• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DESKRIPSI TEORI PENELITIAN

3.5 Informan Penelitian

Teknik apa yang digunakan dalam menentukan informan penelitian. 3.6 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui pengamatan berperanserta, wawancara, dokumen dan bahan-bahan visual.

3.8 Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan melalui pengkodean dan pengkodingan data (berdasarkan kategorisasi data), reduksi data, triangulasi, penulisan laporan hasil dan keabsahan data.

3.9 Jadwal Penelitian

Menjelaskan jadwal penelitian secara rinci beserta tahapan penelitian yang akan dilakukan. Jadwal penelitian ditulis dalam bentuk tabel.

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian

Menjelaskan tentang objek penelitian yang meliputi lokasi penelitian secara jelas, struktur organisasi dari populasi atau sampel yang telah ditentukan serta hal lain yang berhubungan dengan dengan objek penelitian.

4.2 Deskripsi Data

Menjelaskan hasil penelitian yang telah diolah dari data mentah dengan mempergunakan teknik analisis data yang relevan, baik data kualitatif maupun dengan data kuantitatif.

4.3 Pembahasan

Melakukan pembahasan lebih lanjut terhadap hasil analisis data. Terhadap hipotesis yang diterima barangkali tidak ada persoalan, tetapi terhadap hipotesis yang ditolak harus diberikan berbagai dugaan yang menjadi penyebabnya. Pembahasan akan lebih mendalam jika dikonfrontir atau didiskusikan dengan hasil penelitian orang lain yang relevan (sejenis). Pada akhir pembahasan peneliti dapat mengemukakan berbagai keterbatasan yang mungkin terdapat dalam pelaksanaan penelitiannya, terutama sekali untuk penelitian eksperimen. Keterbatasan ini dapat dijadikan rekomendasi terhadap penelitian lebih lanjut dalam bidang yang menjadi objek penelitiannya, demi pengembangan ilmu pengetahuan. BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan

Menyimpulkan hasil penelitian yang diungkapkan secara singkat, jelas dan mudah dipahami. Selain itu kesimpulan penelitian juga harus sejalan dan sesuai dengan permasalahan serta hipotesis penelitian.

5.2 Saran

Berisi tindak lanjut dari sumbangan penelitian terhadap bidang yang diteliti baik secara teoritis maupun praktis.

26

2.1 Deskripsi Teori

Teori merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah penelitian, ada beberapa pengertian teori yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Menurut William dalam Sugiyono (2008:53), menyatakan bahwa suatu teori akan memperoleh arti penting, bila ia lebih banyak dapat melukiskan, menerangkan dan meramalkan gejala yang ada. Deskripsi teori dalam suatu penelitian merupakan uraian sistematis tentang teori (dan bukan sekedar pendapat pakar atau penulis buku) dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan variabel yang diteliti.

2.1.1 Definisi Peran

Peran atau peranan merupakan serangkaian perilaku yang diharapkan dilakukan oleh seseorang. Pengharapan semacam itu merupakan suatu norma yang dapat mengakibatkan terjadinya suatu peranan. Menurut Thoha (2003:80), bagaimana seseorang berperilaku dalam peranan organisasi sangat ditentukan oleh:

1. Karakteristik pribadinya.

2. Pengertiannya tentang apa yang diharapkan orang lain kepadanya.

3. Kemauannya untuk mentaati norma yang telah menetapkan pengharapan tadi.

Maka berbicara mengenai peran, Badan Keluarga Berencana Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (BKBPMP), sebagai salah satu badan publik memiliki karakteristik peran yang tentu saja berbeda dengan badan-badan atau lembaga lainnya. Dimana, badan publik ini memiliki peran yang erat kaitannya dengan berjalannya kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, maka peran yang dijalankan oleh badan publik ini merupakan sangat penting karena besar harapan yang diharapkan dari perannya.

