• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Ilmu Qira>’a>t

1. Definisi Qira>’a>t

BAB II

EKSISTENSI QIRA<<’AH GANDA

A. Ilmu Qira>’a>t

Ilmu qira>’a>t dalam Islam merupakan ilmu terpenting di antara ilmu-ilmu yang lainnya, karena peran dan sumbangsihnya yang begitu besar dalam segala bidang keilmuan yang berkaitan dengan agama, khususnya di bidang ilmu nah}w, s}arf dan tafsir al-Qur’an.

1. Definisi Qira>’a>t

Sebelum membahas tentang cikal bakal ilmu qira>’a>t secara umum perlu kiranya memberikan definisi tentang ilmu qira>’a>t. Secara etimologi, lafaz qira>’a>t (

داءاشل

) adalah bentuk jamak dari qira>’ah (

حءاشل

) yang merupakan isim mas}dar dari qara’a (

أشل

), yang berarti: ‚bacaan‛. Yang dimaksudkan di sini adalah perbedaan-perbedaan dalam bacaan sebagian dari ayat-ayat al-Qur’an.

Sedangkan secara terminologi, terdapat berbagai ungkapan atau redaksi yang dikemukakan oleh para ulama sehubungan dengan pengertian qira>’a>t. Imam al-Zarkashi> misalnya, mengemukakan pengertian qira>'a>t yaitu:1

ٍفْ١ِفْخَر ِِْٓ بَِٙزَ١ِفْ١َو َْٚأ ِف ْٚ ُشُذٌْا ِخَثبَزِو ِٟف ِس ُْٛوْزٌَّْا ِْٟد ٌَْٛا ِظبَفٌَْأ ُف َلَِزْخا َِٟ٘ ُداَءا َشِمٌْا َٚ

ًٍْ١ِمَْْر َٚ

بَِّ٘ ِشْ١َغ َٚ

‚Qira>’a>t yaitu perbedaan lafaz-lafaz wahyu (al-Qur’an) dalam hal penulisan hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfîf, tathqi>l, dan lain-lain‛.

1Badr al-Di>n Muhammad b. ‘Abd Alla>h al-Zarkashi, al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n.Vol.1 (Beirut: Da>r al-Fikr,1988), 318.

28

Dalam rumusan definisi di atas, al-Zarkashi> berpendapat bahwa qira>’a>t merupakan sebagai sistem penulisan huruf dan pengucapan huruf-huruf dalam ayat-ayat al-Qur’an. Dalam definisinya, al-Zamah}shar> tanpa menyebutkan sumber riwayat qira>’a>t.

Menurut al-Dimyat}i>, sebagaimana dikutip oleh ‘Abdul Ha>di> al-Fad}li>, definisi qira>’a>t sebagai berikut2:

: ُداَءا َشِمٌْا

ِدبَجـْثِ ْلْا َٚ ِفْزَذٌْا ِٝف ٍُْٙـَف ُف َلَِزْخا َٚ ٌَٝبَـؼَر ِالله ِةبَزِىٌِ َْٓ١ٍِـِلبٌَّٕا ُقبَفـِّرا ُِِْٕٗ ٍَُُْؼُ٠ ٌٍُِْػ

ِٖ ِشْ١َغ َٚ ِياَذْثِ ْلْا َٚ ِكْطـٌُّٕا ِخَئـْ١َ٘ ِِْٓ َهٌَِر ِشْ١َغ َٚ ًِْص ٌَْٛا َٚ ًِْصَفٌْا َٚ ِْٓ١ِىْضـَّزٌا َٚ ِهْ٠ ِشْذـَّزٌا َٚ

ِِْٓ

ِعبَِّّضٌا ُثْ١َد

‚Qira>’a>t yaitu suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang di-ikhtila>f-kan oleh para ahli qira>’a>t, seperti h}adhf (membuang huruf), ithba>t (menetapkan huruf), tah}ri>k (memberi harakat), taski>n (memberi tanda sukun), fas}l (memisahkan huruf), was}l (menyambungkan huruf), ibda>l (menggantikan huruf atau lafadz tertentu), dan lain-lain yang diperoleh melalui indra pendengaran.‛

