BAB I PENDAHULUAN
G. Defenisi Operasional
bagaimana perlindungan hukumnya kepada masyarakat yang sudah memiliki paspor.
G. Defenisi Operasional
Defenisi operasional pada dasarnya adalah petunjuk bagaimana caranya mengukur suatu variabel sehingga diketahui dengan jelas dan tepat apa yang menjadi indikator penelitian untuk dikumpulkan datanya, kemudian dianalisis dan dijadikan sebagai pendukung dari penelitian Subhilhar, et al (2006:6-8).
Suatu defenisi operasional merupakan spesialisasi kegiatan penelitian dalam mengukur suatu variabel. Adapun operasionalisasi variabel dalam penelitian ini adalah :
-
Tabel 1.1. Operasinalisasi Variabel Penelitian
VARIABEL DIMENSI INDIKATOR
1. Persyaratan tulisan yang terprint harus jelas b. Foto yang tercetak pada paspor
harus jelas/tidak ada cacat.
3. Identifikasi, verifikasi mesin pembantu MRTD
a. Kalau hasil cetakan, dan tulisan yang terprint jelas, fotonya juga jelas, maka sewaktu diverifikasi memakai mesin MRTD akan lulus uji kualitas paspor
4. Persepsi publik secara Global perkembangan IPTEK dunia yang semakin maju.
- 5. Persyaratan
penyimpanan data
a. Data yang sudah benar tersimpan didalam server lokal dan pusat, hal ini dilakukan secara otomatis b. Data akan tersimpan apabila
tidak ada permohonan ganda (apabila pemohon pernah membuat di kantor lain akan dengan tuntutan teknologi, Paspor RI disempurnakan dari dulu yang bentuknya besar, sampai sekarang yang kecil/standar sesuai dengan persyaratan ICAO.
b. Semakin simpel untuk dibawa kemana-mana, dan memiliki tingkat keamanan yang tinggi karena sulit untuk dipalsukan
Pelayanan Paspor
Prinsip Pelayanan 1. Kesederhanaan 2. Kejelasan 3. Keamanan 4. Keterbukaan 5. Efisien 6. Ekonomis
7. Keadilan yang merata 8. Ketepatan Waktu
-
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
A. Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian yaitu penelitian deskriptif kualitatif, menurut Nawawi (1994:73), bentuk penelitian deskriptif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang terjadi pada saat penelitian
dilakukan (saat sekarang) atau masalah-masalah yang bersifat aktual.
2. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang sedang diselidiki sebagaimana adanya dengan interpretasi yang rasional.
Untuk keberhasilan suatu penelitian yang baik dalam memberikan gambaran dan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian sangat ditentukan oleh metode yang dipergunakan dalam penelitian. Dilihat dari sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta serta menganalisa permasalahan yang ada sekarang berkaitan dengan Sistem Biometrik Dalam Meningkatkan Pelayanan Permohonan SPRI/Paspor Pada Kantor Imigrasi Klas I Polonia Medan.
Dilihat dari pendekatannya, maka penelitian ini menggunakan Pendekatan Kualitatif. Pendekatan ini digunakan dengan pertimbangan akan menyajikan secara langsung informasi dari informan, responden, maupun pada institusi di Kantor Imigrasi Klas I Polonia. Sehingga dapat dijajaki secara lebih mendalam objek yang akan diteliti dengan terjun secara langsung melihat kondisi di lapangan dan mengadakan interaksi langsung kepada objek penelitian dan diharapkan
-
penelitian ini dapat dilaksanakan secara objektif sehingga hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan baik secara akademik maupun secara praktis.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Medan, tepatnya pada Kantor Imigrasi Klas I Polonia Medan.
C. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh aparat/pegawai pada Kantor Imigrasi Klas I Polonia Medan, dan masyarakat pemohon paspor sebagai pembanding. Teknik penentuan informan penelitian menggunakan Sampling Purposive. Sampling Purposive adalah teknik penentuan sample informan dengan pertimbangan tertentu. (Sugiyono, 2004:78). Dalam penelitian ini penulis memilih sampel yang mengetahui dengan jelas permasalahan yang diteliti.
