• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ratio Decidendi Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat Dalam Mengadili Tindak Pidana Penyelundupan Narkotika Oleh Terpidana

Dalam dokumen BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 44-57)

Fredi Budiman Dalam Putusan Nomor 2267/Pid.Sus/2012/PN.JKT.BAR

Ratio decidendi merupakan salah satu teori penjatuhan pidana yang

dikemukakan oleh Mackenzie selain beberapa teori atau pendekatan yang dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara. Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara, sehingga ratio

decidendi dapat dilihat pada konsideran “Menimbang” pada “Pokok Perkara”.

Dalam putusan hakim terhadap terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman yakni Putusan Nomor 2267/Pid.Sus/2012/PN.JKT.BAR yang mengandung pertimbangan mengenai pokok pekara secara langsung, yang disebut ratio

decidendi.

Ratio tersebut bukan tidak mungkin merupakan pilihan dari berbagai

kemungkinan yang ada. Ratio dapat ditemukan dengan memperhatikan fakta material dan putusan yang didasarkan atas fakta itu. Pilihan dari berbagai kemungkinan yang ada merupakan bagian dari pertimbangan hakim yang membuktikan kesalahan terdakwa sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum, dalam kaitannya dengan terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman oleh Jaksa Penuntut Umum telah mendakwa dengan dakwaan Subsideritas, dimana pada dakwaan Primair Terdakwa didakwa melanggar ketentuan Pasal 114 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pada dakwaan Subsidair Terdakwa didakwa melanggar ketentuan Pasal 113 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, sedangkan pada dakwaan

commit to user

Lebih Subsidair Terdakwa didakwa melanggar Pasal 112 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Sesuai dengan ketentuan bahwa jika dakwaan Subsideritas maka pertama-tama Majelis Hakim akan mempertimbangkan tentang dakwaan Primair melanggar ketentuan Pasal 114 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:

1. “Setiap orang”;

2. “Tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyediakan atau menerima Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman yang beratnya melebihi 1 kg atau melebihi 5 batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman yang beratnya 5 gram atau lebih”;

3. “Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana atau prekursor Narkotika, sebagaimana Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika”.

Berdasarkan pertimbangan hakim terhadap ketiga unsur tersebut akan dikaji ratio decidendi dalam unsur kedua dan ketiga, karena di dalam unsur pertama telah secara lugas dijelaskan hakim melalui pertimbangannya. Pertama kajian terhadap ratio decidendi hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat atas terpidana Fredi Budiman yang terdapat dalam unsur kedua yakni bunyi Pasal 144 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang memuat pertimbangan hakim yakni:

a. Rumusan menggunakan kata “atau” diantara tanpa hak dan melawan hukum, oleh karena itu tidak diperlukan kedua rumusan (tanpa hak dan melawan hukum) terbukti unsur ini telah terpenuhi artinya dapat terjadi “tanpa hak” saja atau “melawan hukum” saja, atau bahkan dua-duanya terbukti (AR. Sujono dan Bony Daniel, 2011: 255). Pertimbangan hakim dalam putusan tersebut menyatakan bahwa kedua rumusan tersebut terbukti melaui fakta material yang menjadi ratio decidendi, sehingga

commit to user

akhir dari pertimbangan hakim dalam unsur kedua tersebut menjadi “tanpa hak dan melawan hukum”.

b. Ketentuan Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, “Dalam hal perbuatan (unsur tanpa hak atau melawan hukum) menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara jual beli, menukar, menyerahkan dan menerima Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman yang beratnya melebihi 1 kg atau melebihi 5 batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman dengan berat 5 gram atau lebih” disesuaikan dengan fakta-fakta hukum yang diperoleh di persidangan, sehingga diperoleh ratio decidendi dari kasus yaitu setiap aturan hukum secara tegas atau tersirat diperlakukan oleh hakim sebagai langkah penting dalam mencapai kesimpulannya yakni akhir dari pertimbangan hakim dalam unsur kedua tersebut terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman adalah “membeli, menjual dan menjadi perantara dalam jual beli Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman yang beratnya 5 gram atau lebih”. Yang berati hanya 3 (tiga) unsur perbuatan dari Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang terbukti, yang dapat dijelaskan dengan disesuaikan fakta-fakta hukum yang diperoleh di persidangan atau fakta material yaitu:

