KONSEP KEKERASAN
E. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Jika mengikuti konsep sentralisme hukum, maka negara memiliki
3. Perlindungan Hukum Adat
95
Hukum Islam memberikan perlindungan hukum kepada korban KDRT
secara represif, misalnya, hukuman qiṣāṣ berlaku bagi seorang suami yang
membunuh istrinya. Meskipun ada pendapat dari al-Layth bin Sa’ad yang
menyatakan bahwa hukuman qiṣāṣ tidak berlaku bagi seorang suami yang
membunuh istrinya, karena akad nikahlah yang menyebabkan adanya shubhat di
antara mereka, akad nikah menyebabkan seorang istri itu menjadi properti milik
sang suami. Apabila suami menghilangkan properti, maka tidak ada hukuman
bagi suami. Muhammad Abu Zahrah tidak meyakini pendapat di atas itu
bersumber dari al-Layth bin sa’ad, beliau ulama faqīh yang tidak mungkin dan
tidak lazim mengeluarkan pendapat seperti itu. Mayoritas ulama berpendapat
bahwa akad nikah merupakan akad mushtarak yang mana masih terdapat hak-hak
yang dimiliki oleh suami istri.Oleh karenanya, seorang istri bukan sebagai
properti milik suami yang dapat diperlakukan semaunya.65
3. Perlindungan Hukum Adat
Para pihak yang ingin menyelesaikan perkara KDRT melalui institusi
Negara maupun agama akan menimbang untung rugi atau kepentingan apa yang
ingin dia dapatkan. Bagi mereka yang mempunyai jenis hubungan yang beragam
(multiplex) seperti antara korban dan pelaku KDRT yang memiliki hubungan
sosial sebagai tetangga sekaligus keluarga, maka para pihak akan cenderung
menyelesaikan perkaranya melalui negosiasi dan mediasi, hal ini disebabkan oleh
kekhawatiran dan ketakutan akan munculnya bahaya atau ancaman terhadap
hubungan sosial diantara para pihak. Sebaliknya, bagi mereka yang mempunyai
96
satu jenis hubungan saja (simplex) seperti hubungan pekerja dan majikan pada
sebuah perusahaan, maka para pihak akan cenderung menyelesaikan perkaranya
melalui pengadilan Negara, hal ini disebabkan oleh ketiadaan bahaya atau
ancaman terhadap hubungan sosial diantara para pihak.66
Masyarakat Jawa yang bertempat tinggal di pedesaan memiliki budaya
hukum dalam menyelesaikan perselisihan yaitu pertama, orang Jawa cenderung
hati-hati dalam hubungan pribadi, menaruh perhatian kepada orang lain,
diplomatis, menahan diri, dan hormat kepada kedudukan sosial. Orang Jawa
berupaya sekeras mungkin untuk menghindarkan perselisihan pribadi, namun jika
perselisihan harus terjadi, mereka akan menutupinya dengan cara yang halus
dalam hubungan sosialnya. Mereka menunggu untuk mendapatkan penyelesaian
yang paling tidak merugikan dan tidak mempermalukan.
Masyarakat Jawa memiliki gaya penyelesaian perselisihan yang dianjurkan
oleh nilai-nilai tersebut, di mana gaya ini lebih memperhatikan prosedur daripada
substansinya. Aturan dan pertimbangan hukum tentang keadilan sudah barang
tentu tidak diabaikan. Kedua-duanya lebih menggambarkan parameter yang lebih
kurang menetapkan batas-batas keadilan sebelah luar. Ada syarat-syarat minimum
untuk dapat dipertahankannya keutuhan tertib masyarakat. Akan tetapi dalam
batas-batas itu terdapat sejumlah besar kelonggaran untuk melakukan perundingan
dan terbuka untuk dalam menyelenggarakan konsiliasi67 (kekeluargaan) dan
66 Tapi Omas Ihromi, “Beberapa Catatan mengenai Metode Kasus Sengketa yang Digunakan
dalam Antropologi Hukum”, dalam Antropologi Hukum, Sebuah Bunga Rampai, ed. Tapi Omas Ihromi, 194-213.
67 Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002),
97
mediasi.68 Hal yang cenderung ditekankan bukanlah penerapan aturan-aturan
tertentu, tetapi penyirnaan atau pelenyapan persengketaan yang mungkin
menimbulkan ketegangan atau gangguan sosial.
Masyarakat Jawa yang bicara tentang aturan seolah-olah
aturan-aturan itu adalah mutlak, cenderung dianggap sebagai perusak ketenangan
masyarakat, pembuat keributan yang keras kepala, orang bodoh yang anti sosial
atau malahan lebih buruk lagi. Apabila mereka tidak bisa menyelesaikan
perselisihan, mereka meminta bantuan konsiliator seperti teman akrab, tetangga,
tetua desa yang terkenal maupun lurah. Konsiliator harus berbuat lebih daripada
hanya meredakan gejolak kemarahan dan membawa pihak yang berselisih untuk
terus mengadakan perundingan. Konsiliator harus berusaha untuk menemukan
fakta yang menjadi titik persoalan, sementara ia memperkecil makna perselisihan
dan memperbesar ati hubungan-hubungan pribadi. Pihak yang berselisih
cenderung patuh dan taat terhadap konsiliator daripada terhadap aturan-aturan
yang ada.69
Masyarakat Jawa lebih cenderung menekankan pada penyelesaian
perselisihan secara kekeluargaan dan kompromi, mereka enggan berperkara di
Pengadilan. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan oleh masyarakat pada suku
Batak di Sumatera Utara misalnya, menurut para hakim, advokat, pejabat
pemerintah, suku Batak cenderung lebih menyukai berperkara di Pengadilan.