Berkaitan dengan peran itu, maka akan muncul norma-norma yang harus ditaati secara bersama-sama supaya harapan-harapan tersebut dapat tercapai. Harapan terseebut dapat tercapai apabila setiap orang atau badan publik tersebut menjalankan peranannya dengan baik. Menurut Soekanto (2006:243), peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan. Peranan dan kedudukan tidak dapat dipisahkan, karena satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya. Tak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan. Setiap orang mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupnya. Hal itu sekaligus berarti bahwa peranan menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat kepadanya.

Pentingnya peranan adalah karena ia mengatur perilaku seseorang. Peranan menyebabkan seseorang pada batas-batas tertentu dapat

meramalkan perbuatan-perbuatan orang lain. Peranan yang melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi seseorang dalam masyarakat (social position) merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu pada organisasi masyarakat. Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuian diri dan sebagai suatu proses. Jadi, seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan.

Menurut Levinson dalam Soekanto (2006:244), peranan mencakup tiga hal:

1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.

2. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Dalam kehidupan bermasyarakat, tentu saja setiap orang memiliki peranan yang berbeda-beda yang harus dijalankan sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Peranan merupakan perilaku setiap individu maupun organisasi atau kelompok yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, karena didalamnya dapat dicapai harapan-harapan yang tujuannya adalah menyejahterakan masyarakat guna saling memudahkan satu sama lain dalam menjalankan peran masing-masing.

Teori peran adalah teori yang merupakan perpaduan berbagai teori, orientasi, maupun disiplin ilmu. Selain dari psikologi, teori peran berawal dari dan masih tetap digunakan dalam sosiologi dan antropologi. Istilah

“peran” diambil dari dunia teater. Dalam teater, aktor harus bermain sebagai seorang tokoh tertentu dan dalam posisinya sebagai tokoh itu diharapkan untuk berperilaku secara tertentu. Posisi aktor dalam teori itu kemudian dianalogikan dengan posisi seseorang dalam masyarakat. Sebagaimana halnya dalam teater, yaitu bahwa perilaku yang diharapkan daripadanya tidak berdiri sendiri, melainkan selalu berada dalam kaitan dengan orang-orang lain yang berhubungan dengan orang atau aktor tersebut. Dari sudut pandangan inilah disusun teori-teori peran.

Dalam teorinya Biddle & Thomas dalam Sarwono (2008:215), membagi peristilahan dalam teori peran dalam empat golongan, yaitu istilah-istilah yang menyangkut:

a. Orang-orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial. b. Perilaku yang muncul dalam interaksi tersebut.

c. Kedudukan orang-orang dalam perilaku. d. Kaitan antara orang dan perilaku.

Pertama, orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial dapat dibagi dalam dua golongan sebagai berikut:

a. Aktor (actor, pelaku) yaitu orang yang sedang berperilaku menuruti suatu peran.

b. Target (sasaran) atau orang lain (other) yaitu orang yang mempunyai hubungan dengan aktor dan perilakunya.

Aktor maupun target bisa berubah individu ataupun kumpulan individu (kelompok). Hubungan antara kelompok dengan kelompok misalnya terjadi antara sebuah paduan suara (aktor) dan pendengar (target).

Kedua, Menurut Biddle & Thomas dalam Sarwono (2008:216), ada lima istilah tentang perilaku dalam kaitannya dengan peran:

Harapan tentang peran adalah harapan-harapan orang lain pada umumnya tentang perilaku yang pantas, yang ditujukan pada orang yang memiliki peran-peran tertentu dalam masyarakat. b. Norm(norma)

Menurut Secord dan Backman (1964) dalam Sarwono norma hanya merupakan salah satu bentuk harapan. Jenis-jenis harapan menurut Secord dan Backman adalah sebagai berikut: 1. Harapan yang bersifat meramalkan (anticipatory), yaitu

harapan tentang suatu perilaku yang akan terjadi.

