BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR DIAZINON
SECARA EX SITU DENGAN MENGGUNAKAN
KOMPOS LIMBAH MEDIA JAMUR
(SPENT MUSHROOM COMPOST)
JUMBRIAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Bioremediasi Tanah Tercemar
Diazinon Secara Ex Situ dengan Menggunakan Kompos Limbah Media Jamur
(Spent Mushroom Compost) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2006
Jumbriah
ABSTRAK
JUMBRIAH. Bioremediasi Tanah Tercemar Diazinon Secara Ex Situ dengan Menggunakan Kompos Limbah Media Jamur (Spent Mushroom Compost). Dibimbing oleh NASTITI SISWI INDRASTI, MOH. YANI dan M. AHKAM SUBROTO.
Pestisida merupakan senyawa asing (xenobiotik) dan sulit terdegradasi pada kondisi tertentu (rekalsitran) sehingga perlu penanganan yang serius agar tidak membawa dampak negatif bagi lingkungan dan manusia. Salah satu metode yang dapat dilakukan yaitu dengan teknik bioremediasi menggunakan spent mushroom compost (SMC). Tanah dicemari diazinon dengan konsentrasi 500 ppm,1000 ppm, dan 1500 ppm kemudian ditambahkan SMC sebanyak 10%, 20%, dan 30% lalu diinkubasi selama 28 hari. Penurunan konsentrasi diazinon diukur setiap minggu dengan cara mengestraksi sampel dengan etil asetat dan dianalisis dengan spektrofotometer. Pengolahan data menggunakan metoda respon permukaan (RSM).
Dari hasil analisis diperoleh pada hari ke-14 titik maksimum penurunan konsentrasi diazinon mencapai 88.1% pada perlakuan kombinasi jumlah kompos 30% dan konsentrasi diazinon 1000 ppm. Pada hari ke-21 penurunan konsentrasi diazinon mencapai 91.8% pada perlakuan kombinasi jumlah kompos 25% dan konsentrasi diazinon 1000 ppm. Pada hari ke-28 penurunan konsentrasi diazinon sebesar 97.5% pada perlakuan kombinasi jumlah kompos 26% dan konsentrasi diazinon 1000 ppm. Proses degradasi diazinon yang efektif dapat dilakukan selama 21 hari dengan penambahan kompos pada tanah sebesar 15-30% pada konsentrasi diazinon 1000 ppm.
ABSTRACT
JUMBRIAH. Ex Situ Bioremediation of Diazinon Contaminated Soil by Using Spent Mushroom Compost. Under the direction of NASTITI SISWI INDRASTI, MOH. YANI dan M. AHKAM SUBROTO.
Pesticide is a xenobiotic compound and rexalcytran which should be handled seriously in order to prevent human and environment from those negative effects. One of the methods which can be utilized is bioremediation technique which is utilizing fresh spent mushroom compost (SMC). The diazinon contaminated soil whith the concentration of 500 ppm, 1000 ppm and1500 ppm, was added with SMC of 10%, 20% and 30%, then incubated for 28 days. The reduction of diazinon concentrate was analyzed every week through extracted sample with etyl acetat and measured by spectrophotometer. The data processing was conducted by using respon surface method (RSM).
Based on this analysis, the maximum point of diazinon concentrate reduction was 88% with the treatment of combination of 30% compost and 1000 ppm diazinon, it was obatined on the 14th. On the 21st day the diazinon concentration reduction was 91.8%. It was the result from combination of 25% compost and 1000 ppm diazinon. On 28th day, the diazinon concentration reduction was 97.5%, result from the treatment of 26% compost and 1000 ppm diazinon. The diazinon degradation process can be effectively ferformed by adding 15-30% compost, with 1000 ppm of diazinon within 21 days incubation.
© Hak cipta milik Jumbriah, tahun 2006 Hak cipta dilindungi
BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR DIAZINON
SECARA EX SITU DENGAN MENGGUNAKAN
KOMPOS LIMBAH MEDIA JAMUR
(SPENT MUSHROOM COMPOST)
JUMBRIAH
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Bioremediasi Tanah Tercemar Diazinon Secara Ex Situ dengan Menggunakan Kompos Limbah Media Jamur (Spent Mushroom Compost)
Nama : Jumbriah
NIM : F351030251
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti
Ketua
Dr. Ir. Moh. Yani, M.Eng Dr. Ir. M. Ahkam S, M.App.Sc.APU Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian
Dr. Ir. Irawadi Jamaran Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan
berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan tidak
bercabang, disirami dengan air yang sama.
Kami melebihkan sebahagian tanaman-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir. (Qs. Ar-Ra’d (13): 13-14)
PRAKATA
Bismillahirrahmaanirrahim. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT karena dengan taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini yang dilaksanakan pada bulan April-Oktober 2005 di Laboratorium
Bioproses IV Puslit Biotek-LIPI Cibinong dengan judul: Bioremediasi Tanah
Tercemar Diazinon Secara Ex Situ dengan Menggunakan Kompos Limbah Media
Jamur (Spent Mushroom Compost).
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis
sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti selaku ketua Komisi
Pembimbing, Bapak Dr. Ir. Moh. Yani, M.Eng dan Bapak Dr. Ir. M. Ahkam
Subroto, M.App.Sc.,APU selaku anggota komisi pembimbing yang banyak
memberi bimbingan, arahan, perhatian, dan masukan selama penulis melakukan
penelitian dan penyusunan tesis ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan
penghargaan kepada Ibu Atit Kanti, MSc selaku koordinator Laboratorium
Taksonomi LIPI-Bogor yang banyak membantu dan memberikan bimbingan
mengenai identifikasi bakteri.
Ungkapan terima kasih yang tulus dan ikhlas disampaikan kepada ayah dan
ibu serta adik-adikku atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih juga
kepada rekan-rekan mahasiswa TIP khususnya angkatan tahun 2003 yang banyak
membantu dan memberi dorongan serta motivasi. Kepada rekan-rekan di
Laboratorium Bioproses IV Bioteknologi LIPI-Cibinong yang banyak membantu
selama melakukan penelitian ini penulis ucapkan terima kasih. Terima kasih dan
penghargaan yang tak terhingga penulis ucapkan kepada Bapak koordinator
Proyek Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Melalui Sistem Bioremediasi
(RUT: 01.6401) tahun anggaran 2005 atas pendanaan dan fasilitas yang diberikan
kepada penulis sehingga penelitian ini dapat terlaksana.
Kepada semua pihak yang telah membantu secara moril maupun materil,
penulis menyampaikan terima kasih, semoga Allah SWT memberikan pahala
yang setimpal. Amin.
Bogor, Februari 2006
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bone pada tanggal 1 September 1968 dari ayah H.