68 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2003), 240.
69 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, terj.Nirwono
98
Memang harus dibuktikan kebenaran dari data tersebut, karena data kuantitatif
yang mendukung pendapat tersebut hanya sedikit.70
Penyelesaian kasus maupun sengketa yang ada pada masyarakat pedesaan
dan perkotaan di Indonesia memiliki pola-pola sebagaimana berikut:
a. Penyelesaian kasus di pedesaan dapat dikategorikan menjadi dua macam,
pertama, apabila sengketa ini berkaitan dengan para pihak yang berasal dari
kelompok etnik yang sama, maka mereka akan menyelesaikan dengan
menggunakan pranata hukum adat melalui musyawarah keluarga atau lembaga
peradilan desa yang dipimpin oleh pemimpin komunitas atau pemimpin
informal yang lain. Namun di lain pihak, dapat diamati apabila berkaitan
dengan urusan uang atau sumber daya yang besar atau hal yang menyimbolkan
prestis, maka akan di bawa ke Pengadilan Negara. Kedua, apabila sengketa ini
berkaitan dengan para pihak yang berasal dari kelompok etnik yang berbeda
dan disertai dengan rasa permusuhan, maka mereka akan menyelesaikannya
melalui mediator yang berasal dari pegawai pemerintah lokal seperti anggota
polisi atau anggota militer lokal. Namun apabila kelompok-kelompok tersebut
berhasil bertenggang rasa, maka mekanisme antar kelompok dapat
dimunculkan.
b. Penyelesaian kasus di perkotaan dapat dikategorikan menjadi dua macam,
pertama, apabila sengketa ini berkaitan dengan para pihak yang berasal dari
kelompok etnik yang sama atau sengketa keluarga, maka mereka akan
menyelesaikan dengan mengacu pada adat yang mengakar dalam sistem sosial
99
mereka. Pihak yang dianggap memiliki otoritas dalam sistem kekerabatan akan
diminta untuk menangani kasus. Kedua, apabila sengketa ini berkaitan dengan
para pihak yang berasal dari kelompok etnik yang berbeda dan disertai dengan
rasa permusuhan, maka mereka akan mencari kepala wilayah berdasarkan
tempat tinggal untuk menyelesaikannya. Kepala wilayah ini akan dibantu oleh
pemimpin agama atau pemimpin informal yang lain yang tinggal di wilayah
yang sama, mereka berfungsi sebagai mediator. Sebagai catatan, di pusat kota,
pranata tradisional berjalan bersama-sama dengan pranata modern. Hal ini
ditunjukkan misalnya melalui keberadaan lembaga bantuan hukum, yang
diselenggarakan oleh universitas maupun lembaga swadaya masyarakat.
Mereka menyelesaikan kasus dengan lebih mengutamakan perdamaian terlebih
dahulu, apabila upaya ini gagal, maka mereka akan mengajukannya ke
pengadilan Negara.71
Perkara KDRT dapat diselesaikan melalui mediasi, di mana mediasi ini
sangat cocok digunakan di Indonesia, para pihak merasa bahwa keutuhan keluarga
merupakan sebuah prioritas dalam budaya masyarakat Indonesia yang terus dijaga
meskipun dengan menggadaikan keharmonisan. Mediasi seringkali digunakan
dalam penyelesaian perkara KDRT dikarenakan alasan-alasan berikut ini:
a. Masyarakat Indonesia memiliki budaya dalam penyelesaian sengketa dengan
mengutamakan perdamaianmelalui musyawarah secara mufakat, hal ini akan
lebih terlihat dalam penyelesaian konflik rumah tangga;
100
b. Mediasi dalam penyelesaian sengketa secara damai ini didukung oleh hukum
adat maupun hukum Islam yang masih hidup dan dipraktikkan oleh
masyarakat;
c. Kasus KDRT yang dianggap oleh mayoritas masyarakat ini sebenarnya
merupakan urusan internal dalam rumah tangga yang sebenarnya tidak boleh
dan tidak pantas diketahui oleh publik. Oleh karenanya sifat dasar mediasi ini
wajib menjaga kerahasiaan pada saat melakukan penyelesaian sebuah sengketa;
d. Mediasi mampu menghadirkan penyelesaian KDRT secara cepat, murah dan
sederhana dibandingkan dengan penyelesaian perkara melalui Pengadilan.
Mediasi bertujuan untuk mempersingkat penderitaan yang dialami oleh korban
KDRT;
e. Mediasi ini juga memiliki prinsip pemberian kesempatan terhadap korban
untuk didengar cerita penderitaan yang dialaminya dan mencurahkan perasaan
hati sebagai pemberdayaan perempuan, dimana hal ini biasanya tidak/kurang
diperhatikan dalam proses di pengadilan;
f. Mediasi mendorong korban untuk mendapatkan penjelasan tentang kekerasan
yang terjadi, menerima permintaan maaf, atau mendapat kompensasi atas
penderitaan yang dialami yang tidak bisa didapatkan dari proses pengadilan;
g. Pelaku (biasanya suami) sebagai kepala rumah tangga mendapat kesempatan
untuk instropeksi dan memperbaiki diri agar terhindar dari hukuman penjara
demi melindungi masa depan keluarga, terutama anak.72
72 Fatahillah A. Syukur, Mediasi Perkara KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) Teori dan
BAB III
PENYANDANG DISABILITAS INTELEKTUAL SEBAGAI KORBAN