2. Harapan normatif adalah keharusan yang menyertai peran. Biddle dan Thomas membagi lagi harapan normatif ini ke dalam dua jenis, yakni:

i. Harapan yang terselubung (covert): harapan itu tetap ada walaupun tidak diucapkan.

ii. Harapan yang terbuka, yaitu harapan yang diucapkan.

c. Performance(wujud perilaku)

Wujud perilaku yaitu peran yang diwujudkan oleh aktor. Goffman dalam bSarwono (2008:220) meninjau perwujudan peran ini dengan memperkenalkan istilah permukaan (front), yaitu untuk menunjukkan perilaku-perilaku tertentu yang diekspresikan secara khusus agar orang lain mengetahui dengan jelas peran si pelaku (aktor).

d. Evaluation(penilaian) dansanction(sanksi)

Penilaian dan sanksi agak sulit dipisahkan jika dikaitkan dengan peran. Biddle dan Thomas dalam Sarwono (2008:220) menyatakan bahwa kedua hal tersebut didasarkan pada harapan masyarakat (orang lain) tentang norma. Berdasarkan norma itu, orang memberikan kesan positif atau negatif terhadap suatu perilaku. Kesan negatif dan positif inilah yang dinamakan penilaian peran. Sedangkan yang dimaksud dengan sanksi adalah usaha orang untuk mempertahankan suatu nilai positif atau agar perwujudan peran diubah sedemikian rupa sehingga hal yang tadinya dinilai negatif menjadi positif.

Ketiga, Secord & Backman dan Biddle & Thomas dalam Sarwono (2008:222) memberikan definisi yang saling melengkapi tentang kedudukan (posisi). Dari kedua definisi mereka dapat disimpulkan bahwa kedudukan adalah sekumpulan orang yang secara bersama-sama (kolektif) diakui perberdaannya dari kelompok-kelompok lain berdasarkan sifat-sifat

yang mereka miliki bersama, perilaku yang sama-sama mereka perbuat, dan reaksi orang terhadap mereka bersama.

Keempat, Biddle & Thomas dalam Sarwono (2008:226) mengemukakan bahwa kaitan (hubungan) yang dapat dibuktikan ada atau tidak adanya dan dapat diperkirakan kekuatannya adalah kaitan antara orang dengan perilaku dan perilaku dengan perilaku. Kriteria untuk menetapkan kaitan-kaitan tersebut diatas adalah sebagai berikut:

a. Derajat kesamaan atau ketidaksamaan antara bagian-bagian yang saling berkait.

b. Derajat saling menentukan atau saling ketergantungan antara bagian-bagian tersebut.

c. Gabungan antara derajat kesamaan dan saling ketergantungan (a+b).

Thoha (2003:80) menyatakan, dalam bahasa organisasi, peranan diperoleh dari uraian jabatan. Adapun uraian jabatan itu merupakan dokumen tertulis yang memuat persyaratan-persyaratan, dan tanggung jawab atas sesuatu pekerjaan. Dalam bahasa psikologi sosial, uraian jabatan itu memberikan serangkaian pengharapan yang menentukan terjadinya peranan. Persoalan yang sering terjadi dalam suatu organisasi acapkali ditimbulkan karena peranan tidak dibagi secara jelas diantara orang-orang dalam organisasi tersebut, sehingga terjadi keraguan dan konflik peranan. Orang tidak tahu pasti peranan apa dan bagaimana yang harus dimainkan olehnya, karena deskripsi tentang peranan itu sendiri tidak jelas. Kadang-kadang terjadi pula orangnya tidak mampu melakukan suatu peranan yang diharapkan oleh organisasi. Persoalan tersebut sangat ditentukan oleh kecakapan dan kemampuan, keterampilan dan keahlian

orangnya. Termasuk ke dalam hal ini adalah persepsi, kebutuhan, sikap dan perilaku dari orang tersebut terhadap peranan yang diharapkan dari padanya. Jika timbul masalah disebabkan karena deskripsi peranan tidak jelas, maka dengan mudah dapat diketahui sumber masalahnya terletak pada organisasi tersebut.

Organisasi tidak mampu memberikan informasi yang jelas kepada pendukungnya, tentang apa dan bagaimana yang harus dimainkan. Kejadian seperti ini barangkali karena tujuannya tidak jelas, misinya kabur, dan norma aturannya tidak menentu. Mungkin juga karena caliber dan kualitas kepemimpinan kurang mampu mendeskripsikan misi, tujuan dan norma organisasi ke dalam peran-peran tertentu.