Lade Tellana dan ibu Hj. Nabang D. Penulis merupakan putri pertama dari empat
bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Teknik Kimia, Fakultas
Teknologi Industri Universitas Muslim Indonesia Makassar dan lulus pada tahun
1994. Pada tahun 2003, penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan
pascasarjana di Program Studi Toknologi Industri Pertanian, Sekolan Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Penulis bekerja sebagai dosen yayasan di Universitas Lakidende dan
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 2
1.3. Tujuan Penelitian ... 4
1.4. Hipotesis ... 4
1.5. Ruang Lingkup ... 4
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pestisida ... 5
2.2. Diazinon ... 8
2.3. Bioremediasi dan Biodegradasi ... 11
2.4. Degradasi Residu Pestisida Diazinon ... 14
2.5. Kompos ... 19
2.6. Bioremediasi Menggunakan Kompos ... 20
2.7. Kompos Limbah Media Jamur (Spent Mushroom Compost) ... 21
3. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 24
3.2. Alat dan Bahan ... 24
3.2.1. Alat ... 24
3.2.2. Bahan ... 24
3.3. Pengambilan Sampel untuk Perlakuan ... 25
3.4. Desain Penelitian ... 25
3.4.1. Penelitian Tahap I ... 25
3.3.3. Penelitian Tahap II ... 25
3.5. Proses Biodegradasi Diazinon ... 26
3.6. Analisis Kadar Diazinon ... 27
3.6.2. Spektrofotometer UV-VIS ... 28
3.7. Isolasi Mikroba dan Identifikasi ... 28
3.7.1. Pembuatan Media ... 28
3.7.1.1. Potato Dextrose Agar (PDA) ... 28
3.7.1.2. Nutrien Agar (NA) ... 29
3.7.2. Isolasi Mikroba (Bakteri dan Kapang) ... 29
3.7.3. Pewarnaan Bakteri ... 31
3.7.4. Determinasi dan Identifikasi ... 33
3.7.5. Uji Kemampuan Degradasi Diazinon ... 37
3.7.5.1. Pembuatan Media NA Adaptasi ... 38
3.7.5.2. Pembuatan Media MSPY ... 38
3.8. Analisis Aktivitas Mikroba dengan Fuorescein Diacetate (FDA) Assay ... 39
3.9. Rancangan Percobaan ... 40
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Diazinon ... 42
4.1.1. Analisis Degradasi Diazinon dengan KLT ... 42
4.1.2. Analisis Penurunan Konsentrasi Diazinon dengan Spektrofotometer ... 43
4.2. Isolasi dan Identifikasi Bakteri dari SMC ... 58
4.3. Uji Kemampuan Degradasi Diazinon ... 60
4.4. Komposting ... 62
4.5. Uji Aktivitas Mikroba ... 66
SIMPULAN DAN SARAN ... 69
DAFTAR PUSTAKA ... 70
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Penemuan toksikologi dan evaluasi pada insektisida tertentu ... 10
2. Karakteristik kompos limbah media jamur ... 22
3. Komposisi kompos limbah media jamur ... 23
4. Kisaran dan taraf peubah uji pada optimasi bioremediasi ... 40
5. Matriks satuan percobaan ... 41
6. Jumlah populasi, aktivitas mikroba dan degradasi diazinon ... 52
7. Pembentukan zona jernih oleh Bacillus cereus ... 62
8. Hasil analisis unsur hara SMC yang digunakan ... 63
9. Hasil analisis unsur hara pada sampel (tanah + kompos) ... 64
10. Standar kualitas unsur makro kompos berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI-19-7030-2004) ... 65
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Rumus bangun diazinon ... 9
2. Produk-produk degradasi diazinon ... 17
3. Diagram tahapan penelitian ... 26
4. Tahapan isolasi dan identifikasi bakteri ... 37
5. Kromatogram hasil KLT ... 42
6. Grafik permukaan respon hasil degradasi diazinon hari ke-7 ... 44
7. Probabilitas normal hasil degradasi diazinon hari ke-7 ... 45
8. Grafik permukaan respon hasil degradasi diazinon hari ke-14 ... 47
9. Probabilitas normal hasil degradasi diazinon hari ke-14 ... 48
10. Grafik permukaan respon hasil degradasi diazinon hari ke-21 ... 49
11. Probabilitas normal hasil degradasi diazinon hari ke-21 ... 50
12. Grafik permukaan respon hasil degradasi diazinon hari ke-28 ... 51
13. Probabilitas normal hasil degradasi diazinon hari ke-28 ... 52
14. Kurva jumlah populasi dan aktivitas mikroba ... 53
15. Grafik interaksi tiga faktor terhadap hasil degradasi diazinon ... 56
16. Probabilitas normal hasil degradasi diazinon dengan tiga faktor ... 57
17. Grafik interaksi ratio kompos dengan waktu terhadap aktivitas mikroba ... 58
18. Bentuk bakteri hasil identifikasi ... 59
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Data pengamatan analisis diazinon dan kurva standar ... 76
2. Hasil analisis degradasi diazinon hari ke-7 ... 78
3. Hasil analisis degradasi diazinon hari ke-14 ... 79
4. Hasil analisis degradasi diazinon hari ke-21 ... 80
5. Hasil analisis degradasi diazinon hari ke-28 ... 81
6. Hasil analisis degradasi diazinon kombinasi waktu, rasio kompos, dan konsentrasi diazinon ... 82
7. Deskripsi hasil identifikasi bakteri ... 83
8. Analisis aktivitas mikroba dan kurva standar ... 87
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pestisida sering juga disebut obat-obatan antiparasit atau bahan fitofarmasi
yang mempunyai peranan penting dalam usaha peningkatan produksi pertanian.
Penggunaan pestisida pada sektor pertanian di satu sisi akan memberi hal yang
positif yaitu dapat meningkatkan produksi tanaman. Namun di sisi lain akan
menimbulkan dampak negatif karena adanya sejumlah residu pestisida yang
tertinggal pada tanaman, biji-bijian, tanah ataupun terbawa dalam perairan.
Residu pestisida yang tertinggal tidak hanya berbahaya bagi lingkungan, tetapi
juga berbahaya bagi kesehatan manusia. Secara langsung ataupun tidak langsung
sejumlah bahan kimia tersebut dapat mencapai manusia, melalui pernapasan,
makanan dan air minum. Dampak negatif lain yang ditimbulkan adalah masalah
keracunan yang terjadi lebih dari 400 ribu kasus pertahun, pencemaran lingkungan
yang mencakup kontaminasi terhadap tanah, air permukaan, air tanah, dan udara
(www.tempo.co.id/medika).
Permasalahan dalam pendegradasian pestisida adalah adanya
senyawa-senyawa pestisida yang kuat menetap di lingkungan dan sulit terdegradasi
(rekalsitran) oleh mikroorganisme. Hal ini disebabkan mikroorganisme perombak
tidak pernah berhubungan dengan senyawa tersebut sehingga mikroorganisme
perombak belum berpengalaman dalam perombakan senyawa-senyawa yang
belum dikenal sebelumnya, karena tidak memiliki enzim yang dibutuhkan untuk
mendegradasi senyawa-senyawa rekalsitran ataupun bahan pencemar tersebut.
Melalui proses kimia, biokimia dan fisika, maka lambat laun
mikroorganisme-mikroorganisme tersebut dapat beradaptasi dan melakukan perombakan. Dalam
proses adaptasi tersebut terjadi sintesis enzim dan plasmid yang dibutuhkan untuk
mendegradasi senyawa rekalsitran (Gumbira-Said dan Fauzi, 1996).
Banyak usaha yang telah dilakukan untuk mengurangi dan memperkecil
dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida. Usaha tersebut dapat
dilakukan dengan menerapkan pola pengendalian hama terpadu, mengembangkan
teknologi mikroorganisme efektif, dan menggunakan pestisida yang berasal dari
teknologi saat ini telah banyak teknologi alternatif untuk mengatasi dan
memperbaiki kondisi lingkungan yang telah terkena polutan. Salah satunya yakni
dengan berkembangnya teknik bioremediasi baik secara in situ maupun secara ex
situ. Di negara-negara barat saat ini telah dikembangkan teknik bioremediasi
dengan menggunakan kompos (compost bioremediation). Teknik bioremediasi ini
banyak diminati karena lebih praktis dan ekonomis dibanding dengan teknik
bioremediasi lainnya (US-EPA, 1997; 1998). Penggunaan kompos dalam proses
bioremediasi efektif dalam mendegradasi banyak jenis kontaminan seperti
hidrokarbon terklorinasi dan tak terklorinasi, bahan-bahan kimia pengawet kayu,
pelarut, logam berat, pestisida, produk-produk minyak, bahan peledak dan
senyawa-senyawa senobiotik lainnya (EPA 1997; EPA 1999; Gray et al. 1999;
Baker & Bryson 2002 ).
Kompos merupakan salah satu pupuk organik yang memiliki keunggulan
dibandingkan dengan pupuk sintetis, karena selain dapat memperbaiki sifat-sifat
fisik tanah, memulihkan dan meningkatkan kesuburan tanah, kompos juga
mempunyai kandungan unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman serta
merupakan absorban yang sangat baik untuk senyawa-senyawa organik dan
anorganik. Pemakaian kompos akan menambah kemampuan tanah dalam
menyimpan air dan menyerap pupuk, sehingga akan membantu dalam
pertumbuhan tanaman (CPIS 1992).
1.2. Permasalahan
Residu pestisida merupakan salah satu limbah kimia berbahaya dan beracun
yang bersifat persisten (sulit terdegradasi pada kondisi tertentu) di alam. Akan
tetapi bukan berarti tidak dapat terdegradasi sama sekali, namun peristiwa
degradasi yang terjadi sangat lambat karena kondisi lingkungan yang tidak
mendukung. Secara alamiah lingkungan tercemar tersebut mengandung aneka
ragam mikroorganisme (mikroba indigenous). Mikroorganisme tersebut
diperlukan dalam penanganan limbah atau polutan sebagai pendegradasi dan
untuk menguraikan bahan organik menjadi bahan yang lebih sederhana.
