• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 3 Perumusan masalah Konsep Pendekatan

2.2 Konflik dan Pengelolaan Sumberdaya Alam

2.4.2 Definisi dan Konsep Ekowisata

a. Perkembangan Konsep Ekowisata di dunia

Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, definisi ekowisata pertama kali diperkenalkan oleh Ceballos-Lascurain pada akhir tahun 1980an. Terminologi ekowisata digunakan untuk menggambarkan perjalanan ke lokasi-lokasi alami yang terpencil untuk tujuan menikmati dan mempelajari alam dan budaya penduduk setempat (Mitchel 1998; Furze et al. 1987; Wall dan Ross 1998).

Pada tahun 1996, Ceballos-Lascurain menambahkan penggunaan konsep teknologi yang ramah lingkungan dalam menjelaskan pembangunan ekowisata (Ceballos-Lascurain 1996). Perkembangan konsep wisata ini dipengaruhi oleh kepedulian terhadap menurunnya kualitas dan kuantitas lingkungan akibat pembangunan sarana dan prasarana wisata.

Pada awal tahun 1990an, the Ecotourism Society mendefinisikan ekowisata sebagai perjalanan terencana ke daerah-daerah yang alami dengan tujuan untuk memahami sejarah budaya dan alamnya; menjaga keutuhan ekosistem alamnya; menghasilkan peluang untuk keuntungan ekonomi yang membuat konservasi alam menjadi menguntungkan bagi masyarakat lokal (Wood et al. 1991). Definisi senada juga dikeluarkan oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources-IUCN (Ceballos-Lascurain 1996).

Jika pada tahap awal ekowisata diartikan lebih kepada daerah tujuan wisata, kecilnya dampak terhadap lingkungan serta manfaat yang positif terhadap komunitas lokal, The Federation of Nature and National Park of Europe pada tahun 1993 memandang ekowisata dari sisi operasionalisasinya. Ekowisata di definisikan sebagai segala bentuk pembangunan pariwisata, manajemen, aktivitas, yang dapat menjaga keutuhan lingkungan, sosial, dan ekonomi serta kelangsungan sumberdaya alam dan budaya secara berkelanjutan (Furze et al. 1997).

Latar Belakang timbulnya Ekowisata Kegagalan pembangunan dengan konsep Pariwisata Masal (Mass Tourism) Perubahan paradigma pembangunan

Banyaknya wisatawan yang mulai mencari daerah wisata yang masih alami

Eksploitasi sumberdaya alam Perubahan

orientasi tujuan wisatawan

Pembangunan fasilitas wisata yang tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan Pengabaian masyarakat lokal

Dampak negatip terhadap lingkungan

Eksploitasi sumberdaya alam

Eksploitasi sumberdaya alam Kebutuhan

pembiayaan kawasan konservasi

Sumber: dirangkum dari Boo 1990; Ceballos-lascurain 1996; Fennel 1999; Furze et al. 1997.

Gambar 4 Latar belakang perkembangan konsep ekowisata

Adanya berbagai definisi tersebut menunjukkan masih terus berkembangnya konsep ekowisata yang mengarah kepada pematangan disiplin ilmu ekowisata. Dari berbagai definisi tersebut tampak adanya benang merah yang dapat menuntun kepada bentuk praktek ekowisata yang ideal, yang secara umum dapat diterima, yaitu: konsep kegiatan wisata yang memanfaatkan lingkungan yang alami, dan berbasiskan partisipasi aktif masyarakat dengan tujuan perlindungan, pendidikan dan pengembangan ekonomi lokal.

Sampai saat ini, posisi definisi-definisi ekowisata yang telah diuraikan sebelumnya tersebut masih sangat lemah karena belum adanya bukti dari kegiatan yang nyata. Selain itu, masih belum adanya konsensus dari para penggiatnya.

Kondisi ini menyebabkan istilah atau terminologi ekowisata diterjemahkan dan diterapkan dalam kegiatan nyata dengan berbagai cara (Lindberg et al. 1998). Sebagai contoh, istilah ekowisata digunakan sebagai jargon pemasaran. Hal ini tidak hanya meningkatkan minat konsumen dan hasil penjualan tapi juga mengeksploitasi sumberdaya (Wight 1993).