2.1.2 Definisi Pernikahan / Perkawinan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “Kawin” yang artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Pernikahan atau perkawinan merupakan salah satu jalan atau suratan hidup yang dialami oleh hampir semua manusia dimuka bumi ini walaupun ada beberapa diantaranya yang tidak terikat dengan perkawinan sampai ajal menjemput.

Semua agama resmi di Indonesia memandang perkawinan sebagai sesuatu yang sakral, harus dihormati dan harus dijaga kelanggengannya. Oleh karena itu, setiap orang tua merasa tugasnya sebagai orang tua telah

selesai bila anaknya telah memasuki jenjang perkawinan dan tanggung jawab diserahkan kepada pihak suami.

Konsep dan definisi Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974:

1. Perkawinan adalah suatu ikatan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Untuk laki-laki minimal sudah berusia 19 tahun dan untuk perempuan harus sudah berusia minimal 16 tahun.

3. Jika menikah usia dibawah 21 tahun harus disertai ijin kedua atau salah satu orang tua atau yang ditunjuk sebagai wali.

Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan Bab II Pasal 7 Ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun. Adapun anjuran melaksanakan nikah dalam sudut pandang agama mengandung beberapa tujuan baik, tujuan yang bersifat fisik maupun yang bersifat moral.

Tujuan yang bersifat fisik adalah untuk menyalurkan hasrat biologis terhadap lawan jenis dan juga mengembangkan keturunan sebagai pelanjut tugas kekhalifahan manusia dimuka bumi. Adapun tujuan moral

dari pernikahan adalah untuk melakukan pengabdian kepada Tuhan dengan sebaik-baiknya dan dengan pengabdian ini akan diharapkan adanya intervensi dalam kehidupan berkeluarga yang akhirnya akan melahirkan generasi-generasi yang taat dan shalih.

Menurut Puspitasari dalam Jamali. A (2006), mengungkapkan bahwaperkawinan adalah:

“Suatu ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita, hidup bersama dalam rumah tangga, melanjutkan keturunan menurut ketentuan hukum syariat islam”.

Sedangkan Bernard (1972), mengatakan pernikahan biasanya digambarkan sebagai berikut:

“Bersatunya dua individu, tetapi pada kenyataannya adalah persatuan dua sistem keluarga secara keseluruhan dan pembangunan sebuah sistem ketiga yang baru. Beberapa ahli pernikahan dan keluarga percaya bahwa pernikahan mencerminkan fenomena yang berbeda-beda bagi perempuan dan laki-laki yang membuat kita perlu memisahkan pembahasan saat mencerminkan pernikahan laki-laki dan pernikahan pada perempuan”.

Santrock (1995), mengemukakan pernikahan sebagai berikut:

“Dalam masyarakat Amerika Serikat, perempuan telah mengantisipasi pernikahan dengan antusianisme yang lebih besar dan harapan yang lebih positif dibandingkan laki-laki”.

Di Indonesia peraturan mengenai pernikahan juga telah diatur sedemikian rupa dalam satu wadah yaitu di dalam undang-undang perkawinan, suami dan istri memiliki kewajiban dan hak yang sesuai dengan kedudukannya masing-masing. Hal ini tertuang di dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Bab VI mengenai hak dan

kewajiban suami istri yang menyatakan bahwa di dalam rumah tangga suami dan istri memiliki hak dan kedudukan yang sama, tetapi suami tetap sebagai kepala rumah tangga dan istri tetap sebagai ibu rumah tangga. Suami istri wajib untuk saling mencintai dan menghormati, suami berkewajiban melindungi istri dan memenuhi semua kebutuhan di dalam rumah tangganya dan istri berkewajiban untuk mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

2.1.3 Definisi Pernikahan Dini

Ada banyak pengertian pernikahan dini, disini penulis akan menyebutkan dua diantaranya. Yang pertama yaitu menurut Prof. Dr. Sarlito Wirawan. Beliau mengatakan pernikahan dini adalah sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan yang sangat kuat, sebagai sebuah solusi alternative. Sedangkan Al-Qur’an mengistilahkan ikatan pernikahan dengan “mistaqan ghalizhan”, artinya perjanjian kokoh atau

agung yang diikat dengan sumpah, (Luthfiyah, 2008).

