• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA ................................................................ 16-41

2.2 Religiusitas

2.2.1 Definisi Religiusitas

Harun Nasution (dalam Jalaluddin, 2000), merunut pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu al-Din, religi (relegare, religere), dan agama. Al-Din (Semit) berarti undang-undang atau hukum. Kemudian dalam bahasa Arab, kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. Sedangkan dari kata religi (latin) atau relegare berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudianreligareberarti mengikat. Adapun kata agama tediri dari a = tidak; gam= pergi mengandung arti tidak pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun temurun.

Bertitik tolak dari pengertian kata-kata tersebut menurut Harun Nasution, intisarinya adalah ikatan. Karena itu agama mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan dimaksud berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia sebagai kekuatan gaib yang tak dapat ditangkap dengan pancaindera, namun mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari (dalam Jalaluddin, 2000). Sedangkan menurut Thouless (1995) agama adalah hubungan praktis yang dirasakan dengan apa yang dipercayai sebagai makhluk atau wujud yang lebih tinggi dari manusia.

Nashori & Mucharam (2002), mengemukakan bahwa ciri umum agama adalah adanya keyakinan terhadap Tuhan dan adanya aturan tentang perilaku hidup manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, dikenal istilah religi (religio, bahasa latin; religion, bahasa Inggris), agama, dan din (al-diin, bahasa Arab). Glock & Stark menandaskan bahwa religi adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang paling maknawi (dalam Nashori & Mucharam, 2002).

Dari istilah agama dan religi muncul istilah keberagamaan dan religiusitas (religiosity). Pengertian religiusitas adalah seberapa jauh pengetahuan, kokohnya keyakinan, pelaksanaan ibadah dan kaidah, serta penghayatan atas agama yang dianutnya (Nashori, 2002).

Religiusitas dapat mempengaruhi manusia dalam bertindak dan bertingkah laku, semakin kuat religiusitas seseorang, semakin kuat pula seseorang tersebut dalam mengontrol setiap tindakan dan tingkah lakunya (Thouless, 1995).

Menurut Glock and Stark (1974) ada lima macam dimensi keberagamaan, yaitu dimensi keyakinan, dimensi peribadatan atau praktek agama (ritualistik), dimensi pengalaman (eksperiensial), dimensi pengetahuan agama (intelektual) dan dimensi pengamalan (konsekuensial).

Menurut Fetzer (1999) definisi religiusitas adalah seberapa kuat individu penganut agama merasakan pengalaman beragama sehari-hari (daily spiritual experience), mengalami kebermaknaan hidup dengan beragama (religion meaning), mengekspresikan keagamaan sebagai sebuah nilai (value), meyakini

ajaran agamanya (belief), memaafkan (forgiveness), melakukan praktek beragama (ibadah) secara menyendiri (private religious practice), menggunakan agama sebagaicoping (religious/spiritual coping), mendapat dukungan penganut sesama agama (religious support), mengalami sejarah keberagamaan (religious/spiritual history), komitmen beragama (commitment), mengikuti organisasi/kegiatan keagamaan (organizational religiusness) dan meyakini pilihan agamanya (religious preference).

Kendler, et al., (2003) mengukur religiusitas secara luas, dengan mencoba mengembangkan teknik analisis keberagaman menjadi lebih mudah dengan menguraikannya menjadi beberapa dimensi untuk mendapatkan hasil yang lebih representatif. Yaitu adalah perwujudan individu penganut agama yang menggambarkan, bagaimana hubungan individu dengan Tuhannya (general religiosity), bagaimana individu tersebut membina hubungannya dengan individu sesama penganut agamanya (social religiosity), segala sesuatu yang menurut manusia melambangkan Tuhan yang mencerminkan kepercayaan dan keyakinan terhadap keterlibatan Tuhan dalam urusan manusia (involved God), bagaimana mengambarkan pendekatan kepedulian, rasa kasih sayang, dan saling memaafkan pada dunia (forgiveness), mengambarkan kekuasaan yang dimiliki Tuhan (God as

judge), mengambarkan perilaku individu yang tidak mendendam

(unvengefulness), dan bagaimana individu mengambarkan rasa syukur nya (thankfulness).

Dapat disimpulkan, religiusitas adalah perwujudan individu penganut agama dalam merefleksikan bagaimana hubungan individu dengan Tuhannya,

bagaimana individu dalam membina hubungan dengan individu lain maupun sesama penganut agamanya, bagaimana individu melambangkan Tuhannya yang mencerminkan kepercayaan dan keyakinannya terhadap keterlibatan Tuhan dalam urusannya, bagaimana individu menggambarkan pendekatan kepedulian; rasa kasih sayang; dan saling memaafkan terhadap sekitar, bagaimana individu menggambarkan kekuasaan yang dimiliki Tuhan dan mempersepsi bahwa Tuhan lah sebagai Penetap Takdir, bagaimana individu menggambarkan perilaku yang tidak menyimpan rasa dendam, dan bagaimana individu tersebut bersyukur.

