• Tidak ada hasil yang ditemukan

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Rumahtangga petani adalah sekelompok orang yang tinggal di bawah satu atap

bersama-sama dengan tujuan untuk meningkatkan kepuasan dari masing-

masing anggota keluarga yang mempunyai mata pencaharian utama sebagai

petani.

2. Petani adalah orang yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam

kegiatan usahatani

3. Curahan kerja merupakan jumlah jam kerja yang dicurahkan oleh setiap

anggota rumahtangga untuk kegiatan mendapatkan penghasilan dari kegiatan

usahatani padi maupun kegiatan non usahatani selama satu tahun.

4. Produksi adalah banyaknya produk yang dihasilkan dari kegiatan usahatani

padi dalam satuan rupiah selama satu tahun.

5. Biaya produksi adalah biaya yang dikeluarkan untuk membeli sarana produksi

pertanian yang diperlukan dalam kegiatan usahatani padi seperti bibit, pupuk,

pestisida dalam satuan rupiah selama satu tahun.

6. Biaya tenaga kerja adalah biaya yang dikeluarkan untuk membayar upah

tenaga kerja luar keluarga pada usahatani padi dalam satuan rupiah selama

satu tahun.

7. Tingkat pendidikan adalah lamanya suami, istri, dan anak menempuh

pendidikan secara formal.

8. Jumlah anggota rumahtangga adalah jumlah semua orang yang ada di dalam

satu rumah yang menjadi tanggungan kepala keluarga.

9. Jumlah balita adalah jumlah anak kecil yang berusia di bawah lima tahun di

dalam suatu rumahtangga.

10. Leisure adalah waktu santai yang dilakukan oleh suatu rumahtangga untuk

11. Pendapatan total rumahtangga adalah pendapatan total rumahtangga yang

diperoleh dari seluruh anggota rumahtangga dari mencurahkan kerja produktif

pada usahatani dan non usahatani dalam satuan rupiah selama satu tahun.

12. Pendapatan rumahtangga dari usahatani padi adalah jumlah pendapatan yang

diperoleh dari usahatani padi dalam satuan rupiah selama satu tahun.

13. Pendapatan rumahtangga dari non usahatani adalah jumlah pendapatan yang

diperoleh dari non usahatani dalam satuan rupiah selama satu tahun.

14. Konsumsi pangan adalah pengeluaran rumahtangga untuk membeli bahan

pangan yang dikonsumsi rumahtangga meliputi, beras, ikan, tempe, tahun,

ikan kering, daging, telur, susu, sayuran, minya goreng, tepung terigu, bumbu-

bumbuan, umbi-umbian, makanan dan minuman siap saji dan rokok dalam

satuan rupiah selama satu tahun.

15. Konsumsi non pangan adalah pengeluaran rumahtangga untuk membeli bahan

yang dikonsumsi rumahtangga selain kebutuhan pangan meliputi pakaian,

tempat tinggal, kesehatan, kecantikan dalam satuan rupiah selama satu tahun.

16. Investasi produksi adalah pengeluaran rumahtangga untuk modal produksi

dalam satuan rupiah selama setahun.

17. Investasi pendidikan adalah pengeluaran rumahtangga untuk keperluan

pendidikan anggota rumahtangga dalam satuan rupiah selama setahun.

18. Pengeluaran selain pangan adalah pengeluaran rumahtangga yang terdiri dari

pengeluaran untuk non pangan, investasi produksi, dan investasi pendidikan

dalam satuan rupiah selama setahun.

19. Pengeluaran selain non pangan adalah pengeluaran rumahtangga yang terdiri

V. GAMBARAN UMUM DAN KARAKTERISTIK

RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH

5.1. Letak Geografis, Iklim, Kependudukan dan Kondisi Pertanian

Luas wilayah Kabupaten Donggala sebesar 10 471.71 km2 dan salah satu

kecamatan yang ada di Kabupaten Donggala adalah Kecamatan Sigi Biromaru

yang memiliki luas wilayah sebesar 514.92 km2 yang meliputi daerah dataran 65

persen, perbukitan 25 persen, pegunungan 10 persen dan terletak pada ketinggian

200 sampai dengan 700 meter di atas permukaan air laut, serta merupakan dataran

Lindu. Kondisi musim panas Kabupaten Donggala terjadi antara bulan April

sampai dengan September, sedangkan musim hujan terjadi pada bulan Oktober

sampai dengan bulan Maret. Curah hujan tertinggi tahun 2005 terjadi pada bulan

Juni 6.5 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada Februari yaitu 0.66 mm

(BPS Kabupaten Donggala, 2006).