Sedangkan menurut Muhammad M. Dlori (2005), mengemukakan pernikahan dini adalah sebagai berikut:

“Pernikahan dini merupakan sebuah perkawinan dibawah umur yang target persiapannya belum dikatakan maksimal, persiapan fisik, persiapan mental, juga persiapan materi. Karena demikian inilah maka pernikahan dini bisa dikatakan sebagai pernikahan yang terburu-buru, sebab segalanya belum dipersiapkan secara matang”.

masa pubertas, hal ini terjadi karena remaja sangat rentan perilaku sexsual. Pernikahan muda juga sering terjadi karena remaja berpikir secara emosional untuk melakukan pernikahan, mereka berpikir telah saling mencintai dan siap untuk menikah. Beberapa pendapat mengenai pernikahan dini lainnya yakni:

1. Menurut UU Negara

Pengertian Pernikahan Dini menurut UU Negara / UU Perkawinan Bab 11 Pasal 7 Ayat 1 menyatakan bahwa: Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria dapat mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun. Jadi, jika masih dibawah umur tersebut, maka dinamakan pernikahan dini.

2. Menurut Sudut Pandang Kedokteran

Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan.

3. Menurut Pakar Sosiolog

Melihat dari sisi sosiolog/social, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal tersebut disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. 4. Menurut Islam

Adapun pernikahan dini menurut agama Islam, yakni pernikahan yang dilakukan oleh orang-orang yang belum baligh. Jadi, bagi yang belum baligh yang kemudian melakukan pernikahan sebelum itu, maka hal tersebut tentu dikatakan sebagai pernikahan dini.

Menurut Alfiyah (2010), ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya pernikahan usia muda yang sering dijumpai dilingkungan masyarakat kita, yaitu:

a. Ekonomi

Pernikahan usia muda terjadi karena adanya keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tua, maka anak perempuannya dinikahkan dengan orang yang dianggap mampu. b. Pendidikan

Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan untuk segera menikahkan anaknya yang masih dibawah umur.

c. Faktor Orang Tua

Orang tua khawatir terkena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sudah terlalu dekat, sehingga segera ingin menikahkan anaknya.

d. Media Massa

Gencarnya expose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian ingin mencoba terhadap seks.

e. Faktor Adat

Pernikahan usia muda terjadi karena orang tua khawatir jika anak perempuannya dikatakan perawan tua sehingga segera dinikahkan. f. Keluarga Cerai (Broken Home)

Banyak anak-anak korban perceraian terpaksa menikah secara dini karena berbagai alasan, misalnya: tekanan ekonomi, untuk meringankan beban orang tua tunggal, membantu orang tua, mendapatkan pekerjaan, meningkatkan taraf hidup, dsb.

2.1.3.1 Akibat Pernikahan Dini

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, Ahmad (1996) mengemukakan akibat pernikahan dini sebagai berikut:

“Resiko diartikan sebagai bahaya/kerugian/kerusakan. Sedangkan

pernikahan diartikan sebagai suatu perkawinan, sementara “dini” yaitu

awal / muda. Jadi perkawinan dini merupakan perkawinan yang dilakukan pada usia yang masih muda yang dapat merugikan (Anonymous, 2013)”.

Nikah usia dini pada wanita tidak hanya menimbulkan persoalan hukum, melanggar undang-undang tentang pernikahan, perlindungan anak dan Hak Asasi Manusia, tapi juga menimbulkan persoalan yang bisa menjadi peristiwa traumatik yang akan menghantui seumur hidup dan timbulnya persoalan resiko terjadinya penyakit pada wanita serta resiko tinggi berbahaya saat melahirkan, baik pada si ibu maupun pada anak yang dilahirkan.

Menurut Kawakib (2009), mengemukakan mengenai resiko penyakit menikah di usia dini:

“Resiko penyakit akibat menikah di usia dini beresiko tinggi terjadinya panyakit kanker leher rahim, neoritis depesi, dan konflik yang berujung perceraian”.

