• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEISLAMAN DALAM TANTANGAN MODERNITAS

Dalam dokumen ENSIKLOPEDI NURCHOLISH MADJID.pdf (Halaman 196-200)

NURCHOLISH MADJID

B UDHY M UNAWAR -R ACHMAN

D. KEISLAMAN DALAM TANTANGAN MODERNITAS

1. Pendahuluan: Tugas Suci sebagai Saksi Tuhan di Bumi

“Kaum Muslim klasik ( salaf ) agaknya bersikap ‘biasa saja’ dalam menghadapi perkara nilai-nilai kemanusiaan, karena memang mereka tidak menghadapi masalah. Sekalipun bukanlah yang sempurna, namun masyarakat Islam, sampai dengan datangnya zaman modern, masih tetap yang paling baik dalam melakukan prinsip-prinsip keadilan dan persamaan manusia. Tetapi ketika zaman modern tiba, dengan diawali berbagai pertikaian di Barat, atas nama agama dan lain-lain (yang memuncak pada Perang Dunia II), dan bersamaan dengan itu merajalela kejahatan impe-rialisme internasional, kaum Muslim hampir semuanya berada di bawah telapak kaki kaum penjajah. Maka perspektif kemanusiaan universal,

seperti diajarkan Nabi itu terdesak ke belakang, turun menjadi bawah sadar yang tertimbun oleh tumpukan kemestian perjuangan yang terus mendesak, untuk melawan dan mengusir penjajah. Kini telah tiba, atau hampir tiba saatnya umat Islam mengambil inisiatif kembali dalam usaha mengembangkan dan meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan, sejalan dengan kemestian ajaran agamanya sendiri ….”200

Setelah kita melihat biografi intelektual dan pandangan-pandangan dasar teologis Cak Nur—pada Pasal 1, dan beberapa contoh penerapan hermeneutiknya di Pasal 2 dan 3—pada Pasal 4 ini, kita akan melihat usaha-usaha intelektual Cak Nur dalam merekonstruksi teologi sosial Islam, yaitu bagaimana ia berusaha menyajikan Islam—sebagai sumber ke-insafan hidup yang sudah dijelaskan di dalam Pasal 2 dan 3 itu—dalam dunia modern yang menjadi tantangan umat Islam dewasa ini. Pasal ini akan membahas sekitar ide-ide kemodernan seperti hubungan agama dan negara, soal demokrasi, keadilan sosial, persoalan intra-agama, pandangan-pandangan Islam mengenai agama-agama lain, dan akhirnya kaitan keislaman—sebagai nilai-nilai normatif keagamaan—dan kemodernan—sebagai kategori sosial-politik zaman sekarang. Persoalan-persoalan tersebut sangat penting dan mendesak, seperti dikatakan Cak Nur dalam kutipan di atas, karena umat Islam dewasa ini menghadapi paradoks yang merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak adanya— yang juga tercermin dalam banyak entri dalam ensiklopedi ini.

Di zaman lampau, umat Islam yang mengalami kemenangan, praktis tanpa kekuatan lain yang mengunggulinya, sehingga sikap umat Islam pada waktu itu adalah sikap golongan yang menang, unggul tak terkalahkan, bebas dari rasa takut atau fobia, dan tidak pernah khawatir kepada golongan lain. Tetapi lain, di zaman kini, umat Islam tidak berdaya menghadapi golongan lain, apalagi golongan-golongan yang diwakili oleh negara-negara superpower, yang dulu adalah umat beragama lain yang tidak berdaya menghadapi Islam. “Dulu orang Islam melihat orang-orang Ahl Al-Kitâb— khususnya Yahudi dan Kristiani serta golongan agama yang lain—sebagai ‘momongan-momongan,’ sekarang mereka melihat golongan-golongan bukan Muslim itu, sebagai sumber ancaman kepada Islam.”201

Menurut Cak Nur, sikap ini tidak boleh menjadi alasan bagi umat Islam untuk kehilangan perspektif dan melepaskan tugas sucinya sebagai saksi-saksi Tuhan di bumi yang menuntut rasa keadilan dan sikap berimbang dalam penilaian, di mana tugas mencapai “kemenangan Islam itu”, seperti dikatakan Cak Nur, menandakan universalisme dan kosmopolitanisme Islam, “berarti kemenangan semua orang, kemenangan perikemanusiaan yang berasaskan Ketuhanan dan Takwa. Kemenangan Islam tidak boleh diwujudkan diri dalam bentuk mengancam golongan lain … [Mengapa? Karena] Kemenangan Islam adalah kemenangan ide, cita-cita, sikap hidup yang tidak selalu—tidak perlu identik—dengan kemenangan orang-orang atau pribadi-pribadi ….” Kata Cak Nur, “Asalkan kaum Muslim mampu memahami agama mereka dengan sungguh-sungguh, maka umat Islam akan mampu menjadi agama yang relevan dengan tingkat perkembangan mutakhir manusia kini ….”202

“Jika benar proposisi ini, maka mereka ini, baik di Dunia Islam pada umumnya maupun barangkali di Indonesia, sungguh harus menyiapkan diri menyongsong masa depan yang tidak terlalu jauh, bila mereka dituntut untuk tampil guna sekali lagi ‘menulis bab yang cemerlang dalam sejarah pemikiran Islam’. Wawasan mereka itu bisa sangat autentik Islam—setidak-tidaknya memiliki kaitan historis dengan masa lalu yang sejati dan bermakna— meskipun, karena tidak ada preseden kuat dalam sejarah, pada tahap per-mulaan akan terasa tidak konvensional. Wawasan itu, tanpa kehilangan relevansinya dengan perkembangan kemanusiaan mutakhir—karena itu bisa disebut ‘modern’ pula—bisa benar-benar merupakan kelanjutan langsung dari Islam ortodoks seperti dicontohkan Nabi dan para khalifah yang empat sesudahnya ...”203

2. Penafsiran Islam atas Politik Modern

a. Tumbuhnya Masyarakat Politik di Madinah

Menurut Cak Nur, seperti yang tertera dalam beberapa entri dalam ensi-klopedi ini, hal mengenai Islam, yang tak mungkin diingkari adanya, adalah perihal pertumbuhan dan perkembangan agama ini, bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan sebuah sistem politik.

