• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 7 Pemetaan konflik PEMDA TK

1. Stakeholder Utama

Stakeholders utama (primer) merupakan stakeholders yang terkena dampak langsung baik positif maupun negatif oleh suatu rencana atau proyek serta mempunyai kaitan kepentingan langsung dengan kegiatan tersebut (Maryono et al. 2005). Berdasarkan definisi tersebut, keempat kelompok masyarakat lokal di lokasi studi masuk dalam kategori stakeholder utama. Dalam kelompok masyarakat ini terdapat unsur-unsur masyarakat seperti masyarakat Kasepuhan dan masyarakat Non-Kasepuhan.

Dampak utama penunjukan kawasan Gunung Halimun menjadi taman nasional bagi masyarakat lokal ialah terjadinya perubahan status lahan. Bagi

MASYARAKAT BTNGH Kasepuhan Cibedug,

Desa Citorek, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak

a. Perbedaan sistem nilai

b. Status lahan : seluruh wilayah adat (status saat ini sebagai encroachment).

c. Ketidaksepakatan tata batas d. Ketidakpastian akses terhadap

SDA

Beraliansi dengan stakeholder lainnya untuk pengakuan PEMDA; inventarisasi dan dokumentasi sejarah serta kearifan lokal

Memberikan opsi untuk transmigrasi; mengikuti proses PERDA

a. Konflik laten (vertikal)

b. Konflik yang dipersepsi : kepentingan masing-masing kelompok terhambat c. Konflik yang dirasakan : kita vs mereka d. Konflik yang termanifestasikan : reaksi

masyarakat mencari dukungan (aliansi) Kasepuhan Ciptarasa,

Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi

a. Perbedaan sistem nilai

b. Status Lahan: sebagian wilayah adat

c. Ketidaksepakatan tata batas d. Ketidakpastian akses

Beraliansi dengan stakeholder lainnya untuk pengakuan PEMDA; inventarisasi & dokumentasi sejarah serta kearifan lokal; bermitra dengan BTNGH

Menjalin kemitraan (Ekowisata, PAMSWAKARSA); Pendekatan sosial budaya dengan

menghadiri acara budaya

a. Konflik laten (vertikal)

b. Konflik yang dipersepsi : kepentingan masing-masing kelompok terhambat c. Konflik yang dirasakan : kita vs mereka d. Konflik yang termanifestasikan : reaksi

masyarakat mencari dukungan (aliansi) Desa Cisarua,

Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor

Ketidakpastian akses terhadap SDA Membentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)

Penghancuran sekitar 500 lubang-lubang PETI pada tahun 1996-1997, penyuluhan, pelatihan kader konservasi dan pengembangan kegiatan ekowisata.

a. Konflik laten (vertikal)

b. Konflik yang dipersepsi : kepentingan masing-masing kelompok terhambat c. Konflik yang termanifestasikan :

konfrontasi terbuka terhadap POLHUT.

Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor

a. Status lahan : pemukiman, ladang dan sawah

b. Ketidaksepakatan tata batas1, c. Ketidakpastian akses terhadap

SDA

Membuat pemetaan partisipatif dan menerapkan konsep kampung konservasi

Kader konservasi, penyuluhan, pengembangan ekowisata

a. Konflik laten (vertikal)

b. Konflik yang dipersepsi : kepentingan masing-masing kelompok terhambat c. Konflik yang dirasakan : kita vs mereka d. Konflik yang termanifestasikan : reaksi

masyarakat mencari dukungan (aliansi) dan konfrontasi terbuka dengan PT Nirmala (1997-1998)

Sumber: Hasil penelusuran literatur (Lampiran 2), wawancara, dan observasi lapangan.

Keterangan: 1 Sebagian wilayah desa Malasari masuk kedalam kawasan TNGH yaitu Kampung Hanjawar, Garung, Citalahab, dan Legok Jeruk. Sebagian wilayah lainnya dikuasai oleh PERHUTANI (Kampung Nyungcung I dan II) dan PT Nirmala Agung (Kampung Citalahab I, Citalahab Central, Legok Jeruk dan Ciwalen).

masyarakat Kasepuhan Cibedug dan Ciptarasa, perubahan ini terjadi pada status wilayah kasepuhan mereka. Sementara bagi masyarakat non-kasepuhan, seperti di Desa Malasari dan Desa Cisarua, ialah perubahan status lahan garapan. Perubahan status ini merubah tatanan kelembagaan dan aturan main pengelolaan yang sebelumnya ditingkat lokal/komunitas menjadi nasional. Padahal bagi masyarakat ini, lahan merupakan sumber kehidupan yang memenuhi kebutuhan primer. Untuk masyarakat kasepuhan lahan juga merupakan mandat leluhur yang harus dijaga secara turun temurun jauh sebelum Indonesia merdeka.