Stewart dan Sekartjakrarini (1994) merumuskan fenomena perkembangan konsep ekowisata kedalam dua perspektif. Seperti konsep pariwisata, ekowisata dapat dilihat sebagai sekumpulan perilaku (behaviour) atau sebagai industri. Sebagai sekumpulan perilaku atau aktivitas, ekowisata dilihat dari apa yang dilakukan oleh wisatawan (actually do by tourists). Contoh perspektif ini dapat dilihat dari definisi yang dikemukakan oleh Ceballos-Lascurain (1987) dan Boo (1991). Dalam konteks ini, hal yang membedakan ekowisata dengan pariwisata pada umumnya ialah aktivitas ekowisata memberikan pembelajaran yang dapat mengubah persepsi seseorang terhadap sumberdaya alam dan lingkungannya (Sekartjakrarini 2003).

Sebagai industri, ekowisata merupakan model pembangunan wilayah yang menempatkan pariwisata sebagai alat pengelolaan sumberdaya alam dengan tujuan peningkatan kualitas hidup masyarakat lokal (Sekartjakrarini 2003). Dalam hal ini, ekowisata dilihat dari sisi penyediaan (supply side perspective) yang mengintegrasikan tujuan konservasi dan ekonomi melalui pariwisata (Stewart & Sekartjakrarini 1994). Syarat tercapainya tujuan ini dalam ekowisata ialah dengan melibatkan secara aktif masyarakat lokal (Fennel 1990). Dalam konteks inilah ekowisata akan dilihat dalam penelitian ini.

b. Perkembangan Konsep Ekowisata di Indonesia

Di Indonesia, terminologi ecotourism diterjemahkan kedalam berbagai istilah (Sproule & Suhandi 1998:223; Sudarto 1999). Misalnya, The Indonesian Ecotourism Network (Indecon) menggunakan istilah ekowisata, sedangkan Kementrian lingkungan hidup menterjemahkannya sebagai wisata ekologis. Disisi lain, dalam dokumen-dokumen pengembangan wisata di kawasan konservasi, Departemen Kehutanan menggunakan istilah ekowisata dan wisata alam untuk merujuk hal yang sama. Dalam penelitian ini ecotourism akan diterjemahkan

dengan menggunakan istilah ekowisata.

Ekowisata di Indonesia mulai dikenal pada pertengahan tahun 1995. Saat itu PACT-Indonesia dan WALHI mengadakan semiloka di Wisma Kinasih, Bogor. Pertemuan ini menyimpulkan arti pentingnya pelibatan masyarakat lokal dalam pengembangan ekowisata (Sudarto 1999). Pertemuan ekowisata dilanjutkan pada bulan Juli 1996 di Bali yang diselenggarakan oleh Indecon sebagai lokakarya nasional ekowisata kedua.

Pada pertemuan kedua ini lahirlah forum Masyarakat Ekowisata Indonesia (MEI). Rumusan ekowisata yang disepakati dari pertemuan ini ialah (Sudarto 1999:13): “kegiatan perjalanan wisata yang bertanggung jawab di daerah yang masih alami atau di daerah-daerah yang dikelola dengan kaidah alam dimana tujuannya selain untuk menikmati keindahannya juga melibatkan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi alam dan peningkatan pendapatan masyarakat setempat sekitar Daerah Tujuan Ekowisata (DTE)”. Dari hasil rumusan tersebut, Indecon mendefinisikan ekowisata sebagai “responsible travel to protected natural areas, as well as to unprotected natural areas, which conserves the environment (natural and cultural) and improves the welfare of local people” (Sproule dan Suhandi 1998: 223-224). Kedua rumusan ini merupakan pengembangan dari definisi ekowisata yang digunakan oleh The Ecotourism Society.

Pada tahun 2004, batasan konsep ekowisata lainnya juga dituangkan didalam Rencana Strategi Ekowisata Nasional yang dikeluarkan oleh Kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia (sekarang Departemen Kebudayaan dan Pariwisata). Ekowisata dalam dokumen tersebut diuraikan sebagai: “konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata berbasis pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan, serta berintikan partisipasi aktif masyarakat, dan dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran, berdampak negatif minimal, memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi daerah, dan diberlakukan bagi kawasan lindung, kawasan terbuka, kawasan alam binaan, serta kawasan budaya” (Kembudpar 2004). Definisi ini disusun merujuk pada prinsip-prinsip universal pariwisata yang berkelanjutan (dituangkan dalam Quebec Declaration on Ecotourism pada tahun

2002), rekomendasi forum diskusi, hasil kajian institusi terkait, dan tuntutan objektif di lapangan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Ekowisata ialah: konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata yang memanfaatkan lingkungan dengan tujuan konservasi melalui pengembangan ekonomi lokal yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat dan penyajian produk wisata yang bermuatan pendidikan dan pembelajaran serta berdampak negatif minimal terhadap lingkungan. Selanjutnya terminologi ekowisata tersebut yang digunakan sebagai dasar dalam penelitian ini.

