• Tidak ada hasil yang ditemukan

Simpul Keagamaan yang Membawa Makna Hidup: Istighfar, Syukur, dan Doa

Dalam dokumen ENSIKLOPEDI NURCHOLISH MADJID.pdf (Halaman 139-143)

NURCHOLISH MADJID

B UDHY M UNAWAR -R ACHMAN

C. ISLAM SEBAGAI SUMBER KEINSYAFAN, MAKNA, DAN TUJUAN HIDUP

2. Simpul Keagamaan yang Membawa Makna Hidup: Istighfar, Syukur, dan Doa

Di antara berbagai amalan yang diharapkan dilakukan oleh seorang Muslim dalam kehidupannya sehari-hari ialah istighfar, yaitu memohon ampun kepada Allah atas segala dosa. Dalam Al-Quran, perintah memohon ampun tidak ditujukan hanya kepada kaum beriman pada umumnya, tetapi juga kepada pribadi Nabi Saw. sendiri, walaupun beliau Utusan Allah yang ter-pelihara (ma‘shûm) dari dosa. Namun, justru kepada beliau Allah banyak memerintahkan untuk mohon ampun atau istighfar yang, menurut Cak Nur, merupakan salah satu perintah ketika Nabi Saw. berhasil membebas-kan Kota Makkah—dan Cak Nur malah menyebut perintah ini “seolah-olah merupakan salah satu ‘follow up’ pembebasan kota suci itu”.132

Seperti nanti akan kita lihat, pembebasan Makkah merupakan puncak keberhasilan Nabi melembagakan dîn dan islâm dalam bentuk kekuasaan politik. Kalau dalam ayat (Q., 110: 1-3) dikatakan bahwa bertasbih dan memuji Allah serta beristighfar memohon ampun kepada-Nya merupakan puncak pesan Tuhan untuk melembagakan ajaran dîn dan islâm itu dalam bentuk amalan sehari-hari, maka artinya: pengalaman ketuhanan yang di-peroleh melalui istighfar ialah, pertama, menanamkan kerendahan hati yang tulus, karena kesadaran bahwa tidak seorang pun yang bebas dari beban dosa. Kedua, sebagai konsekuensi langsung dari kerendahan hati itu, dengan banyak istighfâr kita dididik dan dituntun untuk tidak mengklaim diri bersikap—istilah Cak Nur “sok suci”—yang sikap itu sendiri merupakan suatu bentuk kesombongan.133

Selanjutnya, Cak Nur menegaskan bahwa selain melalui istighfar, syu-kur (memuji Tuhan—dalam formula kesyusyu-kuran hamdalah, yaitu ucapan “alhamdulillâh”, segala puji bagi Allah) juga merupakan salah satu bentuk amalan yang menumbuhkan pengalaman ketuhanan. Mengucapkan for-mula itu disebut tahmîd. Tasbîh sendiri, yang forfor-mulanya ialah subhânallâh (Mahasuci Allah) dapat dipandang sebagai pendahulu logis bagi tahmîd, sebabnya tasbîh itu sendiri mengandung arti pembebasan diri dari buruk sangka kepada Allah, atau “pembebasan” Allah dari buruk sangka kita. Bahkan Cak Nur menyebut tasbîh ini sebagai “permohonan ampun kepada Allah atas dosa buruk sangka kita kepada-Nya”.134

Cak Nur menegaskan bahwa buruk sangka kepada Allah dapat meng-ancam kita setiap saat. Sumber buruk sangka kepada-Nya itu antara lain ialah ketidakmampuan kita “memahami” Tuhan karena sepintas lalu kita, misalnya, menerima “nasib” dari Tuhan yang menurut kita “tidak seha-rusnya” kita terima karena, misalnya, kita merasa telah “berbuat baik” dengan menjalani perintahnya dan menjauhi larangan-Nya. Jika benar de-mikian, begitu Cak Nur, maka kita telah terjerembap ke dalam bisikan setan yang paling berbahaya—karena kita akan jatuh kepada kesombongan (istikbâr) dan tinggi hati (‘inâd) disebabkan tiga hal: pertama, kita merasa telah berbuat baik; kedua, kita merasa berhak “menagih” kepada Tuhan,

karena kita berpikir, perbuatan baik kita itu “semestinya” mendapatkan balasan kebaikan pula; dan ketiga, karena itu kemudian kita “protes”, “tidak terima” bahwa kita mengalami hal-hal yang “tidak cocok” dengan se-mestinya yang kita harapkan.135

Maka, menurut Cak Nur, dalam Islam, pengalaman Ketuhanan—misal-nya, penghayatan akan Tuhan sebagai Yang Maha Terpuji, Mahabaik, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang yang sebagian sudah dijelaskan pada pasal 2 di muka—adalah suatu bentuk religiusitas yang amat berpengaruh kepada perolehan kebahagiaan seseorang. Dan penghayatan ini bukanlah sesuatu yang statis, tetapi sebuah proses pencarian pengertian mengenai apa yang dalam agama disebut “jalan lurus” (al-shirâth al-mustaqîm).136