1) “Membeli”, mempunyai makna memperoleh sesuatu melalui penukaran (pembayaran) dengan uang. Ini berarti bahwa harus ada maksud terhadap barang tertentu yang akan diambil, dan harus ada pembayaran dengan uang yang nilainya sebanding dengan harga barang yang diperoleh (AR. Sujono dan Bony Daniel, 2011: 257), yang disesuaikan dengan pertimbangan hakim dalam unsur kedua bahwa “Ekstasi sebanyak 1.412.476 butir dengan berat 380.996,9 gram yang terdapat dalam Kontainer TGHU No. 0683898/ 20 feet warna merah hati, yang ditangkap dan disita oleh petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) di dekat pintu Tol Kamal Cengkareng, Jakarta Barat, pada hari Jum’at, tanggal 25 Mei 2012 adalah dibeli

commit to user

oleh Terdakwa Fredi Budiman dan Chandra Halim dari China kepada Wang Chang Shui melalui Yu Tang”. Selain fakta-fakta hukum yang diperoleh di persidangan, di dapatkan pula fakta materiil lainnya yang mendukung yakni terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman membeli Ekstasi tersebut sebesar Rp625.000.000,00 (enam ratus dua puluh lima juta rupiah) yang dibayarkan kepada Yu Tang (DPO) untuk dikirim kepada Wang Chang Shui (Warga Negara Hongkong) (DPO), sehingga unsur “membeli” yang dimaksud dalam ratio decidendi terbukti;

2) “Menjual”, mempunyai makna memberikan sesuatu kepada orang lain untuk memperoleh uang pembayaran atau menerima uang. Hal ini berarti ada transaksi dan ada pertemuan antara penjual dan pembeli. Kewajiban penjual adalah menyerahkan barang sedangkan kewajiban pembeli menyerahkan uang pembayaran (AR. Sujono dan Bony Daniel, 2011: 256), yang disesuaikan dengan pertimbangan hakim dalam unsur kedua bahwa Ekstasi tersebut “akan dijual di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Bali, Makasar sampai ke Papua, karena Terdakwa mempunyai market dan pasar yang luas di Indonesia”, hal tersebut terkait dengan yang didakwa dalam putusan ini adalah Fredi Budiman yang dalam posisi kasus tersebut telah membeli dan baru akan menjual. Walaupun didalamnya disebutkan “akan” hal tersebut tetap merupakan suatu perbuatan pidana yakni dikaitkan dengan unsur ketiga dalam pertimbangan hakim yaitu “terdakwa Fredi Budiman membeli Ekstasi tersebut adalah dengan maksud untuk dijualnya di kota-kota besar di Indonesia antara lain di Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Bali, Makasar bahkan sampai ke Papua, karena Terdakwa mempunyai “market” dan pangsa pasar yang luas di Indonesia”, sehingga dapat terpenuhinya unsur menjual dalam arti “percobaan untuk menjual” yang sesuai dalam ketentuan Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

commit to user

Pengertian percobaan telah secara tegas ditentukan dalam penjelasan Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, yang menyebutkan ”percobaan” adalah adanya unsur-unsur niat, adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. Sebenarnya pengertian percobaan ini sama dengan pengertian percobaan sebagaimana Pasal 53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

