• Tidak ada hasil yang ditemukan

TASAWUF: KONSEP TEORITIS DAN PRAKTIS

A. Definisi Tasawuf

Tasawuf secara umum adalah filsafat kehidupan dan jalan tertentu untuk menuju kepada Allah (suluk) yang digunakan manusia untuk merealisasikan kesempurnaan akhlak, pengetahuan hakikat dan kebahagiaan jiwa. Tasawuf merupakan kalimat yang populer, akan tetapi pada suatu situasi dan kondisi tertentu kalimat tersebut dapat menjadi kalimat yang asing dengan konsep dan penjelasannya. Hal ini disebabkan ajaran-ajaran tasawuf, sebagai suatu penghayatan batini-esoteris merupakan kecenderungan universal yang ada hampir dalam semua agama, aliran filsafat dan kebudayaan lintas waktu. Seseorang dianggap bertasawuf jika sudah banyak melakukan eksperimen (tajribah) dalam mengatur akidah dan pemikiran masyarakat. Sebagaimana dikutip at-Taftāzānī dari W.T. Stace, eksperimen ini intinya adalah sama, namun beda bentuk antara satu sufi dengan lainnya berdasarkan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu (at-Taftāzānī, 1979: 3).

Secara verbal, kalimat tasawuf memang tidak disebut, dikenal apalagi popular pada zaman Rasulullah saw dan sahabatnya1, namun mereka sudah memiliki sifat dan perilaku tasawuf. Mereka tidak disebut sebagai zuhhād, „ubbād, nussāk, bukkā‟īn atau yang lainnya, namun lebih disebut sebagai generasi ṣaḥābat atau tābi„īn. Istilah zuhhād dan lainnya muncul setelah kedua generasi tersebut (at-Taftāzānī, 1979: 30; asy-Syaubakī, 2001; al-Kalābāżī, t.t: 21-26).

1 Pada Zaman Rosulullah sangat populer istilah-istilah : sahabat, untuk menyebut orang yang hidup semasa, bertemu dan beriman dengan Rasulullah saw. Zuhhād,untuk menyebut orang yang sangat berhati-hati dan tidak menginginkan kemewahan dunia yang melalaikan (zuhud). „Ubbād, untuk menyebut orang yang sangat taat kepada Allah sehingga sebagian besar kehidupannya digunakan untuk beribadah, Nussāk digunakan untuk menyebut …. , Bukkā‟īn untuk menyebut………..

Tasawuf merupakan istilah yang inovatif, yang tidak ada pada zaman Rasulullah, ṣaḥābat dan juga para tābi„īn. Kalimat sufi dan tasawuf menurut para penulis tasawuf banyak digunakan oleh penduduk Baghdad, kecuali as-Sarrāj, penulis al-Luma„, yang mengatakan bahwa kata sufi telah digunakan sebelumnya (‗Afīfī, 1963: 27-28). Gelar sufi menurut Massignon, sebagaimana dikutip ‗Afīfī (1963: 28-29) digunakan pertama kali pada paruh pertama abad II H dan dilekatkan pada Jābir bin Ḥayyān al-Kūfī, ahli kimia yang mempunyai mazhab sendiri dalam zuhud.2 Gelar ini juga dilekatkan pada nama Abū Hāsyim al-Kūfī (w. 150 H/767 M).3 Secara konsensus, kalimat ṣūfiyyah muncul sekitar tahun 199 H/814 M yang diprediksi berasal dari mazhab tasawuf Syi‘ah di Kufah di mana ‗Abdak aṣ-Sufi (w. 210 H/825 M) merupakan imam terakhirnya.4

2Beberapa orang mengatakan bahwa Jābir bin Ḥayyān merupakan murid al-Imām Ja‗far aṣ-Ṣādiq dan bagian dari Syi‘ah, tapi beberapa mengatakan ia bagian dari filosof. Namun, nama Jābir bin Ḥayyān tidak ditemukan dalam literatur Syi‘ah kuno, begitu juga dalam mata rantai transmisi hadis yang disandarkan pada al-Imām Ja‗far aṣ-Ṣādiq. Kaitan Jābir bin Ḥayyān dengan tasawuf hanyalah nama saja karena ia bukan orang yang melakukan mujahadat, khauf atau yang sering berkata tentang zuhud. Gelar sufi bukan dinisbatkan pada tasawuf, tapi kepada Sophia Yunani yang berarti kebijaksanaan (asy-Syaibī, 1982: 287-289).