Fenomena yang perlu mendapatkan perhatian dalam mengoptimalisasikan
galur mikroorganisme di lingkungan. Menurut Ohshiro et al. (1996), Arthrobacter
sp. mampu mendegradasi organofosfat isoxathion melalui reaksi hidrolisis
menjadi 3-hidroksi-5-fenilisoxazol dan asam dietiltiofosforik, juga dapat
menghidrolisis diazinon, paration, fenitrotion, isofenfos, khlorphyrifos dan
ethoprofos. Chen dan Mulchandani (1998) dalam penelitiannya menemukan
bahwa Pseudomonas putida dapat mendegradasi pestisida golongan organofosfat
seperti diazinon, fenitrition, paration, dan malation dengan menjadikannya sebagai
sumber karbon dan atau sumber fosfor. Mikroorganisme tersebut terlebih dahulu
harus diadaptasikan dengan lingkungan yang terdapat pestisida agar secara
genetik plasmid di dalam sel mikroorganisme akan mengeluarkan enzim untuk
melawan pestisida, sehingga mikroorganisme akan terbiasa dengan lingkungan
yang mengandung pestisida.
Salah satu cemaran yang perlu mendapatkan penanganan yang serius saat
ini adalah cemaran pestisida jenis diazinon. Diazinon adalah salah satu jenis
pestisida golongan organofosfat yang banyak digunakan oleh petani untuk
mengendalikan dan memberantas hama tanaman padi, tembakau, tebu, jagung dan
tanaman hortikultura lainnya, karena diazinon mempunyai sifat pestisida dengan
spektrum yang luas, hasilnya cepat diketahui dan sifat persistensinya rendah. Bila
hal ini tidak mendapat perhatian secepatnya maka akan menimbulkan dampak
yang semakin buruk dan merusak lingkungan maupun kesehatan manusia karena
hal ini sangat berpotensi untuk masuk ke dalam rantai makanan, sehingga dapat
membahayakan bagi kesehatan manusia.
Hingga saat ini usaha untuk penanganan pencemaran pestisida khususnya
diazinon baru dilakukan secara konvensional ataupun dengan teknik bioremediasi
secara in situ maupun secara ex situ. Namun hal ini belum berhasil dengan baik
yang disebabkan oleh faktor teknis dan faktor ekonomi. Dari penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Suherman (2000) telah dapat diisolasi mikroba
indigenous galur B3 yang dapat mendegradasi diazinon. Isolat galur B3 yang di
peroleh belum murni dan hanya diidentifikasi secara visual dari bentuk
penampakan koloninya yang masih merupakan campuran koloni-koloni bakteri.
Isolat tersebut menunjukkan kemampuannya untuk beradaptasi dengan diazinon
dilakukan oleh Ningsih (2001) menunjukkan bahwa isolat B3 mampu hidup
dalam lingkungan yang mengandung diazinon dengan konsentrasi 200 ppm.
Degradasi diazinon oleh isolat B3 menghasilkan suatu senyawa namun senyawa
tersebut belum dapat diidentifikasi secara jelas.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menentukan jumlah pencampuran
kompos yang terbaik untuk mendegradasi diazinon dalam tanah; (2) Memperoleh
galur bakteri dari kompos limbah jamur tiram (spent mushroom compost/SMC)
yang mampu mendegradasi diazinon; (3) Mengetahui kemampuan bakteri yang
terdapat pada SMC dalam mendegradasi diazinon. Sedangkan kegunaan dari
penelitian ini adalah (1) Untuk memberikan alternatif penggunaan kompos dalam
bidang pengolahan tanah/lahan yang tercemar pestisida; (2) Memberi informasi
bagi masyarakat tentang cara mengeliminasi pencemaran pestisida dalam tanah.
1.4. Hipotesis
1. Jumlah kompos, konsentrasi diazinon, dan waktu serta interaksinya
berpengaruh terhadap tingkat degradasi diazinon pada teknik bioremediasi
secara ex situ (pengomposan)
2. Pada biodegradasi diazinon dengan menggunakan kompos (compost
bioremediation) terdapat konsorsium bakteri yang dapat mendegradasi
diazinon.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
1. Bioremediasi untuk menentukan pengaruh jumlah kompos, konsentrasi
diazinon dan waktu inkubasi.
2. Penentuan kondisi terbaik untuk proses bioremediasi tanah tercemar diazinon
3. Isolasi dan identifikasi bakteri dari SMC yang diduga dapat mendegradasi
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pestisida
Pestisida berasal dari bahasa latin yaitu pestis (hama) dan caedo
(pembunuh), dapat diterjemahkan menjadi racun untuk mengendalikan jasad
pengganggu atau yang biasa juga disebut organisma pengganggu tanaman (OPT).
Pestisida adalah semua zat yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan
hama. Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 7 tahun 1973, pestisida adalah
semua zat kimia dan bahan-bahan lain serta jasad-jasad renik dari virus yang
digunakan untuk:
1. Memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman,
bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian
2. Memberantas rerumputan
3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan
4. Memberantas atau mencegah hama luar pada hewan piaraan dan ternak
5. Memberantas atau mencegah hama-hama air
6. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman,
tidak termasuk pupuk
7. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam
rumah, bangunan dan alat-alat pengangkutan
8. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan
penyakit pada menusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan
penggunaan pada tanaman, tanah dan air.
Pestisida merupakan pilihan utama yang sering digunakan untuk
melindungi tanaman dari hama serta memberantas organisma pengganggu pada
budidaya suatu tanaman sebab pestisida mempunyai daya bunuh yang tinggi,
penggunaannya mudah, dan hasilnya cepat diketahui. Namun bila aplikasinya
kurang bijaksana dapat membawa dampak negatif pada pengguna, hama sasaran,
maupun terhadap lingkungan, masalah yang utama bagi kesehatan manusia adalah
adanya residu pestisida dalam makanan karena hal ini dapat melibatkan sejumlah
penggunaan pestisida hanya berdasarkan sifat-sifat racunnya dan
direkomendasikan dalam dosis yang tepat pada batas yang aman (safety margins).
Pestisida tidak hanya dibutuhkan dalam bidang pertanian saja, tetapi dalam
bidang dan kegiatan lainpun memerlukan pestisida untuk mengatasi
permasalahannya. Misalnya penggunaan dalam bidang kesehatan masyarakat,
pestisida digunakan untuk mengendalikan hama dan penyakit demi kesehatan
manusia dan lingkungannya yakni terdapatnya jenis-jenis penyakit yang dapat
disebarkan oleh hewan-hewan perantara yang merupakan potensi bahaya bagi
manusia, sehingga perlu dilakukan pengendalian ataupun pemberantasan populasi
agar dapat mengurangi menyebaran penyakit. Penggunaan lain yaitu dalam
bidang perikanan dan peternakan, pestisida ini digunakan untuk melindungi dan
mengawetkan ikan, ataupun untuk melindungi ternak dari beberapa penyakit
hewan yang disebabkan oleh serangga dan hewan lain misalnya cacing.
Penggunaan pestisida dalam jumlah yang sangat kecilpun dapat
menimbulkan permasalahan apalagi dalam jangka waktu yang sangat panjang.
Permasalahan tersebut dapat terjadi karena potensi racun (toksisitas) kimia, sifat
keawetan di alam maupun substrat, variasi pemakaian dan penyiapan yang tidak
sesuai serta adanya kecenderungan untuk biomagnifikasi. Akumulasi pestisida
karena adanya absorpsi oleh alam melalui tanah, air dan mahluk hidup lainnya
(Tarumengkeng 1992).
Berdasarkan jenis hama dan sasarannya, pestisida terdiri atas beberapa
kelompok yakni insektisida untuk membasmi serangga, herbisida untuk
membasmi gulma, rodentisida untuk membasmi tikus, fungisida untuk membasmi
jamur, moluskisida untuk membasmi siput, bakterisida untuk membasmi bakteri
dan nematisida untuk membasmi cacing. Sedang berdasar jenis bahan kimia
penyusunnya, pestisida dibagi atas empat golongan yaitu organoklorin,
organofosfat, karbamat serta pestisida lain yang mengandung substansi organik.
sebagian besar jenis pestisida termasuk senyawa-senyawa hidrokarbon siklik
berklor, aromatik berklor, ester, alkil halida pendek (fumigan) dan fosfat organik
(Ekha 1991; Tarumengkeng 1992).
Usaha yang telah dilakukan untuk memperkecil dampak negatif yang
hama terpadu, mengembangkan teknologi mikroorganisme efektif, dan
menggunakan pestisida yang berasal dari tanaman atau pestisida nabati.
Kontribusi pemerintah dalam usaha ini adalah memberikan izin penggunaan pada
jenis pestisida yang mempunyai spektrum sempit serta mencabut subsidi pestisida
agar harga pestisida menjadi mahal. Namun kenyataannya para petanipun masih
menggunakan pestisida dalam jumlah yang cukup banyak, karena dengan
menggunakan pestisida produksi pertanian mereka akan meningkat. Dengan
demikian peningkatan produksi pertanian masih tergantung pada penggunaan
pestisida.
