• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KAJIAN TENTANG KEDUDUKAN KOPERASI KREDIT

B. Definisi Wanprestasi Dan Hal Yang Menyebabkan

1. Definisi Wanprestasi

Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda “wanprestastie”, yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena Undang-Undang.

75 Ibid., hlm. 106

76 Ibid., hlm. 108

75

Wanprestasi merupakan peristiwa hukum, yang mempunyai akibat hukum yang sangat besar, dan dalam praktek menimbulkan banyak sekali permasalahan, B.W. tidak memberikan batasan mengenai apa itu yang dimaksud dengan wanprestasi. Harus diakui bahwa istilah “wanprestasi” bukan merupakan istilah hukum Indonesia (dalam bahasa Indonesia).77 Namun karena diantara para sarjana belum ada kesepakatan mengenai istilah Indonesia untuk “wanprestasi”, dalam buku ini kita akan tetap memakai istilah “wanprestasi” karena istilah itu sudah umum dipakai, yang menunjukkan sudah umum diterima sebagai istilah kum Indonesia. Memang ada yang menerjemahkannya menjadi “cidra janji” atau

“Ingkar Janji”, tetapi penulis sendiri belum yakin bahwa terjemahan itu sudah secara umum diterima oleh para sarjana.78

Memang harus diakui bahwa kalau kita mendengar kata “Ingkar Janji”

atau “cidra janji”, sudah dengan sendirinya terbayang adanya sikap yang tidak benar pada orang yang tidak memenuhi janjinya itu. Karenanya dalam “cidra janji” atau “ingkar janji” sudah tersimpul adanya unsur salah, suatu unsur yang sebagai mana nanti dikemukakan merupakan unsur penting dalam peristiwa

“wanprestasi” sehingga antara wanprestasi dan ingkar janji memang sudah ada persamaannya.

Mengenai perumusan “wanprestasi” itu sendiri, sekalipun ada perbedaan dalam cara merumuskannya, pada umumnya para sarjana merumuskan sebagai berikut:79 “wanprestasi adalah suatu peristiwa atau keadaan, dimana debitur tidak

77 J. Satrio, Wanprestasi, Bandung: PT CITRA ADITYA BAKTI, 2012, hlm, 2

78 Vide Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bandung: PT CITRA ADITYA BAKTI, 2001, hlm. 18

79 J. Satrio, Op.Cit., hlm, 3

telah memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik, dan debitur punya unsur salah atasnya.” Maksud “unsur salah” adalah unsur salah pada debitur atas tidak dipenuhi kewajiban itu sebagaimana mestinya.

Kalau Buku III B.W mengatur tentang hukum perikatan, yang merupakan bagian dari hukum kekayaan yang bersama dengan hukum keluarga merupakan pokok dari hukum perdata, dimana hukum perjanjian merupakan bagian dari pada kiranya, dengan perumusan “wanprestasi” orang dalam kehidupan bermasyarakat sekarang ini, dari pagi hingga petang tidak pernah bisa lepas dari mengadakan hubungan hukum dengan orang lain dalam wujud menutup perjanjian. Sudah sepantasnya orang tahu bagaimana kedudukan hukumnya dalam perjanjian yang ia tutup. Bukankah selalu ada saja kemungkinan, hubungan kontraktual itu tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan dan karenanya orang ingin tau apa akibatnya.

Sehubungan dengan perumusan luas, baik yang dianut oleh doktrin maupun yurisprudensi , maka perbuatan melawan hukum meliputi:80

1. Perbuatan yang melanggar hak subjektif orang lain,

2. Melanggar kewajiban hukumnya sendiri (kedua-duanya sebagaimana dirumuskan dalm undang-undang,

3. Melanggar etika pergaulan hidup (goede zeden), dan

4. Melanggar kewajiban sebagai anggota masyarakat untuk, dalam pergaulan hidup, secara patut memperhatikan kepentingan diri dan hartanya orang lain (maatschappelijke betamelijheid).