Imam Shiha>b al-Di>n al-Qustulla>ni> mengemukakan pendapat yang senada dengan al-Dimyat}i>3:

ْثِ ْلْا َٚ ِفْزَذٌْا َٚ ،ِةا َشْػِ ْلْا َٚ ِخـَغٌٍُّا ِٝف ُُُْٙف َلَـِزْخا َٚ ُُُْٙلبَفـِّرا ُُِِْْٕٙ ُف َشْؼُ٠ ٌٍُِْػ : ُداَءا َشِمٌْا

،ِدبَجـ

ًِـْمٌَّٕا ُثْ١َد ِِْٓ ،ًِـْص ٌَْٛا َٚ ًِـْصَفٌْا َٚ

‚Qira>’a>t yaitu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli qira>’a>t (tentang cara-cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an), seperti yang menyangkut aspek kebahasaan, i’ra>b, h}adhf, ithba>t, fas}l, was}l, yang diperoleh dengan cara periwayatan.‛

Imam Ibn al-Jazari>. (w. 833 H.) memberikan definisi ilmu qira>’a>t dalam kitabnya ‚Munjid al-Muqri’i>n‛4

2 ‘Abd al-Hadi al-Fad}li>, al-Qira>’a>t al-Qur’a>niyyah. (Beirut: Da>r al-Majma’ al-‘Ilmi, 1979), 63. 3 Shiha>b al-Di>n al-Qust}ula>ni>, Lat}a>if al-Isha>ra>t li Funu>n al-Qira>’a>t. (Kaero:Da>r al-‘Ilm, 1985 ), 170.

29

ٍِِِٗلبٌَِٕ ا ًّٚ ُزْؼَِ بَُٙف َلَِزْخا َٚ ِْاَء ْشُمٌْا ِظبَفٌَْأِث ِكْطٌُّٕا ُخَ١ِفْ١َو ِِٗث ُف َشْؼُ٠ ٌٍُِْػ

‚Ilmu Qira>’a>t adalah satu cabang ilmu untuk mengetahui cara mengucapkan kalimat-kalimat al-Qur’an dan perbedaannya dengan menisbatkan bacaan-bacaan tersebut kepada para perawinya.‛

Di samping itu, ada pula ulama yang mengaitkan definisi qira>’a>t dengan madzhab atau imam qira>’a>t tertentu yang memiliki bacaan yang berbeda dengan madzhab yang lain, misalnya al-Qat}t}a>n merumuskan definisi qira>’a>t 5

ِخَِّّئَ ْلْا َِِٓ ٌَبَِِئ ِِٗث ُتَْ٘زَ٠ ِْآ ْشُمٌْا ِٟف ِكْطٌُّٕا ِتِ٘اَزَِ ِِْٓ ٌتَْ٘زَِ : ُداَءا َشِمٌْا

ُفٌِبَخُ٠ بًجَْ٘زَِ ءا َّشُمٌْا

.ُٖ َشْ١َغ

‚Qira>’a>t adalah satu madzhab tertentu dari beberapa madzhab cara mengucapkan kalimat-kalimat al-Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qira>’a>t yang berbeda dengan madzhab lainnya.‛

Sedangkan Muhammad ‘Ali> al-S{abu>ni> menambahkan definisi qira>’a>t sebagai berikut:6

ِءا َّشُمٌْا ِخَّّـِئَ ْلْا َِِٓ َُبـَِِ ْلْا ِٗـِث ُتَْ٘زَ٠ ِْاَء ْشُمٌْا َِِٓ ِكْطـٌُّٕا ِتِ٘اَزَِ ِِْٓ ٌتَْ٘زَِ : ُداَءا َشِمٌْا

بـًجَْ٘زَِ

ِْأ ْشُمٌْبِث ِكـْطٌُّٕا ِٝف ُٖ َشْ١َغ ُفٌِبـَخُ٠

ُالله ٍََّٝص ِالله ِي ُْٛص َس ٌَِٝا بَِ٘ذـْ١ِٔبَصَأـِث ٌخـَزِثبـَث َِٟ٘ َٚ ُِـْ٠ ِشَىٌْا

ٍََُّـَص َٚ ِٗـْ١ٍََػ

‚Qira>’a>t ialah suatu madzhab atau cara tertentu dalam cara pengucapan al-Qur’an yang masing-masing imam itu memilih satu cara yang berbeda dengan yang lainnya, berdasarkan sanad-sanadnya yang bersambung sampai kepada Rasulullah saw.‛

4 al-Jazari>, Munjid al-Muqri’i>n wa Murshid al-T{a>libi>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1980), 3.

