• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Proses Ignisiasi Peledakan

Gambar 2.2. Bentuk struktur S8 Flat dan S8 3 Dimensi

2.2. Proses Ignisiasi Peledakan

Suatu bahan peledak secara umum didefenisikan sebagai simpanan energi yang dapat dilepaskan untuk melakukan suatu pekerjaan. Energi tersebut dapat dilepaskan melalui reaksi pembakaran seperti yang digunakan dalam senjata atau

propellant rocket atau dalam suatu detonasi dalam militer atau dalam blasting

Bahan peledak yang dirancang hanya untuk terbakar saja biasanya digunakan sebagai propellant dan disebut dengan low explosive, sedangkan yang dirancang untuk didetonasi disebut dengan high explosive. Pada prinsipnya semua bahan peledak terutama pyrotechnic dapat mengalami pembakaran dan detonasi, tergantung dari metode inisiasinya, beberapa bahan pyrotechnic dapat di detonasi dengan cara yang sama, bahan peledak propellant dapat juga di desain untuk pembakaran dan detonasi dengan inisiasi tertentu. Tetapi permasalahannya adalah bagaimana cara menghandle bahan peledak dalam jumlah besar karena sensitivitasnya yang tinggi ( Saferstein, 2002 ).

Perbedaan diantara kedua cara tersebut dapat dijelaskan bahwa pada deflagrasi reaksi yang terjadi dimulai dari permukaan menuju kearah dalam dari bahan peledak dengan ditopang oleh adanya konduksi panas hasil pembakaran di dalam bahan tersebut. Sedangkan pada proses detonasi reaksi yang terjadi dari dalam kearah luar/permukaan bahan peledak dengan ditopang oleh adanya rambatan gelombang kejut (shock wave) dan kecepatan rambatnya paling lambat sama dengan kecepatan suara dalam bahan peledak tersebut yakni 1800 m/detik. Tetapi pada literatur lain ditetapkan kecepatan detonasi berada diantara 1500-9000 m/detik. (Kohler and Meyer,1993).

Dengan demikian dapat dipahami dalam suatu ledakan bom rakitan adalah sangat ditentukan bagaimana rancangan mekanisme peledakannya karena pada prinsipnya semua bahan peledak dapat terbakar dan terdetonasi hanya berbeda pada sensivitasnya saja, sehingga bahan peledak campuran KClO3, sulfur dan alluminium powder kemungkinan juga dapat terdetonasi sehingga sifatnya menjadi high explosive, dan kekuatan dari ledakan bom tersebut juga sangat ditentukan oleh formula dan jumlah dari bahan peledak yang digunakan.

Pada prakteknya metode inisiasi pada proses burning atau detonasi ditentukan oleh penggunaannya dalam rangkaian peledakan. Element pertama rangkaian peledak adalah primary explosive yang sangat sintesive dan dalam jumlah relative sedikit umumnya 0,1 - 0,5 g. Sedangkan main charge umumnya kurang sensitif sehingga hasil primary explosive biasanya diperkuat dengan menggunakan suatu booster yang berfungsi untuk menginisiasi main charge atau bahan peledak utama.

Primary explosive yang banyak digunakan dalam sistim detonasi adalah

lead azide terutama digunakan dalam transisi spontan dari burning ke detonasi

dalam semua kondisi. Satu contoh sederhana penggunaan pellet lead azida dalam rangkaian ledakan adalah untuk burning, flash atau flame dari fuze atau dari suatu inisiasi elektrik dan pada fraksi kecil dalam millimeter terpecah menjadi gelombang kejut (shock wave) dan selanjutnya mendetonasi. Jika lead azida ditempatkan dekat dengan pellet booster akan terjadi proses shock to detonation

dengan demikian shock dari lead azide akan mendetonasi booster dan selanjutnya pellet booster akan melakukan hal yang sama terhadap main charge. Booster yang banyak digunakan dalam proses peledakan antara lain seperti PETN atau RDX dimana biasanya lebih sensitif dibandingkan main charge. Baik

booster maupun main charge keduanya digolongkan dalam secondary explosive

yang mempunyai sensivitas yang lebih rendah dari primary explosive (Murray S G., ” Mechanism of Explosion ” in Encyclopedia of Forensic Science .Ed By Siegel J,A.,at al. 2000).