[J]alan itu membentang langsung antara diri kita yang paling suci, yaitu fitrah kita dalam hati nurani … lurus ke arah … Kebenaran Mutlak. Tetapi justru karena kemutlakan-Nya, maka Sang Kebenaran itu sungguh mutlak pula tidak akan terjangkau. Akibatnya ialah bahwa dalam menempuh jalan lurus itu kita tidak boleh berhenti, sebabnya perhentian berarti menyalahi seluruh prinsip tentang Kebenaran Mutlak. Maka dalam perjalanan menempuh jalan yang lurus itu justru kita harus terus-menerus bertanya dan bertanya: apa selanjutnya? Apakah tidak ada kemungkinan sama sekali bahwa jalan yang telah kita tempuh itu, apalagi yang masih akan kita tempuh, akan menyesatkan kita dari Kebenaran, karena tidak lurus lagi? Siapa tahu?!

Untuk “mengontrol” ego kita akan pencapaian kepada Kebenaran de-finitif inilah, menurut Cak Nur, perlunya rasa syukur kepada Allah. Pe-ngalaman Ketuhanan melalui syukur akan membuat orang senantiasa ber-pengharapan kepada Allah, tanpa batas. Seperti dikatakan dalam sebuah ungkapan bijak, “Alangkah sempitnya hidup jika seandainya tidak karena lapangnya harapan.” Dan “harapan” yang melapangkan hidup itu, menurut Cak Nur, adalah “harapan” kepada Allah Yang Mahatinggi, Yang Tran-sendental.137

“Orang beriman kepada Allah adalah orang kuat … Kuat batin dan jiwanya, sehingga dia tidak pernah gentar menghadapi hidup dengan berbagai cobaan ini. Kekuatan orang yang beriman diperoleh karena harapan kepada Allah.

Dia tidak akan mudah putus asa. Karena dia yakin bahwa Allah selalu menyertainya.…”138

Sementara itu, pengalaman Ketuhanan juga bisa diperoleh melalui doa. Dalam Islam, berdoa berarti lebih dari sekadar memohon atau meminta sesuatu. Berdoa adalah terutama untuk menyeru Allah, membuka ko-munikasi dengan Sang Maha Pencipta, dan memelihara koko-munikasi dengan Allah. Berdoa adalah untuk mengorientasikan diri kepada Allah, asal dan tujuan hidup manusia dan seluruh alam. Itu sebabnya Cak Nur sangat menekankan arti berdoa, yang sangat erat terkait dengan keinsafan menyelur uh akan makna dan tujuan hidup. Nabi pun, menurut Cak Nur, pernah bersabda, doa adalah “otak” ibadat, yaitu pusat sarafnya. Dikatakan demikian, karena doa dalam arti seruan kepada Tuhan itu merupakan titik sentral kesadaran pertumbuhan, kesadaran Ketuhanan. Nilai utama doa itu ada pada terjadinya komunikasi pribadi yang intim dan intensif dengan Sang Pencipta, sang Maha Pemberi Hidup.139 Sementara itu, pengalaman Ketuhanan melalui amalan keagamaan harian, akan memperteguh hati kita dalam menempuh hidup, baik di dunia mapun di akhirat. Pangkal keteguhan itu, menurut Cak Nur, ialah adanya sikap percaya (trust) kepada Allah, justru karena baik sangka, harapan, dan pandangan positif kepada-Nya.

Sebagai penutup sub-pasal ini, seperti dikatakan Cak Nur sendiri, walaupun dalam pengalaman ketuhanan ini, “… tidak mungkin mencapai Allah, Kebenaran Mutlak, kita dituntut dengan konsisten (istiqâmah), dan tanpa kenal lelah bergerak di atas jalan yang mengarah kepada-Nya itu, untuk memperoleh kedekatan sedekat-dekatnya kepada-Nya. Dan rasa kedekatan kepada Allah itulah yang akan memberi kita rasa aman sentosa, sebagai bagian dari “rasa manisnya iman” (halawat al-îmân) ….”140

Istiqâmah artinya teguh hati, taat asas atau konsisten. Meskipun tidak semua

orang bisa bersikap istiqâmah, [dalam] memeluk agama, untuk memperoleh hikmahnya secara optimal, sangat memerlukan sikap itu. Allah menjanjikan demikian, “Dan seandainya mereka itu besikap istiqâmah, di atas jalan

(Q., 72: 16). Air adalah lambang kehidupan dan lambang kemakmuran. Maka Allah menjanjikan mereka yang konsisten mengikuti jalan yang benar akan mendapatkan hidup yang bahagia.

Dalam dokumen ENSIKLOPEDI NURCHOLISH MADJID.pdf (Halaman 139-143)