama 4 minggu dengan frekuensi 3 kali seminggu (Phartayasa, 2012). Gerakan ini dilakukan 2-3 set dengan repetisi 10-20 kali dan waktu istirahat setiap set 1-2 menit.

plyometric exercise pada knee tuck jump dalam penelitian ini bersifat

aerobik, karena pelatihan ini berlangsung selama 10 kali repetisi, maka proses pelatihan tetap berada dalam keadaan aerobik. Sehingga menghasilkan aerobic yang diinginkan yakni beban pelatihan diatur sesuai dengan jumlah repetisi dalam satu set pelatihan.

2.5 Stretching

2.5.1 Pengertian Stretching

Stretching atau peregangan merupakan istilah umum yang digunakan

(55)

39

non patologis sehingga dapat meningkatkan LGS (Lingkup Gerak Sendi). Ada 2 hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan stretching, yaitu fleksibilitas dan peregangan berlebih atau overstretch. Fleksibilitas adalah kemampuan untuk menggerakan sendi atau beberapa sendi melalui LGS yang bebas nyeri. Fleksibilitas bergantung pada ekstensibilitas otot, yang menyebabkan otot dapat melewati suatu sendi dengan relaks, memanjang dan berada dalam medan gaya

stretch (Juliantine, 2013).

2.5.2 Kajian Fisiologis Stretching

Proprioceptors adalah reseptor yang mendeteksi perubahan di dalam alat

itu sendiri. Setiap perubahan dalam otot selalu dideteksi oleh proprioceptors untuk diinformasikan ke susunan saraf pusat, dan dari susunan saraf pusat dikeluarkan instruksi untuk menyesuaikan kondisi otot. Dari kondisi ini timbul gerak tubuh baru untuk disesuaikan dengan seluruh rangkaian gerak tubuh secara sistemik. Peran dari proprioceptors adalah mengirimkan aliran informasi secara terus menerus (konstan) kepada susunan saraf pusat. Proprioceptors ini terletak pada otot, tendon, dan sambungan-sambungan termasuk di sekitar jaringan pelindung seperti kapsul, ligamen, serta selaput-selaput lain dan dalam labirin dari telinga dalam. Proprioceptors dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu :

1. Muscle proprioceptors yang terdiri dari muscle spindle dan golgi tendon organ.

2. Joint and skin proprioceptors.

3. Abyrinthine and neck proprioceptors.

(56)

40

golgi tendon organ. Jadi setiap proses pergerakan tidak lepas dari peranan muscle

spindle dan golgi tendon organ (Juliantine, 2013).

Muscle spindle terletak di dalam otot. Muscle spindle merupakan suatu

receptor yang menerima rangsang dari regangan otot. Regangan yang cepat akan menghasilkan impuls yang kuat pada muscle spindle. Rangsangan yang kuat akan menyebabkan reflek muscle spindle yaitu mengirim impuls ke spinal cord menuju jaringan otot dengan cepat, menyebabkan kontraksi otot yang cepat dan kuat.

Muscle spindle sangat berperan dalam proses pergerakan atau pengaturan motorik.

Peran muscle spindle dalam pengaturan motorik adalah : 1. Mendeteksi perubahan panjang serabut otot.

2. Mendeteksi kecepatan perubahan panjang otot.

Sebetulnya muscle spindle bekerja sebagai suatu pembanding dari panjang kedua jenis serabut otot intrafusal dan ekstrafusal. Bila panjang serabut ekstrafusal jauh lebih besar daripada panjang serabut intrafusal, maka spindle menjadi terangsang untuk berkontraksi. Sebaliknya, bila panjang serabut ekstrafusal lebih pendek daripada serabut intrafusal, maka spindle menjadi terinhibisi (keadaan yang menyebabkan refleks seketika untuk menghambat terjadinya kontraksi otot). Jadi spindle tersebut dapat dirangsang atau dihambat.

