• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Ilmu Qira>’a>t

2. Klasifikasi Qira>’ah Ganda dalam Penafsiran al-Qur’an

71

Kemudian dari jumlah 99 kalimat yang memiliki makna ganda karena adanya bacaan ganda, terbagi pula menjadi dua pembahasan, yaitu antara pembahasan yang meliputi masalah aqidah dan masalah hukum. Adapun kalimat yang memiliki kandungan ganda dari masalah hukum (fiqih) terdiri dari 45 kalimat, sedangkan sisanya 54 kalimat mengandung makna ganda ada pada pembahasan terkait dengan aqidah.

2. Klasifikasi Qira>’ah Ganda dalam Penafsiran al-Qur’an

Sebagaimana diketahui bahwa al-Qur’an adalah sumber dalam segala bidang ilmu agama yang meliputi dari tiga aspek yaitu aqidah, shari>’at dan akhlaq38. Dari masing-masing tiga aspek tersebut, tidak bisa terlepas dari adanya qira>’ah ganda. Hanya saja, tidak semua perbedaan qira>’ah yang ada pada tiga aspek tersebut memiliki kandungan makna ganda atau lebih.

Para ulama sudah sepakat, bahwa perbedaan makna dari adanya perbedaan qira>’ah itu, hanya terjadi pada bab syari’ah atau yang disebut dengan masalah furu>’iyyah, dan tidak terjadi pada masalah us}u>liyyah (pokok dasar dalam Islam) yang menyangkut pada masalah akidah dan akhlaq. Seperti contoh dalam masalah aqidah, pada kalimat

نوػتغاـ

39 terdapat qira>’ah ganda pada lafadz ini, yaitu bacaan ithba>t al-Ya>’ (yang disebut dengan ya’ id}a>fah) dan bacaan hadhf

38Sebagaimana terkandung dalam surat al-Fatihah yang merupakan umm al-Kita>b. Ayat pertama hingga ayat keempat Allah menjelaskan tentang masalah iman atau aqidah. Kemudian

pembahasan kedua dimulai dari ayat kelima dan keenam berkaitan dengan ibadah dan doa. Dan pembahasan terakhir terkait dengan akhlak orang-orang mukmin yang harus ditiru oleh umat bukan akhlak buruknya orang-orang yang dimurkai dan tersesat jalan. Lihat surat al-Fatihah: 1-7 oleh: Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Perkata. ( Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009) 1.

72

(terbuangnya huruf ya’), dari dua bacaan tersebut sama sekali tidak ada yang mengandung unsur makna yang berbeda, akan tetapi dua qira>’ah tersebut lebih mengarah pada tibya>n atau tafsir pada penyempurnaan makna. Yang berarti ‚beribadahlah kalian kepadaku‛.

Pada contoh lafadz diatas, tidak ada satu pun riwayat qira>’ah yang membaca nu>n dengan panjang (mutakallim ma’a al-Ghoir), sehingga dapat mengarah pada terjadinya perbedaan makna yang signifikan (dalam hal ini, mustahil itu terjadi), jika dipanjangkan nu>n nya

ْٚذجػبف

maka akan dapat merusak akidah seseorang. Karena masalah ibadah dalam al-Qur’an berbeda dengan muamalah atau pertolongan, ibadah dalam al-Qur’an Allah swt. selalu menggunakan kata mufrad (tunggal) yang menunjukkan arti ‚Aku‛, sedangkan masalah muamalah atau pertolongan Allah kepada hambaNya kebanyakan menggunakan kata mutakallim ma‘a al-ghair yang menunjukkan arti ‚Kami‛.

Sebagaimana qira>’ah ganda yang tidak berimplikasi pada makna ganda dalam masalah akidah, begitu pula halnya dengan qira>’ah ganda yang berkaitan dengan masalah akhlaq. Seperti contoh, kata

ٌّْٛأر

dengan menggunakan huruf hamzah suku>n setelah huruf ta>’ dari firman Allah dalam surat al-Nisa:104, yang berarti ‚ Jika kalian menderita kesakitan (karena kekalahan dalam perang uhud), maka ketahuilah, bahwa mereka (kaum kafir) pun dulu pernah mengalami kesakitan serupa (karena itu, bersabarlah)‛. Pada kalimat seperti ini, tidak ada satupun umat yang membaca hamzah pada kalimat ini dengan huruf ‘ain:

ٍّْٛؼر

.

