KONSEP KEKERASAN
A. Definisi dan Bentuk Kekerasan
BAB II
KONSEP KEKERASAN
A. Definisi dan Bentuk Kekerasan
Seseorang yang melakukan tindak kekerasan kepada orang lain akan
mengakibatkan hidup menjadi tidak nyaman bagi korban maupun pelaku,
misalnya, jika ada seseorang yang membunuh karena suatu tindak kekerasan
berupa penyiksaan atau penganiayaan, maka kekerasan ini akan dapat
mengakibatkan pelaku menjadi menyesal, pendiam, trauma dan sebagainya.
Kekerasan juga akan mengakibatkan pihak keluarga korban dapat kehilangan
orang-orang yang dicintai, kehilangan semua harta benda dan mata
pencahariannya.1 Kekerasan yang dapat mengakibatkan gangguan fisik dan
mental ini menjadi perhatian bagi semua pihak untuk melindungi korbannya.
Jika kekerasan merupakan sebuah masalah, maka dimungkinkan kekerasan
juga menjadi solusinya, misalnya, kekerasan yang dilakukan oleh Negara untuk
memberi hukuman pada pelaku kekerasan,2 hukuman yang dilakukan oleh
lembaga negara ini merupakan perbuatan yang sah dan ada legitimasinya namun
perbuatan ini harus masih dinyatakan sebagai sebuah kekerasan. Negara berbuat
ini sebagai upaya menciptakan keadilan dan ketertiban sosial.
Sebaliknya, jika Negara tidak mampu memberikan perlindungan bagi
korban kekerasan, maka memberi kesempatan bagi lembaga-lembaga non Negara
yakni lembaga adat maupun lembaga agama akan mengambil alih peran dalam
1 Vittorio Bufacchi, “Two Concepts of Violence”, Political Studies Review, Vol. 3, (2005),
193-204.
66
menghukum pelaku kekerasan, seperti organisasi Front Pembela Islam yang
melakukan razia sejumlah kafe yang dianggap telah digunakan sebagai tempat
berdua-duaan di kawasan Pantai Wisata Seunangan, Kecamatan Kuala Pesisir,
Kabupaten Nagan Raya, Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 22 desember
2018.3
Kekerasan dalam kamus bahasa inggris disebut dengan “violence”,
kata ini berasal dari bahasa Latin yaitu violentia, secara etimologi adalah violentus
(bengis, kejam, keji), violence (kekerasan, kekejaman, perkosaan), vehemence
(gelora, semangat, berapi-api), impetuosity (ketidaksabaran, ketergesa-gesaan),
ferocity (keganasan, kebuasan) dan fury (kemarahan, kegeraman). Tindak
kekerasan yang dilakukan secara berlebihan sering mengakibatkan pelanggaran
norma, hak atau aturan. Makna kekerasan sering dikaitkan dengan violation
(pelanggaran), kekerasan cenderung untuk menggabungkan gagasan tentang
tindakan kekuatan fisik dengan pelanggaran.4
Kekerasan memiliki definisi penggunaan kekuatan fisik yang dapat
melukai, merusak, melanggar atau menghancurkan orang atau benda, artinya jika
ada kekuatan fisik yang hanya bisa merubah sesuatu secara dramatis seperti
kecelakaan mesin atau proses lainnya hal ini bukan termasuk sebagai kekerasan.
Kekerasan harus memiliki unsur adanya luka, cedera atau perubahan lain yang
lebih buruk, meskipun pada awalnya bermaksud untuk melakukan kebaikan.5
Kekerasan juga memiliki definisi setiap perbuatan yang secara dengan
menggunakan kekuatan fisik atau kekuasaan, ancaman atau kekerasan aktual.
3 https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46671670 diakses tanggal 28 Januari 2019.