2.2.2 Dimensi-dimensi religiusitas

Menurut Kendler, et al. (2003), dalam jurnal Dimension of Religiosity and Their Relationship to Lifetime Psychiatric and Substance Use Disorders, ada tujuh dimensi religiusitas, yaitu:

1. Dimensi religiusitasgeneral religiosity

Dimensi yang pertama ini adalah dimensi yang menggambarkan bagaimana hubungan individu dengan Tuhannya. Dimensi general religiosity

merefleksikan tentang perhatian dan keterlibatan individu dengan hal-hal yang berkaitan dengan spiritual, termasuk perasaan (sense) tempat mereka selama didunia; dan keterlibatan aktif dengan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari maupun saat mengalami keadaan bermasalah (krisis).

2. Dimensi religiusitassocial religiosity

Dimensi religiusitas social religiosity adalah bagaimana individu tersebut membina hubungannya dengan individu sesama manusia, lebih khususnya dengan

sesama penganut agamanya. Dimensi ini selain merefleksikan tingkat interaksi dengan individu religious lainnya, juga menggambarkan bagaimana frekuensi kehadiran individu di tempat beribadah, dan kaitannya dengan sikap dalam memandang dan menggunakan obat-obatan terlarang.

3. Dimensi religiusitasinvolved God

Dimensi religiusitas involved God, yaitu segala sesuatu yang menurut manusia melambangkan Tuhan. Dimensi ini mencerminkan sebuah kepercayaan dan keyakinan terhadap keterlibatan Tuhan yang secara aktif dan positif dalam urusan manusia.

4. Dimensi religiusitasforgiveness

Dimensi religiusitas forgiveness, bagaimana mengambarkan pendekatan kepedulian, rasa kasih sayang, dan saling maaf–memaafkan. Dimensi ini merefleksikan sikap, perhatian, kasih sayang, dan pendekatan memaafkan kepada dunia.

5. Dimensi religiusitasGod as judge

Dimensi ini mengambarkan kekuasaan yang dimiliki Tuhan. Mencerminkan persepsi Tuhan sebagai Penetap Takdir, juga menegaskan tentang takdir, serta hukum dan nilai-nilai dari Tuhan.

6. Dimensi religiusitasunvengefulness

Dalam dimensi ke enam ini, mengambarkan perilaku individu yang tidak mendendam. Dimana dimensi religiusitas unvengefulness mencerminkan suatu perilaku yang tidak menaruh rasa dendam terhadap dunia.

7. Dimensi religiusitasthankfulness

Dimensi yang terakhir ini adalah bagaimana individu mengambarkan rasa syukur (thankfulness). Dimensi ini merefleksikan perasaan berterimakasih, yang berlawanan dengan marah terhadap kehidupan dan Tuhan.

Sedangkan dalam sebuah laporan penelitian yang diterbitkan oleh Fetzer (1999) yang berjudul Multidimensional Measurement Of Religiousness, Spiritually For Use In Health Research menjelaskan 12 dimensi religiusitas, yaitu : Daily Spiritual Experience, Meaning, Values, Beliefs, forgiveness, Private Religious Practices, Religious/Spiritual Coping, religious support, Religious/Spiritual History, Commitment, Organizational Religiousness, dan Religious Preference.

1.Daily Spiritual Experience

Merupakan dimensi yang memandang dampak agama dan spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini Daily Spiritual Experiences merupakan persepsi individu terhadap sesuatu yang berkaitan dengan transenden dalam kehidupan sehari-hari dan persepsi terhadap interaksinya pada kehidupan tersebut, sehingga Daily spiritual Experiences lebih kepada pengalaman dibandingkan kognitif, Underwood (dalam Fetzer, 1999).

2.Meaning

Konsep meaningdalam hal religiusitas sebagaiman konsep meaning yang dijelaskan oleh Fiktor Vrankl yang biasa disebut dengan istilah kebermaknaan hidup. Adapun meaning yang dimaksud disini adalah yang berkaitan dengan

religiusitas atau disebutreligion-meaningyaitu sejauh mana agama dapat menjadi tujuan hidupnya. Pargament (dalam Fetzer, 1999)

3.Value

Konsep value menurut Idler (dalam Fetzer Institute,1999) adalah pengaruh keimanan terhadap nilai-nilai hidup, seperti mengajarkan tentang nilai cinta, saling menolong, saling melindungi dan sebagainya.