Dari hasil Registrasi Penduduk Akhir Tahun 2006 diketahui jumlah

penduduk Kabupaten Donggala sebesar 486 316 jiwa, yang terdiri dari penduduk

laki-laki sebesar 243 630 jiwa dan penduduk perempuan sebesar 242 686 jiwa.

Sedangkan pertumbuhan penduduk pada tahun 2006 adalah sebesar 2,76 persen.

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka tingkat kepadatan

penduduk juga mengalami peningkatan. Hingga akhir tahun 2006 kepadatan

penduduk tercatat sebanyak 46 jiwa per km².

Jumlah kepala keluarga Kabupaten Donggala tahun 2006 sebesar 114 863

dengan rata–rata penduduk per kepala keluarga sebanyak 4 orang. Sedangkan

478 jiwa, yang terdiri dari penduduk laki-laki sebesar 21 156 jiwa dan penduduk

perempuan sebesar 19 722 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 78 jiwa per

kilometer persegi dan jumlah tersebut meningkat dibandingkan pada tahun 2005

yang hanya sebesar 39 276 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 76 jiwa per

kilometer persegi.

Jumlah rumahtangga Kecamatan Sigi Biromaru tahun 2006 sebesar 10 237

dengan rata–rata penduduk per kepala keluarga sebanyak 4 orang Komposisi atau

struktur umur penduduk di Kabupaten Donggala menunjukkan bahwa terdapat

hampir 40 persen penduduk masih berusia di bawah 15 tahun, hal ini

menunjukkan bahwa penduduk Kabupaten Donggala masih tergolong penduduk

muda. Dengan melihat perbandingan jumlah penduduk yang berusia non produktif

dengan penduduk usia produktif dapat diketahui besarnya angka ketergantungan

pada tahun 2006 yaitu sebesar 74. Artinya bahwa setiap 100 orang penduduk usia

produktif (15 sampai dengan 64 tahun) menanggung sebanyak 74 orang penduduk

usia tidak produktif (0 sampai dengan 14 tahun dan 65 tahun ke atas). Sebagai

konsekuensi dari pertambahan jumlah penduduk adalah bertambahnya jumlah

penduduk yang masuk ke dalam angkatan kerja. Pertambahan penduduk yang

tidak seimbang dengan pertambahan penyediaan lapangan kerja berakibat pada

timbulnya pengangguran.

Pendidikan anggota rumahtangga yang diukur berdasarkan lama

pendidikan formal, secara umum berada pada kelompok tamat Sekolah Dasar.

Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan tenaga kerja masih mengandalkan

menyekolahkan anaknya pada jenjang lebih tinggi (BPS Kabupaten Donggala,

2006).

Aksesibilitas dari segi letak desa contoh merupakan desa yang terbuka

dalam arti sudah ada hubungan dengan desa lain, letak desa relatif mudah

dijangkau dengan kendaraan dari ibukota kecamatan maupun dari ibukota

kabupaten.

Kabupaten Donggala memiliki luas lahan sawah irigasi teknis pada tahun

2005 sebesar 11 183 hektar. Lahan sawah irigasi setengah teknis sebesar 9 767

hektar. Sedangkan lahan sawah irigasi sederhana adalah yang terluas

dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Sulawesi Tengah yaitu sebesar 11 581

hektar. Sedangkan Kecamatan Sigi Biromaru memiliki luas lahan sawah irigasi

teknis sebesar 4 155 hektar, irigasi setengah teknis sebesar 2 298 hektar, irigasi

sederhana sebesar 571 hektar dan irigasi desa sebesar 137 hektar dengan masing–

masing luasan lahan sawah tersebut memiliki frekuensi penanaman padi dalam

setahun sebanyak dua kali (BPS Kabupaten Donggala, 2005a).

Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa luas panen padi sawah Kabupaten

Donggala Tahun 2006 sebesar 47 878 hektar, produktivitas sebesar 45.49 kuintal

per hektar dan produksi sebesar 217 798 ton sedangkan Kecamatan Sigi Biromaru

memiliki luas panen sebesar 9 283 hektar, produktivitas sebesar 47.51 kuintal per

hektar dan produksi sebesar 44 112 ton. Hasil ini merupakan yang terbesar jika

dibandingkan dengan kecamatan lain yang ada di Kabupaten Donggala (BPS

Penerapan pola tanam sangat tergantung pada pengelolaan dan

ketersediaan air pada lahan sawah tersebut. Pada desa contoh lahan sawah adalah

berpengairan teknis dengan pola tanam yang diterapkan adalah padi–padi–bera.

