• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesesuaian Pengaturan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Konvensi

Dalam dokumen BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 31-44)

Wina 1988 terkait Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi

Permasalahan subtansi dari suatu aturan hukum sangat berkaitan dengan kesesuaian suatu aturan hukum itu dengan aturan hukum lainnya. Kesesuaian dari aturan hukum itu disebut juga dengan sinkronisasi.

commit to user

Sinkronisasi berasal dari kata sinkron yang berarti sejalan, sesuai, selaras. Dalam bahasa inggris, terdapat istilah synchonized, synchronizing,

synchronizes yang bermakna sinkronisasi yaitu kesesuaian atau keselarasan

antara peraturan perundangan yang satu dengan lainnya dalam derajad yang berbeda atau secara vertikal (Asri Wijayanti, 2012: 8-9).

Dalam mengkaji sinkronisasi vertikal dan horisonal antara peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hukum tentang narkotika, digunakan stuffentheorie atau teori berjenjang yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Keabsahan norma hukum yang paling tinggi adalah konstitusi. Validitas konstitisi pada norma dasar (basic norm) yang berisi ide bersama tentang norma dasar. Pernyataan itu perlu ditelaah lebih lanjut apabila mendasarkan pada apa yang dikemukakan J. Gijssles dan Mark van Hoecke yang menyatakan bahwa ilmu hukum mempunyai tiga lapisan yaitu, dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Apabila mendasarkan pada pelapisan ilmu hukum dari J. Gijssles dan Mark vas Hoecke maka suatu aturan hukum yang merupakan dogmatika hukum haruslah sesuai atau sinkron juga dengan teori hukum dan filsafat hukum. Secara dogmatika hukum, di aturan hukum yang di atasnya dan sejajar. Hal ini sering disebut dengan sinkronisasi vertikal dan horisontal (Asri Wijayanti, 2012: 9-13).

Makna dari sinkronisasi secara horisontal adalah sesuai dengan garis menyamping. Aturan hukum yang sederajat. Makna dari sinkronisasi secara vertikal adalah sesuai dengan garis yang lurus atas bawah. Antara aturan hukum yang tidak sederajat. Telaah terhadap sinkronisasi vertikal horisontal suatu aturan hukum berkaitan dengan asas perundang-undangan. Ada lima asas berlakunya undang-undang yaitu (Asri Wijayanti, 2012: 13-14):

a. Undang-Undang tidak berlaku surut. Artinya suatu undang-undang daya berlakunya tidak dapat mundur sebelum tanggal ditetapkannya;

b. Lex posterior derogat legi priori. Artinya suatu undang-undang kemudian menyisihkan yang terdahulu;

c. Lex superior derogat legi inferiori. Artinya suatu undang-undang yang lebih tinggi mengesampingkan yang lebih rendah;

commit to user

d. Lex specialis derogat legi generali. Artinya suatu undang-undang yang khusus mengesampingkan yang lebih umum; dan

e. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.

Terdapat hirarki tata urutan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Telaah sinkronisasi vertikal – horisontal selalu bertumbu pada norma inti yang menjadi objek kajian. Dari norma inti tersebut kemudian ditarik telaah sesuai garis lurus keatas dan kebawah serta ditarik ditarik telaah sesuai garis menyamping ke kiri dan ke kanan. Penarikan sesuai garis menyamping ke kiri dan ke kanan merupakan telaah dengan memperhatikan aturan yang sejajar kedudukannya tetapi terdapat perbedaan isi pengaturan (Asri Wijayanti, 2012: 14). Jadi makna sinkronisasi adalah kesesuaian suatu aturan hukum terhadap aturan hukum lainnya, baik secara vertikal maupun horisontal. Secara vertikal haruslah bermakna kesesuaian antara hirarki peraturan perundang-undangan (yang merupakan dogmatika hukum) dengan teori hukum dan filsafat hukumnya. Sinkronisasi menjadi jiwa dari suatu aturan hukum dapat dikatakan sebagai suatu hukum yang baik. Hukum yang baik adalah hukum yang mencermikan rasa keadilan. John Rawls mengkonsepkan adil sebagai fairness yang terdiri dari dua bagian yaitu interprestasi atas situasi awal dan atas persoalan pilihan yang ada dan seperangkat prinsip yang akan disepakati (Asri Wijayanti, 2012: 15-16).