Keawetan pestisida dengan pemakaian normal dalam tanah sangat
bervariasi tergantung pada struktur dan sifat senyawanya. Misalnya keawetan
insektisida golongan organofosfat yang sangat beracun dalam tanah sangat
rendah yaitu tidak akan tahan lebih dari tiga bulan seperti diazinon (3 bulan),
disulfoton (4 minggu), forat (2 minggu), malation dan paration (sampai 2
minggu). Sebaliknya beberapa insektisida hidrokarbon terklorinasi dapat tetap
bertahan sampai waktu yang lama (4-5) tahun, misalnya Klordan (5 tahun), DDT
(4 tahun), BHC (3 tahun) heptaklor epoksida dan dieldrin (1-3 tahun) (Rao 1994).
Pemakaian pestisida dalam jumlah yang sedikitpun namun secara terus
menerus akan menyebabkan penimbunan residu dalam tanah dan menyebabkan
meningkatnya penyerapan senyawa kimia tersebut oleh tanaman sehingga
membahayakan bagi ternak dan manusia ataupun lingkungan. Apabila pestisida
tersebut digunakan pada tanah yang baru diusahakan, akan lebih mudah hilang
setelah adanya fase tenggang permulaan tetapi pemakaian senyawa kimia yang
sama secara periodik akan menyebabkan terakumulasinya bahan yang digunakan
tergantung keawetan pestisida tersebut.
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengambilan dan penyerapan
pestisida dalam sistem biologis dikaitkan dengan antara lain (1) sifat fisik dan
kimia inheren dan pestisida (misalnya, volatilisasi, kelarutan dalam air); (2)
karakteristik fisiologis berbagai spesies (misalnya perilaku makan, jalur
pengambilan, dan habitat); (3) sifat spesifik ekosistem (misalnya jenis sistem
aliran, suhu, pH, bahan organik, struktur jaring makanan). Lenyapnya suatu
fotodekomposisi dan erosi tanah oleh air dan angin juga ikut menyumbang
hilangnya pestisida dalam tanah.
Toksisitas pestisida tergantung pada golongan pestisida itu sendiri
misalnya insektisida organoklorin (OC) bersifat karsinogenik, cenderung
mengalami bioakumulasi dan biomagnifikasi karena mampu bertahan tersimpan
lama dalam lemak tubuh, serta dapat merangsang sistem saraf dan menyebabkan
parestesia, peka terhadap perangsangan, iritabilitas, terganggunya keseimbangan,
tremor dan kejang-kejang. Sedangkan golongan Organofosfat (OP) dan Karbamat
tidak bersifat karsinogenik tetapi dapat menghambat asetilkolinesterase sehingga
mengganggu sistem saraf yang dapat menyebabkan kelumpuhan. Beberapa
organofosfat, karbamat, organoklorin, fungisida ditiokarbamat, dan herbisida
mengubah berbagai fungsi imun, misalnya malation, metilparation, karbaril, DDT,
parakuat, dan dikuat telah terbukti dapat menekan pembentukan antibodi,
mengganggu fagositosida leukosit, dan mengurangi pusat germinal pada limpa,
dan kelenjar limpa (Koller 1979; Street 1981 dalam Lu 1995).
Tanah dan sedimen juga sangat berperanan penting dalam pengangkutan
dan penghilangan pencemaran di lingkungan dengan (1) menyediakan permukaan
penyerapan; (2) bertindak sebagai sistem penyangga; dan (3) sebagai pencuci
pencemar. Namun proses pengangkutan paling menonjol yang berhubungan
dengan tanah dan sedimen adalah penyerapan (adsorpsi) dan pencucian (Connel
1995).
2.2. Diazinon
Diazinon merupakan salah satu pestisida yang termasuk golongan
organofosfat dari grup fosforotioat/fosforotionat (Chambers 1992). Diazinon
merupakan insektisida yang sangat efektif digunakan untuk memberantas dan
membasmi, ataupun mengendalikan hama-hama tanaman seperti kutu daun, lalat,
wereng, kumbang penggerek padi, dan sebagainya. Diazinon umumnya digunakan
pada tanaman buah, padi, tebu, jagung, dan tembakau serta tanaman hortikultura.
Diazinon mempunyai nama kimia
C 47.36%, H 6.95%, N 9.20%, O 15.77%, P 10.18% dan S 10.54%, dan rumus
bangunnya seperti terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Rumus bangun diazinon
Diazinon dikenal dengan beberapa nama formulasi (dagang) antara lain:
Basudin, Dazzel, Gardentox, Kayazal, Knox Out, Nucidol, Spectracide, Diazinon
10 G, Diazinon 60 EC, Sidazinon 600 EC, Agrostar 600 EC, dan Prozinon 600
EC. Diazinon murni tidak berwarna dan berbentuk cairan, sedang diazinon teknis
berwarna kecoklatan dan berbentuk cairan. Diazinon mempunyai bobot molekul
304.35 g/mol, titik didih antara 83 – 84oC pada 258 mPa, dan tekanan uap sebesar
1.4 x 10-4 mmHg pada suhu 20oC. Kelarutan dalam air 0.004% pada suhu 20oC,
volatilitas 2.4 mg/m3 pada 20oC dan 17.6 mg/m3 pada 40oC (Marck Index, 1996).
Diazinon mempunyai waktu paruh (waktu tinggal) 30 hari (Wauchope et al. 1992
dalam Leland 1998), larut dalam pelarut organik seperti alkohol, aseton, benzen,
sikloheksana, diklorometana, dietil eter, petrolium eter, dan toluena. Sensitif
terhadap oksidasi dan suhu tinggi, mudah terurai di atas suhu 100oC, stabil pada
lingkungan alkali tetapi secara perlahan-lahan dapat terhidrolisis dalam air dan
asam lemah tetapi dapat terhidrolisis dengan cepat dalam lingkungan yang asam
(Hayes dan Laws 1991).
Diazinon mempunyai spektrum daya bunuh yang luas terhadap serangga
dan berbagai cacing tanah. Toksisitas akut secara oral adalah Lethal Dosis (LD50)
pada tikus berkisar antara 66-600mg/kg, (McEwen dan Stephenson 1979).
Diazinon lebih toksik pada burung dan ikan yaitu LD50 pada beberapa spesies
burung 3-40 mg/kg dan pada beberapa spesies ikan LD50 0.4-8 μg/ml (Sumner et
al. 1985 dalam Leland 1998). Walaupun masih sulit untuk menentukan dosis yang
ambang aman (no observed effect level/NOEL) kadar diazinon dalam makanan
adalah 0.02 mg/kg, sedang asupan harian yang dapat diterima (Acceptable Daily
Intake/ADI) adalah 0.002 mg/kg/hari (Gallo & Lawryk 1991; Lu 1995). Beberapa
penemuan toksikologi dan evaluasi pada beberapa jenis insektisida seperti
ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Penemuan toksikologi dan evaluasi pada insektisida tertentu
Pestisida LD50 NOEL (mg/kg) ADI mg/kg Tikus Anjing Manusia (mg/kg)
Azinfosmetil 13 0.125 0.125 - 0.0025 Klorfenvinfos 15 0.05 0.05 - 0.002 Diazinon 108 0.1 0.02 0.02 0.002
Diklorvos 80 - - 0.033 0.004
Dimetoat 215 0.4 - 0.2 0.02
Disulfoton 6.8 0.05 0.025 0.75 0.002
Malation 1375 5 0.2 - 0.02
Mevinfos 6.1 0.02 0.025 0.014 0.0015
Paration 13 - - 0.05 0.005
Paration-metil 14 0.1 0.375 0.1 0.001 Triklorfon 630 2.5 1.25 - 0.005
Aldikarb 0.8 0.125 0.25 - 0.005
Karbaril 850 10 - 0.06 0.01
Propoksur 83 12.5 50 0.02
DDT 113 0.05 0.025 - 0.01
Aldrin/dieldrin 40 0.025 0.075 - 0.001
Klordan 335 0.25 0.025 - 0.001
Endrin 18 0.05 0 - 0.0002
Heptaklor 100 0.25 0.0625 - 0.0005
Lindan 88 1.25 1.6 - 0.01
Di bawah kondisi tertentu diazinon dapat membentuk senyawa yang
berbahaya khususnya jika pelarut hidrokarbon terkontaminasi oleh sejumlah kecil
air (0.1-2.0%) dan terkena udara, suhu, dan intensitas cahaya yang tinggi. Pada
kondisi ini akan membentuk formasi monothiotepp (O,S-TEPP) dan Sulfotepp
(S,S-TEPP). Senyawa-senyawa ini memiliki toksisitas yang tinggi dan
mempunyai pengaruh yang kuat sebagai inhibitor pada sistem enzim kolinesterase
(Allender dan Britt 1994).