Tabel 2. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Panaman Padi Sawah menurut Kecamatan di Kabupaten Donggala Tahun 2006

No. Kecamatan Luas Panen (Ha) Produktivtas

(Ton/Ha) Produksi (Ton) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Kulawi Palolo Dolo Marawola Sigi Biromaru Banawa Tawaeli Sinsue Sirenja Balaesang Damsol Sojol Rio Pakava Pipikoro 4 926 5 697 6 014 1 593 9 281 1 729 348 1 097 1 704 2 311 4 527 7 778 375 496 3.38 5.60 4.43 2.77 4.75 4.19 4.29 4.35 4.64 4.71 4.56 4.72 3.60 4.18 17 654 31 903 26 654 4 409 44 112 7 247 1 492 4 774 7 906 10 871 20 643 36 712 1 350 2 071

Sumber : BPS Kabupaten Donggala, 2006

5.2. Karakteristik Anggota Rumahtangga Petani

Responden dalam penelitian ini berada di Kabupaten Donggala Kecamatan

Sigi Biromaru. Analisis umum mengenai karakteristik rumahtangga responden

menggunakan kriteria umur kepala rumahtangga, umur isteri, umur anak, jumlah

anggota rumahtangga, jumlah anak sekolah dan jumlah anak balita yang dapat

dilihat pada Tabel 3.

Pada umumnya di wilayah pedesaan, kepala keluarga berusia di atas 55

tahun yang walaupun sudah tergolong tua apabila dikaitkan dengan jenis

mampu bekerja baik di kegiatan usahatani maupun kegiatan non usahatani. Dari

Tabel 2 terlihat bahwa rata-rata umur anggota rumahtangga petani untuk suami

adalah 41.09 tahun. Usia kepala keluarga masih tergolong kelompok usia

produktif. Umur isteri juga masih tergolong produktif untuk melakukan kegiatan

usahatani, non usahatani maupun kegiatan rumahtangga. Rata-rata umur isteri

lebih muda 6 tahun dari usia kepala keluarga.

Tabel 3. Rata-rata Karakteristik Anggota Rumahtangga Petani Lahan Sawah di Kabupaten Donggala Tahun 2008.

No. Karakteristik Anggota Rumahtangga Rata - rata

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Umur suami (tahun) Umur isteri (tahun)

Umur anak sekolah (tahun) Umur anak yang bekerja (tahun) Pendidikan suami (tahun) Pendidikan isteri (tahun)

Pendidikan anak sekolah (tahun) Pendidikan anak yang bekerja (tahun) Jumlah anggota rumahtangga (orang) Jumlah anak sekolah (orang)

Jumlah anak balita (orang)

41.09 36.01 12.20 20.69 10.97 10.81 6.29 10.49 3.83 1.69 1.04

Pendidikan formal sebagai indikator kualitas tenaga kerja, secara umum

bahwa tingkat pendidikan suami rata-rata 10.97 tahun tidak jauh berbeda dengan

tingkat pendidikan isteri yang rata-rata 10.81 tahun dan tingkat pendidikan suami

dan isteri dalam rumahtangga petani hanya pada tingkat pendidikan dasar. Begitu

juga dengan anak yang sudah bekerja maupun anak yang masih sekolah memiliki

tingkat pendidikan 6.29 tahun sampai 10.49 tahun.

Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pendidikan suami, isteri, dan

bahwa kualitas sumberdaya manusia di lokasi penelitian masih rendah. Hal ini

sejalan dengan laporan Badan Statistik Provinsi Sulawesi Tengah (2007)

menyatakan bahwa, tingkat pendidikan sumberdaya manusia penduduk Sulawesi

Tengah masih relatif rendah dengan lama sekolah dari 7.0 tahun sampai dengan

10.9 tahun. Sedangkan Hardono (2003) menyatakan bahwa tingkat pendidikan

rata-rata dari sebagian besar masyarakat di Indonesia rendah disebabkan kurang

motivasi atau kemauan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik, kesehatan

atau kondisi jasmani dan fisik yang tidak mengizinkan, serta kesempatan tidak

ada. Rendahnya tingkat pendidikan pada umumnya lebih banyak dimiliki oleh

masyarakat pedesaan, sehingga terkesan mereka bekerja hanya untuk sekedar

memperoleh pendapatan (revenue), bukan keuntungan (profit).