3Nama aslinya adalah ‗Uṡmān bin Syuraik al-Kūfī aṣ-Ṣūfī. Dikatakan bahwa Abū Hāsyim al-Kūfī sezaman dengan Sufyān aṡ-Ṡaurī, dan merupakan orang yang pertama kali membangun khānqah untuk para sufi di Ramlah. Ia mungkin pindah dari Kufah ke Syam sebelum runtuhnya Dinasti Umayyah pada 132 H/750 M, atau mungkin pada masa pemberontakan Zaid pada 121 H/739 M atau pemberontakan ‗Abdullāh bin Mu‗āwiyah pada 126 H/474 M. Menurut asy-Syaibī (1982: 291-292), Abū Hāsyim al-Kūfī digelari a-ūfī dikarenakan kasusnya sama dengan Jābir bin Ḥayyān. Ia juga dianggap penyeleweng dari Syi‘ah dan sering melakukan bidah.

4‗Abdak adalah orang yang zuhud dan sering di zāwiyah yang meninggal di Baghdad. Ia merupakan orang yang pertama kali digelari sufi di Baghdad sebelum Bisyr bin al-Ḥāriṡ al-Ḥāfī dan as-Sirrī bin al-Miglas as-Saqṭī. Cucu ‗Abdak adalah Muḥammad bin ‗Ali bin ‗Abdak asy-Syī‗ī yang menjadi pemuka Syi‘ah. Ia merupakan sintesis dari

Dengan demikian, dilihat dari asal historisnya, maka kalimat sufi pertama kalinya digunakan para sufi terbatas di Kufah saja, sedangkan para sufi di Nīsābūr pada akhir abad III H menggunakan nama Malāmatiyyah untuk membedakan dengan sufi di Irak dan Syam. Kemudian setelah abad IV H, perbedaan ini hilang dan semua arif menggunakan nama ṣūfiyyah (asy-Syaibī, 1982: 293; bandingkan dengan ‗Afīfī, 1963: 29).

Menurut asy-Syaibī (1982: 293-294), dari berita sejarah yang ada, kalimat sufi dan tasawuf berasal dari ṣūf (wol) di mana para zahid di Kufah menggunakannya sebagai pakaian mereka. Pakaian ṣūf (wol) ini berasal dari Kufah yang dikenal dengan mazhab Syi‘ah dan permusuhannya dengan senjata, propaganda atau dengan sembunyi-sembunyi (taqiyyah) bagi mereka yang menyiksa para pemuka ‗Alawiyyīn. Oleh karena itu, maka kata tasawuf ini dianggap berasal dari Syi‘ah pada awalnya dan kemudian benih-benih zuhud yang ada dalam tasawuf menyebarkan lagi benih-benih lain yang coraknya berbeda di Baṣrah, Syam, Khurasan dan kemudian sampai ke Baghdad.

Secara etimologis, tasawuf berasal dari bahasa Arab yang merupakan isim maṣdar (verbal noun) dari taṣawwafa yang berarti menggunakan ṣūf (bulu domba). Menurut al-Jauharī (1987, IV: 1388-1389), kalimat ṣād wāw fā‟ bisa berarti sūf (bulu domba) atau ṣāfa (menghindarkan) seperti kalimat ṣāfa „annī syarra fulān (Dia menghindarkanku dari kejelekan Fulan). Ibn Manẓūr (1414 H, IX: 200) menambahkan kata tasawuf dari ṣūfah yang mempunyai pengertian orang

yang mengurusi semua pekerjaan rumah. Pada zaman jahiliyah, Abū Ḥayy al-Gauṡ bin Murrah bin Add bin Ṭābikhah bin Ilyās bin Muḍarr dijuluki sebagai ṣūfah karena ia mengurusi Ka‘bah dan memberi izin kepada orang yang ingin melaksanakan haji (lihat juga al-Qazwīnī, 1979, III: 322).

Adapun asal usul kalimat tasawuf ini secara etimologis masih diperselisihkan oleh para ulama sebagaimana berikut (al-Kalābāżī, t.t: 21-24): kata tasawuf merupakan gelar karena nama ini tidak ada asal usul katanya (ism jāmid) atau tidak ada kiasnya (samā„ī). Namun begitu juga disebutkan kata tasawuf berasal dari kata ṣafā‟, ṣaff, ṣuffah.

Disebutkan bahwa kata tasawuf berasal dari kata ṣafā‟ yang berarti bersih, dikarenakan para sufi kegiatan sehari-harinya adalah berupaya untuk membina jiwanya agar selalu bersih dari noda-noda dosa dan kemaksiatan. Bagi sufi pembersihan jiwa adalah suatu yang sangat penting, karena jiwa adalah pangkal dari seluruh perbuatan manusia. Seluruh gerak-gerik anggota badan manusia semua tunduk pada satu hal ini yaitu hati.