Adapun yang dijadikan sebagai informan dalam penelitian ini adalah :
a. Pegawai pada Kantor Imigrasi Klas I Polonia Medan, sebagai informan kunci (Key informan) yang terdiri dari :
1. Kepala Kantor Imigrasi Klas I Polonia Medan
2. Kepala Bagian Tata Usaha Kantor Imigrasi Klas I Polonia Medan
3. Kepala Seksi Lalu Lintas Keimigrasian Kantor Imigrasi Klas I Polonia Medan.
4. Pegawai yang mengoperasikan Sistem Biometrik pada Kantor Imigrasi Klas I Polonia Medan.
-
5. Pegawai yang bertugas pada bagian loket (yang menerima berkas permohonan dari masyarakat yang mau membuat paspor).
6. Pegawai pada bagian Foto dan sidik jari (bertugas mengambil foto dan sidik jari secara biometrik).
7. Pegawai yang bertugas sebagai wawancara (tugasnya mewawancarai masyarakat yang mau membuat paspor).
8. Pegawai yang bertugas di bagian cetak dan laminating Paspor (tugasnya mencetak paspor, dan melaminating sehingga paspor siap, tinggal tanda tangan Kepala Kantor).
Pada konteks ini, untuk memudahkan menentukan sampel masyarakat yang akan diambil sebagai responden, penulis menggunakan Sample Taro Yamanee (Rahmat, 1989: 82) yaitu :
N n = ___________
nd2 + 1
dimana : n = jumlah sampel N = jumlah populasi d = presesi 10%
dari data yang diperoleh pada kantor imigrasi klas I Polonia Medan, jumlah masyarakat yang mengurus paspor dalam 1 hari mencapai sekitar 200 orang.
Untuk penentuan sampel, penulis mengambil jumlah populasi dalam 1 hari permohonan paspor yang masuk. Sampel pembanding dalam penelitian ini adalah
200 n = ___________
200 (0,1)2 + 1 = 66 orang
-
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini antara lain sebagai berikut : 1. Data Primer, yang meliputi :
a. Wawancara mendalam (depth-interview), dengan mengadakan tanya jawab secara terbuka dengan key informan tentang objek permasalahan yang diteliti. Selain itu juga melakukan wawancara dengan para staf ataupun pegawai yang menangani sistem Biometrik di Kantor Imigrasi Klas I Polonia Medan.
b. Observasi, dengan melakukan pengamatan langsung mengenai gejala-gejala yang terjadi di lapangan yang berhubungan dengan objek penelitian.
c. Kuesioner, yakni menyebarkan daftar pertanyaan tertulis kepada masyarakat/pemohon yang disertai sejumlah alternatif jawaban.
2. Data Sekunder, yang meliputi :
Metode Library Research atau studi kepustakaan.
Yaitu mengumpulkan bahan bacaan, referensi, file-file, tulisan, artikel, atau sarana media informasi lainnya yang dapat dipergunakan sebagai acuan dalam penelitian ini.
E. Teknik Analisa Data
Dalam penelitian ini dilakukan teknik analisa data dengan metode deskriptif, yaitu suatu metode dimana data yang diperoleh disusun kemudian diinterpretasikan sehingga memberikan keterangan terhadap permasalahan yang diteliti. Untuk menganalisa data-data yang telah diperoleh dari hasil penelitian
-
dilapangan khususnya dari penyebaran kuesioner akan digunakan analisa tabel tunggal atau disebut analisa tabel frekwensi. Analisa tabel tunggal ini dimaksudkan untuk memperinci data-data sekaligus menyajikan persentase dari masing-masing jawaban responden, sehingga akan dapat diketahui data yang paling dominan, atau yang paling besar persentasenya. Hasil observasi yang dilakukan disajikan secara tidak langsung untuk mendukung data-data yang diperoleh dari wawancara. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi salah tafsir terhadap masalah yang diteliti.
-
BAB III
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Singkat Keimigrasian di Indonesia
Pemeriksaan Keimigrasian di Indonesia sudah ada sejak zaman Belanda.
Pada saat itu, terdapat badan pemerintahan kolonial yang bernama “Immigratie Dienst” yang bertugas menangani masalah Keimigrasian untuk seluruh kawasan Hindia Belanda.