4 Vittorio Bufacchi, “Two Concepts of Violence”, 194.
67
Perbuatan ini dilakukan terhadap diri sendiri, orang lain, suatu kelompok atau
komunitas. Penggunaan kata “kekuasaan”, di samping kata “penggunaan kekuatan fisik” dipandang sebagai upaya untuk memperluas pemahaman tentang sifat kekerasan dan memperluas pemahaman konvensional tentang kekerasan dengan
memasukkan juga tindakan-tindakan kekerasan yang merupakan hasil dari relasi
kuasa, termasuk di dalamnya ancaman dan intimidasi, dan memasukkan
penyebab kekerasan seperti pengabaian atau tindakan kelalaian.6
Kekerasan dapat bermakna serangan fisik atau penyalahgunaan kekuatan
fisik secara giat dan gencar terhadap seseorang atau binatang; atau
penyalahgunaan psikologis yang sangat kuat; serangan psikologis yang tajam,
pedas pada seseorang atau binatang; serangan atau penghancuran, perusakan yang
sangat keras, kasar, berbahaya, ganas dan kejam terhadap milik atau sesuatu yang
sangat potensial dapat menjadi milik seseorang.7
Kekerasan yang mengakibatkan kerugian psikologis (biasanya jauh lebih
sulit untuk didiagnosis) itu pada dasarnya berbeda dengan kerugian dengan cedera
fisik (biasanya lebih mudah diamati dan diukur), karena antar individu memiliki
psikologi yang berbeda. Selain itu, kriteria untuk kerusakan fisik secara umum
disepakati oleh pihak medis daripada yang mengacu pada kerusakan psikologis.8
Manusia dapat melakukan dan atau mengalami beberapa jenis kekerasan
baik secara langsung atau tidak. Kekerasan dapat terjadi berulang-ulang maupun
6 Etienne G. Krug, dkk., World report on violence and health (Geneva: World Health
Organization, 2002), 5.
7 Robert Audi, “On the Meaning and Justification of Violence”, dalamViolence, ed. Jerome A.
Shaffer (New York: David McKay, 1971), 33.
8 Aysun Dogutas, “Domestic Violence In Turkey: An Example Of Ağri Province”, Sosyal Politika
68
hanya sekali saja, ia dapat terjadi dengan melibatkan berbagai taktik atau
manipulasi yang halus. Dalam bentuk apa pun, kekerasan sangat memengaruhi
kesehatan dan kesejahteraan individu. Violence Prevention Initiative – Women’s
Policy Office Government of Newfoundland and Labrador di Negara Kanada telah
mengidentifikasi 9 jenis kekerasan dan pelecehan yaitu kekerasan fisik, kekerasan
seksual, kekerasan emosional, kekerasan psikologis, kekerasan spiritual,
kekerasan budaya, pelecehan verbal, pelanggaran finansial dan kelalaian.9
Kekerasan yang terjadi dapat diidentifikasi berdasarkan bentuk-bentuk
kekerasannya, teori violence triangle -segitiga kekerasan- dapat membantu
peneliti dalam mengidentifikasi bentuk-bentuk KDRT, yakni kekerasan langsung,
kekerasan struktural, dan kekerasan kultural.10 Kekerasan dapat dialami oleh
kelompok-kelompok rentan yang membutuhkan perlindungan hukum dan hak
asasi manusia yang setara dan tidak diskriminatif. Kelompok-kelompok rentan ini
di antaranya adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, penyandang
disabilitas, perempuan, narapidana/tahanan, kelompok minoritas, pengungsi
dalam negeri, pekerja migran, masyarakat asli/adat,11 anak-anak migran,
homoseksual dan penyandang HIV/AIDS.12
Penyandang disabilitas terutama perempuan masih dianggap sebagai
makhluk aseksual, mereka seringkali mengalami triple diskriminasi yakni
9 Government of Newfoundland and Labrador, “Respect Aging: an Education and Training
Program for Recognizing, Preventing and Intervening in Violence Against Older Persons”, (Violence Prevention Initiative, 2013), 20-27. Diakses dari https://www.respectaging.ca/training /Participant_Manual.pdf, diakses tanggal 30 Januari 2019.
10 Johan Galtung, “Cultural Violence”, Journal of Peace Research, Vol. 27, No. 3, (1990), 291.
11 Tim Penyusun, Pemenuhan Hak Kelompok Minoritas dan Rentan di Indonesia: Laporan
Tahunan Komnas HAM 2016 (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2017), 13.
12Ingrid Nifosi-Sutton, The Protection of Vulnerable Groups under International Human Rights
69
perempuan yang sering dianggap kelas dua, karena menyandang disabilitas dan
umumnya hidup dalam kemiskinan.13 Mereka lebih rentan mengalami kekerasan,
karena mereka dianggap sebagai makhluk yang lemah, tersubordinasi dengan
berada pada posisi yang lebih rendah, secara sosial, ekonomi, budaya, politik,
dibandingkan dengan orang yang tidak menyandang disabilitas.