5 al-Qat}t}a>n, Manna>’, Maba>h}ith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 171.

66 al-S}a>buni>, Muh}ammad ‘Ali> al-S}abu>ni>, al-Tibya>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Fikr, 1998), 98.

30

Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama di atas, nampak jelas bahwa qira>’a>t al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad saw. melalui cara sima>‘i> dan naqli>. Sima>‘i> adalah qira>’a>t al-Qur’an yang diperoleh secara langsung melalui proses mendengar dari bacaan Nabi saw. Sedangkan naqli> diperoleh melalui riwayat yang menyatakan bahwa qira>’a>t al-Qur’an itu dibacakan di hadapan Nabi saw., lalu beliau membenarkannya.

Definisi di atas juga memberikan tekanan pada empat persoalan pokok yaitu;

pertama: ilmu qira>’a>t adalah ilmu yang terkait dengan teks-teks al-Qur’an dari segi cara pengucapannya. Hal ini berbeda dengan ilmu tafsir yang menganalisa makna yang ada di balik teks-teks al-Qur’an. Ilmu qira>’a>t sangat mengandalkan oral (lisan) untuk mengucapkan kalimat-kalimat al-Qur’an dalam semua seginya, seperti pengucapan huruf, baik dari segi makhraj dan sifatnya, hukum-hukum tajwid seperti idgha>m, iqla>b, ikhfa>’, idzha>r dan lain sebagainya, sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Nabi kepada para sahabatnya. Hal ini berbeda dengan membaca teks lain selain al-Qur’an, seperti membaca teks hadits Nabi yang tidak mengharuskan cara-cara seperti melafalkan al-Qur’an. Dengan demikian ilmu qira>’a>t sangat terkait dengan tat}bi>q (praktik) membaca. Mungkin banyak orang yang mengerti teori ilmu qira>’a>t, tapi pada akhirnya dia harus juga pandai mempraktikkan teori tersebut dengan baik dan benar. Benarlah apa yang dikatakan oleh Ibn al-Jazari> dalam matan ‚al-Jazari>yyah‛:7

ِِّٗىَفِث ٍب ِشِْا ٌخَضبَ٠ ِس َّلِْا ِِٗو ْشَر َْٓ١َث َٚ َُْٕٗ١َث َشْ١ٌَ َٚ

7 Ibn al-Jazari>, Muhammad b. Muhammad, Manz}u>mah al-Muqaddimah Fi>ma> Yajibu ‘Ala> Qa>ri’ al-Qur’an an Ya‘lamah (Jeddah: Markaz Waqf al-Mus}h}ah al-Shari>f, 2015), 4.

31

‚Hubungan timbal balik antara seseorang dengan ilmu qira>’ah adalah jika dia terus menerus menggerak-gerakkan mulutnya (mempraktikkan bacaan).‛

Kedua: ilmu qira>’a>t sangat terkait dengan ‚Arabisme‛. Hal ini tidak bisa disangkal lagi karena al-Qur’an diturunkan di Jazirah Arab, kepada nabi yang berbangsa Arab, dan kaum yang juga berbangsa Arab. Bahasa yang digunakan juga bahasa Arab, maka cara pengucapan kalimat-kalimat al-Qur’an juga mengacu kepada cara orang Arab melafalkan kalimat-kalimat Arab. Bagi bangsa non-Arab, pada saat melafalkan al-Qur’an harus menyesuaikan diri dengan cara yang digunakan oleh orang Arab yang fasih dalam membaca, lalu dipadukan dengan cara yang diajarkan oleh nabi kepada para sahabat-sahabatnya. Seorang qari>’ atau qari>’ah yang mahir adalah mereka yang mampu melafalkan al-Qur’an secara tepat, seakan-akan dia adalah orang Arab yang tidak kelihatan lagi ‚lahjah ‘ajamiyyah-nya atau lagam ‘ajam-nya.