Meregangkan suatu kelompok otot hendaknya jangan dilakukan secara tiba-tiba. Sebab apabila peregangan otot dilakukan secara tiba-tiba akan merangsang muscle spindle dan ini menyebabkan reflek regang. Reflek muscle

spindle sering disebut reflek regang atau reflek myotatik. Hal ini disebabkan

(57)

41

menyebabkan kontraksi otot yang bersangkutan (Juliantine, 2013).

Golgi tendon organ adalah stretch receptor yang terletak di dalam tendon otot tepat di luar perlekatannya pada serabut otot tersebut. Reflek GTO bisa terjadi akibat tegangan otot yang berlebihan. Sinyal-sinyal dari GTO merambat ke medula spinalis yang menyebabkan terjadinya hambatan respon (negative feed-back) terhadap kontraksi otot yang terjadi. Hal ini untuk mencegah terjadinya sobekan otot sebagai akibat tegangan yang berlebihan. Dalam hal ini refleks GTO merupakan pelindung untuk mencegah terjadinya sobekan otot, namun dapat juga bekerja sama dengan muscle spindle untuk mengontrol seluruh kontraksi otot dalam pergerakan tubuh. Sedangkan peran golgi tendon organ dalam proses pergerakan atau pengaturan motorik adalah mendeteksi ketegangan selama kontraksi otot atau peregangan otot. Namun antara golgi tendon organ dengan

muscle spindle ada perbedaan fungsi. Muscle spindle berfungsi untuk mendeteksi

perubahan panjang serabut otot, sedangkan golgi tendon organ berfungsi mendeteksi ketegangan otot (Juliantine, 2013).

(58)

42

2.5.3 Ballistic Stretching

Ballistic stretching menurut Freshmen (2002) adalah gerakan penguluran

dimana dalam penerapanya terjadi proses tersentak-sentak dengan cepat atau memantul-mantulkan gerakan. Ballistic stretching adalah latihan yang tepat diberikan kepada pemuda, atlet, orang sehat tetapi tidak dianjurkan untuk diberikan kepada lansia, hal ini dikarenakan pengaruh akan terjadi pada komponen elastin (actin dan myosin) dan tegangan dalam otot akan meningkat tajam, sarkomer memanjang dan apabila dilakukan terus-menerus otot akan beradaptasi dan hal ini hanya bertahan sementara untuk mendapatkan panjang otot yang diinginkan (Kisner dan Colby, 1996).

Latihan ballistic stretching dalam penelitian ini adalah gerakan mencium lutut yang dilakukan berulang-ulang, posisi responden duduk dilantai kedua tungkai lurus kedepan, dan saat kedua tangan berusaha meraih kedua ujung kaki, lutut harus tetap menempel dilantai dimana dalam penerapanya terjadi proses tersentak-sentak dengan cepat atau memantul-mantulkan gerakan dari perlahan menjadi cepat. Tujuan pemberian ballistic stretching adalah meningkatkan kapasitas kerja fisik, mengurangi ketegangan pada otot dan memudahkan otot-otot berkontraksi dan rileksasi secara lebih cepat dan efisien, meningkatkan fleksibilitas dari otot dan meningkatkan LGS pada otot antagonis yang berkontraksi. Hal ini sesuai dengan penilaian vertical jump yang membutuhkan kekuatan tiba-tiba secara cepat dengan power yang besar (Heerschee dkk, 2006).

(59)

43

peningkatan vertical jump pada atlet basket. Pada uji beda pengaruh didapatkan hasil bahwa ballistic stretching dengan dosis yang diberikan selama satu minggu 3 kali, 5 kali pengulangan, durasi stretching 60 detik dengan periode istirahat 1-3 menit dan dilakukan selama 1 bulan, lebih berpengaruh terhadap peningkatan

vertical jump dibandingkan dengan static stretching. Stretching diberikan selama

3 kali dalam satu minggu, 5 set, durasi stretching 60 detik periode istirahat 1-3 menit dan dilakukan selama 1 bulan (Kisner, 2007).