Pengaturan lalu-lintas arus orang asing yang keluar-masuk Indonesia untuk pertama kalinya baru dapat dilakukan pada tahun 1913, yaitu dengan dibentuknya Sekretaris Kantor Imigrasi (kemudian sejak pada tahun 1621 sudah disebut Immigratie Dienst), yang merupakan badan administrasi pemerintahan yang menangani bidang Keimigrasian.
Kebijakan atau politik Keimigrasian yang ditetapkan di Hindia Belanda disebut opendeurpolitiek atau disebut sebagai politik pintu terbuka (yang sebenarnya disebut sebagai suatu istilah ekonomi kolonial) yaitu suatu kebijakan yang membuka Hindia Belanda seluas-luasnya bagi orang asing untuk masuk, menetap dan menjadi penduduk Hindia Belanda. Opendeurpolitiek pada hakikatnya tidak pernah dirubah sampai Indonesia merdeka. Menurut Imam Santoso,”secara tersurat tidak ada ditetapkan politik Keimigrasian kolonial yang bersifat terbuka, tetapi dari beberapa peraturan kependudukan, kewarganegaraan, pemberian izin masuk dan tinggal dapat disimpulkan bahwa politik Keimigrasian masa kolonial adalah bersifat pintu terbuka.
-
Selanjutnya kebijakan politik pintu terbuka ini bermaksud,”membuka kesempatan seluas-luasnya bagi orang asing untuk masuk, tinggal dan bekerja di Hindia Belanda. Dengan semakin banyaknya dan beragam atau bervariasi golongan atau keturunan bangsa asing yang masuk, tinggal dan bekerja di Hindia Belanda semakin baik, karena diharapkan disektor perekonomian dan politik tetap dikuasai bangsa asing, sehingga golongan bumi putera tetap di bawah jajahan bangsa Belanda”.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka latar belakang dari politik Keimigrasian Hindia Belanda adalah ingin menguasai tanah jajahan (Hindia Belanda) untuk dieskploitasi secara ekonomi sehingga memakmurkan Negara dan bangsa Belanda yang jauh di Eropa. Cara yang dilakukan adalah dengan membuka Hindia Belanda bagi investor, terutama yang berasal dari negara-negara Eropa, untuk menanamkan modalnya di Hindia Belanda. Kebijakan pintu terbuka ini mempunyai tujuan antara lain :
1. Mendapatkan tenaga kerja murah untuk menekan penduduk asli sekaligus menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi antara pendatang dan penduduk asli;
2. Menarik modal asing dan pengaruh asing sebesar-besarnya agar kesempatan bagi bumi putera (pribumi) semakin tertutup dan dapat ditekan oleh pengaruh tadi sehingga bangsa Indonesia sudah tentu tetap menjadi bangsa terjajah;
3. Bila ada serangan dari luar terhadap Hindia Belanda, pemerintah Belanda tidak akan sendiri menghadapinya karena negara penanam modal tidak akan tinggal diam untuk melindungi kepentingan modalnya.
-
Dengan demikian dapat dilihat bahwa politik Keimigrasian kolonial hanya mengatur kehadiran orang asing dan berpihak pada kepentingan pemerintah jajahan.
Tidak jauh berbeda dengan politik Keimigrasian Belanda yang ditetapkan di Hindia Belanda, maka politik Keimigrasian Jepang merupakan kelanjutan, penyesuaian dan perubahan pada dokumen-dokumen produk Belanda sebelumnya. Fokus utama yang dilakukan adalah Pendaftaran Orang Asing, dengan dikenalkannya dokumen bernama “Surat Pernyataan Berdiam Orang Asing”. Dokumen tersebut memuat antara lain :
1. Nomor Registrasi;
2. Nama dan Umur Pemegang;
3. Alamat/Tempat Tinggal Sekarang;
4. Kewarganegaraan;
5. Tempat Lahir;
6. Tempat Negeri Asal;
7. Pekerjaan;
8. Berapa Tahun Tinggal dinegeri ini;
9. Kawin/Tidak Kawin;
10. Banyak Keluarga (yang belum didaftarkan)
Menurut JCT Simorangkir, tidak jelas apakah pernyataan Berdiam Orang Asing ini sekaligus dimaksudkan untuk menarik dokumen/surat Keimigrasian produk masa Hindia Belanda dengan maksud menggantikannya. Akan tetapi
-
dengan melihat isinya, sukar ditarik kesimpulan bahwa produk Jepang tersebut akan menggantikan dokumen Hindia Belanda di bidang Keimigrasian.
