• Tidak ada hasil yang ditemukan

Debat Islam di Indonesia

Dalam dokumen ENSIKLOPEDI NURCHOLISH MADJID.pdf (Halaman 68-87)

NURCHOLISH MADJID

B UDHY M UNAWAR -R ACHMAN

2. Debat Islam di Indonesia

Tidak ada gagasan yang berdiri di atas angin. Setiap gagasan—apalagi ga-gasan baru—selalu merupakan respons atas situasi sosial-historis tertentu. Begitulah dengan gagasan pembaruan pada masa Orde Baru.12 Pada mu-lanya, muncul sebagai respons Islam atas gagasan modernisasi. Pembaruan Islam itu juga bukan sesuatu yang berdiri sendiri dalam konteks lokal dan problem kontemporer. Tapi juga berkaitan erat dengan apa yang terjadi di dunia Islam internasional, maupun pembaruan-pembaruan yang sudah terjadi sebelum masa Orde Baru ini, khususnya tokoh-tokoh Masyumi (se-belum 1955). Mereka semua adalah golongan yang biasa disebut “kaum modernis Islam”.13

Ciri kaum modernis ini adalah mengupayakan penghadiran Islam dan memberi isi, serta peranannya di tengah masyarakat yang sedang berubah. Maksudnya menghadirkan Islam dalam tuntutan kemodernan. Itu sebab-nya tema-tema diskusi pemikiran pada awal-awal Orde Baru adalah di sekitar soal modernisasi, yang menjadi pilihan dari aktualisasi ide kemajuan pemerintahan Orde Baru.14 Maka dalam tahun-tahun terakhir 1960-an, pemikiran Islam di Indonesia diwarnai soal-soal di sekitar modernisasi dan implikasinya. Dalam bahasa Prof. Dr. Kuntowijoyo, pada saat ini terjadi pergeseran orientasi keislaman dari periode sejarah Islam yang bersifat mitos dan ideologis, memasuki periode ide atau ilmu. Sehingga pada periode inilah, mulai terlihat usaha yang disebutnya dengan, “merumuskan konsep-konsep normatif Islam menjadi teori ilmiah”.15 Karena itu, tidak heran jika respons terhadap modernisasi di kalangan umat Islam dimulai dengan membicarakan apa arti modernisasi itu bagi umat Islam. Cak Nur

misal-nya—dalam pandangannya sebelum tahun 1970—menganggap “moderni-sasi berarti berpikir dan bekerja sesuai dengan hukum-hukum alam”. Maka dari itu, “modernisasi adalah suatu keharusan bahkan suatu kewajiban mutlak. Modernisasi merupakan suatu perintah dan ajaran Tuhan.” Karena itu modernisasi—seperti pernah dikatakan Sidi Gazalba, yang pada saat itu juga ikut menyumbangkan respons Islam atas gagasan modernisasi— adalah “proses reislamisasi” atas kaum Muslim, berdasarkan nilai-nilai pengetahuan dan perubahan sosial yang tepat. Bahkan Deliar Noer, dalam majalah Api (Oktober 1966, h. 10), menulis, masalah yang harus dijawab oleh kita adalah, “Bagaimana ummah kita memperlakukan, memfungsikan, dan menentukan sikap terhadap upaya-upaya modernisasi di dalam menghadapi tuntutan zaman, apabila dengan jujur kita mengklaim bahwa ajaran-ajaran kita sebenarnya selalu dalam keadaan modern.”

Dalam buku Muslim Intellectual Responses to “New Orde” Modernization in Indonesia (1982), Kamal Hasan menilai bahwa persoalan nyata di balik perdebatan modernisasi sebelum tahun 1970-an ini bukanlah masalah-masalah substantif dan pragmatis yang menyangkut proses modernisasi itu, tapi lebih pada soal orientasi ideologis dari kaum elite modern Islam. Artinya menyangkut perjuangan memperoleh hegemoni religio-politik, yang waktu itu elite Islam sedang dilanda frustrasi politik, karena kurang dilibatkan dalam pemerintahan.