3) “Menjadi perantara dalam jual beli”, mempunyai makna sebagai penghubung antara penjual dan pembeli dan atas tindakannya tersebut mendapatkan jasa/keuntungan (AR. Sujono dan Bony Daniel, 2011: 257), yang disesuaikan dengan pertimbangan hakim dalam unsur kedua bahwa “terdakwa (Fredi Budiman) selain membeli bersama Chandra Halim Alias Akiong dan memasarkan Ekstasi tersebut, juga bertugas mengatur pengeluaran Ekstasi yang dibawa ke Indonesia dari China bersama alat Aquarium (Fish Tank) tersebut di pelabuhan Tanjung Priok dan untuk itu Terdakwa telah menghubungi dan bekerja sama dengan Hani Sapta Pribowo alias Bowo, Achmadi alias Madi Bin Sukyan, Muhammad Muhtar alias Muhamad Moektar alias Tar, Teja Harsoyo alias Teja alias Rudi, Abdul Syukur alias Ukung Bin Meiji serta Supriyadi Bin Samin dari Koperasi Primkop Kalta BAIS TNI, yang mana atas keberhasilannya mengatur pengeluaran Ekstasi tersebut dari Pabean Pelabuhan Tanjung Priok akan mendapat Fee berupa Ekstasi sebanyak 10% dari jumlah keseluruhan Ekstasi, di luar keuntungan penjualannya di ”Market”nya Terdakwa”.

Ratio decidendi yang dapat diambil dari pertimbangan hakim

terhadap terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman yang “akan mendapat Fee berupa Ekstasi sebanyak 10% dari jumlah keseluruhan Ekstasi, di luar keuntungan penjualannya di ”Market”nya Terdakwa” ialah, jika seseorang menghubungkan antara penjual dan pembeli

commit to user

kemudian orang tersebut mendapat barang berupa narkotika sudah dapat digolongkan sebagai perantara dalam jual beli, oleh karena itu jasa atau keuntungan di sini dapat berupa uang atau barang atau bahkan fasilitas. Jasa atau keuntungan merupakan faktor penting, tanpa jasa maupun keuntungan yang diperoleh maka tidak dapat disebut sebagai perantara jual beli. Jadi Fredi Budiman tetap disebut sebagai “perantara jual beli” meski keuntungan yang akan diterima adalah barang yang berupa Ekstasi sebanyak 10% dari jumlah keseluruhan Ekstasi. Terkait dalam hal Fredi Budiman baru rencana “akan” mendapatkan keuntungan karena telah Ekstasi tersebut belum sempat dipasarkan maka tindak pidana yang dikenakan setidak-tidaknya di juncto-kan dengan Pasal 132 ayat (1) tentang percobaan atau permufakatan jahat seperti halnya dalam unsur ketiga yang didakwakan kepada terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman yang memuat pula pertimbangan hakim di dalamnya, sehingga dalam unsur “perantara jual beli” terbukti.

Kedua kajian terhadap ratio decidendi hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat atas terpidana Fredi Budiman yang terdapat dalam unsur ketiga yakni bunyi Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang memuat pertimbangan hakim yakni:

a. Rumusan unsur ketiga tentang “Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana atau prekursor Narkotika, sebagaimana Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika” yang terdapat dalam dakwaan dan selanjutnya dalam pertimbangan hakim lebih menekankan pada “unsur permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana”, sebagaimana Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu tindak tanpa hak dan melawan hukum membeli, menjual dan menjadi perantara dalam jual beli Narkotika Golongan I bukan tanaman yang beratnya 5 gram atau lebih.