80 Ibid,.hlm. 4

77

Menurut ahmadi Miru wanprestasi itu dapat berupa81: 1. Sama Sekali Tidak memenuhi prestasi

2. Prestasi yang dilakukan tidak sempurna 3. Terlambat memenuhi prestasi

4. Melakukan apa yang di dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.

Sedangkan menurut A. Qirom Syamsudin Meliala wanprestasi itu dapat berupa82:

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali

Sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasi maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya

Apabila prestasi dibitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tdak tepat waktu, sehingga dapat dikatakan wanprestasi.

3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.

Debitur yang memenuhi prestasi tetapi keliru, apanila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi, maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Wanprestasi terdapat dalam pasal 1243 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:

“Penggantian biaya, rugi dan bunga kerena tidak terpenuhnya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila siberutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau

81 Ahmadi Miru, Hukum Perikatan, Jakarta: Rajawali Pers, 2008, hlm.12

82 A. Qirom Syamsuddin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Yokyakarta: Liber, hlm. 32

dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu yang dilampaukannya.

Dalam pasal 1238 KUHPeradata dapat dikatakan bahwa dibitur dinyatakan apabila sudah ada somasi (in grebeke stelling), somasi itu bermacam-macam bentuknya, seperti menurut pasal 1238 KUHPerdata adalah:

1. Surat perintah

Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan.

Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini disebut “exploit juru sita”

2. Akta sejenis

Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris 3. Tersimpul dalam perikatan itu sendiri

Maksudnya sejak perbuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan sah adanya wanprestasi.

Menurut Sri Soedewi Masyehoen Sofwan, debitur dinyatakan wanprestasi apabila memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu83:

1. Perbuatan yang dilakukan debitur tersebut dalam disesalkan 2. Akibatnya dapat diduga lebh dahulu baik dalam arti yang objektif

yaitu orang yang normal dapat menduga bahwa keadaan itu akan timbul. Maupun dalam arti yang subjektif, yaitu sebagai orang yang ahli dapat menduga keadaan demikian akan timbul.

83 Sri Soedewi Masyohen Sofwan, Hukum Acara Perdata Indonesia dalam Teori dan Praktek, Yokyakarta: Liberty, 1981, hlm. 15

79

3. Dapat diminta untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, artinya bukan orang gila atau lemah ingatan.

Apabila seorang dalam keadaan-keadaan tertentu beranggapan bahwa perbuatan debitur akan merugikan, maka ia daapat minta pembatalan perikatan.84

Adapun wujud dari wanprestasi, yaitu:

1. Tidak melaksanakan Prestasi sama sekali;

Sehubungan dengan debitur yang tidak melaksanakan prestasinya, maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2. Melaksanakan prestasi tetapi tidak sebagaimana di janjikan;

Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tepat waktunya.

3. Melaksanakan Prestasi tetapi tidak sesuai atau Keliru;

Debitur yang melaksanakan prestasi tetapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2. Hal Yang Menyebabkan Terjadinya Wanprestasi

Dalam pelaksanaan isi perjanjian sebagaimana yang telah ditentukan dalam suatu perjanjianyang sah, tidak jarang terjadi wanprestasi oleh pihak yang dibebani kewajiban (debitur) tersebut. Tidak dipenuhinya suatu prestasi atau kewajiban (wanprestasi) ini dapat dikarenakan oleh dua kemungkinan alasan.

Dua kemungkinan tersebut antara lain adalah85:

84 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, hlm. 246-247

85 J. Satrio, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, 1999, hlm. 90

1`. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan ataupun kelalaiannya.

Kesalahan disni adalah kesalahan yang menimbulkan kerugian. Dikatakan orang yang mempunyai kesalahan dalam peristiwa tertentu kalau ia sebenarnya dapat menghindari terjadinya peristiwa yang merugikan itu baik dengan tidak berbuat atau berbuat lain dan timbulnya kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya. Dimana tertentu kesemuanya dengan memperhitungkan keadaan dan suasana pada saat peristiwa itu terjadi.

Kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya (debitur) jika ada unsur kesengajaan atau kelalaian dalam peristiwa yang merugikan itu pada diri debitur yang dapat dipertanggung jawabkan kepadanya. Kata-kata debitur sengaja kalau kerugian itu memang diniati dan dikehendaki oleh debitur, sedangkan kelalaian adalah peristiwa dimana seorang dibitur seharusnya tahu atau patut menduga, bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan timbul kerugian.86 Disini debitur belum tahu pasti apakah kerugan akan muncul atau tidak, tetapi sebagai orang yang normal seharusnya tau atau bisa menduga akan kemungkinan munculnya kerugian tersebut. Dengan demikian kesalahan ini disni berkaitan dengan masalah “dapat menghindari” dan “dapat menduga.”

2. Kerena keadaan memaksa (Overmacht / force majure), diluar kemampuan debitur, atau debitur tidak bersalah.

Keadaan memaksa ialah keadaan dimana tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh pihak debitur keran terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya,

86 Ibid, hlm. 91

81

peristiwa mana yang dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. 87 Vollmar menyatakan bahwa overmacht itu hanya dapat timbul dari kenyataan-kenyataan dan keadaan-keadaan tidak dapat diduga lebih dahulu.88 Dalam hukum anglo saxon (Inggris) keadaan memaksa ini dilukiskan dengan istilah “Frustration” yang berarti halangan, yaitu suatu keadaan atau peristiwa yang terjadi diluar tanggung jawab pihak-pihak yang membuat perikatan (perjanjian) itu tidak dapat dilaksanakan sama sekali.

Dalam keadaan memaksa ini debitur tidak dapat dipersalhkan karena keadaan memaksa tersebut timbul diluar kemauan dan kemampuan debitu.

Wanprestasi yang diakibatkan oleh keadaan memaksa biasa terjadi karena benda yang menjadi objek periktan itu binasa atau lenyap, bisa juga terjadi karena perbuatan debitur untuk berprestasi itu terhalang seperti yang telah teruraikan diatas. Keadaan memaksa yang menimpa benda objek perikatan bisa menimbullkan kerugian sebagian dan dapat juga menimbulkan kerugian total.

Sedangkan keadaan memaksa yang mengahalangi perbuatan debitur memenuhi prestasi itu bisa bersifat sementara maupun bersifat tetap.

Unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa itu ialah89:

3. Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan benda menjadi objek perikatan, hal ini tentunya bersifat tetap.

87 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990, hlm. 27

88 Ibid, hlm. 31

89 Ibid, hlm. 35

4. Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau sementara.

5. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur, jadi bukan kerena kesalahan para pihak, khususnya debitur.

Mengenai keadaan memaksa yang menajdi salah satu penyebab timbulnya wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian. Dikenal dua macam jaran mengenai keadaan memaksa tersebut dalam ilmu hukum yaitu, ajaran memaksa yang bersifat objektif dan subjektif, yanng mana ajaran keadaan memaksa (overmachtsleer) ini sudah dikenal dalam hukum romawi, yang berkembang pada janji (beding) pada perikatan untuk memberikan benda tertentu.90 Dalam hal benda tersebut karena adanya keadaan yang memaksa musnah maka tidak hanya kewajibannya untuk menyerahkan tetapi seluruh perikatan manjadi hapus, tetapi prestasinya harus benar-benar tidak mungkin lagi.

Pada awalnya dahulu hanya dikenal dengan ajaran mengenai keadaan memaksa yang bersifat objektif. Lalu dalam perkembangannya kemudian muncul ajaran mengenai keadaan memaksa yang bersifat subjektif.