Dalam keadaan inilah—menyangkut tidak berfungsinya partai Islam dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam, dan orientasi yang masih me-ngeras dalam soal “negara Islam”, sebagai warisan dari Masyumi yang telah dibubarkan Soekarno, pada 1960—maka pada 1971, Mintaredja menulis sebuah buku, Renungan Pembaruan Pemikiran: Masyarakat Islam dan Politik di Indonesia, yang berisi analisis bahwa para tokoh Islam telah gagal memilih sifat-sifat yang dibutuhkan dalam menghadapi tantangan-tantangan internal, dan telah menaksir terlalu tinggi kekuatan politik umat. Ia mengatakan, untuk mengatasi masalah tersebut, “umat Islam hanya akan bisa mengejar ketinggalannya hanya dengan pola pemikiran baru, yang penuh dengan dinamika dan romantika yang positif.” “Pola pemikiran baru” itulah yang segera dikembangkan oleh kelompok

yang menyebut dirinya, “Kaum Pembaruan”, yang dalam istilah Tempo, “penarik gerbongnya”, adalah Cak Nur. Tentang peristiwa yang sangat penting dalam sejarah pemikiran Islam ini, Cak Nur bercerita panjang lebar yang akan dikutip di sini:

Tahun 1970 merupakan tahun yang benar-benar penting dalam kehidupan pribadi saya. Itu karena pada awal tahun itulah, saya melontarkan pemikiran tentang pembaruan pemikiran Islam yang kemudian menimbulkan kontroversi dan kehebohan. Sekalipun banyak unsur aksiden di dalamnya, unsur ketidaksengajaan, toh peristiwa itu saya rasakan amat besar pengaruh-nya terhadap diri saya—sampai sekarang.

Pembaruan (dulu sering disebut “pembaharuan”), atau yang lebih umum lagi modernisasi, waktu itu sebenarnya bukanlah isu baru di tanah air. Tetapi memang isu itu selalu merupakan isu yang kontroversial. Dan pada tahun tahun pertama dasawarsa 1970-an, isu itu mulai dibicarakan dengan intensitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Hal ini lebih terasa lagi di kalangan kaum Muslim.

Seperti sudah banyak kita ketahui, Bung Karno sendiri telah me-nyebarluaskan gagasan modernisasi Islam dalam Surat-Surat dari Ende -nya yang sangat terkenal itu. Surat-surat itu ditulisnya ketika dia dibuang ke pengasingan oleh pemerintah kolonial Belanda. Kemudian, pada tahun 1962, ketika Muhammadiyah merayakan mîlâd (ulang tahunnya) yang ke 50, dia menjadikan soal “Meremajakan Islam” sebagai tema pidatonya di hadapan ribuan orang yang memenuhi Istana Olah Raga Senayan yang besar itu. Ketika itu, dia memperkenalkan slogan “Menggali Kembali Api Islam”.

Sebenarnya, yang merupakan pusat perhatian Bung Karno bukanlah modernisasi Islam atau pembaruan Islam itu sendiri, melainkan soal agama dan hubungannya dengan pembentukan bangsa Indonesia. Saya kira, dia sedang mencari-cari sesuatu dalam Islam yang dapat digunakan untuk mendukung konsepnya tentang pembangunan bangsa (nation building ) melalui revolusi yang terus berkelanjutan. Dia juga ingin mempersatukan kaum Muslim dengan kaum nasionalis dan kaum komunis dalam wadah Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis).

Lalu, persoalan modernisasi Islam atau modernisasi pada umumnya, memperoleh dorongan baru sesudah masa Sukarno, dengan lahirnya Orde Baru. Dalam era di bawah kepemimpinan Pak Harto ini, pembangunan bangsa ingin dilakukan terutama melalui pembangunan ekonomi. Pemba-ngunan ini mengandung banyak implikasi, dan salah satunya yang terpenting adalah modernisasi. Kemudian, modernisasi pada gilirannya melibatkan persoalan-persoalan seperti pendekatan pragmatis terhadap berbagai masalah

(bukan lagi pendekatan ideologis seperti di zaman Orde Lama), rasionalisasi, dan yang terutama sekali sekularisasi bangsa.

Pada periode itu, Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar, dua wartawan paling terkemuka di Indonesia, dan sebelumnya dikenal sebagai kader-kader PSI, berdiri di jajaran paling depan di antara orang-orang yang memberi dukungan kuat terhadap gagasan modernisasi. Hal itu tampak sangat jelas dalam surat kabar harian yang mereka pimpin, yakni Indonesia Raya dan

Pedoman.

