• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sinergi Penghayatan Esoteris dan Eksoteris

TASAWUF: KONSEP TEORITIS DAN PRAKTIS

E. Sinergi Penghayatan Esoteris dan Eksoteris

akhlāq).27

Tazkiyatun nafs dan lainnya harus berdasarkan syari‘at Islam, baik secara lahir maupun batin (‗Abbās, 2013: 211). Orientasi pembangunan akhlak ini merupakan salah satu tujuan diutusnya para rasul dan nabi (QS. al-Jumu‗ah/62: 2). Al-Qur‘an juga menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw adalah suri tauladan yang baik (QS. al-Aḥzāb/33: 21). Rasulullah saw dalam sebuah hadis yang amat populer menegaskan bahwa tujuan kenabiannnya adalah untuk menyempurnakan akhlak (itmām

makārimil akhlāq).28

Di dalam Islam, akhlak merupakan salah satu ajaran fundamental di samping akidah dan syariat. Ia merupakan jalan hidup (way of life) dan arah gerak yang lurus menuju kesempurnaan sejati. Akhlak membimbing manusia untuk selalu berhubungan dengan diri, orang lain dan Tuhan, yang menjadi sesuatu keniscayaan, sehingga hidupnya menjadi lebih terarah (al-Mubārakfūrī, 1984, IV: 264). Jalan mengikuti Allah adalah dengan mengikuti apa yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya melalui sirāṭ al-mustaqīm, yaitu segala ajaran yang ada dalam al-Qur‘an dan al-Hadis (al-Jauziyyah, 2009: 35-39).

Untuk mencapai tujuan ini, setidak-tidaknya ada tiga hal yang harus dipenuhi, yaitu iman (akidah), Islam (hukum positif) dan ihsan (amal shalih).29 Iman melahirkan ilmu tauhid, Islam melahirkan ilmu fiqh dan

27Meskipun konsep tazkiyatun nafs dan lainnya merupakan salah satu paradigma al-Qur‘an, namun belum begitu banyak kitab yang membahas secara spesifik. Hal ini dikarenakan konsep tersebut dianggap sebagai bidah dan mistis yang dilakukan dan dikaji oleh para sufi (Picken, 2005: 101)

28Musnad Aḥmad, hadis nomor 8595

29Iman, Islam dan ihsan disebut sebagai trilogi Islam dan merupakan dimensi Islam yang penting. Terlebih lagi ihsan yang diterjemahkan sebagai berbuat sesuatu yang terindah yang merupakan dimensi terdalam dalam Islam. Diskursus tentang Islam menitik

ihsan melahirkan ilmu tasawuf. Sebagai sebuah pilar, pemenuhan penguasaan ketiga hal tersebut (iman, Islam, ihsan) haruslah setara dan yang sama. Perbedaan diantara tiga hal tersebut akan menghasilkan tingkat kekokohan bangunan keislaman yang berbeda (al-Yaḥṣubī, 1998, I: 204-205; Anjum, 2006: 228; Rustom, 2007: 1-3).

Konsep iman merupakan dasar bagi para salik untuk menuju kepada Allah.30 Hal ini dikarenakan iman adalah dasar segala keabsahan amaliah seseorang. Namun pada prakteknya, terjadi banyak kesalahan para salik (galaṭus sālikīn) yang merasa telah mencapai puncak ibadah, sampai pada makrifat, fana dan lainnya menganggap dirinya sudah lepas dari perintah Allah. Mereka dianggap sebagai orang yang benar dan harus dibenarkan karena telah mencapai posisi tertentu yang menggugurkan semua kewajiban dan memperbolehkan segala larangan (al-Jauziyyah, 2009: 185-187). Hal ini tentu bertentangan dengan al-Qur‘an dan al-Hadis yang mewajibkan segala yang wajib dan mengharamkan segala yang dilarang. Orang seperti itu dianggap telah keluar dari ṣirātul mustaqīm yang menjauhkannya dari tujuan (Allah) (al-Jauziyyah, 2009: 30).

