• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

B. Manajemen Waktu

1. Definisi Manajemen Waktu

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Work-study conflict

1. Definisi

Work-study conflict adalah kondisi ketika tuntutan dan tanggung jawab

peran di tempat kerja mempengaruhi kemampuan untuk memenuhi tuntutan dan tanggung jawab peran dalam pendidikan (Markel & Frone, 1998). Adebayo (2006) menjelaskan bahwa teori mengenai work-study conflict merupakan teori yang dikembangkan dari teori work-family conflict. Sumber yang sama juga mendefinisikan work-study conflict sebagai bentuk konflik antar peran dimana tuntutan pekerjaan menghambat kemampuan mahasiswa untuk memenuhi tuntutan dan tanggung jawabnya dalam pendidikan. Selain itu, Greenhaus dan Beutell (1985) mengemukakan bahwa konflik antar peran merupakan konflik yang dialami oleh individu ketika tekanan yang muncul dalam satu peran bertentangan dengan tekanan yang timbul pada peran lainnya sehingga menyebabkan individu sulit untuk melaksanakan kegiatan dalam satu peran akibat kegiatan individu dalam peran lainnya.

Selanjutnya, Gareis, Barnett, Ertel, dan Berkman (2009) menjelaskan bahwa work-study conflict merupakan kondisi di mana terdapat pertentangan antara peran mahasiswa dalam pekerjaan dan pendidikan yang disebabkan oleh tekanan dan kewajiban individu pada masing-masing peran tersebut.

Kemudian, Dakas (2011) juga mengemukakan bahwa work-study conflict merupakan teori mengenai partisipasi individu dalam pekerjaan yang menghasilkan stres, kesulitan dalam mengatur jadwal dan penurunan kinerja individu dalam aktivitas perkuliahan.

Berdasarkan beberapa teori yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa work-study conflict merupakan keadaan di mana tuntutan dan tanggung jawab individu terhadap perannya dalam pekerjaan menghambat individu untuk memenuhi tuntutan dan tanggung jawab terhadap perannya dalam pendidikan.

2. Aspek

Markel dan Frone (1998), menjelaskan bahwa work-study conflict memiliki 2 aspek, yaitu:

a. Time-Based Conflict

Ketika individu cenderung menghabiskan lebih banyak waktu untuk beraktivitas pada salah satu peran yang dimilikinya sehingga kehabisan waktu untuk menyelesaikan tugasnya pada peran lainnya, maka akan memicu timbulnya time-based conflict. Konflik ini mungkin saja terjadi karena kondisi fisik yang kelelahan, waktu yang dianggap kurang serta tuntutan salah satu peran yang terlalu banyak sehingga menguras energi dan waktu individu untuk menyelesaikan tuntutan pada peran lainnya. Hal yang menjadi sumber dari time-based conflict adalah jam bekerja (working hours).

b. Strain-Based Conflict

Strain-based conflict merupakan konflik yang muncul ketika

tekanan dan tuntutan dari suatu peran mengurangi bahkan menghambat kemampuan dan keinginan individu untuk memenuhi tuntutan dan kewajiban dari peran lainnya. Konflik ini akan mempengaruhi fisik dan mental individu sehingga individu sering kali merasa lelah dan cemas. Hal yang menjadi sumber dari strain-based conflict adalah ketidakpuasan kerja (job dissatisfaction).

Selain itu, Greenhaus dan Beutell (1985) juga mengemukakan bahwa terdapat 3 dimensi dalam work-study conflict, yaitu:

a. Time-Based Conflict

Time-based conflict terjadi ketika beberapa peran bersaing secara

bersamaan untuk waktu yang dimiliki oleh individu dan waktu yang dihabiskan untuk satu peran menghalangi penyelesaian tugas serta tanggung jawab individu pada peran lainnya.

b. Strain-Based Conflict

Strain-based conflict terjadi ketika tekanan yang dihasilkan pada

satu peran mempengaruhi kinerja individu pada peran lainnya. c. Behavioural-Based Conflict

Ekspektasi perilaku dari satu sumber yang tidak sesuai dengan ekspektasi perilaku dari sumber lain dapat menimbulkan terjadinya

Berdasarkan penjelasan diatas, penelitian ini akan menggunakan aspek dari Markel dan Frone (1998), yaitu time-based conflict dan strain-based

conflict untuk mengungkapkan perilaku work-study conflict pada mahasiswa

yang bekerja.