Aturan hukum diperlukan untuk menjawab persoalan hukum. Tetapi realita menunjukan bahwa tidak setiap persoalan hukum dapat dipecahkan hanya dengan mengandalkan aturan hukum, ada persoalan hukum yang harus ditemukan jawabannya melalui prinsip hukum. Menurut Paton aturan hukum terbentuk memperoleh dasarnya dari prinsip hukum. Prinsip hukum disebut oleh Bruggink sebagai asas hukum yang merupakan metakaidah hukum.

Sebagai meta kaidah, prinsip hukum juga merupakan kaidah perilaku. Dari segi bentuknya, kaidah perilaku dibedakan kedalam dua jenis, yaitu bentuk yang kuat dan lemah. Dalam bentuk yang pertama mengandung arti bahwa prinsip itu berfungsi sebagai kaidah argumentasi berkenaan dengan pedoman perilaku, sedangkan dalam bentuk yang kedua

commit to user

prinsip itu berfungsi pula sebagai pedoman perilaku sehingga perbedaannya dengan aturan hukum bersifat gradual. Asas hukum adalah kaidah yang berpengaruh terhadap kaidah perilaku, karena asas hukum ini memainkan peranan pada interprestasi terhadap aturan hukum dan dengan itu menentukan wilayah penerapan kaidah hukum (Asri Wijayanti, 2012: 18).

Prinsip hukum mempunyai arti penting dalam memecahkan persoalan hukum dan sebagai bahan pembentukan aturan hukum (Asri Wijayanti, 2012: 18).

a. Prinsip-Prinsip Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Konvensi Wina 1988

Sejumlah instrumen hukum telah dikembangkan selama beberapa dekade terakhir berurusan dengan berbagai aspek kejahatan terorganisasi di tingkat internasional. Elemen-elemen kunci dalam semua instrumen ini terdiri dari langkah-langkah yang bertujuan membina kerjasama internasional dan mengharmonisasikan pendekatan yang diambil (United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), 2011: 121).

Perkembangan dari satu konvensi internasional narkotika kepada konvensi internasional narkotika lainnya mengandung implikasi perubahan atau perbedaan tujuan dan lingkup kendali dan sekaligus juga merupakan kelengkapan konvensi-konvensi sebelumya (Romli Atmasasmita, 1995: 31). Didalam konvensi internasional narkotika yakni Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Wina 1988 terdapat prinsip-prinsip hukum yang secara implisit dan eksplisit tercantum didalamnya selain prinsip-prinsip hukum umum yang merupakan sumber dalam arti formal hukum pidana internasional.

1) Prinsip-Prinsip Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961.

a) Prinsip konstitusional (constitutional principle) dan

Ketentuan pidana Konvensi Tunggal Narkotika 1961 sering dimulai dengan klausul seperti:

commit to user

“Subject to its constitutional limitations, each Party shall . . .”.

Sesuai dengan pembatasan konstitusional, setiap Pihak wajib ..." Jadi, jika konstitusi suatu negara melarang melembagakan hukuman pidana yang disebut oleh Konvensi Tunggal Narkotika 1961, ketentuan-ketentuan tersebut tidak akan mengikat negara itu dan hal tersebut juga berlaku sebaliknya.

b) Prinsip perwakilan geografis yang adil (principle of equitable

geographic representation).

Pasal 9 ayat 3, menegaskan,

The Council, with due regard to the principle of equitable geographic representation, shall give consideration to the importance of including on the Board, in equitable proportion, persons possessing a knowledge of the drug situation in the producing, manufacturing, and consuming countries, and connected with such countries.

Dewan, dengan memperhatikan prinsip perwakilan geografis yang adil, akan memberikan pertimbangan pentingnya termasuk di Dewan, dalam proporsi yang adil, orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang situasi Narkoba dalam memproduksi, manufaktur, dan konsumsi negara, dan terhubung dengan negara-negara tersebut.

2) Prinsip-Prinsip Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi dalam Konvensi Wina 1988.