Ketiga, ilmu qira>’a>t adalah termasuk dalam komponen ilmu riwayah yang sudah given (sudah jadi) yaitu ilmu yang diperoleh melalui periwayatan dari satu syeikh (pakar Ilmu qira>’a>t) ke syeikh yang lain secara berkesinambungan dan terus menerus sampai kepada Nabi Muhammad saw. Hal ini berbeda dengan Ilmu Tafsir yang tugasnya menganalisa teks-teks al-Qur’an dari segi maknanya. Pada saat menganalisa teks-teks tersebut disamping merujuk kepada hadis nabi, perkataan sahabat, juga melalui daya ijtihad, dan kreatifitas seorang mufassir. Hasil ijtihad seorang mufassir jika berlandaskan kepada kriteria penafsiran al-Qur’an yang telah disepakati, walaupun berbeda dengan hasil ijtihad penafsir yang lain, dan walaupun tidak berlandaskan satu periwayatan dari Nabi, masih bisa ditolelir dan bisa diterima. Hal ini berbeda dengan ilmu qira>’a>t yang sama

32

sekali tidak menerima adanya perbedaan karena berdasarkan ijtihad atau qiyas. Perbedaan bacaan hanya bisa diterima jika benar-benar berasal dari nabi saw. Imam al-Sha>t}ibi> berkata dalam kitabnya H{irz al-Ama>ni>;8

َخْذَِ ِحَءا َشِمٌْا ِٝف ٍسبَ١ِمٌِ بَِ َٚ

ًلَِّفَىَزُِ بَض ِّشٌا ِْٗ١ِف بَِ َهـَٔ ُْٚذَف ًُــــ

‚Tidak ada tempat pijakan atau pintu masuk bagi qiya>s atau ijtihad dalam ilmu qira>’a\>t. Terimalah dengan lapang dada apa yang ada pada qira>’a>t.‛ Dengan adanya ‚silsilah sanad‛ dalam ilmu qira>’a>t, maka al-Qur’an masih tetap dalam orisinilitas dan kemurniannya. Inilah sesungguhnya urgensi mempelajari Ilmu qira>’a>t.

Keempat, ilmu qira>’a>t sangat terkait dengan rasm Uthma>ni, karena rasm ini pada dasarnya telah didesain oleh khalifah Uthma>n b. ‘Affan dan disepakati oleh seluruh sahabat untuk menyatukan umat dengan satu jenis rasm mushaf akan tetapi dapat mencakup seluruh macam qira>’a>t yang telah disampaikan oleh rasul saw. hingga diterima oleh umat. Oleh karena itu, qira>’ah dianggap sah jika setiap bacaan selalu mengacu kepada Mush}af al-Qur’an yang telah mendapatkan persetujuan dan ijma’ para sahabat nabi.

Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qira>’a>t yang harus diketahui. Kata kunci tersebut adalah qira>’a>t, riwayat dan t}ari>qah (jalur atau posisinya sebagai muridnya ra>wi> qira>’a>t). Berikut ini pemaparan dari pengetian dan perbedaan antara qira>’a>t dengan riwayat dan t}ari>qah. qira>’ah adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang imam dari qurra>’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas; seperti qira>’ah Nafi>’, qira>’ah Ibn Kathi>r, qira>’ah Ya’qub dan lain sebagainya.

33

Sedangkan riwayat adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang perawi dari para qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Nafi’ mempunyai dua orang perawi, yaitu Qalun dan Warsh, maka disebut dengan riwayat Qalun ‘an Nafi’ atau riwayat Warsh ‘an Nafi’.

T{ari>qah adalah bacaan yang disandarkan kepada orang yang mengambil qira>’ah dari periwayat qurra>’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Warsh mempunyai dua murid yaitu al-Azraq dan al-Ashbaha>ni>, maka disebut t}ari>q al-Azraq ‘an Warsh, atau riwayat Warsh min t}ari>q al-Azraq. Bisa juga disebut dengan qira>’a>h Nafi’ min riwa>yat Warsh min t}ari>q al-Azraq.