73

Karena jika dirubah menjadi huruf ‘ain, maka maknanya pun akan berubah. Dalam hal ini, mustahil terjadi dalam al-Qur’an.40

Oleh karena itu, perbedaan bacaan yang menyangkut masalah akidah dan akhlak sebenarnya terjadi hanyalah untuk menambahkan penafsiran dan baya>n atas ayat lain yang memiliki kandungan makna yang sangat dalam atau hanya terbatas seputar perbedaan bacaan dari sisi lughawi atau lahjah semata, bukan seperti pada masalah furu>‘iyyah yang bisa mendatangkan perbedaan dalam berijtihad. Sehingga jelaslah, bahwa pengaruh adanya qira>’ah ganda pada perbedaan makna tidak terjadi pada masalah akidah dan akhlaq, akan tetapi perbedaan makna akibat dari adanya qira’ah ganda itu hanya terjadi seputar masalah furu>‘iyyah pada kaifiyyah ibadah.

Atas dasar inilah, penulis tidak akan membahas penafsiran qira>’ah ganda pada dua masalah tersebut (aqidah dan akhlak), akan tetapi terfokus pada penelitian seputar penafsiran ayat-ayat hukum dalam masalah furu>’iyyah sebagai implikasi dari qira>’ah ganda atas penafsiran al-Ra>zi> dan al-T{abari>.

Meskipun demikian, ada pula dari kalangan sebagian ulama (antara lain al-T{abari>) yang tidak membatasi adanya perbedaan makna karena perbedaan bacaan hanya seputar masalah furu>’iyyah semata yang disebabkan dari adanya qira>’ah ganda, namun juga bisa terjadi pada masalah us}u>liyyah. Hal ini terbukti, adanya sikap al-T{abari yang mempermasalahkan adanya qira>’ah ganda pada

40 Sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Allah akan tetap terjaganya al-Qur’an dari ikhtila>f al-Makna. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Nisa’: 82 yang artinya: ‚tidakkah mereka memahami isi kandungan al-Qur’an? (ketahuilah) sekiranya al-Qur’an ini datang dari sisi selain Allah, sungguh mereka akan mendapati di dalamnya ikhtilaf kathira (benturan dan perselisihan makna yang banyak. Hal ini sama sekali tidak terjadi dalam al-Qur’an)‛.

74

kalimat penutup ayat pertama dari surat al-Nisa>':

"َبدسلْاٚ".

41 Pada kalimat ini terdapat qira’ah ganda, antara jumhur qurra>’ yang membaca fath}ah-nya huruf mi>m pada kata

َبدسلْاٚ

dan Ibn ‘Amir yang membaca kasrah.42 Dari qira>’ah ganda ini, melahirkan makna yang berbeda dan mengarah pada perbedaan pandangan diantara ulama tafsir apakah memasukkan kalimat ini pada kategori masalah furu>‘iyyah ataukah us}u>liyyah. Karena itu, jika ditinjau dari segi makna antara fath}ah dan kasrah memiliki makna yang berbeda.43

Dari pembahasan diatas jelaslah, bahwa perbedaan yang ditoleransi dalam Islam secara mufakat menurut kalangan para ulama adalah perbedaan dalam masalah furu>’iyyah yang ada pada berbedaan qira>’ah di ayat-ayat hukum. Jika terjadi masalah aqi>dah atau yang disebut dengan masalah us}u>liyyah, maka perbedaan itu harus dihindari. Kecuali jika perbedaan dalam menempatkan posisi ayat, apakah masuk dalam kategori furu>’iyyah atau us}u>liyyah seperti perbedaan sikap antara ulama’ terkait dengan adanya qira>’ah ganda ayat pertama dari surat al-Nisa>’ seperti yang telah disebutkan di atas.