Mengingat bukti sejarah keberadaan mereka di kawasan tersebut (Adimihardja 1992; Hanafi et al. 2004; Moniaga 2004; Rahayu 2004; Galudra 2006), pengaruh masyarakat terhadap proses penetapan TNGH seharusnya cukup tinggi. Namun demikian, beberapa keterbatasan teknis yang dimiliki masyarakat untuk berdialog dan bernegosiasi dengan pihak yang berkepentingan seperti bahasa, tingkat pendidikan, kesamaan data dan informasi serta hal teknis lainnya menyebabkan posisi tawar mereka menjadi rendah. Bagi kelompok masyarakat yang sudah banyak berinteraksi dengan masyarakat luar dan mendapat dukungan seperti Kasepuhan Ciptarasa dan Desa Malasari, posisi tawar mereka untuk mempengaruhi proses penetapan kawasan menjadi cukup kuat.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, masyarakat lokal umumnya mendukung konservasi kawasan Gunung Halimun. Kesimpulan ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Harada et al. (2001), Harada (2003), dan Widada (2004: 133). Namun mereka menolak pembatasan untuk memanfaatkan sumberdaya alam di dalamnya. Hasil observasi ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Nugraheni (2002:107).

Ada dua opsi penyelesaian sengketa lahan yang dituntut oleh masyarakat. Opsi pertama ialah menuntut dikeluarkannya lahan adat dan garapan mereka dari kawasan TNGH agar dapat dikelola secara mandiri oleh mereka. Opsi ini terutama dikemukakan oleh masyarakat kasepuhan. Opsi kedua ialah bekerjasama dengan BTNGH untuk mengelola lahan tersebut terutama lahan yang masih berupa hutan121.

Penyelesaian opsi pertama, bagi masyarakat kasepuhan, dapat diselesaikan

121 Berdasarkan hasil pertemuan Sesepuh Banten Kidul tanggal 24 April 2007 di Citorek, posisi masyarakat sepakat untuk mengelola bersama BTNGH wilayah adat yang masih berupa hutan (leuweng kolot dan cadangan)

jika Pemerintah Daerah setempat sudah mengeluarkan Peraturan Daerah yang mengakui keberadaan mereka sebagai masyarakat kasepuhan. Sedangkan bagi masyarakat Non-Kasepuhan, penyelesaian dapat dilakukan jika mereka dapat menunjukan bukti kepemilikan atas lahan tersebut.

Untuk opsi kedua, ada dua cara yang dapat ditempuh oleh BTNGH. Pertama yaitu dengan memberikan ruang dalam kawasan TNGH untuk dikelola bersama. Misalnya dalam zona pemanfaatan, zona khusus dan zona tradisional seperti yang dimungkinkan oleh peraturan perundangan yang ada. Misalnya dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional Pasal 3 dan 6. Cara yang kedua ialah dengan melakukan kerjasama formal dengan perangkat desa/kecamatan atau badan usaha milik desa. Landasan hukum yang dapat digunakan ialah UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 213 & 214. Dalam undang-undang tersebut Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa dan/atau melakukan kerja sama dengan pihak ketiga.

Rangkuman hasil analisis terhadap stakeholder utama ini disajikan pada Tabel 28 berikut ini.

Tabel 28 Stakeholder utama penetapan TNGH KELOMPOK

STAKEHOLDERS

DAMPAK

PENUNJUKAN PENGARUH

1

ESTIMASI SIKAP OPSI PENYELESAIAN

Desa Citorek Seluruh wilayah

adat masuk kedalam TNGH dan terbatasnya akses thdp SDA Rendah Mendukung dengan syarat

Desa Sirnarasa Sebagian wilayah adat masuk TNGH dan terbatasnya akses thdp SDA Sedang Mendukung dengan syarat Seluruh wilayah adat dikeluarkan dari TNGH; Pemanfaatan SDA yang lestari; Kerjasama untuk wilayah adat yang masih berbentuk hutan.

Desa Cisarua Akses terhadap

SDA terbatas

Rendah Mendukung dengan syarat

Desa Malasari lahan garapan

berada di dalam kawasan TNGH dan terbatasnya akses thdp SDA Sedang Mendukung dengan syarat Lahan garapan dikeluarkan dari TNGH; Pemanfaatan SDA yang lestari; Kerjasama dengan BTNGH

Sumber: Hasil Analisis Keterangan: 1