• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 7 Pemetaan konflik PEMDA TK

2. Stakeholder Kunc

Stakeholders kunci merupakan stakeholders yang memiliki kewenangan legal dalam hal pengambilan keputusan (Maryono et al. 2005). Dalam penelitian ini, stakeholders kunci diidentifikasi berdasarkan kewenangannya dalam mengambil keputusan terkait dengan proses penetapan kawasan taman nasional. Menurut UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 10, proses penetapan kawasan atau pengukuhan kawasan terdiri dari empat tahapan yaitu tahap penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan. Tahap penunjukan dapat dilakukan setelah kegiatan inventarisasi kawasan selesai dilaksanakan.

Menurut UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, sebagai kawasan taman nasional kewenangan pengurusan TNGH berada di Pemerintah Pusat, Cq. Departemen Kehutanan. Sedangkan Balai Taman Nasional Gunung Halimun merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Departemen Kehutanan. Namun secara administratif TNGH masuk ke dalam wilayah 2 provinsi dan 3 kabupaten yaitu Provinsi Jawa Barat yang meliputi Kabupaten Bogor dan Sukabumi, dan Provinsi Banten yang meliputi Kabupaten Lebak. Karena itu, konflik yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat seperti lahan, tata batas dan akses terhadap SDA menjadi tanggung jawab dan kewenangan pemerintah daerah. Selanjutnya dalam studi ini, untuk identifikasi kewenangan dari peraturan perundangan, pemerintah daerah akan dilihat sebagai entitas tunggal tidak per lokasi. Berikut uraian masing-masing stakeholders kunci tersebut:

A. Pemerintah Pusat

Berdasarkan analisis terhadap 47 peraturan perundangan (Lampiran 3), ada tiga instansi pemerintah pusat yang terkait dengan pesoalan penetapan taman nasional. Ketiga instansi tersebut ialah : Departemen Kehutanan (C.q. Dirjen PHKA, BAPLAN, Dirjen Inventarisasi dan Tata Guna Lahan dan BTNGH)122; Departemen Dalam Negeri123, serta Menteri Koordinator Tata Ruang Nasional124.

122 berdasarkan Keppres 102/2001 tentang : Kedudukan, Tugas, Fungsi , Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen; UU No. 5/1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Sumberdaya Hayati berserta ekosistemnya; UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

123 Departemen Dalam Negeri, berdasarkan Keppres 102/2001 tentang : Kedudukan, Tugas, Fungsi , Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen, memiliki kewenangan dalam hal menetapkan kebijakan administrasi kependudukan, perencanaan daerah, pembentukan daerah dan kriteria tentang penghapusan, penggabungan, dan pemekaran daerah. Banyaknya pemekaran dan pembentukan desa di dalam dan sekitar kawasan TNGH semestinya merupakan bagian dari wewenang dan tanggung jawab departemen ini beserta jajaran instansi pelaksana di bawahnya.

124 UU No. 24/1992 tentang Tata Ruang Pasal 19; UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 13, 189; Keppres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Pasal 35.

Departemen Kehutanan berkepentingan untuk melaksanakan tugasnya dalam pengurusan kawasan hutan. Demikian juga dengan Dirjen PHKA, BAPLAN, serta Dirjen Inventarisasi dan Tata Guna Lahan yang bertugas melaksanakan pengaturan tata batas dan pengelolaan KPA. Sedangkan BTNGH merupakan unit pelaksana teknis dari Departemen Kehutanan yang melaksanakan pengelolaan KPA di lapangan.

Peran Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dalam proses penetapan TNGH terutama pada tahap penataan batas. Menurut Permendagri No. 1/2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri 126/2742/SJ/2002 tentang Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Daerah, tugas Depdagri diantaranya ialah Membentuk Tim Penetapan dan Penegasan Batas Daerah (PPBD) Tingkat Pusat dan menandatangani peta batas daerah.

Berdasarkan UU No. 24/1992 mengenai Penataan Ruang Pasal 19; UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 13, 189; Keppres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Pasal 35, diketahui bahwa dalam proses penetapan taman nasional Menteri Koordinator Tata Ruang Nasional dapat berperan dalam proses penunjukan, penataan batas, dan pemetaan. Stakeholder ini juga dapat berperan sebagai mediator konflik dan koordinator pelaksanaan jika penataan ruangnya meliputi lebih dari satu provinsi.

Berdasarkan kewenangan yang ditetapkan secara legal formal, pengaruh ketiga instansi pemerintah pusat terhadap kebijakan TNGH cukup tinggi. Namun demikian, mengingat kebijakan penetapan konservasi kawasan merupakan kebijakan pemerintah pusat diperkirakan semua instansi tersebut bersikap mendukung sejauh komunikasi dan koordinasi antar instansi yang dilakukan Departemen Kehutanan berjalan dengan baik.

B. Pemerintah Daerah

Penetapan TNGH berdampak langsung terhadap pemerintah daerah mulai dari tingkat Desa, Kabupaten sampai Provinsi. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, wilayah administrasi Kabupaten yang masuk dalam lokasi studi ialah Kabupaten Sukabumi, Bogor dan Lebak. Sedangkan wilayah administrasi

Pemerintah Provinsi yang masuk dalam lokasi studi ialah Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat. Dampak langsung yang dirasakan ialah perubahan fungsi lahan, tata batas wilayah, status pemukiman warga, dan status aset obyek wisata daerah. Bagi daerah, kedua dampak tersebut membawa konsekuensi terhadap penataan kembali tata ruang daerah, penduduk berserta penyediaan sarana dan prasarana sosialnya.