commit to user

b. Konsideran menimbang hakim terhadap unsur ketiga dapat diambil ratio

decidendi yang di sesuaikan dengan fakta-fakta hukum yang diperoleh di

persidangan berupa “Terdakwa selain membeli dan menjual/ memasarkan Ekstasi tersebut, juga bertugas mengatur pengeluaran Ekstasi tersebut dari daerah Pabeanan Pelabuhan Tanjung Priok dan waktu itu Terdakwa telah menghubungi dan bekerja sama dengan Hani Sapta Pribowo alias Bowo (dijatuhi pidana seumur hidup), Achmadi alias Madi Bin Sukyan (dijatuhi hukuman mati), Muhamad Mukhtar alias Muhamad Moektar alias Tar (dijatuhi pidana seumur hidup), Teja Harsoyo alias Teja alias Rudi (dijatuhi pidana mati), Abdul Syukur alias Ukung Bin Meiji (dijatuhi pidana seumur hidup) dan Supriyadi Bin Samin (Disidangkan Terpisah Di Mahkamah Militer) dari Primkop Kalta BAIS TNI, yang mana atas keberhasilannya mengatur pengeluaran Ekstasi tersebut dari Pabeanan Pelabuhan Tanjung Priok akan mendapatkan jasa/fee dari Yu Tang sebanyak 10% dari jumlah keseluruhan Ekstasi di luar keuntungan penjualannya di”market”nya Terdakwa”. Mengenai pengertian “permufakatan jahat” dapat dikatakan sama sekali berbeda dengan ketentuan permufakatan jahat dalam Pasal 88 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Pengertian permufakatan jahat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, disebutkan dalam Pasal 1 angka 18 adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi kejahatan narkotika, atau mengorganisasikan suatu tindak pidana narkotika.

Pengertian permufakatan jahat Pasal 1 angka 18 ternyata lebih luas dari KUHP, bahkan ada beberapa pengertian yang telah dirumuskan secara tersendiri dalam KUHP termasuk dalam rumusan permufakatan jahat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal ini dapat diketahui dengan adanya kata, ”membantu, melakukan, turut serta

commit to user

melakukan, menganjurkan”. Meskipun pengertian permufakatan jahat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan perluasan dari permufakatan jahat KUHP, namun demikian keduanya digantungkan pada tindak pidana yang tidak selesai. Khusus permufakatan jahat dalam Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ditunjukkan dengan kata, “untuk”, sebagai bukti bahwa pelaksanaan dari perbuatan tindak pidana belum dilakukan. Yang terpenting disini adalah dua orang atau lebih orang telah bersekongkol atau bersepakat, jadi persekongkolan atau kesepakatan sudah terjadi. Dari pengertian tersebut didapatkan ratio decidendi yaitu Fredi Budiman telah bersekongkol dengan 10 (orang) yakni 9 (sembilan) orang Warga Negara Indonesia dan 1 (satu) orang Warga Negara Hongkong untuk menyelundupkan narkotika jenis Ekstasi dari China ke Pelabuhan Tanjung Periok sehingga dapat diedarkan di Indonesia dalam kapasitas di “market” terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman.

Kajian selanjutnya adalah ratio decidendi dari putusan terhadap terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman Putusan Nomor 2267/Pid.Sus/2012/PN.JKT.BAR yang mengandung pertimbangan mengenai penjatuhan pidana tambahan Pasal 35 KUHP yaitu “Pencabutan hak-hak Terdakwa untuk mempergunakan alat komunikasi segera setelah putusan ini diucapkan (serta merta)”. Ratio decidendi tersebut tidak tepat, hal tersebut berdasarkan atas:

a) Berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh di persidangan atau fakta material bahwa terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman yaitu pada waktu melakukan tindak pidana penyelundupan narkotika dari China ke Indonesia melalui Pelabuhan Tanjung Periok berada didalam Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara Cipinang untuk menjalani pidana penjara dalam perkara lain yang sedang dijalaninya, dimana pidana penjara merupakan bentuk pidana yang berupa perampasan kemerdekaan terhadap terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pidana penjara tidak hanya

