• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta adanya keinginan untuk mewujudkan lingkungan yang bersih dan bebas polutan, telah banyak ditemukan upaya untuk meningkatkan kinerja mikroba indigenous, yang dilakukan dengan rekayasa kondisi lingkungan sehingga menjadi optimum. Hal ini dapat dilakukan secara in situ yaitu dengan pengkayaan terhadap kondisi lingkungan tercemar ataupun secara ex situ yaitu dengan mengisolasi mikroba indigenous untuk kemudian dipekerjakan pada suatu bioreaktor yang telah diatur kondisi optimum

lingkungannya untuk melakukan degradasi residu pestisida dari areal yang tercemar. Pestisida yang banyak tertinggal di alam harus didegradasi agar menjadi

berkurang atau hilang secara keseluruhan. Penggunaan pestisida secara luas telah mengundang problem-problem yang

disebabkan oleh interaksi antara zat-zat tersebut dengan sistim biologis alam. Residu pestisida secara alamiah dapat hilang atau terurai baik dalam lingkungan abiotik maupun dalam lingkungan biotik. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam penguraian pestisida adalah penguapan, pencucian, pelapukan, pertumbuhan, cahaya dan dengan degradasi baik secara kimia, biologi, maupun secara fotokimia.

Kecepatan degradasi pestisida di alam ataupun di dalam tumbuhan mengikuti kinetika ordo pertama yaitu kecepatan degradasi dipengaruhi oleh banyaknya pestisida dan faktor waktu. Residu pestisida dalam tanaman atau hewan menurun atau hilang akibat metabolisme yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman atau hewan tersebut.

Rani dan Lalithakumari (1994) dalam penelitiannya diperoleh Pseudomonas putida yang mampu mendegradasi pestisida organofosfat metil parathion. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Shelton et al. (1996) dilaporkan bahwa hampir seluruh herbisida dapat ditransformasikan oleh Streptomyces sp lebih dari 50% dari konsentrasi awalnya. Arthrobacter sp merupakan mikroba indigenous yang diisolasi dari tanah mampu mendegradasi pestisida organofosfat isoxathion, diazinon, parathion, EPN, fenithrothion, isophenfos, clorpyrifos, dan ethoprophos (Oshiro et al. 1996). Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Chaudhry et al. (1988) mengisolasi bakteri dari tanah dan diidentifikasi sebagai genus Pseudomonas sp yang dapat mendegradasi parathion dan metil parathion.

Menurut Rao (1994) bahwa beberapa genus mikroorganisme yang mampu menguraikan pestisida golongan organoklorin jenis DDT menjadi DDD dalam tanah antara lain: Achromobacter, Aerobacter, Agrobacterium, Bacillus, Clostridium, Streptonebacterium, Escherichia, Erwinia, Kurthia, Pseudomonas, dan Streptococcus. Aldrin diubah menjadi dieldrin (namun sifat-sifat insektisidanya tidak hilang) oleh mikroorganisme genus Trichoderma, Fusarium, Penicillium, dan Pseudomonas. Heptaklor diubah menjadi heptaklor epoksida

oleh Rhizopus, Fusarium, Penicillium, Trichoderma, Nocardia, Streptomyces, Bacillus, dan Micromonospora.. Sedangkan pestisida golongan organofosfat diketahui dapat diuraikan oleh mikroorganisme genus Torulopsis, Chlorella, Pseudomonas, Thiobacillus, dan Trichoderma.

Penelitian yang dilakukan oleh Britton (1984) dalam Cookson (1995) melaporkan bahwa Bacillus sp dan Pseudomonas sp dominan untuk mendegradasi hidrokarbon demikian pula Chromobacterium sp dan Azetobacteri sp juga mempunyai kemampuan seperti Pseudomonas sp dalam mendegradasi hidrokarbon. Aktivitas bersama Pseudomonas stutzeri dan Pseudomonas aeruginosa dapat mendegradasi paration. Sedangkan Bacillus cereus dapat mendegradasi pestisida jenis piretroid (Cookson 1995).

Mikroba yang ada dalam SMC diharapkan mampu melakukan degradasi terhadap diazinon. Faktor yang sangat berpengaruh dalam proses transformasi dan degradasi diazinon yaitu faktor fisik, kimiawi dan faktor mikrobial. Namun kenyataannya sulit untuk membedakan faktor-faktor yang sangat berpengaruh karena struktur tanah yang kompleks, hal ini juga dapat menyebabkan terjadinya proses absorpsi molekul pestisida ke dalam zat-zat yang ada dalam tanah ataupun yang ada dalam jaringan tumbuhan (Bollag 1974).