Prinsip yang menjadi alas hukum mengenai status tindak pidana transnasional yang terorganisasi dalam Konvensi Wina 1988 yakni: a) Prinsip persamaan kedaulatan dan integritas wilayah negara

(Principles of sovereign equality and territorial integrity of

states);

Pasal 2 ayat 2 menegaskan,

The Parties shall carry out their obligations under this Convention in a manner consistent with the principles of sovereign equality and territorial

commit to user

integrity of States and that of non-intervention in the domestic affairs of other States.

Para Pihak akan melaksanakan kewajibannya berdasarkan Konvensi ini dengan cara yang konsisten dengan prinsip-prinsip persamaan kedaulatan dan integritas wilayah Negara dan yang non-intervensi dalam urusan dalam negeri negara lain.

(1) Prinsip persamaan kedaulatan (Principle of sovereign

equality).

The principle that nations have the right to

enjoy territorial integrity and political

independence, free from intervention by other nations (Black’s Law Dictionary, 2009 : 1523).

Prinsip bahwa negara memiliki hak untuk menikmati keutuhan wilayah dan kemerdekaan politik, bebas dari intervensi oleh negara lain; dan

(2) Prinsip integritas wilayah negara (Principle territorial

integrity of states).

The principle that nations to maintain their interests and prevent any unlawful action that can be taken against them by persons overseas

(Abdulmohsen Alothman, 2006: 16).

Prinsip bahwa negara untuk mempertahankan kepentingan mereka dan mencegah tindakan melanggar hukum yang dapat diambil terhadap mereka oleh orang luar negeri.

Jadi, prinsip yang menempatkan negara-negara di dunia ini tanpa memandang besar atau kecil, kuat atau lemah, maju atau tidaknya, memiliki kedudukan yang sama antara satu dengan lainnya, sesuai dengan hukum internasional (I Wayan Parthiana, 2006: 61).

b) Prinsip non-intervensi (principle of non-intervention);

The principle that a country should not interfere in the internal affairs of another country. The U.N. Charter binds it from intervening “in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any state….”(Black’s Law Dictionary, 2009: 1154).

commit to user

Prinsip bahwa negara tidak boleh ikut campur dalam urusan internal negara lain. Piagam PBB mengikat dari intervensi “dalam hal-hal yang pada dasarnya dalam yurisdiksi domestik setiap negara ....”.

Jadi, suatu negara tidak boleh campur tangan atas masalah dalam negeri negara lain, kecuali negara itu menyetujuinya secara tegas (I Wayan Parthiana, 2006: 62).

c) Prinsip Aut Dedere Aut Judicare (Extradite or Prosecute); dan

The principle that a nations where a fugitive from justice is found has a duty to either extradite the fugitive to the nation from which the person has fled to prosecute the person is its own courts. This is an emerging principle, and not accepted as a customary rule in international law (Black’s Law

Dictionary, 2009: 151).

Prinsip bahwa negara-negara di mana buronan yang ditemukan memiliki kewajiban untuk mengekstradisi buronan baik bagi bangsa dari mana orang tersebut telah melarikan diri untuk mengadili orang tersebut adalah pengadilan mereka sendiri. Ini adalah prinsip yang muncul, dan tidak diterima sebagai kaidah kebiasaan dalam hukum internasional.

d) Prinsip teritorial yang objektif (objective territorial principle); (1) Pasal 4 ayat 1 huruf (b) (iii) menegaskan,

1. Each Party:

(b) May take such measures as maybe

necessary to establish its jurisdiction over the offences it has established in accordance with article 3, paragraph 1, when:

(iii) The offence is one of those established

in accordance with article 3,

paragraph 1, subparagraph c) iv), and is committed outside its territory with a view to the commission, within its territory, of an offence e55stablished in accordance with article 3, paragraph 1.

commit to user 1. Setiap Pihak:

(b) Dapat mengambil langkah-langkah seperti mungkin perlu untuk menetapkan yurisdiksinya atas tindak pidana yang telah ditetapkan sesuai dengan pasal 3 ayat 1, bila:

(iii) Pelanggaran adalah salah satu yang ditetapkan sesuai dengan pasal 3, ayat 1, huruf c) iv), dan dilakukan di luar wilayahnya dengan tujuan untuk komisi tersebut, dalam wilayahnya, dari suatu kejahatan yang ditetapkan sesuai dengan pasal 3, ayat 1.