Sementara itu, kalangan Islam pada umumnya sangat menentang gagas-an pragmatisme, rasionalisme, dgagas-an sekularisme. Mereka terutama sgagas-angat peka terhadap gagasan sekularisme, yang mereka cap sebagai kâfir. Karena itu, artikel-artikel orang seperti Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar dibaca dengan rasa curiga yang mendalam oleh orang orang Muslim, dan dikecam keras.

Pada mulanya saya termasuk di antara orang orang Muslim yang me-ngkritik Mochtar Lubis dan R osihan Anwar, walaupun secara tidak lang-sung. Hal itu, misalnya, saya lakukan dalam serangkaian artikel yang di-terbitkan dalam majalah Mimbar Demokrasi, yang terbit di Bandung.

Dalam pandangan saya waktu itu, tampak jelas bahwa pesan-pesan di balik retorika modernisasi di atas adalah memperkecil peran agama—kalau bukan sikap antiagama atau seruan ke arah sekularisme. Bayangkan, Rosihan Anwar, misalnya, waktu itu mengejek panggilan azan yang menggunakan pengeras suara sebagai “teror-teror elektronik”. Inilah yang saya kritik. Saya menegaskan bahwa modernisasi adalah rasionalisasi, bukan penerapan sekularisme dan bukan pula pengagungan nilai-nilai kebudayaan Barat.

Posisi intelektual seperti inilah, yang antara lain diperkuat oleh risalah saya berjudul Nilai-Nilai Dasar Perjuangan atau disingkat NDP, yang men-jadikan saya memperoleh penerimaan luas di kalangan umat Islam. Waktu itu saya malah mendapat julukan “Natsir Muda”, merujuk ke Bapak Mohammad Natsir di partai politik Masyumi dulu. Saya sendiri tidak terlalu mempedulikan julukan seperti itu.

Tetapi semua ini menjadi nggak kar u-karuan setelah saya menyajikan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1970. Dalam makalah itu, secara ter us terang saya mengatakan bahwa kaum Muslim Indonesia mengalami kemandekan dalam pemikiran keagamaan mereka, dan telah kehilangan psychological striking force dalam perjuangan mereka.

Beberapa petunjuk atau indikasi saya kemukakan dalam makalah itu. Yang terpenting adalah ketidakmampuan mayoritas kaum Muslim untuk membedakan nilai-nilai transendental dari nilai-nilai temporal. Malah, hierarki nilai-nilai itu, dalam pengamatan saya, seringkali diperlakukan terbalik: nilai-nilai yang transenden dipahami sebagai nilai-nilai yang

temporal, dan sebaliknya. Akibat cara keberagamaan seperti ini, kata saya dalam makalah itu, Islam dipandang senilai dengan tradisi, dan menjadi Islamis berarti sederajat dengan menjadi tradisionalis.

Nah, lanjut saya dalam makalah itu, kemandekan ini harus didobrak. Syaratnya adalah, kaum Muslim harus siap menempuh jalan pembaruan pe-mikiran Islam, sekalipun pilihan itu disertai risiko mengorbankan integrasi umat. Di sinilah terletak dilemanya, dan saya amat sadar akan hal itu. Di mana-mana, upaya pembaruan selalu saja berhadapan dengan kepentingan untuk mempertahankan integrasi.

Dalam pandangan saya waktu itu, agar dapat menjalankan pembaruan pemikiran keagamaan, kaum Muslim harus dapat membebaskan diri mereka dari kecenderungan mentransendensikan nilai-nilai yang sebenarnya bersifat profan belaka. Dan sebagai konsekuensi dari keyakinan bahwa Islam itu kekal dan universal, maka ada kewajiban inheren bagi kaum Muslim untuk menampilkan pemikiran kreatif yang relevan dengan tuntutan zaman.

Dalam makalah itu juga, saya kemukakan upaya pembaruan pemikiran keagamaan ini hanya dapat dicapai apabila kaum Muslim memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi untuk membiarkan gagasan-gagasan apa pun, betapapun tidak konvensionalnya gagasan-gagasan itu untuk dikemukakan secara bebas. Dan yang lebih penting lagi, mengingat bahwa Islam me-mandang manusia secara alamiah ber orientasi kepada kebenaran (hanîf), maka kaum Muslim har us bersikap terbuka. Ini berarti, mer eka juga harus bersedia menerima dan menyerap gagasan-gagasan apa pun, tanpa meng-hiraukan asal-asulnya, asal saja gagasan-gagasan tersebut secara objektif me-nyampaikan kebenaran.