Dalam penelitian ini diharapkan agar biodegradasi yang terjadi adalah degradasi yang melibatkan metabolisme mikroba dimana mikroba tersebut mampu menggunakan senyawa diazinon sebagai sumber karbon dan energi. Selain sebagai sumber karbon dan energi juga dapat terjadi gangguan mikrobial yakni terjadinya transformasi kometabolisme reaksi konjugasi dan akumulasi pestisida dalam sel mikroba itu sendiri dan dapat menyebabkan terbentuknya senyawa-senyawa yang lebih toksik dari pada senyawa asalnya (Bollag 1974).

Reaksi perubahan zat racun yang mungkin terjadi ialah oksidasi, reduksi, hidrolisis dan sintesis. Setiap reaksi tersebut merupakan bagian dari berbagai kegiatan metabolisme yang berlangsung dalam tubuh organisme. Proses detoksifikasi zat racun berlangsung dalam dua tahap yaitu tahap primer dan sekunder. Tahap primer (proses non sintesis) melalui reaksi oksidasi, hidrolisis dan kegiatan enzimatik yang menghasilkan produk-produk yang bersifat polar.

Sedang tahap sekunder (proses sintesis) adalah reaksi yang menghasilkan konjugat-konjugat sebagai produk sintesis (Tarumengkeng 1995).

Formulasi diazinon terdegradasi menjadi sejumlah tetraetilpirofosfat, menghasilkan sulfotepp (S,S-TEPP) dan monothiotepp (O,S-TEPP) seperti pada Gambar 2 (a dan b), kedua senyawa tersebut mempunyai sifat toksik yang lebih tinggi dan merupakan inhibitor enzim kolinesterase terutama O,S-TEPP yaitu 14000 kali lebih toksik dari pada diazinon (Allender dan Britt 1994). Komponen heterosiklik diazinon dapat diaktivasi oleh enzim monooksidase yang membentuk derivatif P = O menghasilkan diazoxon (Gambar 2c) yang juga bersifat lebih toksik dari diazinon karena adanya aktivitas anti asetilkholinesterase (Zhang dan Pehkonen, 1999). Secara umum diazinon mempunyai rute degradasi mencakup pemutusan ikatan P – O – Pirimidin oleh aktivitas NADPH-dependent oksidase.

Pelepasan diazinon ke dalam tanah diharapkan tidak terikat pada tanah akan tetapi bergerak mengalir dalam tanah. Fotolisis diazinon terjadi pada permukaan tanah yang membentuk produk berupa senyawa 2-(1-hidroksi-1-metil)etil-4-metil-6-hidroksipirimidin (Gambar 2d).

+

fotolisis/ fotolisis hidrolisis oksidasi asetilasi Diazinon dekomposisi dekomposisi

Gambar 2 Produk-produk degradasi diazinon

a g a a f e a d a a b a a c

Proses pembentukan metabolit diazinon (reaksi transformasi enzimatik) terjadi melalui reaksi primernya yaitu hidrolisis yang diikuti oleh reaksi pemecahan rantai cincin diazinon, sehingga diazinon terdegradasi pada reaksi primer menjadi 2-isopropil-4-metil-6-pirimidinol (IMP) dan tiofosfonat. Menurut Ku et al. (1997) bahwa dekomposisi diazinon secara hidrolisis dan fotolisis berkaitan erat dengan pH dan intensitas cahaya ultraviolet yang membentuk senyawa IMP dan tiofosfonat (Gambar 2e dan 2f). Produk hidrolisis dan fotolisis tersebut diidentifikasi sebagai senyawa yang sifat toksiknya menurun dibanding dengan senyawa diazinon (Bollag 1974). Menurut Machin et al. (1971) dalam Gallo dan Lawryk (1991) bahwa irradiasi sinar ultraviolat pada diazinon selama 2 jam maka dapat mensubstitusi gugus isopropil pada cincin menjadi gugus asetil (Gambar 2g) . Senyawa tersebut merupakan inhibitor kolinesterase tidak langsung dan lebih kuat dari pada diazinon.

Secara alamiah di lingkungan yang tercemar diazinon mengandung beraneka ragam mikroorganisme sehingga polutan yang ada di lingkungan tersebut dapat didegradasi. Degradasi diazinon tidak hanya dilakukan oleh mikroba yang ada di lingkungan tersebut (mikroba indigenous), tetapi dengan adanya cahaya diazinon juga dapat terdegradasi. Mikroba indigenous membutuhkan waktu yang sangat lama untuk beradaptasi dengan bahan/senyawa pencemar (residu pestisida), yang disebabkan karena mikroba tersebut tidak pernah berhubungan langsung dengan residu pestisida tersebut. Oleh karena itu perlu suatu adaptasi dimana dalam proses adaptasi mikroba tersebut berusaha mengeluarkan enzim dan plasmid yang dapat mendetoksifikasi senyawa yang akan didegradasi. Tapi sebaliknya sering pula terjadi aktivasi yaitu zat racun lebih dimodifikasi dan dikonversi menjadi zat yang lebih beracun.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suherman (2000) telah dapat diisolasi mikroba indigenous galur B3 yang dapat mendegradasi diazinon. Isolat tersebut menunjukkan kemampuannya untuk beradaptasi dengan diazinon sampai konsentrasi 1000 ppm dalam media agar. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Ningsih (2001) menunjukkan bahwa isolat B3 mampu hidup dalam lingkungan yang mengandung diazinon pada konsentrasi 200 ppm.