Sedangkan tasawuf disebut berasal dari kata ṣaff yang berarti barisan, dikarenakan para sufi selalu berada di saf awal ketika sholat. Diidentikkan dengan kata saff ini juga karena para sufi selalu menjadi barisan terdepan dalam mencintai dan membela Allah. Aktifitas sufi selalu terkait dengan pembersihan jiwa, juga sebagai sang pecinta sejati, mengantarkan kehidupan mereka yang penuh suka cita, dengan selalu mengedepankan khusn al-dzan berbuahkan amal shaleh kepada seluruh

yang kemudian tidak bias dikuasai dan mengalirkan pada pandangan tentang kesatuan yang disalah pahami sebagai panteisme, mulai dari

wahdat al-syuhud, wahdat al-wujud sampai pada wahdat al-adyan.

Adapun tasawuf yang dinisbatkan dengan kata ṣuffah yang artinya emperan masjid. Maka para sufi disebut sebagai ahl ṣuffah. Penisbahan dengan kata ini bukan senyatanya para sufi itu miskin sehingga tidak punya rumah tinggal, kemudian mereka tinggal diemperan masjid, akan tetapi penisbahan ini menggambarkan kehidupan sufi yang semangat bermuslimnya seperti para sahabat anshar dan muhajirin yang saling bahu membahu dan membantu untuk perjuangan mendakwahkan agama Islam. Demikian juga sebagai penggambaran kehidupan sufi yang menomor-satukan seruan Tuhan/kepentingan agama, dibandingkan dengan kepentingan keluarga dan harta benda. Sebagaimana pada sahabat yang mengikuti ajakan berhijrah dari Rasulullah, dengan meninggalkan harta dan keluarganya, dengan memasrahkan diri kepada Allah yang Maha Memilikinya. Hal ini dalam ajaran tasawuf dikenal sebagai al Faqru, yaitu tidak merasa memiliki dan dimiliki apapun selain Allah swt.

Kata tasawuf juga dilekatkan pada Ṣūfana, merupakan nama pohon yang tumbuh dipadang pasir meski dengan bentuknya yang kurus (Ya‘kub, 1983; 19). Dinisbahkan dengan kata ini, karena para sufi dengan usaha kerasnya membersihkan jiwa ditengah hiruk-pikuknya dunia dengan gelombang meterialistik-hedonistik, dengan ketelanenannya mereka mampu bertahan, survival bahkan meraih cita-citanya hidup dalam Tuhan.

Asal kata tasawuf selain berasal dari bahasa arab, disebutkan juga juga berasal dari bahasa Yunani, yaitu sophia yang berarti kebijaksanaan (Anjum, 2006: 224-225; Geoffroy, 2010: 4-5). Hal ini karena para sufi itu sangat dekat dengan hikmah dan kebijaksanaan. Gagasan pemikirannya tidak cukup dapat diungkap dan dimengerti lewat kata-kata verbal-fisiknya, melainkan lebih dari itu, pengungkapan makna terdalamnya.

Yang paling masyhur menyebutkan bahwa kata tasawuf berasal dari ṣūf yang berarti bulu domba (kain wol) yang dipakai oleh para ahli ibadah dan zahid. Pakaian dari bahan wol kasar ini adalah sebagai symbol kesederhanaan dan sebagai simbol penolakan mereka terhadap kemewahan pada awal perkembangan zuhud sebagaimana dikatakan aṭ-Ṭūsī dalam al-Luma„ dan juga Ibn Khaldūn dalam Tārīkh-nya (Ibn Khaldūn, 1988: 611).

Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tasawuf secara umum adalah perilaku orang yang selalu membersihkan bersih hati sehingga bersih pula perilakunya. Ketika beribadah mereka berada di barisan awal yang menunjukkan lahir dan batin mereka lebih mementingkan ibadah serta meninggalkan dan berpaling dari dunia. Dalam berpakaian, mereka memakai pakaian sederhana yang pada waktu itu disimbolkan dengan kain wol yang menjadi ciri pakaian para ahli ibadah. Mereka juga mempunyai sifat yang hampir sama sifatnya dengan ahluṣ ṣuffah (penghuni emperan masjid pada masa Rasulullah) yang asing, fakir, hijrah dari yang kurang baik kepada yang lebih baik, serta rela

perjuangan dakwah agama Islam. Dengan demikian, mereka mempunyai kebijaksanaan dan bisa mengatur kehidupan diri dan masyarakatnya sehingga mempunyai kesalehan individu dan sosial. Perilaku, sifat dan tujuan dari tasawuf di atas tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba, namun harus melalui proses latihan (riyāḍah) dan perjuangan (mujāhadah) dalam menundukkan diri dan hawa nafsu, dari waktu kewaktu.