commit to user

mengakibatkan perampasan kemerdekaan, tetapi juga menimbulkan akibat negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri (Barda Nawawi Arief, 1996: 44). Akibat negatif itu diantaranya adalah terampasnya juga kebebasan penggunaan alat komunikasi telepon maupun e-mail yang merupakan larangan sebagaimana terdapat dalam Pasal 28 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yaitu “Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan dilarang membawa pesawat televisi dan radio atau media elektronik yang lain ke dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) untuk kepentingan pribadi”. Sebagaimana ketentuan Pasal 28 ayat (3) tersebut rumusan kata “media elektronik”, mempunyai makna sarana media massa yang mempergunakan alat-alat elektronik modern (Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, 2008: http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php). Hal ini berarti termasuk di dalamnya alat komunikasi, berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh di persidangan atau fakta-fakta material bahwa terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman telah membawa alat komunikasi di dalam Lembaga Pemasyarakatan dengan cara dibeli atau diwariskan dari Narapidana yang hukumannya telah berakhir maupun didatangkan dari luar Rutan/ Lapas, lalu menggunakannya dari dalam Rutan/Lapas tersebut untuk melakukan tindak pidana sebagaimana yang telah terbukti dalam perkara aquo, bahkan terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman sendiri menerangkan di persidangan bahwa terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman sampai memiliki 40 (empat puluh) buah Handphone selama di Rumah Tahanan Negara. Berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh di persidangan atau fakta-fakta material tersebut dan dikaitkan dengan Pasal 28 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 32

commit to user

Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, dalam hal telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman terhadap Pasal 28 ayat (3) Peraturan Pemerintah tersebut yang merupakan salah satu dari akibat negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan dari penjatuhan pidana penjara dalam perkara lain yang sedang dijalani oleh terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman di Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara Cipinang. Jadi, ratio decidendi pada konsideran menimbang yang mempertimbangkan bahwa jalur dan penggunaan alat komunikasi oleh terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman perlu diputus secara hukum dengan berpedoman kepada Pasal 10 huruf b KUHP tersebut melalui putusan ini perlu melahirkan hukum (Judge make Law) sebagai tambahan terhadap Pasal 35 KUHP dalam bentuk penjatuhan hukum tambahan berupa “Pencabutan hak-hak Terdakwa untuk mempergunakan alat komunikasi segera setelah putusan ini diucapkan (serta merta)” adalah tidak tepat.

b) Berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh di persidangan atau fakta material bahwa barang bukti berupa alat komunikasi berupa handphone sebayak 7 (tujuh) unit dan alat bukti lain yaitu:

1) Narkotika jenis Ekstasi dengan berat brutto ± 380.996,9 gram dengan jumlah Ekstasi ± 1.412.476 (satu juta empat ratus dua belas ribu empat ratus tujuh puluh enam) butir dengan perincian disisihkan untuk kepentingan Diklat dan Ipktek ± 30 (tiga puluh) butir dengan berat brutto ± 10,8 gram, disisihkan untuk kepentingan Laboratorium dan Pembuktian perkara di Pengadilan sebanyak ± 735 (tujuh ratus tiga puluh lima) butir dengan berat brutto ± 249,7 gram dan sisa barang bukti sebanyak ± 1.411.711 (satu juta empat ratus sebelas ribu tujuh ratus sebelas) butir dengan berat bruto ± 380.736,4 gram, telah dimusnahkan ditingkat Penyidikan;

commit to user

2) 1 (satu) unit Handphone Nokia type N-1280 dengan Nomor Handphone 087774336414;

3) 1 (satu) unit mobil Trailer dengan Nopol. B-9926-JO;

4) 1 (satu) STNK mobil Trailer Nopol. B-9926-JO An. Leonard Situmeang;

5) 1 (satu) unit Kontainer warna merah hati Nomor TGHU 0683898/ 20 feet milik PT. Pilindo Megah Selatan (Yang Ming);

6) 1 (satu) unit Handphone Blackberry Bold warna hitam putih dengan Nomor Handphone 08131147844;

7) 4 (empat) unit Handphone Smartfren dengan Nomor Handphone masing-masing 08891357411, 08891557267, 08891557267, 08891339159; dan

8) 1 (satu) unit Handphone Esia Nomor Handphone 021-96005075; Dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam perkara Para Terdakwa Hani Sapta Pribowo alias Bowo dan Chandra Halim alias Akiong Bin Tingtong. Ratio decidendi terhadap barang bukti tersebut seharusnya tidak hanya dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam perkara lain namun harus dirampas untuk negara, hal tersebut berdasarkan pada Pasal 101 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu:

(1) Narkotika, Prekursor Narkotika, dan alat atau barang yang digunakan di dalam tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika atau yang menyangkut Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasilnya dinyatakan dirampas untuk negara.