Menurut-nya, sejak Rasulullah melakukan hijrah dari Makkah ke Yatsrib (Madinah), hingga saat sekarang ini, Islam telah menampilkan dirinya secara sangat terkait dengan masalah politik—dalam hal ini khususnya soal hubungan antara agama dan negara. Bahkan, menurut Cak Nur, soal hubungan antara agama dan negara ini, dalam Islam, telah diberikan teladannya oleh Nabi sendiri, setelah hijrah itu. “Negara Madinah” pimpinan Nabi seperti dika-takan Cak Nur dengan mengutip Robert N. Bellah—seorang ahli sosiologi agama terkemuka—adalah model bagi hubungan antara agama dan negara dalam Islam. Cak Nur sendiri menyebut model ini sebagai “Eksperimen Madinah” dalam menegakkan sebuah civil society, yang bercirikan antara lain, “egalitarianisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bu-kan prestise seperti keturunan, kesuku(bu-kan, ras, dan lain-lain), keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan me-lalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan.”204

Menurut Cak Nur, eksperimen ini telah menyajikan kepada umat ma-nusia sebuah contoh tatanan sosial-politik yang mengenal pendelegasian wewenang, dan kehidupan berkonstitusi. Wujud historis dari sistem sosial-politik eksperimen Madinah ini adalah apa yang dikenal sebagai “Mîtsâq Al-Madînah” (Piagam Madinah), yang di kalangan para sarjana politik (Islam) dikenal sebagai “Konstitusi Madinah”. Piagam Madinah ini, telah didokumentasikan para ahli sejarah klasik Islam seperti Ibn Ishaq (w. 152 H) dan Muhammad ibn Hisyam (w. 218 H).205 Konstitusi ini merupakan rumusan tentang prinsip-prinsip kesepakatan kaum Muslim Madinah di bawah Rasulullah Saw. dengan berbagai kelompok bukan Muslim kota ini untuk membangun masyarakat politik bersama. Menurut Cak Nur, bunyi naskah ini sangat menarik. Ia memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjauan modern pun mengagumkan, sebabnya dalam konstitusi itu, untuk pertama kali dirumuskan gagasan-gagasan yang kini menjadi pan-dangan hidup modern di dunia, seperti kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdeka-an hubungkemerdeka-an ekonomi kemerdeka-antar-golongkemerdeka-an, dkemerdeka-an lain-lain. Ditegaskkemerdeka-an juga adanya suatu kewajiban umum, yaitu partisipasi dalam usaha pertahanan bersama menghadapi musuh dari luar.206

Menurut Al-Sayyid Muhammad Ma‘ruf Al-Dawalibi dari Universitas Islam Internasional Paris—seperti dikutip Cak Nur—”yang paling menakjubkan dari semuanya tentang Konstitusi Madinah ini ialah: dokumen tersebut memuat, untuk pertama kalinya dalam sejarah, prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah kenegaraan, dan nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tak pernah dikenal umat manusia.”207 Dan pada dasarnya, gagasan pokok eksperimen politik di Madinah ini ialah adanya suatu tatanan sosial-politik yang diperintah, tidak oleh kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama. Jadi tidak oleh prinsip-prinsip yang dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pemimpin, melainkan oleh prinsip-prinsip yang telah dilembagakan dalam dokumen kesepakatan dasar semua anggota masyarakat, yang dewasa ini disebut dengan “konstitusi”.

Inilah, menurut Cak Nur, dasar-dasar penumbuhan partisipatif-egaliter dalam masyarakat awal Islam, yang kemudian menjadi prinsip-prinsip masyarakat yang disebut “salaf” (salafiyah).208

Ada catatan sejarah yang diungkapkan Cak Nur, untuk mem-perlihatkan prinsip partisipatif-egaliter yang terjadi dalam masyarakat Muslim awal itu. Sekadar sebagai contoh saja, diungkapkan beberapa peristiwa demokratis yang terjadi pada saat Nabi wafat. Penggambaran ini begitu ekspresif, karena tepat pada saat-saat seperti ini terjadilah ujian yang paling besar mengenai ada tidaknya prinsip tersebut dalam kehidupan umat Islam.

Dalam pandangan Cak Nur, apa yang terjadi pada kaum Muslim Madinah selama tiga hari jenazah Nabi Saw. terbaring di kamar ‘A’isyah, menjadi kabur karena adanya polemik-polemik yang sengit antara kaum Syi‘ah dan kaum Sunnah. Kaum Sunnah (yang menjadi argumen Cak Nur) mengklaim: bahwa dalam tiga hari itu memang terjadi musyawarah untuk mendapatkan pengganti Nabi, yang kemudian mereka bersepakat memilih dan mengangkat Abu Bakar. Kaum Syi‘ah, mengajukan klaim lain. Yang terjadi saat itu adalah, semacam persekongkolan kalangan tertentu, dipimpin ‘Umar, untuk merampas hak ‘Ali sebagai penerus tugas Nabi, yang kemudian menjadi awal cerita mengenai terbentuknya kelak, mazhab Syi‘ah dalam Islam.

Dalam dokumen ENSIKLOPEDI NURCHOLISH MADJID.pdf (Halaman 196-200)