2.4.3 Kriteria Kecukupan Ekowisata

Berdasarkan kajian literatur terhadap perkembangan konsep dan definisi ekowisata di atas, dapat disimpulkan bahwa ada lima faktor yang mempengaruhi kecukupan suatu kegiatan pariwisata disebut sebagai ekowisata. Kelima faktor tersebut ialah: (a) tujuan pengelolaan; (b) partisipasi aktif masyarakat lokal; (c) dampak terhadap pengembangan ekonomi lokal; (d) produk wisata; dan (e) dampak minimal terhadap lingkungan. Berikut ini uraian masing-masing aspek penyelenggaraan ekowisata tersebut:

a. Tujuan Pengelolaan : pemanfaatan untuk perlindungan

Tujuan pengembangan ekowisata di kawasan konservasi, termasuk taman nasional, ialah untuk mewujudkan misi konservasi (Boo 1990a; Sekartjakrarini 2003). Dalam pengembangan ekowisata, tujuan ini dicapai diantaranya dengan memasukan program-program konservasi dalam produk wisata dan pengelolaannya. Sekartjakrarini (2003) menyebutkan bahwa kegiatan interpretasi lingkungan dalam ekowisata merupakan media yang efektif untuk mengkampanyekan program-program konservasi baik kepada pengunjung maupun masyarakat lokal. Boo (1990a) juga mengindikasikan bahwa pemanfaatkan bahan lokal untuk penyediaan sarana prasarana ekowisata merupakan salah satu upaya mengurangi dampak lingkungan. Sedangkan Wall dan Ross (1998) berpendapat bahwa keterlibatan masyarakat dalam kegiatan ekowisata dapat dimanfaatkan sebagai sebagai agen konservasi yang dapat diandalkan.

b. Partisipasi Aktif Masyarakat Lokal

Sejarah pembangunan pariwisata secara masal memberikan pengalaman mengenai pentingnya pelibatan masyarakat lokal dalam semua tahapan pembangunan. Pengabaian mereka akan menyebabkan konflik dan merugikan kedua belah pihak. Masyarakat akan dirugikan dengan tertutupnya akses terhadap sumberdaya. Disisi lain, karena tidak mendapat dukungan dari masyarakat sekitarnya maka kegiatan ekowisata akan sulit untuk bertahan (Gurung 1995).

Keterlibatan masyarakat lokal dalam pembangunan ekowisata sudah menjadi isu yang sangat penting (Furze et al. 1997; Wall & Ross 1998). Masyarakat lokal selain sering dituduh sebagai perusak alam, mereka juga rata- rata merupakan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Namun demikian, para penggiat ekowisata percaya bahwa masyarakat lokal dapat berperan sangat besar dalam pencapai tujuan ekowisata. Masyarakat lokal tidak hanya dapat dilibatkan dalam inventarisasi kawasan tapi juga dalam konsultasi, insiasi aksi sampai pengambilan keputusan (Furze et al. 1997; Saunier &Meganck 1995). Beberapa contoh sukses dalam melibatkan masyaralat lokal sebagai bagian dari pengelola di kegiatan pengembangan ekowisata ialah Annapurna Conservation Area, Nepal (Weaver 1998; Lama 1995; Gurung dan De Coursey 1994), Huatulco, Oaxaca, Mexico (Ishida 1999), dan Masai Mara/Serengeti Ecosystem, Kenya (Gakahu 1992).

c. Pengembangan Ekonomi Lokal

Secara konseptual pembangunan ekowisata di suatu kawasan harus membawa manfaat ekonomi bagi kawasan tersebut. Menurut Linberg (1998) ada tiga aspek ekonomi dalam ekowisata yaitu: bagi hasil dalam keuntungan dan biaya perawatan kawasan; biaya masuk dan pemasukan lainnya untuk mendukung program perlindungan; dan pembangunan ekonomi lokal melalui ekowisata.

Dampak ekonomi kegiatan wisata terhadap kawasan sekitar dapat diidentifikasi melalui empat faktor. Keempat faktor tersebut yaitu (Loomis &Walsh 1997): pendapatan yang diperoleh dari penjualan tiket dan pajak (sales and tax revenue), peluang pekerjaan, dan penghasilan (income) yang diperoleh masyarakat yang terlibat dalam kegiatan wisata.

