• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 KERANGKA TEORI

2.3.1. Definisi Lingkungan Belanja

Suatu bentuk fisik dan aspek ruang atau tempat dari lingkungan yang mencakup dari aktivitas konsumen. Misalnya stimulus yang berasal dari warna, bunyi, pencahayaan, udara dan mencakup pengaruh ruang atau tempat dari orang atau objek yang dapat mempengaruhi perilaku konsumen. Kondisi fisik disekitar mempengaruhi persepsi konsumen melalui sensor mekanisme dari visi, pendengaran, penciuman, dan bahkan sentuhan. Aspek fisik yang ada disekitar ini sangat penting bagi pengecer. Karena hal ini dapat mempengaruhi perilaku konsumern, sikap dan rasa percaya. Lingkungan fisik ini penting untuk pengecer. Berikut dibawah ini pentingnya efek fisikal pada

lingkungan belanja menurut Belk

(http://komunikasi.upnyk.ac.id/files/Perilaku_konsumen_Bab_1.pdf):

1) Pengaruh komponen fisik

Komponen fisik dari lingkungan belanja terbukti dalam mempengaruhi adalah dengan cara memberikan musik atau pengumuman (iklan atau promosi).

2) Pengaruh Kepadatan pada Konsumen

Kepadatan yang terjadi ketika seseorang merasakan gerakannya terbatas dikarenakan tempat yang terbatas atau sempit. Dapat dilihat pada gambar berikut di bawah ini menggambarkan bagaimana efek dari kepadatan akan menirnbulkan perilaku apakah konsumen itu akan tetap di toko atau meninggalkan toko.

Gambar 2.1 Efek Kesesakan di Toko

Density of People Perceived crowding Perceived Control Feeling Consumer Behavior Stay or Leave store Consumer Choice level

Baker (dalam Roy, 2003) mengemukakan kategori typology dari elemen lingkungan belanja menjadi tiga kategori: faktor sosial (social factors), faktor desain (Design factors) dan faktor perasa (ambient factors).

Dalam penelitian ini lingkungan belanja yang terdiri dari dimensi social factor, overall image, design factor dan ambience factor merupakan faktor yang mendorong respon emosional konsumen yaitu berupa pleasure, arousal, atau dominance untuk menciptakan perilaku belanja konsumen berupa perilaku pendekatan dan penghindaran selama di minimarket.

Gambar 2.2 Model Mehrabian-Russell EMOTIONAL STATES: Pleasure Arousal Dominance ENVIROMENTAL STIMULI APROACH OR RESPONSE AVOIDANCE

Faktor sosial berhubungan dengan orang lain yang ada di toko (Baker (dalam Roy, 2003). Dari semua orang yang ada, pelayan (sales people) adalah yang paling penting, karena sebagai komponen dari marketing mix. Seorang pemasar memiliki kontrol yang penting terhadap jumlah, tipe, dan perilaku. Faktor perasa berhubungan terhadap elemen non visual dari lingkungan belanja seperti penciuman tata cahaya dan lain-lain. Akhirnya, semua image toko (image store) telah ditunjukkan untuk mencari pengaruhnya terhadap

perilaku konsumen, seperti pemilihan toko. Oleh sebab itu, stimulus

diperlihatkan oleh berbagai elemen dari lingkungan belanja dan diharapkan mempengaruhi keadaan emosional konsumen sewaktu belanja.

Hubungan antara emosi dan preferensi atau pilihan didukung dengan baik dalam literatur tentang usaha eceran. Dalam penelitian Donovan dan

Rossiter (dalam Semuel, 2005) yang mengkaji pengaruh emosi, kesenangan

(pleasure) dan kegairahan (arousal) berdasarkan sejumlah hasil eceran. Mereka menemukan bahwa kesenangan yang dihasilkan oleh eksposur pada suasana toko mempengaruhi perilaku belanja seperti tingkat pengeluaran uang, jumlah waktu yang dihabiskan didalam toko serta keinginan untuk kembali berbelanja pada minimarket tersebut. Kegairahan atau kegembiraan yang ditimbulkan oleh suasana toko merupakan pengaruh yang kurang penting terhadap perilaku eceran. Para peneliti lainnya menemukan bahwa suasana hati (mood) memiliki hubungan yang positif dengan pengukuran citra toko, jumlah produk yang dibeli dan tingkat pengeluaran diatas apa yang telah direncanakan oleh konsumen sebelumnya.

Perilaku berbelanja yang bersifat tiba-tiba dan direncanakan juga memiliki kaitan yang erat dengan keadaan emosional. Dengan menggunakan metodologi simulasi kunjungan toko, Weinberg dan Bottwald (1982) menemukan bahwa para pembeli dengan perilaku berbelanja terencana

memiliki aktivitasi emosional yang lebih besar dari pada pembeli yang tidak terencana. Secara khusus, apabila dibandingkan dengan pembeli yang terencana, pembeli tidak terencana memperlihatkan perasaan kesenangan, antusias dan kegembiraan yang lebih besar. O’Guinn dan Faber (dalam Rahayu, 2007) mengungkapkan bahwa yang menjadi motivasi utama terjadinya pembelian kompulsif adalah pencarian terhadap manfaat

psikologis dari proses pembelian tersebut, bukan pada produk yang dibeli.