(2) Pasal 3 ayat 1 huruf (c) (iv) menegaskan,

1. Each Party shall adopt such measures as

may be necessary to establish as criminal offences under its domestic law, when committed intentionally;

(c) Subject to its constitutional principles

and the basic concepts of its legal system;

(iv) Participation in, association or conspiracy to commit, attempts to

commit and aiding, abetting,

facilitating and counselling the

commission of any of the offences established in accordance with this article.

1. Setiap Pihak wajib mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan pidana berdasarkan hukum nasionalnya, jika dilakukan dengan sengaja;

(c) Sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusional dan konsep dasar sistem hukumnya;

(iv) Partisipasi, bekerja atau konspirasi untuk melakukan, mencoba untuk melakukan dan membantu, bersekongkol, memfasilitasi dan

commit to user

membimbing pelaksanaan setiap tindak pidana yang ditetapkan sesuai dengan pasal ini.

According to objective territoriality, a state has a lawful right to apply its domestic laws to a crime when the criminal consequence takes place within its territory even if the incriminated conduct is completed in a different state. However, it should be considered that in their efforts to show their sincerity and respect to other states’ sovereignty and interest’s drafters in many states tried to create boundaries for the applications of objective territoriality. Furthermore, these boundaries have been drawn by requiring certain degrees of gravity that have to exist in order to apply domestic laws. However, even though this condition has been expressed in different ways in many domestic laws, all drafters agreed on formulating this principle in a general way that allows broad interpretation of objective territoriality (Abdulmohsen Alothman,

2006: 16).

Menurut teritorial obyektif, negara memiliki hak yang sah untuk menerapkan hukum nasionalnya untuk kejahatan ketika akibat pidana terjadi dalam wilayahnya bahkan jika pelaksanaan dicurigai diselesaikan di negara lain. Namun, harus dipertimbangkan bahwa dalam upaya mereka untuk menunjukkan ketulusan dan menghormati kedaulatan negara lain dan pembuat draft kepentingan di banyak negara mereka mencoba untuk membuat batas-batas untuk penerapan teritorial obyektif. Selain itu, batas-batas telah ditarik dengan mewajibkan tingkatan tertentu yang menitik beratkan agar harus ada dalam rangka untuk menerapkan hukum domestik. Namun, meskipun kondisi tersebut telah dinyatakan dalam cara yang berbeda dalam banyak hukum domestik, semua pembuat draft sepakat merumuskan prinsip ini secara umum yang memungkinkan interpretasi yang luas teritorial obyektif.

Jadi, prinsip yang memperluas yurisdiksi kriminal negara terhadap tindak pidana yang dilakukan di negara lain

commit to user

(perencanaan, persiapan, dan permulaan tindak pidana) akan tetapi diselesaikan di dalam teritorial negara yang bersangkutan, atau mengakibatkan kerugian-kerugian sosial dan ekonomis yang sangat besar di dalam teritorial negara yang bersangkutan (Romli Atmasasmita, 1995: 39-40).

b. Aturan Hukum Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Aturan hukum yang menjadi alas hukum mengenai status tindak pidana transnasional yang terorganisasi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yakni:

1) Pasal 1 huruf 18 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang menegaskan,

Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi kejahatan Narkotika, atau mengorganisasikan suatu tindak pidana Narkotika.

Pengertian tersebut di atas secara eksplisit menetapkan rumusan yang luas tentang permufakatan jahat dan ditujukan ditujukan terhadap dua orang atau lebih atau perbuatan yang didukung oleh suatu organisasi kejahatan. Ancaman pidana terhadap permufakatan jahat dimuat dalam Pasal 132 ayat (1) yaitu:

Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129, pelakunya dipidana dengan pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut.

2) Pasal 145 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang menegaskan,

commit to user

Setiap orang yang melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 di luar wilayah Negara Republik Indonesia diberlakukan juga ketentuan Undang-Undang ini.

Pasal 145 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut merupakan pasal yang terlalu berlebihan apabila dimaknai secara gramatikal karena jelas bahwa bertentangan dengan United Nations

Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs And Psychotropic Substances 1988 (Konvensi Wina 1988) dalam Pasal 2

konvensi khusus mengatur mengenai yurisdiksi sebagaimana yang termuat dalam Pasal 145 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 (AR. Sujono dan Bony Daniel, 2011: 362). Pasal 145 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut menerapkan asas universal, yaitu bahwa Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika berlaku untuk semua tindak pidana Narkotika dan/ atauPrekursor Narkotika di dalam atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing dengan menyerang kepentingan negara Indonesia atau kepentingan negara asing.