Selain itu, ditemukan pula semacam bukti diri (Identitas Bewijs) produk Hindia Belanda yang menyangkut Pemerintah Daerah di Tanjung Balai Karimun.
Di dalam salah satu halamannya tertulis Karimun Shonan Takubetsu Shi. Dari dokumen tersebut dapat diidentifikasikan bahwa produk-produk Hindia Belanda ada yang masih dipakai dengan dimodifikasi seperlunya. Setelah Perang Dunia II, Immigratie Dienst pemerintah Hindia Belanda dibuka kembali pada tahun 1946.
Hal ini terlihat sejalan dengan rencana Imigrasi untuk mengambil alih wewenang dari tangan Pangreh-Praja. Masalah yang dihadapi dan kewajiban ternyata lebih berat daripada yang sebelumnya.
Menurut Moerwati sebagaimana yang dikutip oleh JCT Simorangkir,
“memang pada zaman revolusi kemerdekaan (1945-1949) tidak ada Immigratie Dienst Hindia Belanda,”yang ada sejak 1946 adalah Urusan Pendudukan Bangsa Asing (UPBA) di bawah Kementrian Dalam Negeri NICA.
Sementara itu, untuk Dinas Imigrasi pada masa pemerintahan Hindia Belanda yang berada di bawah Direktur Yustisi. Akan tetapi, pada Peraturan Pemerintah No.48 Tahun 1948 tidak tercantum seperti yang tercantum pada Pasal 2 ayat (2) yang menyangkut jawatan-jawatan di bawah Kementrian Kehakiman yaitu yang meliputi :
1. Jawatan Pengadilan.
2. Jawatan Kejaksaan.
3. Jawatan Kepenjaraan.
4. Jawatan Harta Peninggalan.
- 5. Jawatan Pendaftaran Tanah.
Namun demikian, hal tersebut tidaklah berarti bahwa “Imigrasi” telah dihapuskan. Setidaknya Pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan beberapa produk perundang-undangan yang berkaitan dengan Keimigrasian guna terlaksananya tugas dan fungsi Imigrasi yaitu :
1. Keputusan Direktur Yustisi Tentang Exit Permit Nomor : 1.4/6/1 tanggal 29 Mei 1946;
2. Keputusan Sekretaris Negara, Kepala Negara Yustisi Nomor : KB.2.1/15 tangal 05 Oktober 1949, yang menandai pembukaan kembali Immigratie Dients Pemerintahan Hindia Belanda itu memiliki 1 (satu) Inspekstur Urusan Dalam, 14 (empat belas) Kantor Imigrasi dan 2 (dua) Kantor Imigrasi di Luar Negeri;