Perampasan untuk negara yang diatur dalam Pasal 101 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut berlaku juga terhadap alat komunikasi yang berupa 7 (tujuh) unit handphone merupakan barang bukti atau corpora delicti atau instrument delicti yaitu alat yang dipergunakan Fredi Budiman untuk melakukan tindak pidana penyelundupan narkotika, hal tersebut mengisyaratkan bahwa alat komunikasi yang berupa 7 (tujuh) unit handphone bukanlah hak yang

commit to user

harus dicabut seperti halnya ratio decidendi yaitu, “Pencabutan hak-hak Terdakwa untuk mempergunakan alat komunikasi segera setelah putusan ini diucapkan (serta merta)”. Jadi, ratio decidendi terhadap barang bukti dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam perkara Para Terdakwa Hani Sapta Pribowo alias Bowo dan Chandra Halim alias Akiong Bin Tingtong adalah tidak tepat.

c) Berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh di persidangan atau fakta material bahwa terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman telah membawa alat komunikasi di dalam Lembaga Pemasyarakatan dengan cara dibeli atau diwariskan dari Narapidana yang hukumannya telah berakhir maupun didatangkan dari luar Rutan/ Lapas, lalu menggunakannya dari dalam Rutan/Lapas tersebut untuk melakukan tindak pidana sebagaimana yang telah terbukti dalam perkara aquo, bahkan terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman sendiri menerangkan di persidangan bahwa terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman sampai memiliki 40 (empat puluh) buah Handphone selama di Rumah Tahanan Negara. Berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh di persidangan atau fakta material tersebut membuktikan telah adanya pembiaran atas terjadinya pelanggaran terhadap kepemilikan dan penggunaan alat komunkasi yang dilakukan terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman yang juga berstatus sebagai Narapidana di dalam Rumah Tahanan atau Lembaga Pemasyarakatan Cipinang untuk melakukan tindak pidana oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Jadi, seharusnya terdapat ratio decidendi pada konsideran menimbang dalam putusan yang memuat bahwa telah adanya pembiaran kepemilikan dan penggunaan alat komunikasi oleh terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman yang juga berstatus sebagai Narapidana oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan di Rumah Tahanan atau Lembaga Pemasyarakatan Cipinangyang oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan.

commit to user

peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika atau prekursor narkotika di dalam Rumah Tahanan atau Lembaga Pemasyarakatan.

Kajian terakhir adalah pertimbangan Majelis Hakim tentang hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan yang tertuang dalam konsideran menimbang, yakni terdapat 5 (lima) yang memberatkan dan tidak ada hal yang meringankan hukuman yang juga merupakan bagian dari ratio decidendi karena hal-hal tersebut melandasi pemikiran hakim, sehingga hakim sampai pada putusannya. Pemikiran hakim pada pertimbangan bagian hal-hal yang memberatkan dan meringankan hukuman dalam putusan terhadap terdakwa (sekarang terpidana) Fredi Budiman yaitu:

Hal-hal yang memberatkan:

- Bahwa perbuatan Terdakwa bertentangan dengan program pemerintah Republik Indonesia yang sedang giat-giatnya memberantas peredaran gelap Narkotika dan penyalahgunaan Narkotika;

- Bahwa jumlah barang bukti Narkotika berupa Ekstasi tersebut sangat banyak yaitu 1.412.476 butir dengan berat 380.996,9 gram yang dapat merusak banyak bangsa Indonesia terutama generasi muda;

Dalam dokumen BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 44-57)