Jika peluang kerja dan income merupakan dampak ekonomi yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat lokal, maka tax dan hasil penjualan tiket merupakan pendapatan yang masuk kepada pemilik obyek wisata seperti taman nasional atau pemerintah daerah. Untuk penghasilan yang diperoleh dari penjualan tiket dan pajak, ada lima jenis biaya yang dapat dipungut dari wisatawan (Loomis &Walsh 1997; Linberg 1998). Pertama, biaya masuk (entrance fee) ialah biaya yang dipungut saat wisatawan memasuki kawasan. Kedua, admission fee yaitu biaya yang dipungut saat wisatawan menggunakan fasilitas tertentu. Ketiga, User fee adalah biaya yang dipungut saat wisatawan memasuki obyek wisata tertentu. Keempat, License and Permit Fee yaitu biaya yang dikenakan pada wisatawan untuk melakukan kegiatan tertentu seperti berburu atau memancing misalnya. Kelima, sales and concessions fee adalah biaya yang dikenakan pada partner kerja seperti untuk jasa pemasaran, penggunaan logo dan trademarks.

Pengembangan ekowisata di Galapagos National Park, Equador dan Monteverde Cloud Forest Reserve, Costa Rica merupakan contoh sukses ekowisata yang dapat memberikan dampak positif terhadap ekonomi lokal (Boo 1990b). Pendapatan yang diperoleh dari entrance fee di kedua lokasi tersebut mampu menutupi biaya operasional pengelolaan kawasan. Sementara bagi masyarakat, pendapatan yang diperoleh dari kegiatan ekowisata merupakan sumber pendapatan kedua terbesar setelah pertanian.

d. Produk Ekowisata yang edukatif

Seperti yang sudah diuraikan dalam batasan ekowisata, produk ekowisata harus bermuatan pendidikan dan pembelajaran baik mengenai alam dimana obyek wisata berada maupun budaya masyarakat sekitarnya. Kegiatan wisata yang termasuk kedalam kategori ini diantaranya ialah interpretasi lingkungan, seperti pengamatan flora dan fauna, wisata kanopi, dan penyajian multi media di pusat informasi (Dephut 1998; Lindberg et al. 1998; Sekartjakrarini &Legoh, 2003). Interpretasi adalah suatu produk dan proses (Sekartjakrarini &Legoh, 2003; Ceballos-Lascurain 1996). Dalam pengertian produk wisata, interpretasi adalah suatu produk dengan muatan nilai-nilai substantif sumber-sumber alam/budaya,

pengetahuan dan pembelajaran tentang lingkungan setempat (Sekartjakrarini &Legoh. 2003). Dalam pengertian proses, kegiatan interpretasi seperti ini diharapkan dapat memberikan pemahaman, dengan pemahaman akan ada apresiasi, dan dari apresiasi menimbulkan kecintaan dan kepedulian yang tinggi terhadap alam (Sudarto 1999; Lindberg et al. 1998). Pengembangan kegiatan interpretasi di Kanah National Park, India merupakan salah satu contoh sukses kegiatan interpretasi yang dapat mengubah persepsi dan kepedulian pengunjung dan pegawai terhadap lingkungan (Ceballos-Lascurain 1996).

e. Dampak Lingkungan

Ceballos-Lascurain (1996) mengidentifikasi setidaknya ada delapan dampak yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan wisata. Kedelapan dampak tersebut yaitu: dampak terhadap formasi bebatuan, tanah, air, tumbuhan, hidupan liar, sistem sanitasi, lansekap, dan lingkungan sosial budaya. Secara garis besar, dampak yang ditimbulkan dapat dimasukan kedalam dua kategori yaitu dampak terhadap lingkungan fisik dan lingkungan sosial-budaya.

Untuk mengurangi dampak terhadap lingkungan fisik, faktor daya dukung lingkungan merupakan faktor utama yang dipertimbangkan dalam pembangunan sarana dan prasarana ekowisata. Daya dukung lingkungan untuk ekowisata adalah kapasitas maksimum dari penggunaan suatu area yang dapat memenuhi kepuasan pengunjung secara optimum, dan seminimum mungkin menimbulkan dampak negatif terhadap sumberdaya (Boo 1990). Daya dukung lingkungan dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu karakteristik wisatawan dan faktor lingkungan biofisik kawasan (Soemarwoto 1986).

Bentuk dampak kegiatan wisata terhadap kondisi sosial-budaya masyarakat setidaknya dapat ditemukan dalam dua literatur yaitu Gartner (1996), Ceballos-Lascurain (1996), dan Barrow (2000). Menurut literatur tersebut bentuk dampak yang dapat diidentifikasi diantaranya: a) ketakutan masyarakat akan perubahan, b) perubahan struktur sosial dan mata pencaharian, c) perubahan nilai lahan, d) perubahan standard hidup, e) perubahan sistem ekonomi, f) perubahan sistem nilai, g)budaya sebagai komoditas komersial, h) kriminalitas terhadap wisatawan, i) kesehatan, dan lainnya.