3. Staadblad 1949 No.331 Tentang Penetapan Izin Masuk;
4. Staadblad 1949 No.332 Tentang Hak Bertempat Tinggal, Izin Masuk dan Pendaftaran Orang Asing.
Selain peraturan perundang-undang yang berkaitan dengan tugas dan fungsi dari Keimigrasian di masa pemerintahan Hindia Belanda, maka politik Keimigrasian pada zaman Hindia Belanda juga meliputi pengaturan izin masuk dan tinggal orang asing, kependudukan orang asing dan kewarganegaraan. Bidang perizinan masuk dan tinggal orang asing meliputi antara lain, yaitu :
1. Izin Mendarat : yang tak diberi dan yang ditolak
Menurut Pasal 1 ayat (3) sampai dengan aat (5) Toelating Besluit, bahwa izin mendarat di Indonesia tidak diberikan kepada orang asing tertentu dan bahwa izin masuk ke Indonesia dapat ditolak karena antara lain :
-
a. Surat Izin Mendarat tidak diberikan kepada orang asing yang ternyata gila, kurang waras atau menderita penyakit menular yang dianggap mendatangkan bahaya bagi kesehatan umum, ataupun kepada orang asing yang karena keadaan tubuhnya mungkin akan jatuh miskin (Pasal 1 ayat (3))
b. Surat Izin Mendarat dapat ditolak bagi :
1) orang asing yang dengan sah tidak mempunyai sebuah paspor atau surat keterangan diri yang masih berlaku dan diberikan oleh/atas nama pemerintahannya dan menyatakan siapa pemegangnya dan dari mana mereka datang;
2) orang asing yang paspor atau surat keterangan dirinya tidak dibubuhi visa yang masih berlaku untuk perjalanan ke Indonesia;
3) orang asing tentang siapa tidak dapat dipastikan, bahwa mereka dapat kembali ke negeri tempat dimana mereka datang (Pasal 1 ayat (4)).
2. Yang Tidak Boleh Mendapat Izin Masuk
Dalam Pasal 4 ayat (2) dan (3) Toelating Besluit secara negatif merumuskan orang asing yang sebagaimana tidak boleh memperoleh surat izin/tinggal di Indonesia. Kartu Izin Masuk tidak diberikan kepada orang asing : a. Yang memberikan keterangan yang tidak benar tentang nama atau keadaan
dirinya, atau dengan tipu muslihat lainnya telah mendapat sebuah paspor atau surat keterangan diri yang dimaksud Pasal 1 ayat (4), ataupun dengan jalan itu pula memperoleh visa untuk izin perjalanan ke Indonesia yang tertulis di dalamnya atau “Surat Izin Masuk”.
b. Yang pencariannya mengadakan menumpuk percabulan, yang dinegeri asing dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan, dengan negeri mana
-
diadakan perjanjian penyerahan terpidana dan menurut perjanjian tersebut penyerahan akan dilakukan;
c. Yang telah ditolak untuk bertempat tinggal di Indonesia, demikian juga yang tidak dapat menunjukkan bahwa pencariannya memadai untuk dirinya dan keluarganya;
d. Yang dianggap mendatangkan bahaya bagi ketentraman dan keamanan umum.
Kartu Izin Masuk juga dapat ditolak karena alasan-alasan tersebut dalam Pasal 1 ayat (4) dan juga kepada mereka yang dihukum di Indonesia karena kejahatan seperti disebutkan dalam ayat (2) dan (4).
3. Persyaratan Perjanjian Masuk
Berdasarkan politik pintu terbuka yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda terhadap perizinan masuk dan tinggal orang asing di Indonesia dapat lebih jelas lagi terlihat dari perumusan Pasal 6, 10, 11 dan 12 Toelating Besluit menetapkan persyaratan-persyaratan perpanjangan izin masuk, pemulangan atau pendeportasian orang asing dari Indonesia dan persyaratan untuk memperoleh surat izin kependudukan.
4. Bidang perizinan masuk dan tinggal orang asing
Produk perundang-undangan di bidang perizinan masuk dan tinggal orang asing di Indonesia yang penting adalah Bepalingen omtrent de Toelating en Vestiging in Indonesie van Nederlandes ven Vreemdeligen (Toelating Besluit), atau dikenal sebagai Penetapan Izin Masuk dalam Toelating Besluit dengan pemberian Toelatingskaar (Kartu Izin Masuk).
Berdasarkan politik pintu terbuka, maka dapat terlihat dalam Pasal 9 Toelating Besluit (Gew.S.27-255;383;49-330) yang berbunyi antara lain :
-
a. Siapa saja yang termasuk dalam salah satu golongan orang-orang yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal 1 diketemukan di Indonesia tanpa mempunyai dengan sah Kartu Izin Masuk atau Kartu Izin Masuk Sementara yang masih berlaku, lalu orang tersebut akan dibawa kepada Kepala Kantor Imigrasi setempat untuk dibuatkan atau diberikan lagi izin masuk kepadanya berupa Kartu Izin Masuk, kecuali apabila orang asing tersebut bukan dari golongan yang tidak dapat diberikan Kartu Izin Masuk berdasarkan Pasal 4 ayat (1) (Bb.