3. Faktor-Faktor

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi work-study conflict pada mahasiswa yang bekerja. Salah satu faktor utama yang dapat menyebabkan muncul work-study conflict adalah jam bekerja (working

hours). Penelitian yang dilakukan oleh Markel dan Frone (1998) menemukan

bahwa jam kerja (working hours) memiliki hubungan yang positif dengan

work-study conflict sehingga apabila jam kerja individu semakin tinggi maka

tingkat work-study conflict yang dialami individu tersebut juga semakin tinggi. Kemudian, penelitian yang dilakukan Lingard (2007), juga mengungkapkan bahwa lamanya jam kerja berhubungan dengan kurangnya waktu yang dimiliki mahasiswa yang bekerja untuk belajar serta juga memiliki hubungan dengan banyaknya kelas yang dilewatkan akibat tuntutan-tuntutan kerja dan konfisi fisik yang kelelahan. Selain itu, dijelaskan juga bahwa banyaknya jumlah jam kerja akan mengurangi waktu dan energi mahasiswa untuk memenuhi tanggung jawabnya di bidang akademik (Dakas, 2011).

Kemudian, dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa peningkatan ambiguitas peran dan konflik antar peran dikatikan dengan penurunan

kepuasan kerja dan kesehatan psikologis yang buruk (Khan, 2016). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi munculnya work-study conflict pada mahasiswa. Kepuasan kerja (work satisfaction) merupakan persepsi individu terhadap pekerjaan atau hubungan antara kehidupan dengan pekerjaan yang menghasilkan sebuah kepuasan atau perasaan yang positif (Sahin & Sahingoz, 2013). Sebaliknya, ketidakpuasan kerja merupakan perasaan negatif yang dihasilkan dari persepsi individu terhadap pekerjaannya. Ketidakpuasan kerja dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman dan menurunkan motivasi individu untuk beraktivitas dengan maksimal. Selain itu, ketidakpuasan kerja juga dapat mempengaruhi kondisi fisik dan mental individu, seperti menyebabkan kelelahan, emosi, kecemasan serta burnout (Pratiwi & Riyono, 2017).

Selain itu, beban kerja (workload) juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan munculnya work-study conflict. Penelitian yang dilakukan oleh Frone, Yardley, dan Markel (1997) mengemukakan bahwa tingginya tingkat dari beban kerja (workload) yang dimiliki individu menjelaskan bahwa individu memiliki terlalu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dalam waktu yang singkat. Beban kerja (workload) yang tinggi akan mempengaruhi psikologis dan menyebabkan kelelahan fisik bagi individu sehingga dapat menjadi hambatan untuk menyelesaikan tuntutan dan tanggung jawabnya dalam perannya (Markel & Frone, 1998).

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi work-study conflict diantaranya adalah jam kerja (working hours), ketidakpuasan kerja (job dissatisfaction), dan beban kerja (workload).

B. Manajemen Waktu 1. Definisi

Menurut Macan (1994), manajemen waktu merupakan kemampuan individu untuk mengontrol penggunaan waktu secara efektif dan efisien melalui perencanaan dan penjadwalan, membuat skala prioritas berdasarkan kepentingan, melakukan sesuatu secara terorganisasi serta mempunyai kontrol atas waktu. Tanpa adanya kontrol terhadap waktu, tujuan dan prioritas cenderung akan teralihkan oleh kegiatan-kegiatan yang tidak penting. Teori lainnya menyebutkan bahwa manajemen waktu merupakan sebuah hasil dari penyisihan aktivitas-aktivitas yang tidak penting dan cukup menyita banyak waktu sehingga dapat menyelesaikan aktivitas-aktivitas penting dan mencapai target utama dalam kehidupan (Taylor, 1990).