Untuk menerangkan apa yang saya maksudkan, dalam makalah itu saya menggunakan beberapa konsep ilmu sosial dan filsafat yang waktu itu belum populer terutama di kalangan kaum Muslim. Misalnya adalah liberalisasi, sekularisasi, intellectual freedom, the idea of progress, dan lain-nya.

Di luar dugaan saya, banyak reaksi disampaikan terhadap makalah sa-ya itu. Reaksi-reaksi itu beragam. Kalangan di luar aktivis Islam tampaknsa-ya menyambut dengan senang isi makalah saya itu. Hal ini tampak, misalnya, dari reaksi orang seperti Mochtar Lubis. Koran yang dipimpinnya, Indonesia

Raya, dengan antusias memuat makalah saya itu sepenuhnya pada edisi hari

Minggu berikutnya. M ungkin karena dipersiapkan secara tergesa-gesa, maka sampai-sampai ada kalimat yang tidak terbaca dalam penerbitan itu. Untuk bagian-bagian yang tak terbaca itu, di situ ditulis saja “tidak terbaca”. Reaksi sejenis juga tampak pada Nono Anwar Makarim. Dia antara lain mengata-kan, kalau tidak salah di harian KAMI yang dipimpinnya, bahwa makalah itu akan merupakan “the speech of the year”.

Sementara itu, reaksi kalangan Islam sifatnya tidak spontan. Yang saya rasakan, mereka hanya memasang tanda tanya besar terhadap saya: “Ada apa ini?” Tetapi juga cukup terasa bahwa mereka menaruh sikap sangat curiga terhadap saya dan kawan-kawan saya. Misalnya, muncul desas-desus bahwa saya merupakan bagian dari sebuah komplotan yang menentang umat Islam. Kata desas-desus itu, komplotan itu diorganisasikan oleh orang-orang mantan PSI yang sejak dulu dipandang sebagai penganjur westernisasi dan sekularisasi. Mengingat bahwa makalah saya itu diterbitkan Indonesia Raya, maka kecurigaan itu menjadi tampak logis.

Sekalipun beragam, reaksi-reaksi itu didasarkan atas satu asumsi yang sebetulnya kurang lebih sama, yaitu bahwa saya sudah berubah bahwa Nurcholish sudah berubah. Demikianlah, beberapa kalangan kemudian berbicara mengenai “Nurcholish before Nurcholish” dan yang sejenis itu. Jadi ada Nurcholish yang sebelum penulisan makalah itu, dan ada Nurcholish yang sesudahnya.Terus terang, saya merasa aneh dengan penilaian seperti itu—sampai sekarang. Sebab, saya sendiri merasa bahwa tidak ada yang berubah dalam pemikiran saya sebelum dan sesudah penulisan makalah itu. Bagaimana saya berubah, wong makalah itu saya tulis hanya beberapa bulan sesudah saya menulis

NDP . Benar, hanya beberapa bulan! Dan kalau diamati secara hati-hati

dan mendalam, akan tampak jelas kesejalanan isi kedua tulisan saya itu. Tesis-tesis utama saya dalam makalah tahun 1970 itu didasarkan atas pemahaman saya mengenai dua prinsip dasar Islam, yaitu konsep mengenai al-tawhîd (keesaan Tuhan) dan gagasan bahwa manusia adalah khalifah Tuhan di atas bumi (khalîfah Allâh fî al-ardl).

Dari kedua prinsip tersebut, saya kemudian merumuskan premis-premis teologis yang menegaskan bahwa hanya Allah yang memiliki transendensi dan kebenaran mutlak. Dan sebagai konsekuensi dari pe-nerimaan mereka terhadap prinsip monoteistik ini, sudah seharusnya kaum Muslim memandang dunia ini dan masalah-masalah keduniaan yang temporal seperti apa adanya. Artinya, tidak usah disakralkan. Karena, memandang dunia dan semua yang ada di dalamnya dengan cara yang sakral atau transendental dapat dianggap bertentangan dengan inti paham monoteisme Islam.