13539).
b. Berdasarkan (S.22-725 jo. 726; 24-53 jo. 257; 31-159 jo. 161; 49-295 jo.460) terhadap Kartu Izin Masuk yang diberikan menurut ayat tersebut di atas, dikenakan pembayaran sebanyak Rp.150,- (seratus limapuluh rupiah), kecuali jika mereka melanggar perundang-undangan pendaratan, dalam mana mereka dikenakan pembayaran sebanyak Rp.250,- (dua ratus limapuluh rupiah).
c. Apabila yang bersangkutan dapat menyatakan bahwa Kartu Izin Masuk yang dimiliki tersebut hilang dan bukan karena suatu kelayakannya, maka Kepala Kantor Imigrasi setempat dapat memberikan duplikatnya dengan pembayaran denda dan uang pendaratan yang sesuai disebutkan dalam Pasal 3.
Dari perumusan Pasal 9 Toelating Besluit tersebut dapat dilihat bahwa orang asing yang terlalu banyak di Indonesia secara tidak sah memiliki Kartu Izin Masuk, masih memberikan kemungkinan untuk memperolehnya dengan jalan mengajukan permohonan kembali kepada Kepala Imigrasi setempat untuk mendapatkan Kartu Izin Masuk dan untuk dapat tinggal dengan sah di Indonesia.
Sementara itu, menurut M. Imam Santoso yang dikutip oleh Ramadhan KH dan Abrar Yusra bahwa, hal ini sama saja dengan melegalkan orang asing
-
masuk ke Hindia Belanda tanpa melalui prosedur Keimigrasian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketentuan tersebut hanya diisyaratkan secara administratif namun tidak didasarkan pada kepentingan yang bermanfaat pada masyarakat Bumi Putera di Hindia Belanda. Kepentingan Bumi Putera akan terlindungi ketika orang asing yang masuk secara tidak sah masuk segera dikeluarkan atau dipulangkan karena akibat suatu kemudahan tersebut, dan akan mendorong bertambahnya pendatang asing yang hendak bekerja. Dengan demikian, harga tenaga kerja semakin murah, yang diuntungkan adalah capital asing karena semakin banyak tersedia tenaga kerja murah.
5. Sanksi Pidana dalam Keimigrasian
Dengan adanya politik pintu terbuka bagi perizinan masuk dan tinggal orang asing di Indonesia tidak hanya dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan Toelating Besluit tersebut, tetapi juga dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wet Boek Van Straftrecht Voor Indonesie). Ada beberapa pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHP) yang berkaitan dengan Keimigrasian antara lain seperti pada Pasal 241 ayat (1) KUHP, Pasal 270 KUHP, Pasal 527 KUHP dan sebagainya.
Sementara itu, pada periode Republik Indonesia Serikat (selanjutnya disebut dengan RIS) Jawatan Imigrasi yang mewarisi sistem administrasi Immigratie Dienst Hindia Belanda. Menurut JCT Simorangkir mengatakan bahwa,”hal yang paling krusial yang dihadapi Jawatan Imigrasi, setelah terjadi pelimpahan kewenangan adalah bagaimana mewujudkan pembaharuan, pembentukan serta penemuan hukum khususnya dan hukum Keimigrasian yang
-
bersifat politik pintu terbuka pada zaman Hindia Belanda menjadi politik Keimigrasian yang didasarkan pada kepentingan nasional, yaitu politik saringan”.
Jawatan Imigrasi diupayakan mencerminkan identitas dan kedaulatan negara Republik Indonesia, yang berbeda dengan Imigrasi zaman kolonial. Untuk itu, langkah pertama dan titik berat dalam perjuangan Jawatan Imigrasi di bawah pimpinan Mr. H. Joesoef Adiwinata adalah berkisar pada antara lain :
1. Menyiapkan Jawatan Imigrasi agar sepenuhnya ditangani oleh putra-putra Indonesia sendiri;
2. Menyelaraskan sistem hukum Keimigrasian yang ada (kolonial), sesuai dengan semangat dan kepentingan suatu negara dan bangsa yang sudah merdeka dan berdaulat.