Kemudian, menurut Mercanlioglu (2010), kemampuan manajemen waktu merupakan salah satu bagian dari self-management yang memiliki fokus terhadap penggunaan waktu dalam melakukan berbagai kegiatan serta mengatur waktu agar dapat dimanfaatkan dengan baik dalam melakukan kegiatan-kegiatan penting untuk mencapai tujuan dan memecahkan masalah.

Sedangkan Sedarmayanti (2004) mengemukakan bahwa manajemen waktu merupakan kemampuan individu untuk menggunakan sumber daya waktu dengan efisien dalam mencapai target yang telah ditentukan oleh individu. Selain itu, Laurie dan Hellsten (2002) mendefinisikan manajemen waktu sebagai proses seorang individu untuk lebih efektif dalam menyelesaikan tugas dan tujuan serta memperoleh kendali atas waktu dan apa yang dapat dicapai dengan waktu yang dimiliki oleh individu tersebut.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa manajemen waktu merupakan kemampuan pengelolaan waktu yang dimiliki individu untuk melakukan perencanaan, penjadwalan serta melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam kehidupan sehari-hari.

2. Aspek

Menurut Macan (1994), terdapat beberapa aspek dalam manajemen waktu, yaitu sebagai berikut:

a. Menetapkan tujuan dan prioritas (setting goals and priorities)

Aspek ini menjelaskan mengenai penetapan tujuan dan membuat prioritas. Menetapkan tujuan dan membuat daftar prioritas merupakan hal yang cukup penting untuk memberikan arahan bagi individu sebelum melakukan aktivitas. Dalam kehidupan sehari-hari, individu seharusnya menetapkan tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek merupakan hal-hal yang ingin diselesaikan dalam satu hari yang bisa membantu pencapaian tujuan jangka panjang. Kehidupan yang

dinamis membuat penetapan tujuan ini harus selalu disesuaikan dengan kondisi dan situasi. Apabila tujuan telah ditetapkan, maka selanjutnya individu membuat daftar prioritas mengenai apa saja yang harus dilakukan terlebih dahulu untuk mencapai tujuan tersebut.

b. Perencanaan dan penjadwalan (making lists and scheduling)

Aspek ini berkaitan dengan perencanaan dan penjadwalan kegiatan yang akan dilakukan sehingga individu dapat melakukan kegiatan dengan efektif dan efisien. Perencanaan dan penjadwalan kegiatan akan dilakukan setelah individu menyusun skala prioritas. Setelah menyusun skala prioritas, individu kemudian menyusun perencanaan agar dapat mengelola waktu sehingga memungkin untuk melaksanakan seluruh kegiatan penting yang telah direncanakan.

c. Preferensi untuk terorganisasi (preference for organization)

Aspek ini menjelaskan mengenai perilaku atau kebiasaan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatannya secara terorganisir, seperti membuat catatan kegiatan atau memeriksa kembali kegiatan yang telah dilakukan. Hal tersebut dinilai penting agar individu dapat mengevaluasi kegiatan yang telah dilakukan, mulai dari berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk mencapai tujuan dan mengerjakan prioritas hingga berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk mengerjakan sesuatu yang tidak berorientasi pada tujuan yang ingin dicapai.

d. Kemampuan mengendalikan waktu (perceived control of time)

Aspek ini menjelaskan mengenai bagaimana seorang individu memiliki keyakinan untuk dapat mengontrol waktu yang dimilikinya dan menggunakan waktu tersebut dengan sebaik-baiknya.

Selain itu, Laurie dan Hellsten (2002) mengemukakan bahwa terdapat 3 dimensi dalam manajemen waktu, yaitu:

a. Rencana Jangka Panjang

Aspek rencana jangka panjang menjelaskan tujuan jangka panjang serta rutinitas disiplin yang dimiliki oleh individu.

b. Rencana Jangka Pendek

Aspek rencana jangka pendek didefinisikan sebagai kegiatan manajemen waktu yang mencakup kegiatan harian atau mingguan, seperti menetapkan tujuan pada awal hari, merencanakan serta memprioritaskan perilaku sehari-hari.

c. Sikap terhadap Waktu

Sikap terhadap waktu terdiri dari persepsi individu dalam mengendalikan waktu secara efisien untuk membuat pemanfaatan waktu secara konstruktif.