Hanya saja, dan ini memang harus saya akui, berbeda dari tulisan-tulisan saya yang sebelumnya, yang misalnya, banyak diwarnai oleh kutipan ayat-ayat Al-Quran, dalam makalah pembaruan itu saya justru menggunakan konsep-konsep yang sangat kontroversial. Salah satu konsep itu, dan yang terbukti paling kontroversial dan menghebohkan, adalah konsep “sekularisasi”.

Tetapi, penggunaan konsep itu pun sama sekali tidak mengimplikasi-kan bahwa pandangan saya sudah berubah. Seperti saya tunjukmengimplikasi-kan dalam makalah itu, sekularisasi saya bedakan dari sekularisme. Di situ saya tulis, bahwa “Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab secularism is the name for an ideology, a new closed world view which

functions very much like a new religion. (‘Sekularisme adalah nama untuk

suatu ideologi, suatu pandangan dunia baru yang tertutup yang berfungsi sangat mirip sebagai agama baru’). D alam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk liberating development (perkembangan yang membebaskan). Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangka-nya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal.”

Dalam makalah itu juga saya tegaskan bahwa “sekularisasi tidaklah di-maksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecender ungan untuk meng-ukhrawi-kannya”.

Nah, saya menggunakan konsep sekularisasi itu untuk meng-artikulasikan pandangan saya mengenai konsekuensi logis dari al-tawhîd. Sebagai “pro-ses yang membebaskan,” sekularisasi memungkinkan kaum Muslim mem-bedakan antara nilai-nilai transendental dan nilai-nilai temporal. Di sini sekularisasi juga menjadi conditio sine qua non yang memungkinkan kaum Muslim untuk melaksanakan upaya mereka mengaitkan universalisme Islam dengan kenyataan-kenyataan Indonesia—sejalan dengan fungsi mereka sebagai khalîfah Allâh fî al-ardl.

Dari paparan di atas, mudah-mudahan menjadi jelas di mana per-samaan dan perbedaan antara risalah NDP dan makalah pembaruan itu. Dilihat dari ide dasarnya, kedua tulisan itu persis sama. Yang membedakan keduanya hanyalah cara penuturannya. Karena dimaksud-kan sebagai dokumen yang awet untuk keperluan latihan perkaderan sebuah organisasi, seperti sudah saya ceritakan pada bagian yang lalu, maka NDP ditulis dengan idiom-idiom dan pilihan kalimat yang standar. Dalam risalah itu juga, banyak dikutip ayat dari kitab suci Al-Quran. Makalah pembaruan tidak demikian duduk perkaranya. Makalah itu saya tulis dengan menggunakan format penulisan yang berbeda, yang lebih langsung ke jantung persoalan dan malah menawarkan agenda setting. Hal itu sengaja ditulis demikian, karena makalah itu memang dimaksudkan untuk mempertajam diskusi dalam pertemuan yang terbatas.

Tentu saja saya menyadari benar bahaya menggunakan istilah seperti sekularisasi dan lainnya itu di muka umum, waktu itu. Tetapi apa boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur. Saya merasa benar-benar kaget, tetapi tetap

tidak dapat berbuat apa-apa. Kalau protes, saya khawatir akan muncul ke-salahpahaman di antara saya dan kawan-kawan PII itu. Hal ini harus saya hindari, karena saya tidak mau menghancurkan semangat mereka yang menggebu untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan keislaman.

Apabila saya menoleh kembali pengalaman kami di atas, maka saya me-rasa alangkah baiknya seandainya saya tidak melakukan kesalahan taktis seperti yang saya lakukan dengan makalah pembaruan itu. Dari segi sosial, kesalahan itu terlalu mahal harganya. Reputasi kami di mata kalangan umat Islam mengalami kerugian yang hampir-hampir tidak dapat dipulihkan. Seandainya saya bisa melangkah surut dalam waktu, maka saya ingin me-neruskan cara-cara saya yang sebelumnya, yakni cara penetration pacifiqué, cara “menyelundup” untuk memasukkan gagasan-gagasan baru. Sebenarnya, itulah yang saya lakukan ketika saya menulis risalah NDP yang mendapat penerimaan luas itu. Memang ada pepatah, “Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna.” Kalau dilihat dari sisi ini, memang saya merasa agak kecolongan.