1. Keadaan memaksa yang bersifat objektif

Objektif artinya benda yang menjadi objek perikatan tidak mungkin dapat dipenuhi oleh siapapun. 91 Menurut ajaran ini debitur baru bisa mengemukakan adanya keadaan memaksa (Overmacht) kalau setiap orang dalam

90 J. Satrio, Op.Cit., hlm. 254

91 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 28

83

kedudukan debitur itu mungkin untuk berprestasi (sebagaimana mestinya). Jadi keadaan memaksa tersebut ada jika setiap orang sama sekali tidak mungkin memenuhi prestasi yang berupa benda objek perikatan itu. Oleh karena itu ukurannya “orang” (pada umumnya) tidak bisa berprestasi bukan “debitur” tidak bisa berprestasi, sehingga kepribadiannya, kecakapanya, keadaannya, kemampuan, finansialnya tidak dipakai sebagai ukuran, yang menjadi ukuran adalah orang pada umumnya dan karenanya dikatakan memakai ukuran objektif.92

Dasar ajaran ini adalah ketidak mungkinan. Vollmar menyebutkan keadaan memaksa ini dengan istilah “absolute overmacht” apabila benda objek perikatan itu musnah diluar kesalahaan debitur.93 Marsch and Soulsby juga menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak mungkin dilaksanakan apabila setelah perjanjian dibuat terjadi perubahan dalam hukum yang mengakibatkan bahwa perjanjian yang telah dibuat itu menjadi melawan hukum jika dilaksanakan.94 Dengan keadaan yang seperti ini secara otomatis, keadaan memaksa tersebut mengakhiri perikatan karena tidak mungkin dapat dipenuhi. Dengan kata lain perikatan menjadi batal, keadaan memaksa disini dalam keadaan tetap.95

2. Keadaan Memaksa yang Bersifat Subjektif

Dikatakan subjektif dikarenakan menyangkut perbuatan debitur itu sendiri.

Jadi terbatas pada perbuatan atau kemampuan debitur. Seorang sarjana yang bernama Houwing terkenal dengan mengembangkan teori tentang keadaan memaksa. Bentuk keadaan memaksa ada kalau debitur telah melakukan segala

92 J. Satrio, Op.Cit., hlm. 255

93 Abdulkadir Muhammad, Loc. Cit.

94 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm 29.

95 Ibid.

upaya yang menurut ukuran yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan patut untuk dilakukan, sesuai dengan perjanjian tersebut.96 Yang dimaksud dengan debitur oleh Houwing adalah debitur yang bersangkutan. Disini tidak dipakai ukuran “debitur pada umumnya” (objektif), tetapi debitur tertentu jadi subjektif. Oleh karena yang dipakai sebagai ukuran adalah subjek debitur tertentu, maka kita tidak bisa melepaskan diri dari pertimbangan “debitur yang bersangkutan dengan semua ciri-cirinya” atau dengan perkataan lain kecakapan, tingkat sosial, kemampuan ekonomis debitur yang bersangkutan turut diperhitungkan.97 Menurut ajaran ini debitur itu masih mungkin memenuhi pestasi walaupun mengalami kesulitan atau menghadapi bahaya. Vollmat menyebutkan dengan istilah “relative overmacht”. Keadaan memaksa dalam hal ini bersifat sementara.98 Oleh karenanya perjanjian tidak otomatis batal melainkan hanya terjadi penundaan pelaksanaan pretasi itu oleh debitur. Jika kesulitan yang menajdi hambatan pelaksaan prestasi tersebut sudah tidak ada lagi maka pemenuhan prestasi diteruskan.

Timbulnya ajaran mengenai keadaan memaksa seperti yang telah diuraikan diatas, dikarenakan keadaan memaksa tidak mendapatkan pengaturan umum dalam Undang-Undang.99 Karena itu hakim berwenang meeminta fakta yang terjadi (wanprestasi) bahwa debitur sedang dalam keadaan memaksa (overmacht) atau tidak, sehingga diketahui apakah debitur dapat dibebani kewajiban atas resiko atau atas wanprestasi tersebut.

96 J. Satrio, Op. Cit., hlm. 263

97 Ibid., hlm. 264

98 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 30

99 Ibid. Hlm 31.

85

C. Kajian Tentang Kedudukan Koperasi Kredit Harapan Kita Kota

Dokumen terkait