Berdasarkan penjelasan diatas, penelitian ini akan menggunakan aspek dari Macan (1994), yaitu setting goals and priorities, (making lists and

kemampuan mengendalikan waktu (perceived control of time) untuk mengungkap kemampuan manajemen waktu pada mahasiswa yang bekerja.

C. Hubungan Manajemen Waktu dan Work-study Conflict pada Mahasiswa

Mahasiswa memiliki tugas yang beragam tingkat kesulitannya dalam perkuliahan (Octavia & Nugraha, 2013). Tidak jarang beberapa tugas harus dikumpulkan pada tenggat waktu yang bersamaan. Hal tersebut tentu saja mengharuskan mahasiswa untuk memiliki kemampuan manajemen waktu yang baik sehingga seluruh tugas dapat dikerjakan dengan baik dan dikumpulkan sesuai dengan tenggat waktu yang telah ditetapkan tanpa mengganggu jadwal perkuliahan. Namun, tidak jarang pula mahasiswa memiliki kegiatan lainnya di luar dari kegiatan perkuliahan, seperti bekerja. Tersedianya lahan kerja bagi mahasiswa dan keharusan untuk memenuhi berbagai macam tuntutan kebutuhan menjadi salah satu alasan mahasiswa untuk bekerja. Oleh karena itu, mahasiswa yang bekerja akan diharuskan untuk membagi waktunya antara kegiatan perkuliahan dan pekerjaan sehingga jadwal kegiatan antara kedua peran tersebut dapat dilaksanakan dan tidak bertabrakan.

Mahasiswa yang bekerja memiliki kecenderungan untuk mengalami konflik dalam menjalani perannya, baik sebagai mahasiswa maupun pekerja. Markel dan Frone (1998) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang dapat memicu munculnya work-study conflict adalah jam kerja (working hours). Jam kerja dikaitkan dengan waktu yang dimiliki mahasiswa dalam melaksanakan perannya sebagai pekerja. Jam kerja yang berlebihan dapat menyebabkan

mahasiswa kekurangan waktu untuk melaksanakan perannya sebagai pelajar. Oleh karena itu, mahasiswa harus memiliki kemampuan manajemen waktu yang baik untuk menyeimbangkan waktu yang digunakan dalam pekerjaan dan perkuliahan sehingga tujuan utama dalam pekerjaan dan perkuliahan dapat tercapai.

Kemampuan manajemen waktu yang baik akan meningkatkan keefektifan individu dalam mengerjakan berbagai kegiatan yang dimilikinya. Pada mahasiswa yang bekerja, kemampuan ini sangat bermanfaat untuk mengontrol waktu yang digunakannya sehingga tidak menghambat kinerja mahasiswa dalam peran yang lain selain dalam perkuliahan. Dalam penelitian ini, work-study

conflict pada mahasiswa yang bekerja akan diukur berdasarkan aspek manajemen

waktu yang dikemukakan oleh Macan (1994), yaitu menetapkan tujuan dan prioritas (setting goals and priority), membuat jadwal dan perencanaan (making

lists and scheduling), preferensi untuk terorganisasi (preference for organization), dan kemampuan mengendalikan waktu (perceived control of time).

Aspek pertama dalam manajemen waktu adalah menetapkan tujuan dan prioritas. Tanpa adanya tujuan atau arahan, seseorang akan kehilangan arah dan cenderung untuk melakukan kegiatan yang tidak bermanfaat sehingga waktu yang dimilikinya tidak digunakan secara efektif. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Macan, Shahani, Dipboye, dan Phillips (1990) mendukung pernyataan tersebut. Hasil penelitian tersebut mengemukakan bahwa mahasiswa yang