4.Belief

Konsep belief menurut Idler (dalam Fetzer, 1999) merupakan sentral dari religiusitas. Religiusitas merupakan keyakinan akan konsep-konsep yang dibawa oleh suatu agama.

5.Forgiveness

Dimensi Forgiveness menurut Idler (dalam Fetzer, 1999) mencakup 5 dimensi turunan, yaitu: pengakuan dosa, merasa diampuni oleh Tuhan, merasa dimaafkan oleh orang lain, memaafkan orang lain, dan memaafkan diri sendiri. 6.Private Religious Practice

Private religious practice menurut Levin (dalam Fetzer, 1999) merupakan perilku beragama dalam praktek agama meliputi ibadah, mempelajari kitab, dan kegiatan-kegiatan lain untuk meningkatkan religiusitasnya.

7.Religious / Spiritual Coping

Religious / Spiritual Coping menurut Pargament (dalam Fetzer, 1999) merupakan coping stress dengan menggunakan pola dan metode religious. Seperti dengan berdoa, beribadah untuk menghilangkan stress, dan sebagainya. Menurut

Pargament (dalam Fetzer, 1999) menjelaskan bahwa ada tiga jenis coping secara religious, yaitu:

a. Deferring Style, yaitu meminta penyelesian masalah kepada tuhan saja. Yaitu dengan cara berdoa dan meyakini bahwa Tuhan akan menolong hamba-Nya dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan.

b. Colaborative Style, yaitu hamba meminta solusi kepada Tuhan dan hambanya senantiasa berusaha untuk melakukancoping.

c. Self-Directing Style, yaitu individu bertanggung jawab sendiri dalam menjalankancoping.

8. KonsepReligious Support

Konsep Religious Support menurut Krause (dalam Fetzer, 1999) adalah aspek hubungan sosial antara individual dengan pemeluk agama sesamanya. Dalam islam hal semacam ini sering disebut dengan al-Ukhuwah al-Islamiyah. 9.Religious spiritual history

Pengukuran area ini dimaksudkan untuk mengukur sejarah keberagamaan/spiritual seseorang. Terdapat empat aspek yang dapat diukur berkaitan dengan sejarah keberagamaan seseorang: biografi keagamaan, pertanyaan-pertanyaan mengenai sejarah keagamaan/spiritual, pengalaman keagamaan/spiritual yang mengubah hidup, dan kematangan spiritual.

10.Commitment

Konsep Commitment menurut Williams (dalam Fetzer, 1999) adalah seberapa jauh individu mementingkan agamanya, komitmen, serta berkontribusi kepada agamanya.

11.Organizational Religiousness

Konsep Organizational Religiousness menurut Idler (dalam Fetzer, 1999) merupakan konsep yang mengukur seberapa jauh individu ikut serta dalam lembaga keagamaan yang ada di masyarakat dan beraktifitas didalamnya.

12.Religious Preference

Konsep Religious Preference menurut Ellison (dalam Fetzer, 1999) yaitu memandang sejau mana individu membuat pilihan dan memastikan pilihan agamanya.

Sementara menurut Glock and Stark (1974) ada lima macam dimensi keberagamaan, yaitu dimensi keyakinan, dimensi peribadatan atau praktek agama (ritualistik), dimensi pengalaman (eksperiensial), dimensi pengetahuan agama (intelektual) dan dimensi konsekuensial.

1. Dimensi keyakinan

Dimensi ini terdiri dari pengharapan-pengharapan dimana orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu, dan mengakui kebenaran dari ajaran-ajaran tersebut.

2. Dimensi praktek agama

Dimensi ini mencakup pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktek-praktek keagamaan ini terdiri dari dua hal yang penting yaitu ritual dan ketaatan. 3. Dimensi pengalaman

Dimensi ini berisikan bahwa semua agama menganut pengharapan-pengharapan tertentu meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subyektif dan langsung mengenai kenyataan akhir. Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi dan sensasi-sensasi yang dialami atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan yang melihat adanya komunikasi walaupun kecil dengan esensi ketuhanan, yakni dengan Tuhan, dengan kenyataan akhir atau dengan otoriti transsendental.

4. Dimensi pengetahuan agama

Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki minimal sejumlah pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi.