Menurut peraturan perundangan yang ada, PEMDA dalam proses penetapan taman nasional berperan mulai dari tahap inventarisasi, penunjukan, penataan batas, pemetaan, sampai dengan penetapan. Dalam tahap inventarisasi, menurut PP Np. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom Pasal 3 (5), Pemerintah Provinsi berwenang membuat pedoman penyelenggaraan inventarisasi dan pemetaan kawasan hutan. Dalam tahap penunjukan taman nasional, Menteri Kehutanan menunjuk kawasan tertentu sebagai kawasan pelestarian alam (taman nasional) harus berdasarkan pertimbangan Gubernur (PP No. 68/1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Pasal 10) dan usulan Pemda Kabupaten (Kepmenhut No. 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan Pasal 11).

Dalam tahap penataan batas, menurut UU No. 24/1992 Penataan Ruang Pasal 8; UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 189; PP No. 62/1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah di Bidang Kehutanan Pasal 2, peran Pemerintah Provinsi ialah mengkoordinasikan penataan ruang yang meliputi lebih dari satu kabupaten dan membuat pedoman penyelenggaraan rekonstruksi dan penataan batas hutan. Sedangkan Pemerintah Kabupaten, menurut Kepmenhut No. 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan (Pasal 8,9, 12,14 dan 16), mempunyai peran dalam membentuk panitia tata batas, menjadi anggota panitia, memberikan pengakuan bebas hak-hak pihak ketiga terhadap areal yang ditata batas, menyetujui dan menandatangani berita acara tata batas (BATB). Sementara Pemerintah Desa menurut kebijakan yang sama juga mempunyai peran dalam hal persetujuan dan penandatanganan BATB. Dalam posisi peran dan kewenangan tersebut, seharusnya pengaruh PEMDA dalam pengambilan keputusan cukup tinggi.

Berdasarkan observasi lapangan, sikap perangkat PEMDA terhadap keberadaan TNGH sangat ditentukan oleh Kepala Daerah masing-masing wilayah yaitu Gubernur untuk PEMDA TK I dan Bupati untuk PEMDA TK II. Sikap ini dapat dinegosiasikan jika BTNGH dapat membangun komunikasi, koordinasi, dan kerjasama yang baik dengan jajaran dinas-dinas terkait dibawahnya seperti Dinas Kehutanan, Pariwisata, dan Sosial. Masukan dari dinas terkait kepada pimpinan daerah inilah yang kemudian dapat mempengaruhi keputusan akhir Kepala Daerah.

Sampai dengan penelitian dilakukan, berdasarkan rekaman proses penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) I di Sukabumi pada 7- 9 Agustus 2006, pemerintah daerah Lebak belum menentukan sikap karena belum ada kejelasan tata batas. Demikian juga hasil wawancara dengan narasumber di Dinas Kehutanan dan Dinas Pariwisata di Kabupaten Sukabumi dan Bogor. Hasil wawancara dengan kepala BTNGH125 diperoleh informasi bahwa BTNGH akan membuat nota kesepahaman (MoU) dengan tiap-tiap kepala daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, responden dari instansi pemerintah umumnya menunggu hasil kesepakatan tersebut baru akan menyusun program-program yang diperlukan.

Sikap Pemerintah Provinsi Jawa Barat terhadap keberadaan TNGH sebenarnya dapat dilihat dalam Perda No. 2/1996 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung di Provinsi Jawa Barat. Dalam Perda tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengalokasikan sekitar 30% luas wilayahnya untuk kawasan lindung. Hal ini secara tidak langsung mengakui perlunya keberadaan TNGH. Namun demikian, alokasi ruang dan tata batas perlu direkonstruksi ulang sehingga sesuai dengan perencanaan tata ruang provinsi126.

C. DPRD

Menurut UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 dan 40, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah. DPRD memiliki fungsi

125

Wawancara dengan Bapak Bambang, Kepala BTNGH, dilakukan di Kabandungan tanggal 19 Februari 2007 pukul 16.00-18.00.

legislasi, anggaran dan pengawasan (Pasal 41). Dalam konteks persoalan dengan penetapan TNGH dan konflik masyarakat lokal, setidaknya ada dua tugas dan kewenangan DPRD yang relevan sesuai dengan Pasal 42 UU No. 32/2004. Tugas dan wewenang dan kewenangan tersebut ialah: 1) membahas rancangan, menyetujui dan mengawasi pelaksanaan Perda bersama dengan kepala daerah; dan 2) memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antar daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah. Jika kedua tugas dan kewenangan ini dilaksanakan, semestinya konflik di TNGH tidak berlarut-larut dan masyarakat tidak perlu berhadapan langsung dengan BTNGH sebagai unit pelaksana teknis pemerintah pusat.

Sampai saat survei dilakukan, hanya DPRD Lebak yang terlihat ikut aktif dalam pembahasan Perda pengakuan masyarakat Kasepuhan untuk Kasepuhan Cibedug dan Citorek. Walaupun kemajuannya sampai saat ini baru dukungan secara politis saja. Sebagai stakeholder yang sesungguhnya memegang peranan kunci, DPRD sebaiknya dilibatkan dalam proses penetapan TNGH dalam hal berbagi informasi, konsultasi dan kontrol.

Berdasarkan analisis diatas, seluruh stakeholders kunci harus dilibatkan dalam semua tipe partisipasi. Khusus untuk instansi yang wilayah kerja dan/atau substansi kewenangannya terkait langsung dengan TNGH sebaiknya dilibatkan sebagai mitra pengelolaan TNGH seperti amanat Pasal 17 UU No. 32/2004 yang mewajibkan pemerintah pusat untuk bekerjasama dengan pemerintah daerah dalam hal penyerasian lingkungan dan tata ruang serta perizinan dan pembagian hasil dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Daftar stakeholder kunci berikut kewenangan, pengaruh dan estimasi sikap masing-masing stakeholder dirangkum dan disajikan pada Tabel 29.