Adapun orang yang mengesakan Allah (tauḥīdul ilāhiyyah) tidak menyembah kecuali Allah, tidak cinta selain-Nya dan tidak berserah diri beratkan pada perbuatan terkait hukum positif Islam, sedangkan iman cenderung menitik beratkan pada dimensi dasar pemahaman. Adapun mengenai ihsan berfokus pada kehendak (hati). Islam memberitahukan tentang apa yang harus dikerjakan, sedang iman memberikan sebuah pemahaman mengapa hal itu penting untuk dilakukan. Adapun motivasi dan kualitas psikologis yang harmonis dengan perbuatan dan pemahaman seseorang adalah pembahasan ihsan dan berkaitan dengan konsep tentang sifat ideal jiwa manusia (Chittik, 1997: 293).

kepada selain-Nya. Tauhid tersebut merupakan tauhid yang diperintahkan dalam ajaran Islam, bukan hanya mengakui (iqrār) bahwa Allah adalah Pencipta alam semesta tanpa cinta, berserah diri dan beribadah pada-Nya (al-Jauziyyah, 2009: 126).

Ibadah merupakan syarat utama dalam Islam. Oleh karena itu, Allah menjadikan ibadah sebagai karakter makhluk-Nya yang paling sempurna dan paling dekat kepada-Nya sebagaimana disebutkan dalam QS. an-Nisā‘/4: 172, QS. al-A‗rāf/7: 206 dan QS. al-Anbiyā‘/21: 19. Dengan ibadah ini, Allah menjadikan kabar gembira bagi para hamba-Nya (QS. az-Zumar/39: 17-18), memberikan rasa aman kepada mereka (QS. az-Zukhruf/43: 68-69) dan menjauhkan setan dari para hamba-Nya (QS. al-Ḥijr/15: 42 dan QS. an-Naḥl/16: 99-100). Dalam ibadah tersebut, Rasulullah saw menyaratkan adanya ihsan sebagai level tertinggi ibadah, yaitu menyembah Allah seakan-akan melihatnya.31 Jikalau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihat para hamba-Nya (al-Jauziyyah, 2009: 90-91; al-Bukhārī, 1422 H, I: 19). Ihsan dicapai melalui tahapan dan tingkatan yang nantinya akan dibahas dalam tasawuf.

31Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah (QS. al-Aḥzāb/33: 21; QS. al-Mumtaḥanah/60: 4, 6). Seseorang akan mencapai tingkat

isān dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi sabda

Rasulullah, yaitu menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah senantiasa melihatnya. Jika hal ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya. Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang —yang diperoleh dari hasil maksimal ibadahnya– maka kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama manusia, lingkungannya, pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah (QS. al-Qalam/68: 4).

Sebagai salah satu pilar Islam, tasawuf disebut sebagai spiritualisme Islam. Tasawuf adalah bagian yang tidak kalah pentingnya dari tauhid maupun fiqh. Tasawuf merupakan bagian esoterik Islam, yang memberikan pemahaman tentang filosofi ibadah yang mendatangkan penghayatan terhadap syari‘ah. Dengan demikian, syari‘ah –yang kemudian menyempit menjadi fiqh– tidak hanya difahami sebagai hukum positif Islam –yang legal-formal dan sempit– tetapi merupakan hakekat pengabdian hidup yang penuh kenyamanan dan keridhaan (al-Gazālī, t.th, I: 21). Dengan demikian, keislaman seseorang akan mampu mewujudkan kesalehan individu dan kesalehan sosial.

Sejarah spiritualisme Islam semakin dirindukan kehadirannya dan sangat relevan dengan kehidupan manusia. Seseorang mengalami suasana baru dalam keadaan transenden, yaitu suatu kehidupan yang bebas dan hidup yang dipenuhi dengan kezaliman, ketamakan, kerakusan dan ambisius. Dengan menempuh jalan spiritual ini, seseorang dapat merasakan hidup dalam kecintaan, ketenangan, kedamaian dan memperoleh kemenangan. Bagi pengambil jalan ini, spiritualitas bukanlah sesuatu yang khayali, tetapi benar-benar suatu kenyataan yang dapat dinikmati sebagai suatu pengalaman keagamaan yang senantiasa memberikan energi yang tidak habis-habisnya, sehingga kehidupan dapat dinikmati dan dirasakan menjadi lebih hidup.