Jumlah anggota rumahtangga dan jumlah anak bersekolah yang dimiliki

rumahtangga akan menentukan besar kecilnya pengeluaran rumahtangga baik

konsumsi pangan, non pangan dan pendidikan. Rata-rata rumahtangga responden

memiliki jumlah anggota rumahtangga sebesar 3.83 orang. Bila dikaitkan dengan

aspek pengembangan sumberdaya manusia, maka jumlah ini sudah cukup besar,

dalam arti bahwa jumlah anggota rumahtangga tersebut masih cukup potensial

untuk dikembangkan keterampilannya dan ini terlihat bahwa tingkat pendidikan

anggota rumahtangga yaitu anak, telah mengikuti jenjang pendidikan sampai

sekolah lanjutan tingkat atas dan ini merupakan aset produktif yaitu jika

bergabung kedalam angkatan kerja untuk pengembangan usahatani maupun

bekerja pada kegiatan non usahatani. Namun juga dapat merupakan aset

konsumtif jika anggota rumahtangga tersebut bukan menjadi angkatan kerja.

tenaga kerja dan pendapatan pada kegiatan di luar usahatani. Hal ini disebabkan

karena disamping potensi tenaga kerjanya makin besar, kebutuhan hidup

rumahtangga juga makin besar. Sebaliknya makin kecil jumlah anggota

rumahtangga maka makin kecil pula pencurahan tenaga kerja dan pendapatan di

luar usahatani.

Jumlah anak yang sekolah rata-rata 1.69 orang. Tidak semua rumahtangga

petani mempunyai anak balita dan rata-rata hanya memiliki 1.04 orang dari

jumlah rumahtangga yang mempunyai balita dan ini sesuai dengan kondisi usia

kepala keluarga diatas 41 tahun dan umur isteri yang berada di atas 36 tahun.

Adanya kepemilikaan anak balita dalam suatu rumahtangga petani maka akan

mempengaruhi curahan kerja isteri dalam mengaloakasikan waktunya baik untuk

kegiatan pada usahatani padi, kegiatan non usahatani maupun kegiatan

tumahtangga. Dengan adanya anak balita dalam rumahtangga maka ada indikasi

bahwa isteri akan lebih banyak melakukan kegiatan rumahtangga untuk mengurus

anak balita jika dibandingkan dengan melakukan kegiatan di usahatani padi

maupun kegiatan non usahatani, apalagi jika dalam suatu rumahtangga tidak

memiliki tenaga kerja lain baik tenaga kerja dalam keluarga maupun tenaga kerja

luar keluarga untuk membantu mengasuh anak balita tersebut.

5.3. Alokasi Curahan Kerja Anggota Rumahtangga Petani

Alokasi curahan kerja anggota rumahtangga petani digolongkan dalam

dua kegiatan yaitu: kegiatan mencari nafkah dan kegiatan tidak mencari nafkah.

Kegiatan mencari nafkah yaitu: kegiatan yang dilakukan oleh anggota

rumahtangga yang menghasilkan pendapatan berupa uang atau barang untuk

anggota rumahtangga petani dilakukan pada kegiatan usahatani padi dan non

usahatani. Kegiatan non usahatani berupa berdagang, karyawan baik bekerja pada

pemerintahan maupun swasta, selain itu pula melakukan kegiatan non usahatani

dibidang jasa meliputi: sopir, tukang ojek, buruh bangunan dan pembantu

rumahtangga. Sedangkan kegiatan tidak mencari nafkah yaitu kegiatan yang

dilakukan oleh anggota rumahtangga yang tidak menghasilkan pendapatan.

Kegiatan ini berupa pekerjaan dalam rumahtangga atau kegiatan dalam

pemanfaatan waktu luang. Keputusan untuk memaksimumkan pendapatan oleh

setiap anggota rumahtangga dalam usahatani ataupun non usahatani dilakukan

dengan mengalokasikan waktu kerja riil yang dimiliki setiap anggota rumahtangga

yaitu pilihan untuk bekerja di dalam usahtani padi ataupun non usahatani.

Analisis mengenai alokasi curahan kerja dalam penelitian ini meliputi curahan

kerja suami, isteri, dan anak termasuk anggota rumahtangga lainnya.