Diazinon mempunyai gugus organofosfat yang terikat dengan gugus
nitrogen heterosiklik melalui ikatan ester, yang bersifat aromatik dan efektif
mempengaruhi sistem saraf dimana diazinon akan menghambat asetilkolinesterase
(AChE) sehingga terjadi akumulasi asetilkolin (ACh) dan tidak dapat berfungsi
lagi sebagai neurotransmitter, kemudian akan mengakibatkan kontraksi otot yang
diikuti dengan kelemahan, hilangnya refleksi (kelumpuhan) dan paralisis jaringan
(Lu 1995; EPA 1999). Selanjutnya saraf tidak dapat berfungsi sebagai pengatur
atau pusat koordinasi pergerakan tubuh, dimana koordinasi pergerakan tubuh yang
tidak teratur dapat mengakibatkan kematian .
2.3. Bioremediasi dan Biodegradasi
Bioremediasi didefinisikan sebagai proses penguraian limbah
organik/anorganik secara biologis dalam kondisi terkendali, umumnya melibatkan
mikroorganisme (khamir, fungi, dan bakteri). Pendekatan umum yang dilakukan
untuk meningkatkan biodegradasi adalah dengan cara: (1) Menggunakan mikroba
indigenous (bioremediasi instrinsik), (2) Memodifikasi lingkungan dengan
penambahan nutrisi dan aerasi (biostimulasi), (3) Penambahan mikroorganisme
(bioaugmentasi), (www.ipard.com).
Menurut Yani et al. (2003) bioremediasi merupakan bagian dari
bioteknologi lingkungan yang memanfaatkan proses alami biodegradasi dengan
menggunakan aktivitas mikroba yang dapat memulihkan lahan tanah, air dan
sedimen dari kontaminasi terutama senyawa organik. Citroreksoko (1996)
menerangkan bahwa bioremediasi merupakan proses degradasi bahan organik
anorganik, biomassa dan hasil samping yang sedikit lebih sederhana dari senyawa
semula.
Sedang menurut Gumbira-Said dan Fauzi (1996) bioremediasi merupakan
proses penyehatan (remediasi) secara biologis terhadap komponen tanah dan air
yang telah tercemar oleh kegiatan manusia. Bahan pencemar tersebut biasanya
merupakan senyawa xenobiotik (asing di alam) misalnya residu pestisida,
deterjen, limbah eksplorasi dari pengolahan minyak bumi dan residu amunisi.
Senyawa-senyawa tersebut bersifat rekalsitran (sulit terdegradasi) sehingga
senyawa tersebut memiliki ketahanan yang tinggi di alam. Lebih lanjut Subroto
(1996) menerangkan bahwa bioremediasi merupakan proses dekontaminasi yang
lebih bersahabat dengan lingkungan dan lebih murah dibanding dengan metode
penanganan limbah lain yang telah ada.
Beberapa dekade terakhir, teknik bioremediasi adalah merupakan salah satu
cara penanganan secara cepat dalam pengolahan limbah dalam suatu industri,
karena teknik bioremediasi merupakan suatu metode yang efektif dan ekonomis
sebagai suatu alternatif untuk membersihkan tanah, permukaan air dan
kontaminasi air tanah yang mengandung sejumlah bahan beracun seperti
rekasitran dan kimia. Bioremediasi tidak hanya mendegradasi polutan tetapi juga
digunakan untuk menyerap bahan-bahan logam dan mineral dan memisahkan
zat-zat yang tidak diinginkan dalam udara, air, tanah dan bahan baku proses produksi
(industri).
Proses bioremediasi didasarkan pada siklus karbon untuk mendaur ulang
senyawa organik dan anorganik melalui reaksi oksidasi dan reduksi. Bioremediasi
dapat dilakukan secara in situ ataupun secara ex situ. Secara in situ yaitu
bioremediasi dilakukan langsung di lingkungan yang tercemar sedang secara ex
situ yaitu bioremediasi dilakukan di luar lingkungan yang tercemar dengan
membuat lingkungan baru berupa bioreaktor yang dikondisikan dengan
menggunakan inokulan yang dapat mendegradasi cemaran kontaminan organik
(Citroreksoko 1996).
Proses bioremediasi didasari oleh dekomposisi bahan organik di biosfer
yang dilakukan oleh mikroorganisme (bakteri, kapang, khamir, dan jamur
sebagai sumber karbon dan nitrogen. Teknologi bioremediasi dapat dimanfaatkan
sebagai salah satu teknik dalam penanganan limbah senyawa kimiasintetis seperti
pestisida senyawa kloroaromatik, senyawa kloroalipatik, dan sebagainya.
Biodegradasi merupakan penguraian suatu senyawa menjadi senyawa yang lebih
sederhana oleh mikroba (Ohshiro et al. 1996). Sedang Gumbira-Said dan Fauzi
(1996) menerangkan bahwa biodegradasi merupakan transformasi struktur dalam
senyawa oleh pengaruh biologis sehingga terjadi perubahan integritas molekuler.
Dalam proses degradasi kondisi lingkungan harus sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan mikroorganisme.
Berbagai reaksi enzimatik yang terjadi dalam proses bioremediasi dapat
berupa reaksi oksidasi, hidrolisis, dehalogenasi dan reaksi gugus nitro. Reaksi ini
dikenal dengan proses kometabolisme dimana mikroorganisme tidak
memanfaatkan kontaminan sebagai sumber substrat tetapi kontaminan tersebut
dapat terdegradasi.
Keberhasilan proses degradasi banyak ditentukan oleh aktivitas enzim.
Aktivitasnya dioptimasikan dengan pengaturan kondisi dan pemberian suplemen
yang sesuai. Faktor-faktor lain yang berpengaruh dan mendukung proses
biodegradasi adalah:
1. Oksigen
Keberadaan oksigen merupakan faktor pembatas laju degradasi
hidrokarbon dan juga dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri aerob. Oksigen
digunakan untuk mengkatabolisme senyawa hidrokarbon dengan cara
mengoksidasi substrat dengan katalisis enzim oksidase. Ketersediaan oksigen
dalam tanah tergantung pada kecepatan konsumsi oleh mikroorganisme tanah,
tipe tanah dan kehadiran substrat lain juga bereaksi dengan oksigen.
2. Kelembaban
Kelembaban tanah juga dapat mempengaruhi keberadaan kontaminan,
transfer gas dan tingkat toksisitas dari kontaminan. Kelembaban sangat penting
untuk hidup, tumbuh dan aktivitas metabolik mikroorganisme. Namun kandungan
air dalam tanah yang terlalu tinggi selama proses bioremediasi berlangsung akan
3. pH
Tingkat keasaman (pH) juga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi laju pertumbuhan mikroorganisme. Kebanyakan bakteri dapat
tumbuh dengan baik pada kisaran pH netral (pH 6.5–7.5). Misalnya P. aeruginosa
mampu tumbuh pada kisaran pH 6.6–7.0 dan mampu bertahan pada kisaran 5.6–
8.0, sedangkan bakteri tanah Rhizobium mampu bertahan pada kisaran pH 3.4–
8.1.
4. Suhu
Suhu akan berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia, kecepatan degradasi
oleh mikroorganisme serta komposisi komunitas mikroorganisme selama proses
degradasi.
5. Nutrisi
Mikroorganisme membutuhkan nutrisi sebagai sumber karbon, energi dan
keseimbangan metabolisme sel.
Boopathy (2000) menerangkan bahwa hasil dari setiap proses degradasi
tergantung pada mikroorganisme (konsentrasi biomassa, keragaman populasi dan
aktivitas enzim), substrat (karakteristik fisikokimia, struktur molekul dan
konsentrasi), dan faktor lingkungan (pH, suhu, kelembaban, tersedianya akseptor
elektron sebagai sumber karbon dan energi). Struktur molekul dan konsentrasi
kontaminan mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam proses bioremediasi
serta tipe transformasi bakteri yang terjadi, meskipun senyawa tersebut dipakai
sebagai substrat primer, sekunder atau kometabolit.
2.4. Degradasi Residu Pestisida Diazinon
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta adanya keinginan untuk
mewujudkan lingkungan yang bersih dan bebas polutan, telah banyak ditemukan
upaya untuk meningkatkan kinerja mikroba indigenous, yang dilakukan dengan
rekayasa kondisi lingkungan sehingga menjadi optimum. Hal ini dapat dilakukan
secara in situ yaitu dengan pengkayaan terhadap kondisi lingkungan tercemar
ataupun secara ex situ yaitu dengan mengisolasi mikroba indigenous untuk
lingkungannya untuk melakukan degradasi residu pestisida dari areal yang
tercemar. Pestisida yang banyak tertinggal di alam harus didegradasi agar menjadi
berkurang atau hilang secara keseluruhan.