Menurut Lenteraim (2010), pernikahan dini memiliki beberapa dampak sebagai berikut:

1. Kesehatan Perempuan

a. Kehamilan dini dan kurang terpenuhinya gizi bagi dirinya sendiri.

b. Resiko anemia dan meningkatnya angka kejadian depresi. c. Beresiko pada kematian usia dini.

d. Meningkatnya Angka Kematian Ibu (AKI).

e. Study epidemiologi kanker serviks: resiko meningkat lebih dari 10x bila jumlah mitra seks 6/lebih atau bila berhubungan seks pertama dibawah usia 15 tahun.

f. Semakin muda wanita memiliki anak pertama, semakin rentan terkena kanker serviks.

g. Resiko terkena penyakit menular seksual. 2. Kualitas Anak

a. Bayi berat lahir rendah (BBLR) sangat tinggi, adanya kebutuhan nutrisi yang harus lebih banyak untuk kehamilannya dan kebutuhan pertumbuhan ibu sendiri.

b. Bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang berusia di bawah 18 tahun rata-rata lebih kecil dan bayi dengan BBLR memiliki kemungkinan 5-30x lebih tinggi untuk meninggal.

3. Keharmonisan Keluarga dan Perceraian

a. Banyaknya pernikahan usia muda berbanding lurus dengan tingginya angka perceraian.

b. Ego remaja yang masih tinggi.

c. Banyaknya kasus perceraian merupakan dampak dari mudanya usia pasangan bercerai ketika memutuskan untuk menikah. d. Perselingkuhan.

e. Ketidakcocokan hubungan dengan orang tua maupun mertua. f. Psikologis yang belum matang, sehingga cenderung labil dan

emosional.

g. Kurang mampu untuk bersosialisasi dan adaptasi

Oleh karena itu, pemerintah mendorong masa hamil sebaiknya dilakukan pada usia 20-30 tahun. Dari segi mental pun, emosi remaja belum stabil. Kestabilan emosi umumnya terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat itulah orang mulai memasuki usia dewasa. Masa remaja, boleh dibilang baru berhenti pada usia 19 tahun. Dan pada usia 20-24 tahun dalam psikologis, dikatakan sebagai usia dewasa muda atau lead edolesen. Pada masa ini biasanya mulai timbul tradisi dari gejolak remaja ke masa dewasa yang lebih stabil. Maka, kalau pernikahan dilakukan di bawah umur 20 tahun secara emosi si remaja masih ingin berpetualang menemukan jati dirinya

2.1.3.2 Resiko Kehamilan Usia Dini

Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2005, usia untuk hamil dan melahirkan adalah 20 sampai 30 tahun atau kurang dari usia tersebut adalah beresiko. Kesiapan seorang perempuan untuk hamil dan melahirkan atau mempunyai anak ditentukan oleh kesiapan dalam tiga hal, yaitu kesiapan fisik, kesiapan

mental/emosi/psikologi dan kesiapan sosial/ekonomi. Secara umum, seorang perempuan dikatakan siap secara fisik jika telah menyelesaikan pertumbuhan tubuhnya (ketika tubuhnya berhenti tumbuh), yaitu sekitar usia 20 tahun. Sehingga usia 20 tahun bisa di jadikan pedoman kesiapan fisik.

Penyulit pada kehamilan pada remaja, lebih tinggi dibandingkan

“kurun waktu reproduksi sehat” antara umur 20 sampai 30 tahun.

Keadaan ini disebabkan belum matangnya alat reproduksi untuk hamil, sehingga dapat merugikan kesehatan ibu dan belum mampu untuk perkembangan dan pertumbuhan janin. Keadaan tersebut akan makin menyulitkan bila ditambah dengan tekanan (stress) psikologi, sosial, ekonomi, sehingga memudahkan terjadinya keguguran, persalinan prematur, berat badan lahir rendah (BBLR) dan kelainan bawaan dan mudah terjadi infeksi (Manuaba, 1998).

2.1.4 Definisi Keluarga

Dokumen terkait