Alokasi curahan kerja pada kegiatan usahatani padi terdiri dari alokasi

waktu curahan suami dan alokasi waktu kerja isteri. Alokasi waktu curahan pada

kegiatan non usahatani terdiri dari alokasi curahan kerja suami, alokasi curahan

kerja isteri, dan alokasi curahan kerja anak.

Tabel 4. Alokasi Curahan Kerja Rata-rata Anggota Rumahtangga Petani Lahan Sawah di Kabupaten Donggala tahun 2008.

(HOK/Tahun) Non usahatani Anggota Rumah tangga Usaha tani padi (%) Karya-

wan Dagang Jasa Jumlah (%) Total Curahan kerja (%) Suami Isteri Anak 104.62 40.76 0 72.00 28.00 0 128.04 126.84 150.26 31.24 90.96 0 90.94 65.83 68.59 250.22 283.62 218.85 33.24 37.68 29.08 354.84 324.38 218.85 39.51 36.12 24.37 Jumlah 145.38 100 405.14 122.20 225.4 752.7 100 898.07 100

Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa alokasi curahan kerja anggota

rumahtangga petani pada usahatani padi sebesar 145.38 HOK per tahun yang

meliputi curahan kerja suami sebesar 104.62 HOK per tahun dan ini merupakan

curahan kerja terbesar dalam rumahtangga. Begitu pula dengan total curahan kerja

seluruh anggota rumahatangga yang paling besar mencurahkan kerjanya selama

setahun adalah suami yaitu sebesar 354.84 HOK per tahun kemudian isteri sebesar

324.38 HOK per tahun, dan anak 218.85 HOK per tahun. Ini disebabkan karena

suami sebagai kepala rumahtangga yang memiliki tanggung jawab yang besar

terhadap anggota rumahtangga untuk mencari nafkah.

Dalam usahatani padi, kegiatan terbesar umumnya dilakukan pada saat

pengolahan tanah, penanaman dan panen. Curahan kerja isteri pada usahatani

padi sebesar 40.76 HOK per tahun. Curahan kerja isteri terhadap kegiatan

usahatani lebih rendah dibandingkan dengan suami karena pada umumnya isteri

lebih banyak membantu dalam kegiatan penanaman, dan panen. Isteri juga lebih

banyak mencurahkan kerjanya pada kegiatan dalam rumahtangga seperti kegiatan

memasak, mencuci, dan aktivitas rumahtangga lainnya khususnya mengasuh anak

bagi isteri yang memiliki anak balita. Isteri memiliki peran ganda dalam

rumahtangga yaitu disamping membantu suami bekerja dalam kegiatan usahatani

dan non usahatani juga mengatur rumahtangga sebagai ibu rumahtangga. Anak

tidak terlibat dalam kegiatan usahatani padi karena pada umumnya anak-anak

masih bersekolah sehingga untuk kegiatan produktif sangat kurang, dan bagi anak

yang tidak bersekolah lagi pada umunya anak tersebut lebih mencurahkan pada

Alokasi curahan kerja anggota rumahtangga petani pada kegiatan non

usahatani adalah jumlah jam kerja anggota rumahtangga petani yang dicurahkan

untuk kegiatan mencari nafkah pada non usahatani yang dilakukan dalam satu

tahun. Pada Tabel 4 terlihat bahwa alokasi curahan kerja anggota rumahtangga

pada kegiatan non usahatani yaitu bekerja sebagai karyawan baik di pemerintahan

maupun swasta, berdagang, dan jasa. Bidang jasa meliputi jasa tukang ojek,

sopir angkot, buruh bangunan/tukang kayu, buruh dagang dan buruh tukang cuci.

Ini sejalan dengan Elizabeth (2007) menyatakan bahwa penyerapan tenaga kerja

di luar sektor pertanian di pedesaan cenderung sebagai tenaga buruh kasar (kurang

membutuhkan keterampilan dan pendidikan formal), hanya pada pengalaman

yang mereka kuasai.

Banyak penduduk desa sebagai pedagang dengan skala usaha kecil-kecilan

temasuk pedagang pasar hasil pertanian, pedagang keliling, pedagang di

kios/warung, berburuh sebagai buruh tukang kayu dan batu atau pekerjaan yang

memerlukan keterampilan dalam menjual jasa sebagai tukang ojek, sopir angkot.