Namun demikian, dibutuhkan pembacaan yang lebih komprehensif untuk memahami pemikiran para sufi. Ini dikarenakan banyaknya

metafisik.32 Tentu saja untuk memahami bahasa tersebut bukanlah suatu

yang mudah dilakukan, bahkan membuka lebar peluang terjadinya kesalahpahaman dalam menangkap makna yang dikehendaki. Untuk bisa membaca verbalitas kata dan kalimat para sufi, maka seseorang harus memahami suasana psikologis dan kontekstualitas simbolik para sufi. Jika tidak, maka pemikiran mereka akan disalahpahami dikarenakan pembacaan yang kurang mendalam. Keadaan semacam ini diperparah sikap sufi sendiri yang sering menunjukkan prilaku menjauh dari dunia ramai dan memandang dunia secara negatif sehingga mengisolir diri dan menjauhi kehidupan sosial. Hal ini menampakkan bahwa kurangnya peran aktif mereka dalam kehidupan sosial menyebabkan maraknya kerusakan moral, dan sufi dinilai tidak bertanggung-jawab.

Sinergi penghayatan esoteris dan eksoteris ini merupakan sebuah tasawuf atau penghayatan batiniah yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan, di samping semangat purifikasi yang mengharuskan praktik dan pengalaman keagamaan dengan tetap terkontrol oleh ajaran al-Quran dan sunah Nabi.

Sebagian ulama merasa berkepentingan untuk menyelesaikan yang lahir menurut perspektifnya masing-masing, sehingga tidak jarang mereka memberikan putusan yang terlampau berat. Hal ini diperparah dengan suasana politik, di mana kaum muslimin banyak mendapat serangan dari

32Bahasa simbolik adalah bahasa yang menggunakan simbol untuk mengungkapkan suatu realitas yang sangat kompleks dan sebuah kesadaran eksistensial subyek namun tidak mampu dituangkan dengan kata-kata. Oleh karenanya, sebuah simbol bisa saja berarti mewakili ―suatu kehadiran yang tidak hadir‖ (absent presence). Contoh ―Ka‘bah‖ disebut sebagai baitullāh. Sementara bahasa metafisik adalah bahasa yang digunakan untuk menjelaskan obyek yang bersifat metafisik, terutama tentang Tuhan.

bangsa non-muslim. Kebangkitan ini juga sebagai lanjutan dari penolakan terhadap kepercayaan yang berlebihan pada sains dan teknologi sebagai produk modern. Modernisme telah dinilai sebagai gagal memberikan kehidupan yang bermakna. Oleh karenanya, manusia kembali kepada nilai-nilai keagamaan disebabkan salah satu fungsi agama adalah memberikan makna bagi kehidupan (Nafi, 2002).

Titik tekan tasawuf yang digagas Rahman adalah pembinaan sosio-moral masyarakat Islam. Hal ini berbeda dengan tasawuf terdahulu yang lebih pada pembinaan akhlak individu dan cenderung mengisolasi diri dari kehidupan masyarakat. Oleh karenanya, tasawuf ini lebih bersifat puritanis-aktivis. Warisan tasawuf, terutama moral tasawuf, diharmoniskan dengan Islam ortodoks melalui zikir dan murāqabah.

Sosok sufi merupakan gabungan person yang aktif dalam kehidupan dan tidak mengalienasikan diri dari masyarakat. Tasawuf sebenarnya sangat menghendaki sufi mampu mewujudkan dirinya secara fungsional, dan hal ini tidak mungkin dilakukan tanpa mengaktualisasikan dirinya di masyarakat. Dengan demikian dimensi moral menjadi nilai yang akan menyeimbangkan berbagai aspek, baik individu maupun sosial.

BAB III