Secara komersil proses inisiator dikenal demolition detonator yang biasanya terbuat dari suatu tabung logam tipis dengan diameter 6 - 8 mm umumnya terbuat dari alluminium atau tembaga yang berisi bahan utama PETN

dan lead azide dan sebagai pemicu digunakan konduksi panas atau elektrik.

Salah satu tipe bahan peledak yang sudah lazim dikenal adalah gun powder atau sering disebut black powder yang dibuat dari campuran KClO3 atau NaNO3 (75%), charcoal (15%) dan sulfur (10%) untuk meningkatkan sensitifitasnya. Secara detail reaksinya sangat komplek dan menurut refrensi terdapat 14 produk yang berbeda. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa karbon dioksidasi (dibakar) oleh oksigen dari KNO3 dan membebaskan energi 3000 kJ kg-1 dari energi panas berikut gas CO2 dan CO secara bersamaan.

Demikian juga gas dapat terbentuk dari nitrogen dalam kaluim nitrat menghasilkan N2 melepaskan gas berkisar 3000 l/kg-.1

Secara sederhana reaksinya dapat digambarkan sebagai berikut :

Sejak abad ke-19 pengembangan ilmu kimia mengarah kepada sifat-sifat bahan peledak yang dikenal sebagai bahan peledak yang mengandung atom hidro karbon dan juga mengandung gugus nitro, yang didasarkan kepada 3 jenis gugus nitro yaitu type senyawa nitro yang mengandung gugus C- NO2, Nitrat ester C-O-NO2 dan Nitramine C-N-NO2.

Senyawa-senyawa ini dapat bereaksi sangat cepat dan mengakibatkan ledakan yang cukup besar. Dalam kenyataannya reaksi yang terjadi sangat dipengaruhi oleh kesetimbagan oksigen yang ada pada molekul bahan peledak tersebut. Misalnya pada molekul Nitroglycerin akan terjadi kelebihan oksigen dan hal ini dapat dilihat pada reaksi berikut.

C3H5N3O9 3CO2 + 2.5 H20 + 1,5 N2 + 0,25 O2

Reaksi ini dikenal dengan kesetimbangan oksigen positif dimana pada sakhir reaqksi atau akhir ledakan masih ada oksigen yang tersisa dan dailepaskan dalam bentuk gas O2. Akan tetapi berbeda dengan molekul TNT dengan rumus molekul C7H5N3O6 dalam molekulnya kekurangan oksigen atau yang disebut dengan kesetimbangan negative, sehingga pada akhir reaksi atau akhir ledakan dihasilkan banyak atom karbon yang tersisa dan dilepaskan dalam bentuk karbon bebas yang mengakibatkan adanya asap hitam pada ledakan tersebut dan hal ini sering digunakan sebagai salah satu alat identifikasi atau pengamatan awal terhadap suatu reaksi ledakan TNT.

Persamaan reaksi detonasi TNT yang diberikan oleh Kistiakowsky dan Wilson adalah sebagai berikut :

C7H5N3O6 3,5CO + 3,5 C + 2,5 H2O + 1,5 N2

Dalam kedua jenis ledakan tersebut terjadi reaksi yang dikenal dengan auto redoks, sehingga dalam reaksi ini tidak dibutuhkan adanya reduktor karena dalam molekul itu sendiri akan terjadi reaksi oksidasi reduksi yang dipicu oleh adanya energi dari shock wave yang biasanya dihasilkan dari ledakan detonator (Murray S G, “Mechanism of Explosion ” in Encyclopedia of Forensic Science .Ed By Siegel J,A.,at al 2000).

2.3. Deflagrasi dan Detonasi. 2.3.1. Deflagrasi

Suatu bahan peledak dapat mengalami dekomposisi pada kecepatan suara dalam material tersebut tanpa membutuhkan oksigen dari udara, dan reaksi ini dikenal dengan deflagrasi. Reaksi ini dapat berjalan karena pelepasan panas dari reaksi, dan produk yang dihasilkan berbanding terbalik dengan proses dekomposisi bahan peledak tersebut.

Contoh reaksi deflagrasi adalah pembakaran suatu serbuk (powder) atau suatu bahan rocket. Jenis reaksi suatu bahan peledak apakah termasuk deflagrasi atau detonasi adalah sangat ditentukan oleh sejauh mana perlakuan terhadap bahan peledak dimaksud.