Penggunaan pestisida secara luas telah mengundang problem-problem yang
disebabkan oleh interaksi antara zat-zat tersebut dengan sistim biologis alam.
Residu pestisida secara alamiah dapat hilang atau terurai baik dalam lingkungan
abiotik maupun dalam lingkungan biotik. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam
penguraian pestisida adalah penguapan, pencucian, pelapukan, pertumbuhan,
cahaya dan dengan degradasi baik secara kimia, biologi, maupun secara
fotokimia.
Kecepatan degradasi pestisida di alam ataupun di dalam tumbuhan
mengikuti kinetika ordo pertama yaitu kecepatan degradasi dipengaruhi oleh
banyaknya pestisida dan faktor waktu. Residu pestisida dalam tanaman atau
hewan menurun atau hilang akibat metabolisme yang berkaitan dengan
pertumbuhan tanaman atau hewan tersebut.
Rani dan Lalithakumari (1994) dalam penelitiannya diperoleh Pseudomonas
putida yang mampu mendegradasi pestisida organofosfat metil parathion.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Shelton et al. (1996) dilaporkan bahwa
hampir seluruh herbisida dapat ditransformasikan oleh Streptomyces sp lebih dari
50% dari konsentrasi awalnya. Arthrobacter sp merupakan mikroba indigenous
yang diisolasi dari tanah mampu mendegradasi pestisida organofosfat isoxathion,
diazinon, parathion, EPN, fenithrothion, isophenfos, clorpyrifos, dan ethoprophos
(Oshiro et al. 1996). Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Chaudhry et al.
(1988) mengisolasi bakteri dari tanah dan diidentifikasi sebagai genus
Pseudomonas sp yang dapat mendegradasi parathion dan metil parathion.
Menurut Rao (1994) bahwa beberapa genus mikroorganisme yang mampu
menguraikan pestisida golongan organoklorin jenis DDT menjadi DDD dalam
tanah antara lain: Achromobacter, Aerobacter, Agrobacterium, Bacillus,
Clostridium, Streptonebacterium, Escherichia, Erwinia, Kurthia, Pseudomonas,
dan Streptococcus. Aldrin diubah menjadi dieldrin (namun sifat-sifat
insektisidanya tidak hilang) oleh mikroorganisme genus Trichoderma, Fusarium,
oleh Rhizopus, Fusarium, Penicillium, Trichoderma, Nocardia, Streptomyces,
Bacillus, dan Micromonospora.. Sedangkan pestisida golongan organofosfat
diketahui dapat diuraikan oleh mikroorganisme genus Torulopsis, Chlorella,
Pseudomonas, Thiobacillus, dan Trichoderma.
Penelitian yang dilakukan oleh Britton (1984) dalam Cookson (1995)
melaporkan bahwa Bacillus sp dan Pseudomonas sp dominan untuk mendegradasi
hidrokarbon demikian pula Chromobacterium sp dan Azetobacteri sp juga
mempunyai kemampuan seperti Pseudomonas sp dalam mendegradasi
hidrokarbon. Aktivitas bersama Pseudomonas stutzeri dan Pseudomonas
aeruginosa dapat mendegradasi paration. Sedangkan Bacillus cereus dapat
mendegradasi pestisida jenis piretroid (Cookson 1995).
Mikroba yang ada dalam SMC diharapkan mampu melakukan degradasi
terhadap diazinon. Faktor yang sangat berpengaruh dalam proses transformasi dan
degradasi diazinon yaitu faktor fisik, kimiawi dan faktor mikrobial. Namun
kenyataannya sulit untuk membedakan faktor-faktor yang sangat berpengaruh
karena struktur tanah yang kompleks, hal ini juga dapat menyebabkan terjadinya
proses absorpsi molekul pestisida ke dalam zat-zat yang ada dalam tanah ataupun
yang ada dalam jaringan tumbuhan (Bollag 1974).
Dalam penelitian ini diharapkan agar biodegradasi yang terjadi adalah
degradasi yang melibatkan metabolisme mikroba dimana mikroba tersebut
mampu menggunakan senyawa diazinon sebagai sumber karbon dan energi.
Selain sebagai sumber karbon dan energi juga dapat terjadi gangguan mikrobial
yakni terjadinya transformasi kometabolisme reaksi konjugasi dan akumulasi
pestisida dalam sel mikroba itu sendiri dan dapat menyebabkan terbentuknya
senyawa-senyawa yang lebih toksik dari pada senyawa asalnya (Bollag 1974).
Reaksi perubahan zat racun yang mungkin terjadi ialah oksidasi, reduksi,
hidrolisis dan sintesis. Setiap reaksi tersebut merupakan bagian dari berbagai
kegiatan metabolisme yang berlangsung dalam tubuh organisme. Proses
detoksifikasi zat racun berlangsung dalam dua tahap yaitu tahap primer dan
sekunder. Tahap primer (proses non sintesis) melalui reaksi oksidasi, hidrolisis
Sedang tahap sekunder (proses sintesis) adalah reaksi yang menghasilkan
konjugat-konjugat sebagai produk sintesis (Tarumengkeng 1995).
Formulasi diazinon terdegradasi menjadi sejumlah tetraetilpirofosfat,
menghasilkan sulfotepp (S,S-TEPP) dan monothiotepp (O,S-TEPP) seperti pada
Gambar 2 (a dan b), kedua senyawa tersebut mempunyai sifat toksik yang lebih
tinggi dan merupakan inhibitor enzim kolinesterase terutama O,S-TEPP yaitu
14000 kali lebih toksik dari pada diazinon (Allender dan Britt 1994). Komponen
heterosiklik diazinon dapat diaktivasi oleh enzim monooksidase yang membentuk
derivatif P = O menghasilkan diazoxon (Gambar 2c) yang juga bersifat lebih
toksik dari diazinon karena adanya aktivitas anti asetilkholinesterase (Zhang dan
Pehkonen, 1999). Secara umum diazinon mempunyai rute degradasi mencakup
pemutusan ikatan P – O – Pirimidin oleh aktivitas NADPH-dependent oksidase.
Pelepasan diazinon ke dalam tanah diharapkan tidak terikat pada tanah akan
tetapi bergerak mengalir dalam tanah. Fotolisis diazinon terjadi pada permukaan
tanah yang membentuk produk berupa senyawa
2-(1-hidroksi-1-metil)etil-4-metil-6-hidroksipirimidin (Gambar 2d).
+
Gambar 2 Produk-produk degradasi diazinon
Proses pembentukan metabolit diazinon (reaksi transformasi enzimatik)
terjadi melalui reaksi primernya yaitu hidrolisis yang diikuti oleh reaksi
pemecahan rantai cincin diazinon, sehingga diazinon terdegradasi pada reaksi
primer menjadi 2-isopropil-4-metil-6-pirimidinol (IMP) dan tiofosfonat. Menurut
Ku et al. (1997) bahwa dekomposisi diazinon secara hidrolisis dan fotolisis
berkaitan erat dengan pH dan intensitas cahaya ultraviolet yang membentuk
senyawa IMP dan tiofosfonat (Gambar 2e dan 2f). Produk hidrolisis dan fotolisis
tersebut diidentifikasi sebagai senyawa yang sifat toksiknya menurun dibanding
dengan senyawa diazinon (Bollag 1974). Menurut Machin et al. (1971) dalam
Gallo dan Lawryk (1991) bahwa irradiasi sinar ultraviolat pada diazinon selama 2
jam maka dapat mensubstitusi gugus isopropil pada cincin menjadi gugus asetil
(Gambar 2g) . Senyawa tersebut merupakan inhibitor kolinesterase tidak langsung
dan lebih kuat dari pada diazinon.