Pada periode RIS yang hanya berumur beberapa bulan, banyak dilakukan pembenahan di bidang Keimigrasian, seperti yang dinyataan oleh Dirjen Imigrasi Roni Sikap Sinuraya (1988 sampai dengan 1994) di forum DPR tahun 1992 bahwa pada saat itu secara darurat untuk menghindari kefakuman atau kekosongan hukum, peraturan perundang-undangan Keimigrasian produk kaum penjajahan harus dicabut dan diganti dengan produk hukum yang sejiwa dengan semangat kemerdekaan. Dan peraturan tersebut antara lain yaitu :
1. Toelating Besluit Tahun 1916 itu dirubah menjadi Penetapan Izin Masuk (PIM) dimasukkan dalam Lembar Negara No.330 Tahun 1949;
2. Toelating Besluit Tahun 1917 dirubah menjad Ordonansi Izin Masuk (OIM) dalam Lembaran Negara No.331 Tahun 1948;
-
3. Paspor Regelings Tahun 1918 dirubah atau diganti, terakhir dirubah dengan Undang-Undang No.14 Tahun 1959 Tentang Surat Perjalanan Republik Indonesia.
Suatu usaha atau upaya yang dilakukan untuk mulai menemukan dan menjalankan politik Imigrasi yang didasari pada suatu kepentingan nasional, baru dimulai setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia di bawah Undang-Undang Sementara (UUDS tahun 1950). Upaya yang terpenting yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah merubah kebijakan Opendeur Politiek Imigrasi Hindia Belanda menjadi Selective Policy yang didasarkan pada perlindungan yang lebih besar kepada Warga Negara Indonesia.
Kebijaksanaan Selective Policy yang didasarkan pada 2 (dua) asas yakni disatu pihak pendekatan kesejahteraan (Prosperity Approach) dan dilain pihak pendekatan keamanan (Security Approach). Kedua asas ini diterapkan secara simultan, ibarat dua sisi mata uang logam yang sama dan senantiasa bersamaan/
berdampingan satu sama lainnya (two sides of one and the same coin).
Sementara itu, untuk ketentuan-ketentuan yang merugikan dan tidak relevan lagi, maka akan tidak dipakai lagi. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain pencabutan sistem quota tahunan pemasukan orang asing dari luar negeri di Indonesia untuk menetap/menjadi penduduk (ingezetene) mulai tahun 1952.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka sejalan dengan adanya suatu pendekatan dan pengawasan terhadap orang asing semakin ditingkatkan.
Dalam hal ini, yang paling menonjol adalah yang berkaitan dengan masyarakat turunan Cina, sebab berkaitan dengan masalah izin tinggal dan kewarganegaraan.
-
Sementara itu, sebagaimana yang dikatakan M. Imam Santoso yang dikutip oleh Ramadhan KH dan Abrar Yusra, bahwa :
Dengan prinsip tersebut, semangat perlindungan kepentingan nasional terserap dalam sistem operasionalisasi kaidah hukum Keimigrasian dalam rangka mengatur penyelenggaraan keluar masuknya orang, mengatur pemberian izin tinggal, serta mengatur pengawasan orang asing selama berada di wilayah Indonesia. Inti dari perubahan arah kebijakan politik hukum Keimigrasian sekalipun sudah ditetapkan secara selektif, namun dilain pihak kebijakan Keimigrasian juga mempunyai peranan agar Indonesia membuka diri dalam pergaulan Internasional khususnya dalam bidang pariwisata, indutri dan
Dengan prinsip tersebut, semangat perlindungan kepentingan nasional terserap dalam sistem operasionalisasi kaidah hukum Keimigrasian dalam rangka mengatur penyelenggaraan keluar masuknya orang, mengatur pemberian izin tinggal, serta mengatur pengawasan orang asing selama berada di wilayah Indonesia. Inti dari perubahan arah kebijakan politik hukum Keimigrasian sekalipun sudah ditetapkan secara selektif, namun dilain pihak kebijakan Keimigrasian juga mempunyai peranan agar Indonesia membuka diri dalam pergaulan Internasional khususnya dalam bidang pariwisata, indutri dan