Tasawuf adalah filosofi kehidupan yang ditujukan untuk meningkatkan akhlak manusia dengan perantara latihan-latihan (riyāḍah) tertentu di mana pada waktu tertentu bisa mengantarkan pada fana dalam realitas tertinggi (Allah) melalui perasaan (żauq), emosi dan pribadi masing-masing yang berujung pada kebahagiaan jiwa (at-Taftāzānī, 1979: 8. Lihat juga ‗Īsā, 1992: 25-27; asy-Syaubakī, 2001).

Perkembangan tasawuf mengalami beberapa periode, kondisi dan konsep yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Hal ini dikarenakan tasawuf muncul dan berkembang di beberapa daerah yang berbeda tradisi dan kebudayaannya. Definisi tasawuf belum muncul sebelum akhir abad II H, yaitu sebelum Ma‗rūf al-Karkhī (w-200 H/-815 M). Pada masa ini, para sufi seperti al-Ḥasan al-Baṣrī (21-110 H/642-728 M), dan al-Fuḍail bin ‗Īyāḍ (107-187 H/725-802 M) hanya memberikan wacana tentang dunia, zuhud, hawa nafsu, maksiat, akhirat dan lainnya yang terkait dengan sisi praktis metode tasawuf. Baru setelah abad ke III H dan IV H, para sufi

memberikan definisi yang mendetail tentang tasawuf (‗Afīfī, 1963: 36-37; 63).5

Oleh karena itu, definisi tasawuf sangat banyak dan setiap definisi mencerminkan sebagian aspeknya saja, tidak yang lain.6 Dasar tasawuf yang disepakati semua ulama adalah akhlak sebagaimana dikatakan al-Harawī dalam Manāzilus Sā‟irīn. Al-Kattānī juga berkata bahwa seseorang yang akhlaknya bertambah, maka tasawufnya juga bertambah. Tasawuf adalah memberikan yang baik dan menghindarkan yang kurang baik (al-Harawī, 1988: 59; al-Jauziyyah, 2009: 583, 590; at-Taftāzānī, 1979: 11).

Dasar tersebut banyak disebutkan dalam al-Qur‘an seperti zuhud,

tawakal, sabar, rida, mahabah, yaqīn, wara„ dan sebagainya yang

dianjurkan kepada orang Islam agar imannya sempurna.7 Hal ini disampaikan oleh Qur‘an dalam QS. Aḥzāb/33: 21 dan QS. al-Qalam/68: 4, demikian juga bahwa Rasulullah saw adalah mempunyai akhlak yang baik dan menjadi panutan bagi umatnya (at-Taftāzānī, 1979: 12). Hal inilah yang membedakan tasawuf dengan mistisisme lain yang

5Afīfī (1963: 39-45) memberikan 65 definisi tasawuf yang diberikan para sufi dimulai dari Ma‗rūf al-Karkhī (w. 200 H/815 M) hingga definisi dari Abūl Ḥasan al-Kharqānī (w. 425 H/1033 M).

6Berikut ini adalah sebagian definisi masing-masing sufi salaf tentang tasawuf (Maḥmūd, 1988: 42-43): a) Abū Sa‗īd al-Kharrāz (w. 268 H/881 M) mengatakan tasawuf adalah orang yang hatinya dibersihkan Tuhan, kemudian dipenuhi cahaya dan orang yang menikmati kelezatan dan kenikmatan dengan mengingat Allah; b) Al-Junaid al-Bagdādī (221-297 H/835-909 M) mengatakan tasawuf adalah ketika al-aqq mematikanmu dan

menghidupkanmu sebab al-aqq; c) Abū Bakr al-Kattānī (w. 322 H/934 M) mengatakan

tasawuf adalah bersih (ṣafā‟) dan menyaksikan (musyāhadah); d) Ja‗far al-Khālidī (w.

348 H/959 M) mengatakan tasawuf adalah menempatkan diri dalam ibadah, keluar dari sifat manusiawi dan melihat al-aqq secara keseluruhan; e) Abū Bakr asy-Syiblī

(247-334 H/861-964 M) mengatakan bahwa tasawuf permulaannya adalah mengetahui Allah (ma„rifatullāh) dan puncaknya adalah mengesakan Allah (tauīdullāh).

merupakan fenomena universal yang ada dalam banyak tradisi agama dunia seperti Hindu, Budha, Zoroaster, Manichaean, Hellenisme, Yahudi dan Kristen.8