Secara alamiah di lingkungan yang tercemar diazinon mengandung
beraneka ragam mikroorganisme sehingga polutan yang ada di lingkungan
tersebut dapat didegradasi. Degradasi diazinon tidak hanya dilakukan oleh
mikroba yang ada di lingkungan tersebut (mikroba indigenous), tetapi dengan
adanya cahaya diazinon juga dapat terdegradasi. Mikroba indigenous
membutuhkan waktu yang sangat lama untuk beradaptasi dengan bahan/senyawa
pencemar (residu pestisida), yang disebabkan karena mikroba tersebut tidak
pernah berhubungan langsung dengan residu pestisida tersebut. Oleh karena itu
perlu suatu adaptasi dimana dalam proses adaptasi mikroba tersebut berusaha
mengeluarkan enzim dan plasmid yang dapat mendetoksifikasi senyawa yang
akan didegradasi. Tapi sebaliknya sering pula terjadi aktivasi yaitu zat racun lebih
dimodifikasi dan dikonversi menjadi zat yang lebih beracun.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suherman (2000) telah dapat
diisolasi mikroba indigenous galur B3 yang dapat mendegradasi diazinon. Isolat
tersebut menunjukkan kemampuannya untuk beradaptasi dengan diazinon sampai
konsentrasi 1000 ppm dalam media agar. Penelitian selanjutnya yang dilakukan
oleh Ningsih (2001) menunjukkan bahwa isolat B3 mampu hidup dalam
Isolat B3 yang diisolasi dari areal persawahan mampu menurunkan
konsentrasi residu diazinon sebesar 55.52% pada konsentrasi 50 ppm (54.98 ppm)
dan sebesar 68.34% untuk konsentrasi 100 ppm (118.82 ppm) selama kurun
waktu 27 jam (Suherman 2000). Pada penelitian yang dilakukan oleh Ningsih
(2001) yakni untuk melihat kemampuan isolat B3 dalam mendegradasi diazinon,
ternyata isolat B3 dapat menurunkan konsentrasi diazinon 54.82% pada
konsentrasi diazinon 50 ppm, sebesar 79.66% pada konsentrasi diazinon 100 ppm,
dan sebesar 36.75% pada konsentrasi diazinon 200 ppm. Menurut Bollag (1974)
diazinon mempunyai masa persistensi selama 9 hari di dalam tanah, sehingga
dapat disimpulkan bahwa penurunan konsenstrasi diazinon diakibatkan karena
terdegradasinya diazinon secara mikrobial (Suherman 2000; Ningsih 2001).
2.5. Kompos
Menurut Indriani (1999) kompos adalah bahan organik yang telah
mengalami degradasi/penguraian/pengomposan sehingga berubah bentuk dan
sudah tidak dikenali bentuk aslinya, warna kehitam-hitaman, dan tidak berbau.
Bahan organik berasal dari tanaman maupun hewan, termasuk kotoran hewan.
Pupuk organik dapat memperbaiki struktur tanah, menaikkan daya serap tanah
terhadap air, menaikkan kondisi kehidupan dalam tanah, serta mengandung zat-zat
organik yang dibutuhkan tanaman.
Penambahan bahan organik dalam tanah dapat memperbaiki sifat fisik,
kimia, dan biologi tanah. Sifat kimia tanah yang diperbaiki di antaranya adalah
meningkatkan ketersediaan unsur hara tanah seperti nitrogen, fosfor, kalium, dan
sulfur. Menurut Indrasti (2003), kompos merupakan bahan yang dihasilkan dari
proses degradasi bahan organik yang dapat berguna bagi tanah-tanah pertanian
seperti memperbaiki sifat kimia, fisika dan biologi tanah, sehingga produksi
tanaman menjadi lebih tinggi.
Kandungan utama kompos selain bahan organik, kompos juga mengandung
unsur-unsur hara makro dan mikro seperti nitrogen, fosfat, kalium, magnesium,
besi, dan mangan. Susunan unsur hara yang dikandung oleh kompos bervariasi
dan dipengaruhi oleh bahan yang dikomposkan, cara pengomposan, tingkat
dalam kompos relatif kecil bila dibandingkan dengan pupuk kimia. Oleh karena
itu pupuk kimia lebih banyak digunakan oleh petani, selain karena kandungan
unsur-unsur yang tinggi juga karena kemudahan dalam pengaplikasiannya. Tetapi
penggunaan pupuk kimia tersebut akan memberikan efek yang merugikan karena
dapat menurunkan tingkat kesuburan tanah dan bahaya residu bahan kimia
terhadap kesehatan manusia (Indrasti et al. 2005). Oleh karena itu kombinasi
penggunaan pupuk organik) kompos dengan pupuk anorganik masih merupakan
salah satu solusinya, tetapi porsi pupuk organik perlu ditingkatkan untuk
meningkatkan kualitas produksi.
Kualitas kompos sangat dipengaruhi oleh kematangan kompos. Kompos
yang telah matang memiliki kandungan bahan organik yang dapat terdekomposisi
dengan mudah, nisbah C/N yang rendah, tidak menyebabkan bau, kadar air yang
memadai dan tidak mengandung unsur-unsur yang merugikan bagi tanaman
(phytotoxic, benih rumput dan patogen).
Beberapa penelitian terdahulu dilaporkan bahwa penggunaan kompos dalam
proses bioremediasi telah terbukti efektif dalam mendegradasi banyak jenis
kontaminan seperti hidrokarbon terklorinasi dan tak terklorionasi, bahan-bahan
kimia pengawet kayu, pelarut, logam berat, pestisida, produk-produk minyak,
bahan peledak dan senyawa-senyawa senobiotik lainnya (EPA 1997; EPA 1999;
Gray et al. 1999; Baker & Bryson 2002).
2.6. Bioremediasi Menggunakan Kompos
Beberapa tahun terakhir di negara-negara barat telah dikembangkan teknik
bioremediasi menggunakan kompos (compost bioremediation), namun di
Indonesia belum berkembang sama sekali. Perkembangan yang telah ada masih
terfokus pada proses bioremediasi in situ yaitu dengan melakukan pengkayaan
terhadap kondisi optimum lingkungan tercemar, maupun secara ex situ yaitu
dilakukan dalam suatu reaktor dengan mengisolasi mikroba kemudian
dikondisikan dengan lingkungan untuk melakukan degradasi dari areal tercemar.
Bioremediasi menggunakan kompos (compost bioremediation) merupakan
upaya penanganan masalah limbah dan pencemaran lingkungan dengan
mendegradasi kontaminan air atau tanah. Dalam proses bioremediasi
menggunakan kompos, mikroorganisme dalam kompos akan mengkonsumsi
kontaminan dalam tanah, air tanah, permukaan tanah maupun udara. Kontaminan
tersebut dicerna, dimetabolisme dan diubah menjadi humus dan produk-produk
akhir seperti CO2, air dan garam-garam.
Aplikasi teknik bioremediasi menggunakan kompos mempunyai beberapa
keunggulan dan lebih ekonomis dibanding dengan teknik bioremediasi lainnya
sehingga teknologi bioremediasi menggunakan kompos lebih disenangi dan
diminati (US-EPA 1997, 1998). Beberapa keunggulan teknik bioremediasi
menggunakan kompos antara lain:
1. Kompos mempunyai keragaman populasi mikroba yang terlibat dalam proses
degradasi yakni sekitar 5-10 kali lebih banyak dibandingkan dengan kandungan
mikroba dalam tanah yang subur
2. Tingginya aktivitas mikroba dalam proses yakni sekitar 20-40 kali lebih aktif
dalam hal aktivitas dehidrogenasi dibanding dengan aktivitas dalam tanah yang
subur
3. Kompos tidak mengandung hama dan penyakit serta tidak membahayakan
pertumbuhan atau produk tanaman
4. Kompos dapat meningkatkan daya tahan tanaman terhadap penyakit
5. Kompos tidak mengakibatkan pencemaran dalam tanah, air ataupun udara
6. Kompos merupakan absorben yang sangat baik untuk senyawa-senyawa
organik maupun anorganik.
2.7. Kompos Limbah Media Jamur (Spent Mushroom Compost/SMC)
Miselia jamur sebagian besar tersusun atas selulosa, hemiselulosa dan
lignin, serta vitamin dan mineral, sehingga limbah substrat (media) tanam jamur
masih mengandung sejumlah besar unsur hara yang diperlukan oleh tanaman.
Formula substrat (media) yang digunakan adalah berupa serbuk gergaji, dedak,
gypsum dan kapur (CaCO3). SMC adalah merupakan limbah media pembibitan
jamur dimana selama dijadikan sebagai media taman maka bahan tersebut
mengalami proses pengomposan. SMC ini masih merupakan kompos setengah
SMC merupakan limbah hasil industri budidaya jamur yang berlimpah sehingga
sangat memungkinkan untuk gunakan dalam proses bioremediasi.