Titik deflagrasi ( deflagration point ) dapat didefenisikan sebagai satu tempratur dimana dengan sedikit sampel bahan peledak yang ditempatkan dalam

test tube dan dengan pemanasan dari luar terbakar menghasilkan nyala dan segera

terdekomposisi.

Misalnya : 0,5 gram sampel ( bahan peledak) dimasukkan kedalam test

tube dan diimersikan kedalam suatu larutan logam (lebih disukai Wood, s metall

) bath pada suhu 1000C (2120 F), dan kenaikan temprature diatur 200C per menit sampai terjadi deflagrasi atau mengalami dekomposisi.

Metode ini mempunyai kesamaan dengan metode resmi laid down

dalam RID . Nitroselulosa dan nitroselulosa serbuk ditest dalam satu stirer parrafin bath dan dipanaskan dengan kenaikan suhu 50 C per menit.

Proses deflagrasi disebut juga burning explosive yang dapat dijelaskan berdasarkan pelepasan energi dan gas melalui suatu reaksi yang terjadi di permukaan suatu bahan peledak.

Pembakaran yang terjadi di permukaan suatu bahan peledak dapat terjadi karena tersedianya bahan bakar (fuel) didalam bahan itu sendiri dan dioksidasi oleh oksigen yang yang ada dalam bahan peledak itu sendiri.

Jadi energi yang dikandung dalam sistim melibatkan suatu reaksi kimia yang kompleks dan menghasilkan pembakaran dengan panas yang lebih tinggi berupa lapisan-lapisan di permukaan.

Dengan terjadinya pembakaran dipermukaan maka ini merupakan sumber panas dan sebagian besar panas tersebut akan terkonduksi ke bahan peledak dan

segera menambah atau memperbesar pembakaran di permukaan sehingga menghasilkan suhu yang lebih tinggi. Untuk lebih memudahkan memahami uraian diatas dapat dilihat pada Gambar : 2.3 berikut ini.

Gas dan panas yang dihasilkan pada pembakaran di permukaan

Kecepatan pembakaran linear ( r ) mm s-1

Arah dari Flame Front

Konduksi panas dari pembakaran permukaan

Gambar 2.3. Proses pembakaran bahan peledak

Kecepatan pergerakan flame front dikenal dengan kecepatan pembakaran linier (r), kecepatan pembakaran massa tidak dapat diprediksi, misalnya berapa massa bahan peledak yang diubah menjadi panas dan gas. Pada peristiwa pembakaran dipermukaan ini terdapat hubungan antara luas permukaan bahan peledak, dan kecepatan pembakaran linier yang mempengaruhi mass burning rate yaitu : r A x α dt dm 2.3.2. Detonasi

Pada suatu proses pembakaran biasanya terjadi diakibatkan oleh adanya konduksi panas terhadap suatu bahan peledak , sedangkan pada proses detonasi umumnya reaksi terjadi diakibatkan adanya aliran shock wave yang melewati bahan peledak tersebut sehingga dapat diartiakan bahwa mekanisme suatu pembakaran pada prinsipnya berbeda dengan mekanisme detonasi.

Pergerakan shock wave dalam bahan peledak tersebut mempunyai kecepatan setidak-tidaknya sama dengan kecepatan suara di dalam bahan peledak itu sendiri dimana kecepatan suara dalam suatu bahan peledak disekitar 1800 m/det adalah ditentukan sebagai batas kecepatan minimum terjadinya suatu proses detonasi, namun demikian pada literatur lain ada juga yang menetapkan batas minimum suatu proses detonasi adalah 1500 m/det.

Pada suatu proses detonasi maupun energi yang dilepaskan dalam suatu detonasi dapat dijelaskan dengan Gambar : 2.4 berikut ini.

Shockwave diudara dari gelombang detonasi pada ledakan

Bahan peledak yang tidak bereaksi

Zona reaksi

Front gelombang detonasi dalam ledakan

Front gas terekspansi dari gas panas yang dihasilkan

Gambar 2.4. Proses detonasi suatu bahan peledak

Mekanisme yang terpenting pada proses detonasi antara lain adalah adanya suatu kondisi compress adiabatic diantara rongga mikroskopis serta effek batas kristal untuk menghasilkan keadaan hot spot yang bertumbuh sebagai suatu tekanan intensive dari shock wave yang melewati suatu bahan peledak dimana energi yang dilepaskan dan gas yang dihasilkan dalam zona reaksi selanjutnya segera didetonasi pada shock front.