• Mehrabian dan Russel (dalam Semuel, 2005) memberikan dukungan empiris yang memadai kepada tiga variabel intervening, termasuk dukungan psikologis. Mereka juga mengacu pada temuan Osgood (1957) dimensi (evaluasi, aktivitas dan potensi) dapat menjelaskan penafsiran terhadap beberapa objek fisik dan peristiwa sosial, sebagai suatu dukungan terhadap konsep yang mereka miliki bahwa tiga dimensi emosional ini adalah cukup memadai untuk menjelaskan berbagai respons emosional manusia terhadap stimulus lingkungan. Wundt (1905) berpendapat bahwa seluruh emosi dapat ditentukan cirinya dalam hal kesenangan ketidaksenangan

(pleasure-displeasure), ketegangan-rileksasi (tension-relaxation) dan kegembiraan-ketenangan (excitement-quiescence) Jelas bahwa terdapat banyak kesamaan antara ketiga sistem tridimensional, walaupun hanya sistem yang diungkapkan oleh wundt dan sistem

Mehrabian-Russell (dalam Semuel, 2005) yang secara khusus dirancang untuk menangani emosi.

Dalam penelitiannya Mehrabian dan Russell (dalam Semuel, 2005) menjelaskan bahwa keadaan emosional adalah konsep sebagai variabel penyeling. Ini untuk menunjukkan bahwa pengaruh dari lingkungan belanja terhadap perilaku belanja diperantarai oleh keadaan emosional.

Perubahan pada emosi dapat merubah keadaan emosional konsumen sehingga mempengaruhi perilaku belanja dan penilaian setelah belanja sedangkan menurut O’guinn dan Faber, (dalam Rahayu, 2007) emosi yang terjadi karena lingkungan belanja juga bisa berpengaruh pada daya beli belanja dan bisa memberi kontribusi untuk mendorong dan memfokuskan keputusan membeli.

Secara konsep, keadaan emosional terdiri dari tiga dimensi:

pleasure-displeasure (kesenangan-ketidaksenangan), arousal-nonarousal (kegairahan-ketidakbergairahan), dan dominance-submissiveness

(kekuasaan-ketundukkan). Dimana Mehrabian dan Russell (dalam Semuel, 2005) mengatakan bahwa respon emosional terhadap lingkungan belanja dapat dijelaskan oleh tiga dimensi:

a. Pleasure (kesenangan), diukur dengan penilaian verbal dari reaksi

terhadap lingkungan berupa tingkatan individu merasa senang, gembira, atau puas dalam suatu situasi.

b. Arousal (kegairahan), diukur dengan penilaian verbal yang lebih luas berupa tingkat dimana seseorang merasa sangat senang, atau aktif dalam sebuah situasi.

c. Dominance (kekuasaan), diukur dari indikasi perasaan responden berupa perasaan ingin menguasai, mempengaruhi, ingin merasa dominant

terhadap suatu situasi di lingkungan belanja.

Dimensi ini mengasumsikan bahwa setiap lingkungan, termasuk lingkungan dari sebuah toko eceran, akan menghasilkan suatu kondisi emosional pada seorang individu. Menurut Mehrabian dan Russell (dalam Semuel, 2005) dimensi kegairahan (arousal) adalah konsep psikologi tentang “tingkat perasaan" yang sebagian besar diarahkan dengan laporan lisan. Gagasan dari konsep arousal sering disamakan dalam psikologi lingkungan sebagai muatan atau isi. Sebuah muatan tinggi (arousing) dalam lingkungan yang nyaman menyebabkan perilaku pendekatan, sebagaimana muatan tinggi lingkungan yang tidak nyaman menyebabkan perilaku penghindaran. Lingkungan yang bermuatan rendah tidak cukup memotivasi perilaku pendekatan atau penghindaran.

Sedangkan, Russel dan Pratt (dalam Ryu, 2005) dalam penelitiannya mengusulkan perubahan terhadap teori Mehrabian-Russell dengan

menghilangkan dimensi dominasi. Dimana hasil penelitiannya tersebut telah membuktikan adanya kecocokan antara dimensi kesenangan dan kegairahan sangat meyakinkan untuk berbagai situasi, sedangkan dimensi dominasi adalah lebih lemah. Dalam penelitian terbarunya, Russel berpendapat bahwa dominasi memerlukan sebuah penafsiran kognitif oleh orang tersebut dan oleh karena itu tidak secara murni dapat diterapkan dalam situasi yang memerlukan respons emosional. Russel dan Pratt (dalam Ryu, 2005)

menemukan bahwa dua dimensi ortogonal dari kesenangan dan kegairahan adalah cukup memadai untuk mewakili respons emosi seseorang terhadap berbagai jenis lingkungan. Skema dua dimensi yang diungkapkan oleh Russel dan Pratt juga mengidentifikasi dua dimensi terkait yang dihasilkan oleh interaksi dari dua dimensi dasar, yang menghasilkan sebuah model lingkaran yang terdiri dari delapan penjelasan tentang reaksi emosional terhadap lingkungan. Dalam skema Russel dan Pratt, deskriptor kondisi emosional dapat diklasifikasikan sebagai sebuah garis vektor dari titik asal (tanpa emosional).

Dokumen terkait