memiliki kemampuan untuk mengontrol waktu dilaporkan memiliki kinerja, kerja, dan kepuasan hidup yang lebih baik secara signifikan. Artinya, memiliki kemampuan manajemen waktu yang tinggi akan membantu mahasiswa untuk menjalankan tujuan utamanya sebagai pelajar dan sebagai pekerja serta mencegah mahasiswa yang bekerja dari konflik antara kuliah dan bekerja.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Alsalem, Alamodi, Hazazi, Shibah, Jabri, dan Albosruor (2017) menyatakan bahwa mahasiswa yang memiliki peluang atau kesempatan untuk melatih kemampuan manajemen waktu, memiliki kinerja akademik yang lebih baik. Penelitian tersebut berhubungan dengan aspek kedua dalam manajemen waktu, yaitu membuat perencanaan dan penjadwalan. Aspek tersebut merupakan penyusunan kegiatan yang berorientasi pada tujuan sehingga kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Tidak adanya perencanaan dan penjadwalan akan meningkatkan risiko terjadinya konflik antara perkuliahan dan pekerjaan, terlebih lagi jika mahasiswa mendapatkan tekanan ketika menjalani kedua peran tersebut. Adanya perencanaan dan penjadwalan akan mencegah terjadinya selisih antara jadwal kegiatan pekerjaan dan perkuliahan sehingga dapat mengurangi munculnya konflik antara pekerjaan dan perkuliahan.

Aspek ketiga, yaitu preferensi untuk terorganisasi, menjelaskan mengenai perilaku atau kebiasaan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatannya secara terorganisir, seperti membuat catatan kegiatan atau memeriksa kembali kegiatan yang telah dilakukan. Aspek ini dikaitkan dengan kesalahan yang dilakukan oleh

mahasiswa yang bekerja dalam melaksanakan perannya sebagai pekerja dan pelajar. Hal tersebut berkaitan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Adam dan Jex (1999) yang mengemukakan bahwa perilaku menyusun prioritas dan memiliki preferensi untuk terorganisasi secara positif berhubungan dengan kemampuan mengendalikan waktu. Dalam konteks ini kemampuan manajemen waktu, khususnya pelaksanaan kegiatan yang terorganisir akan membuat individu memiliki beberapa cadangan kegiatan yang akan dilakukan apabila terdapat agenda kegiatan yang bertabrakan sehingga mengurangi tekanan yang dirasakan individu dalam mengatur kegiatannya menjalani dua atau lebih peran.

Aspek keempat, yaitu kemampuan mengendalikan waktu, merupakan keyakinan yang dimiliki mahasiswa yang bekerja dalam menggunakan waktunya dengan efektif untuk melaksanakan tugasnya sebagai pekerja dan pelajar. Ketiga aspek dari kemampuan manajemen waktu sebelumnya dilaporkan berhubungan dengan keyakinan untuk mengontrol waktu dalam penelitian yang dilakukan oleh Adam dan Jex (1999), walaupun ketiganya memiliki arah yang berberda. Perilaku menyusun prioritas dan preferensi untuk terorganisasi berpengaruh secara positif terhadap keyakinan untuk mengontrol waktu, sedangkan perilaku perencanaan dan penjadwalan berpengaruh secara negatif terhadap keyakinan untuk mengontrol waktu. Tanpa adanya ketiga aspek tersebut, seorang individu belum tentu mampu memiliki kemampuan mengontrol waktu yang baik.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa kemampuan manajemen waktu dapat dikaitkan dengan mengurangi risiko munculnya konflik

antara pekerjaan dan perkuliahan pada mahasiswa yang bekerja memiliki hubungan yang positif dengan work-study conflict. Mahasiswa yang bekerja dan memiliki kemampuan menetapkan tujuan, menyusun prioritas, membuat perencanaan dan melakukan pencatatan serta evaluasi terhadap kegiatan yang dilakukannya memiliki kemungkinan yang rendah untuk mengalami konflik kerja-pendidikan atau work-study conflict.

D. Hipotesis Penelitian

Ada hubungan negatif antara manajemen waktu dan work-study conflict pada mahasiswa yang bekerja. Semakin tinggi kemampuan manajemen waktu, maka semakin rendah tingkat work-study conflict pada mahasiswa yang bekerja. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan manajemen waktu, maka semakin tinggi tingkat work-study conflict pada mahasiswa yang bekerja.

31

BAB III

METODE PENELITIAN

Dokumen terkait