Waktu itu, beberapa orang menyarankan agar saya “bertobat” dan minta maaf kepada umat Islam. Ini tidak mungkin saya lakukan. Walaupun saya tahu bahwa cara pendekatan yang saya gunakan itu salah, saya merasa yakin bahwa tujuannya benar. Tetapi, kalau dipikir-pikir lebih jauh, ketaksengajaan itu sedikit banyak toh ada hikmahnya juga. Kata beberapa kawan saya, bila makalah itu tidak muncul dalam format yang demikian, mungkin tidak akan ada breakthrough, terobosan apa-apa. Barangkali mereka ada benarnya juga.

Dan Alhamdulillah, sang waktu pun saya rasakan sudah dapat me-nyembuhkan semua luka. Kini saya dan kawan-kawan telah dapat mengatasi kesulitan-kesulitan di atas. Kami juga sudah mulai memperoleh kembali reputasi kami sebagai orang-orang yang dapat dipercaya oleh umat. Itu semua terjadi tanpa sesuatu perubahan dalam komitmen kami terhadap pembaruan pemikiran Islam. Pengalaman pahit itu justru makin mendewasakan kami.

Memang gagasan dasar kaum pembaru yang paling kontroversial, dan telah menyebabkan polemik berlarut-larut—bahkan masih sampai seka-rang—adalah soal, “Islam, Yes; Partai Islam, No?” ini dan khususnya soal sekularisasi. Dalam hal yang pertama, Cak Nur mengatakan, “Jika partai-partai Islam merupakan wadah dari ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, maka jelaslah bahwa ide-ide itu sekarang dalam keadaan tidak menarik ... ide-ide dan pemikiran-pemikiran Islam itu sekarang sedang menjadi memfosil, kehilangan dinamika ... partai-partai Islam tidak

berhasil membangun imej yang positif dan simpatik.” Dengan gagasan ini, Cak Nur hendak membuat pemisahan antara Islam dan partai Islam. Perjuangan Islam melalui partai Islam, hanyalah satu kemungkinan. Dan masih ada kemungkinan lain. Karena itu tidak absolut. Soal yang terakhir, inilah maksudnya dengan sekularisasi—seperti dikatakan Cak Nur sendiri di atas—“memisahkan mana yang betul-betul sakral, mana yang profan saja.”

Penggunaan kata sekularisasi dalam sosiologi mengandung arti pem-bebasan, yaitu pembebasan dari sikap penyucian yang tidak pada tempat-nya. Karena itu ia mengandung makna desakralisasi, yaitu pencopotan ke-tabuan dan kesakralan dari objek-objek yang semestinya tidak tabu dan tidak sakral. Jika diproyeksikan kepada situasi modern Islam sekarang, maka itu akan mengambil bentuk pemberantasan bid‘ah, khurafat, dan praktik syirik lainnya ... (maka) sekularisasi ... adalah konsekuensi dari tawhîd.”

Istilah “sekularisasi” inilah yang akhirnya menjadi pangkal kehebohan. Karena istilah (yang tidak menguntungkan ini), Cak Nur pun diberi cap “kaum sekularis”, karena dianggap mempromosikan sekularisme, padahal jelas-jelas ia mengatakan, “Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai pene-rapan sekularisme, dan mengubah kaum Muslim sebagai sekularis.”

Sehingga karena kesimpangsiuran pengertian istilah itu tidak kurang dari seratus tulisan artikel pada tahun 1970-an telah terbit menyambut gagasan Cak Nur ini, yang muncul dalam surat kabar Abadi, Kompas, Mercu Suar, Indonesia Raya, dalam majalah mingguan Panji Masyarakat, Angkatan Baru, Mimbar Demokrasi, Forum, Tempo, dan sebagainya. Reaksi yang emosional berkaitan dengan kerumitan soal terminologi itu, seperti “sekularisasi disifatkan sebagai jembatan ke arah komunisme”, atau “ko-munisme adalah anak sekularisme”. Atau, “Sekularisme meniadakan atau menghampakan segala sangkut-paut tindakan negara dan pribadi dengan Tuhan” dan sebagainya. Atau, jika dirumuskan dalam perdebatan sekarang ini, banyak orang awam menganggap pemikiran Cak Nur dicap cenderung

Dalam dokumen ENSIKLOPEDI NURCHOLISH MADJID.pdf (Halaman 68-87)