Hal ini ada hubungannya dengan pendidikan petani pada lokasi penelitian hanya

pada tingkat pendidikan dasar. Menurut Widodo (1997) bahwa faktor pendidikan

merupakan variabel sangat penting dalam rangka memacu kemandirian bangsa

dalam menggapai tujuan karena pendidikan merupakan variabel masukan (input)

yang memiliki determinasi kuat terhadap kualitas manusia (individu) dan

penduduk (sosial). Masukan dari kualitas akan menghasilkan output berupa

produktivitas, kreativitas, etos kerja, dan kemandirian baik di sektor ekonomi

Alokasi curahan kerja suami yaitu sebesar 250.22 HOK per tahun, isteri

sebesar 283.62 HOK per tahun dan anak sebesar 218.85 HOK per tahun. Dilihat

dari jumlah curahan kerja non usahatani secara keseluruhan maka alokasi curahan

kerja rumahtangga lebih banyak dicurahkan ke non usahatani sebagai karyawan

yaitu anggota rumahtangga yang bekerja di pemerintahan maupun swasta. Ini

diduga bahwa bekerja sebagai karyawan lebih baik dan lebih bergengsi walaupun

kebanyakan dari anggota rumahtangga umumnya bekerja hanya sebagai pekerja

harian. Hal ini banyak dilakukan pada anak dengan curahan kerja sebagai

karyawan sebesar 150.26 HOK per tahun.

Tabel 4 menunjukkan bahwa anak tidak mencurahkan kerja di kegiatan

usahatani padi tetapi lebih banyak mencurahkan kerjanya pada kegiatan non

usahatani baik sebagai karyawan maupun jasa. Menurut Antara (2007) bahwa

saat ini bidang pertanian kurang diminati oleh pemuda pedesaan apalagi perkotaan

karena banyak anak berpikir bahwa pertanian identik dengan cangkul, caping,

selalu bergelut tanah atau lumpur dan terkesan kotor, kolot dan kerja keras dan

ditambah dengan penyempitan lahan pertanian yang diikuti oleh pertambahan

jumlah penduduk.

Berdasarkan pada Tabel 4 terlihat bahwa jumlah pencurahan kerja seluruh

anggota rumahtangga maka alokasi curahan kerja pada kegiatan non usahatani

sebesar 752.69 HOK per tahun. Ini berarti bahwa rumahtangga petani padi lebih

giat bekerja pada non usahatani dibandingkan dengan kegiatan usahatani padi

dengan total curahan kerja seluruh anggota rumahtangga sebesar 145.38 HOK per

tahun. Hal ini diduga bahwa dalam pengelolaan usahatani khususnya padi,

lahan, penanaman, dan panen sedangkan tahap lain pada kegiatan pengelolaan

padi relatif kurang membutuhkan curahan kerja. Ini sesuai yang dinyatakan Sawit

(1986), bahwa ada dua hal yang mempenguhi pasar tenaga kerja yaitu : (1) ada

masa amat kekurangan pekerjaan di desa yaitu pada masa sepi di kegiatan

pertanian, dimana pada masa ini kegiatan non pertanian makin menonjol,

mungkin pekerjaan non pertanian dikerjakan di desa sekitarnya atau bermigrasi

sirkulasi ke kota (2) ada masa sibuk pertanian dimana permintaan tenaga kerja

begitu tinggi, dan upah diperkirakan akan meningkat dimasa tersebut, atau

setidaknya konsumen buruh akan memberikan berbagai insentif tertentu agar

buruh bersedia bekerja di tempatnya. Dalam masa ini diperkirakan kegiatan non

pertanian akan terhenti atau berkurang.

Pekerjaan non usahatani umumnya merupakan pekerjaan sampingan yaitu

pekerjaan non usahatani yang dilakukan pada saat kegiatan mulai berkurang

misalnya setelah tanam dan menunggu waktu panen atau saat musim kemarau tiba

dan kegiatan non usahatani ini dilakukan bertujuan untuk meningkatkan

pendapatan rumahtangga petani tersebut. Berdasarkan hasil penelitian pada desa

contoh bahwa penerapan pola tanam sangat tergantung pada pengelolaan dan

ketersediaan air pada lahan sawah tersebut. Pada desa contoh lahan sawah adalah

berpengairan teknis dengan pola tanam yang diterapkan adalah padi – padi – bera.

Hal ini juga menunjang kesempatan petani untuk memanfaatkan waktu luangnya

atau saat sepi di usahatani akan mencurahkan kerjanya pada kegiatan non

usahatani. Hal ini sesuai yang dinyatakan Ravianto (1985) bahwa penyerapan

Dokumen terkait