Konvensi Wina 1988 menghendaki penerapan asas teritorial untuk pemberlakuan hukum tentang narkotika, yaitu bahwa setiap negara peserta konvensi menentukan aturan untuk pencegahan berbagai aspek peredaran gelap narkotika dan psikotropika yang memiliki dimensi internasional dengan politik hukumnya masing-masing yang berarti bahwa peraturan tentang narkotika diserahkan kepada masing-masing negara termasuk langkah-langkah legislatif dan administratif, sesuai dengan dasar ketentuan masing-masing sistem legislatif domestik. Kemudian, dalam kerangka pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika, setiap

commit to user

nagara peserta konvensi menerapkan cara yang konsisten dengan prinsip-prinsip persamaan kedaulatan dan integritas wilayah negara yang artinya bahwa negara yang satu dengan negara yang lain yang sama-sama terlibat dalam konvensi ini tidak boleh mengintervensi urusan domestik negara lain. Lebih dari itu, setiap negara peserta konvensi ini tidak boleh mengambil tindakan apapun di dalam wilayah atau yurisdiksi negara lain berdasarkan hukum nasionalnya. Adapun jika adanya perluasan yurisdiksi maka dapat menggunakan asas teritorial yang objektif (objective territorial principle) yang tercantum dalam Pasal 4 ayat 1 huruf (b) (iii) dan Pasal 3 ayat 1 huruf (c) (iv). Pasal 2 Konvensi Wina 1988 juga menjelaskan bahwa negara peserta konvensi tidak boleh menerapkan tindakan dengan fungsi yang dimiliki pejabat berwenang untuk dilakukan pada yurisdiksi negara lain. Bagaimana mungkin Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 hendak diterapakan di luar yurisdiksi Indonesia padahal Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi tersebut sehingga bisa disimpulkan bahwa pasal ini justru telah bertentangan dengan semangat pemberlakuan hukum atau yurisdiksi keberlakuan hukum yang terkandung dalam Konvensi Wina 1988 (AR. Sujono dan Bony Daniel, 2011: 363).

Selanjutnya mengenai ketentuan pidana disebutkan dalam Pasal 145, “…. Diberlakukan ketentuan undang-undang ini. Untuk itu tentulah yang dimaksud adalah ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam masing-masing Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129.

3) Pasal 146 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang menegaskan,

(1) Terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana

commit to user

Prekursor Narkotika dan telah menjalani pidananya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dilakukan pengusiran keluar wilayah Negara Republik Indonesia.

(2) Warga negara asing yang telah diusir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang masuk kembali ke wilayah Negara Republik Indonesia.

(3) Warga negara asing yang pernah melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di luar negeri, dilarang memasuki wilayah Negara Republik Indonesia.

Jika dicermati ada dua hal yang diatur dalam Pasal 146, yaitu pengusiran warga negara asing ke luar wilayah Indonesia dan penangkalan warga negara asing masuk ke wilayah Indonesia.

Pengusiran terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana narkotika dan/ atau tindak pidana prekursor narkotika adalah setelah menjalani pidananya sebagaimana diatur dalam undang-undang. Hal ini menunjukkan setiap orang asing yang melakukan tindak pidana narkotika dan/ atau prekursor narkotika haruslah mengikuti proses hukum di Indonesia dan menjalani pidana berdasarkan proses hukum yang telah dijalaninya (Pasal 146 ayat (1)).

Selanjutnya pelarangan masuk wilayah Republik Indonesia terhadap orang asing dilakukan dalam hal:

a. Warga Negara asing tersebut telah diusir ke luar wilayah Republik Indonesia karena melakukan tindak pidana narkotika dan/ atau tindak pidana prekursor narkotika dan telah menjalani pidananya dan

b. Warga negara asing tersebut pernah melakukan tindak pidana narkotika dan/ atau tindak pidana prekursor narkotika di luar negeri.

commit to user B. Pembahasan

1. Ratio Decidendi Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat Dalam

Dalam dokumen BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 31-44)