5. Dimensi konsekuensi

Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari tidak sepenuhnya jelas sebatas mana konsekuensi-konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen keagamaan atau semata-mata berasal dari agama.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dimensi-dimensi religiusitas Kendler, et al., (2003) yaitu, dimensi religiusitas general religiosity, dimensi religiusitas social religiosity, dimensi religiusitas involved God, dimensi

religiusitas forgiveness, dimensi religiusitas God as judge, dimensi religiusitas

unvengefulness,dan dimensi religiusitasthankfulness, sebagai alat ukur.

2.3 Residen Narkoba

Residen narkoba adalah sebutan untuk klien yang sedang mengikuti program rehabilitasi. (BNN R.I. & Departemen Sosial R.I. 2004). Residen yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah residen yang sedang mengikuti rehabilitasi di BNN Lido (Unit Pelaksana Teknis (UPT) Terapi dan Rehabilitasi), yakni residen

primary(greendanhope), danreentry;maledanfemale.

BNN (Badan Narkotika Nasional) merupakan sebuah lembaga yang menangani penyalahgunaan narkotika dan memiliki tahapan rehabilitasi yaitu fase detoksifikasi, fase entry unit, fase primary (primary green house dan primary house of hope), dan yang terakhir adalah fasere-entry.

2.4 Kerangka Berpikir

Angka kekambuhan pada residen narkoba yang tinggi mendesak untuk mengupayakan program pemulihan yang komprehensif dan integratif, yaitu pemulihan yang menyangkut dimensi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual, ini dikarenakan pemakai atau pecandu narkoba biasanya terganggu atau menderita secara fisik, mental, sosial, dan spiritual. Namun ternyata hal ini tidak menjamin kesembuhan mereka dari ketergantungan narkoba dan kepastian bahwa mereka tidak akan pernahrelapse(kambuh).

Untuk dapat mempertahankan diri agar tidakrelapsedan mempertahankan kepulihannya selama menjalani maupun pasca rehabilitasi, maka dibutuhkan adanya suatu kekuatan. Dalam hal ini kekuatan dimana mereka dituntut untuk bisa lepas dan bersih dari narkoba dan bertahan agar tidak relapse, serta dapat menjalani serangkaian program rehabilitasi yang penuh tekanan, yang menuntut kualitas yang ada pada diri mereka untuk tetap pulih, agar dapat melanjutkan hidupnya, sekaligus mampu memiliki pandangan positif terhadap kehidupan dan diri mereka sendiri. Kekuatan untuk tetap mampu bertahan dalam menghadapi, mengatasi, mempelajari kesulitan dalam hidup, dan bahkan ditransformasi oleh kesulitan tersebut dinamakan resiliensi (Grotberg, 2003).

Mengembangkan resiliensi merupakan salah satu aspek penting dalam membantu terwujudnya proses pemulihan yang berhasil (Allegheny County Coalition for Recovery Child and Family Committee, 2006). Hal ini dikarenakan resiliensi merupakan faktor yang berperan penting untuk dapat bertahan mengatasi masalah dan mempertahankan diri dalam situasi yang menekan. Dalam mengembangkan resiliensi, peran religiusitas ternyata cukup penting, karena salah satu faktor internal yang mempengaruhi resiliensi seseorang adalah spiritual. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil penelitian Handayani (2010), diperoleh bahwa salah satu kekuatan karakter yang mempengaruhi resiliensi adalah spirituality. Hasil ini mendukung penelitian sebelumnya oleh Bogar & Killacky (2006) yang mengidentifikasikan lima determinan dari resiliensi, diantaranya yaitu spiritualitas dan religiusitas, yang dikatakan bahwa spiritualitas dan religiusitas, keduanya adalah komponen yang penting bagi resiliensi seseorang, dimana kepercayaan ini

dapat menjadi sandaran bagi individu dalam mengatasi berbagai permasalahan saat peristiwa buruk menimpa.

Religiusitas dibutuhkan dalam mengembangkan resiliensi residen dalam menghadapi berbagai macam tantangan selama proses penyembuhan. Resiliensi memungkinkan residen untuk dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi, sehingga dapat mengurangi risiko kekambuhan serta dapat hidup secara normal kembali, seperti melanjutkan kuliah, mendapat pekerjaan yang layak, atau membina keluarga.

Jadi dalam hal ini, dimensi religiusitas akan berkorelasi positif secara signifikan dengan resiliensi, dimana dimensi religiusitas yang tinggi diikuti pula dengan resiliensi yang tinggi dan dimensi religiusitas yang rendah akan memunculkan penurunan pula pada resiliensi residen.

R E L I G I U S I T A S Social religiosity Thankfulness Forgiveness Involved God General religiosity

RESILIENSI

Unvengefulness God as judge

2.5 Hipotesis Penelitian

Dokumen terkait