Isolat B3 yang diisolasi dari areal persawahan mampu menurunkan konsentrasi residu diazinon sebesar 55.52% pada konsentrasi 50 ppm (54.98 ppm) dan sebesar 68.34% untuk konsentrasi 100 ppm (118.82 ppm) selama kurun waktu 27 jam (Suherman 2000). Pada penelitian yang dilakukan oleh Ningsih (2001) yakni untuk melihat kemampuan isolat B3 dalam mendegradasi diazinon, ternyata isolat B3 dapat menurunkan konsentrasi diazinon 54.82% pada konsentrasi diazinon 50 ppm, sebesar 79.66% pada konsentrasi diazinon 100 ppm, dan sebesar 36.75% pada konsentrasi diazinon 200 ppm. Menurut Bollag (1974) diazinon mempunyai masa persistensi selama 9 hari di dalam tanah, sehingga dapat disimpulkan bahwa penurunan konsenstrasi diazinon diakibatkan karena terdegradasinya diazinon secara mikrobial (Suherman 2000; Ningsih 2001).

2.5. Kompos

Menurut Indriani (1999) kompos adalah bahan organik yang telah mengalami degradasi/penguraian/pengomposan sehingga berubah bentuk dan sudah tidak dikenali bentuk aslinya, warna kehitam-hitaman, dan tidak berbau. Bahan organik berasal dari tanaman maupun hewan, termasuk kotoran hewan. Pupuk organik dapat memperbaiki struktur tanah, menaikkan daya serap tanah terhadap air, menaikkan kondisi kehidupan dalam tanah, serta mengandung zat-zat organik yang dibutuhkan tanaman.

Penambahan bahan organik dalam tanah dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Sifat kimia tanah yang diperbaiki di antaranya adalah meningkatkan ketersediaan unsur hara tanah seperti nitrogen, fosfor, kalium, dan sulfur. Menurut Indrasti (2003), kompos merupakan bahan yang dihasilkan dari proses degradasi bahan organik yang dapat berguna bagi tanah-tanah pertanian seperti memperbaiki sifat kimia, fisika dan biologi tanah, sehingga produksi tanaman menjadi lebih tinggi.

Kandungan utama kompos selain bahan organik, kompos juga mengandung unsur-unsur hara makro dan mikro seperti nitrogen, fosfat, kalium, magnesium, besi, dan mangan. Susunan unsur hara yang dikandung oleh kompos bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan yang dikomposkan, cara pengomposan, tingkat kematangan, dan cara penyimpanan (US-EPA 1994). Kandungan unsur hara

dalam kompos relatif kecil bila dibandingkan dengan pupuk kimia. Oleh karena itu pupuk kimia lebih banyak digunakan oleh petani, selain karena kandungan unsur-unsur yang tinggi juga karena kemudahan dalam pengaplikasiannya. Tetapi penggunaan pupuk kimia tersebut akan memberikan efek yang merugikan karena dapat menurunkan tingkat kesuburan tanah dan bahaya residu bahan kimia terhadap kesehatan manusia (Indrasti et al. 2005). Oleh karena itu kombinasi penggunaan pupuk organik) kompos dengan pupuk anorganik masih merupakan salah satu solusinya, tetapi porsi pupuk organik perlu ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas produksi.

Kualitas kompos sangat dipengaruhi oleh kematangan kompos. Kompos yang telah matang memiliki kandungan bahan organik yang dapat terdekomposisi dengan mudah, nisbah C/N yang rendah, tidak menyebabkan bau, kadar air yang memadai dan tidak mengandung unsur-unsur yang merugikan bagi tanaman (phytotoxic, benih rumput dan patogen).

Beberapa penelitian terdahulu dilaporkan bahwa penggunaan kompos dalam proses bioremediasi telah terbukti efektif dalam mendegradasi banyak jenis kontaminan seperti hidrokarbon terklorinasi dan tak terklorionasi, bahan-bahan kimia pengawet kayu, pelarut, logam berat, pestisida, produk-produk minyak, bahan peledak dan senyawa-senyawa senobiotik lainnya (EPA 1997; EPA 1999; Gray et al. 1999; Baker & Bryson 2002).

Dokumen terkait