Zona reaksi yang mempertahankan tekanan dalam shock front menghasilkan suatu keadaan kecepatan steady-state yang dikenal dengan kecepatan detonasi atau disebut velocity of detonation (VOD).

Berikut ini diberikan beberapa nilai parameter yang berkaitan dengan kecepatan detonasi untuk bahan peledak senyawa tunggal seperti yang terlihat pada Tabel : 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1. Parameter Detonasi dari beberapa bahan peledak

Ketebalan zona reaksi antara lain tergantung pada bahan peledak tersebut seperti tipe ledakannya yang berhubungan dengan secepat apa secara kimia dapat terjadi dan juga pada ukuran muatannya yang secara umum hanya beberapa milimeter.

Bentuk atau model shock wave front tergantung pada garis pemisah muatan, dan secara teoritis ukuran muatan dan titik inisiasi tidak dapat ditentukan karena

shock front segera menyebar keluar secara radial (Murray S G, Mechanism of

Explosion ” in Encyclopedia of Forensic Science .Ed By Siegel J,A.,at al. 2000).

2.3.3. Kecepatan Detonasi dan Dautriche Method

Kecepatan detonasi adalah kecepatan penyebaran detonasi dalam suatu peledakan. Jika density dari suatu bahan peledak berada pada nilai maksimum , dan apabila bahan peledak yang diisikan kedalam kolom yang mana jumlah dan lebarnya sesuai diameter kritisnya, maka kecepatan detonasi adalah karakteristik dari masing-masing bahan peledak tersebut dan tidak dipengaruhi oleh faktor – faktor eksternal. Kecepatan detonasi akan berkurang dengan berkurangnya density dari bahan peledak yang dimasukkan kedalam kolom. Kecepatan detonasi bahan peledak nitrogliserin dan nitroglikol dalam keadaan confined dan

unconfined sangat berbeda nyata dan nilai ini dikenal dengan detonasi atas (

Metode penentuan kecepatan detonasi dengan Dautriche Method dilakukan dengan memasukkan sampel (bahan peledak) yang akan ditentukan kedalam suatu kolom tertutup yang biasanya terbuat dari pipa besi. Kemudian dengan ukuran panjang tertentu dari kolom detonasi dilobangi (membuat loop ) dengan diameter masing-masing sesuai ukuran blasting caps. Kedua loop tersebut dipasang blasting caps dan dihubungkan dengan detonating cord yang dilewatkan melalui lembaran atau plat timah (Pb) dimana salah satu ujung plat merupakan pusat (center) atau pertengahan dari panjang detonating

cord.

Salah satu ujung pipa ( kolom detonasi ) dipasang detonator atau juga dapat di tambah dengan suatu booster, maka apabila diledakkan pertama sekali terjadi ledakan detonator dan booster kemudian meledakkan main charge dan mencapai

blasting caps pertama dan kedua sehingga kedua blasting caps akan terignisi dan

terjadi ledakan detonating cord yang menimbulkan notch pada plat Pb yang dapat diukur yaitu sebanding dengan kecepatan gelombang detonasi dari bahan peledak utama ( main charge ) yang terdapat pada kolom detonasi.

Adapun peralatan untuk menentukan kecepatan detonasi suatu bahan peledak dengan Dautriche Method merupakan suatu metode yang sangat sederhana dan mudah dikerjakan dengan hasil yang cukup akurat. Peralatan ini dapat digambarkan seperti Gambar 2.5 berikut ini :

x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x m a Detonator

Gambar 2.5. Alat Dautriche methode

Akibat meledaknya detonating cord yang menghubungkan kedua blasting caps, maka gelombang detonasi akan bertemu pada suatu titik dan menimbulkan

notch yang dapat diukur dari pusat detonating cord yang panjangnya ditentukan

oleh kecepatan detonasi main charge dalam kolom detonasi. Tabung confinment Explosive Booster Blasting Caps Plat Pb Det. cord

Panjang notch setelah ledakan Pusat Det.

Kecepatan detonasi bahan peledak tersebut dapat dihitung jika dibandingkan dengan kecepatan detonasi detonating cord yang telah diketahui dan dapat dihitung dengan rumus berikut ini :

dimana Dx = Kecepatan detonasi sampel

D = Kecepatan detonasi detonating cord

m = Jarak loop pada kolom detonasi a = Jarak notch dengan pusat detonating cord

Dokumen terkait