2.5.4 Kajian Fisiologis Ballistic Stretching

Kecepatan pengulangan dari ballistic stretching mengakibatkan serabut

afferent primer merangsang alpha motor neuron pada medulla spinalis dan

memfasilitasi kontraksi serabut ekstrafusal yaitu meningkatkan ketegangan

(tension) pada otot. Hal ini dinamakan dengan monosynaptic stretch reflex,

ketegangan yang terjadi diinhibisi oleh pengulangan stretch yang cepat, sehingga ketegangan (tension) belum sepenuhnya terjadi dan hal ini mengakibatkan adanya peningkatan elastisitas pada otot yang bersambungan dengan tendon, peregangan tersebut meningkatkan nilai Lingkup Gerak Sendi (LGS) yang ada (Guccione, 2000).

Gerakan yang cepat saat dilakukan ballistic stretching akan merangsang golgi tendon organ. GTO tersebut dekat dengan muscullotendinosus junction dari

ekstrafusal muscle fibers akan merangsang alpha motor neuron untuk

(60)

44

fibers dari otot tidak begitu cepat dan kurang adaftif jika intensitas tidak tepat

akan mengakibatkan terjadinya scar tissue (Kisner, 2007).

2.5.5 Aplikasi Ballistic Stretching Pada Latihan Knee Tuck Jump

Prosedur pelaksanaan ballistic stretching diberikan sebelum melakukan latihan knee tuck jump hal ini disampaikan pada penelitian Ilham Widhinata (2010) bahwa peregangan yang bersifat dinamis lebih baik diterapkan sebelum melakukan exercise dan peregangan yang bersifat statis lebih bagus untuk cooling down. Karena peregangan yang bersifat dinamis mampu memberikan adaptasi positif pada sistem neuromuscular sebelum melakukan exercise selain itu juga akan dapat membuat jaringan otot lebih siap menerima latihan intensitas sedang sampai berat. Adapun tahapannya sebagai berikut :

a. Regangkan otot secara tersentak-sentak dengan cepat.

b. Lakukan peregangan dengan mencium lutut berulang-ulang selama 60 detik dalam 5 set.

[image:60.595.185.428.538.686.2]

c. Istirahat 1-3 menit di sela-sela set.

(61)

45

2.6 Vertical Jump

2.6.1 Pengertian Vertical Jump

Vertical jump adalah lompatan tegak kearah vertikalyang dilakukan tanpa

awalan dengan jangkauan lengan yang setingi-tingginya (Ostojic et al., 2010). Faktor-faktor yang sangat menetukan dalam pencapaian jarak dalam jangkauan atau tingginya kemampuan yang dapat dicapai oleh seseorang dalam melakukan

vertical jump adalah sebagai berikut:

1. Propiosepsi diartikan sebagai keseluruhan kesadaran dari posisi tubuh (Cael, 2007).

2. Kekuatan otot adalah kemampuan otot atau grup otot menghasilkan tegangan dan tenaga selama usaha maksimal baik secara dinamis maupun statis.

3. Stabilisasi adalah kemampuan seseorang untuk mengandalkan posisi dan gerakan pada tubuh.

4. Power adalah kemampuan otot berkontraksi yang berhubungan dengan

kekuatan dan kecepatan yang biasa disebut daya ledak (Kisner, 2007). 2.6.2 Vertical Ju

Gambar

Gambar 2.1 Group otot quadriceps femoris (Watson, 2002)
Gambar 2.2 Group otot hamstring (Watson, 2002)
Gambar 2.3 Group otot plantarfleksor ankle (Watson, 2002)
Gambar 2.4 Group otot dorsifleksor ankle (Watson, 2002)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan: Terdapat perbedaan pengaruh antara latihan double leg speed hop tanpa beban dan latihan double leg speed hop dengan penambahan beban terhadap daya ledak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh latihan depth jump dan knee tuck jump terhadap peningkatan kekuatan otot tungkai pada siswa putra ekstrakurikuler voli

Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh pemberian Dynamic Stretching dan Depth Jump terhadap peningkatan Vertical Jump pada pemain bola voli di SMPN 1 Kauman. Metode

Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan pengaruh latihan rope jump dan squat jump dengan metode interval terhadap daya ledak otot tungkai pada pemain bola

Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan pengaruh latihan rope jump dan squat jump dengan metode interval terhadap daya ledak otot tungkai pada pemain bola