Kompos limbah media jamur (spent mushroom compost/SMC) ini banyak
mengandung nutrisi (kandungan bahan organik tinggi) di antaranya sebagai
sumber fosfor, kalium, nitrogen, kalsium, sulfur dan unsur-unsur lainnya seperti
besi, natrium, mangan, boron, tembaga, dan seng sehingga dapat memperbaiki
sifat fisik tanah, struktur, tekstur, porositas, dan meningkatkan aktivitas
mikroorganisme tanah dan cacing tanah sehingga memudahkan dalam
penghancuran tanah pada saat diolah (Anonim 2003). Karakteristik kompos
limbah media jamur seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Karakteristik kompos limbah media jamur
Sifat fisik Keuntungan
Bahan organik 65 % • Meningkatkan struktur dan tekstur tanah.
•Meningkatkan aktivitas biologis tanah
Bebas dari polutan •Berasal dari rerumputan dan tanaman patogen
Kandungan nutrisi utama • Sumber bahan organik N, P, K,
Ca, dan S
Unsur lain (dalam jumlah kecil) • Sumber bahan organik Fe, Na,
Mn, Br, Cu, dan Zn. Sumber: Anonim (2003)
Spent Mushroom Compost (SMC) telah diaplikasikan pada kontaminasi
organopolutan, ternyata kompos limbah media jamur dapat mendegradasi
polyciclyc aromatic hydrocarbon (PAHs) dengan sempurna menjadi napthalene,
phenanthrene, benzo[a]pyrene, dan benzo[g,h,i]perylene. SMC juga dapat
menghilangkan polutan penthaclorophenol (PCP) dan dapat digunakan sebagai
pengganti humus pada sistem biobed yang menggunakan bahan organik untuk
mengadsorpsi dan mendegradasi pestisida. PCP dapat dimineralisasi apabila
diinkubasi dengan kompos setelah masa pengkayaan yang sesuai. Bakteri yang
diisolasi dari kompos jamur Pleurotus pulminarius mampu toleran hingga 100
Penggunaan kompos limbah media jamur dalam proses bioremediasi
pestisida merupakan salah satu upaya untuk mengurangi pencemaran lingkungan
dan dapat meningkatkan nilai tambah limbah yang dihasilkan dari industri
budidaya jamur. SMC mempunyai beberapa keuntungan bila digunakan dalam
proses bioremediasi dibanding jika menggunakan karbon aktif dan bakteri karena
SMC mudah didapatkan dan biaya yang murah serta cara memproduksinya relatif
simpel.
SMC ini sangat baik digunakan untuk memperbaiki sifat dan struktur tanah
karena kaya akan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanah seperti nitrogen, fosfor,
kalium, kalsium, sulfur, besi, natrium, mangan, boron, tembaga, dan seng
(Anonim 2003). Komposisi kompos limbah media jamur seperti ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi kompos limbah media jamur
Ketersediaan nutrien Total kandungan nutrien
pH 6.6 (g/kg) EC (mS/m) 750 (mg/l) Nitrogen (N) 22.5 Nitrogen nitrat 62 Phosphor (P) 12.5 Nitrogen amonia 49 Kalium (K) 25.0
Phosphor (P) 31 Calsium (Ca) 72.5 Kalium (K) 2130 Magnesium (Mg) 6.7 Natrium (Na) 253 Sulphur (S) 15.9 Klorida (Cl) 118 Natrium (Na) 2.7 Kerapatan massa (g/l) 319 (mg/kg) % Bahan kering (DM) 31.5 Besi (Fe) 2153
Kadar abu (%) 35.0 Mangan (Mn) 376 Boron (B) 37
Cu 46 Seng (Zn) 273
3. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioproses IV Pusat Penelitian
Bioteknologi-LIPI Cibinong. Analisis kadar diazinon dan isolasi bakteri dilakukan
di Laboratorium Bioproses IV Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong,
identifikasi bakteri dilakukan di Laboratorium Taksonomi Bidang Mikrobiologi
Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor, analisis kompos dilakukan di Laboratorium
Balai Penelitian Tanah Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Oktober 2005.
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, labu
erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, labu ukur, botol Schott, corong, jarum ose,
kertas saring, neraca analitik, pH meter, filter ukuran 0.45 μm (millipore), thermometer, autoklaf, sentrifugase, lampu spirtus, obyek glass, mikroskop,
mikropipet Eppendorf 100 dan 1000 μl, shaker, bak fermentor/inkubator, plat silika gel 60 F254 dan spektrofometer UV-VIS.
3.2.2. Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah yang tidak
tercemar diazinon, kompos limbah media jamur tiram (Pleuorotus ostreatus),
plastik untuk penutup bak fermentor/inkubator, dan pestisida organofosfat merek
diazinon 60EC yang mengandung 600.000 ppm diazinon (teknis),metanol p.a, etil
asetat teknis, aseton, aquadest, alkohol, spirtus, K2HPO4, KH2PO4, MgSO4.7H2O,
NaCl, CaCl2.2H2O, FeSO4.7H2O, Na2MoO4, MnSO4, NaWo2, Bakto Peptone, dan
Yeast Extract, FDA, Aquabidest dan air destilata. Bahan-bahan lain yang
dibutuhkan yaitu media Potato Dekstrose Agar (PDA). Nutrien Agar (NA),
nistatyn, khloramphenikol, larutan pewarna Hucker’s violet (Gram A), larutan
sapranin (Gram D), Media khusus Gram Mac Conkey Agar, NNNN
tetramethyl-p-phenylene diamine dihydrochloride (C6H4[N(CH3)2]22HCl, H2O2, methyl red,
bromtymol biru, phenol red, media nutrien cair/broth.
3.3. Pengambilan Sampel untuk Perlakuan
Pengambilan sampel dipilih daerah yang relatif bebas pestisida. Oleh karena
itu dipilih sekitar lokasi laboratorium bioteknologi-LIPI cibinong karena daerah
ini masih relatif bebas pestisida terutama pestisida jenis diazinon. Kompos yang
digunakan adalah kompos limbah media jamur tiram (Pleurotus ostreatus) yang
diperoleh dari petani jamur di Desa Galuga Kecamatan Cibungbulang, Bogor.
Sebelum digunakan, terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap residu pestisida
dalam tanah dan kompos. Hasil analisis menunjukkan bahwa tanah dan kompos
tersebut tidak mengandung residu pestisida diazinon maupun jenis pestisida
lainnya.
3.4. Desain Penelitian
3.4.1. Penelitian Tahap I
Penelitian tahap I melakukan proses bioremediasi dengan menggunakan
kompos limbah media jamur (SMC) dan menentukan kondisi terbaik untuk proses
degradasi diazinon.
3.4.2. Penelitian Tahap II
Penelitian tahap II melakukan isolasi bakteri dan kapang serta
mengidentifikasi bakteri dari kompos limbah media jamur tiram (Pleurotus
ostreatus) untuk mengetahui jenis bakteri yang terdapat dalam SMC tersebut yang
dapat mendegradasi diazinon. Kemudian dilakukan uji kemampuan degradasi
diazinon.
Bagan alir tahapan penelitian seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
Penelitian tahap I dilakukan seperti berikut:
1. Sterilisasi tanah yang bebas diazinon pada suhu 121 oC selama 15 menit,
ppm, 500 ppm, 1000 ppm, 1500 ppm, dan 1707 ppm dengan jumlah kompos
dalam tanah 6%, 10%, 20%, 30% dan 35%.
2. Analisis kompos (SMC) yang meliputi: TPC, C/N, KTK, unsur hara, kadar air,
kadar abu, pH, aktivitas mikroba, dan kadar pestisida.
3. Pencampuran kompos dengan tanah yang telah dicemari diazinon.
4. Fermentasi/inkubasi pada suhu ruang dengan kadar air bahan 30-60% selama
28 hari.
5. Analisis hasil fermentasi/inkubasi (kadar diazinon, TPC, C/N, KTK, unsur hara,
kadar air, kadar abu, pH, dan aktivitas mikroba).
Gambar 3 Diagram tahapan penelitian
3.5. Proses Biodegradasi Diazinon
Sampel tanah yang belum dicemari dengan diazinon terlebih dahulu
disterilisasi pada suhu 120 oC dalam autoklaf selama 15 menit setelah dingin
tanah dicemari dengan pestisida organofosfat merk diazinon 60EC, kemudian
tanah tersebut dicampur dengan kompos dengan perbandingan tertentu. Sebelum
Sterilisasi tanah
Pencampuran
Analisis Kompos (C/N, KTK, unsur hara,
Kadar air, kadar abu, pH, kadar pestisida, TPC, aktivitas mikroba)
Sampling: satu kali seminggu untuk analisis penurunan
kadar diazinon, TPC, C/N,KTK, unsur hara, kadar air, kadar abu, pH,
kompos dicampur dengan tanah, terlebih dahulu dilakukan pengujian mutu
kompos tersebut. Parameter yang diuji adalah C/N, unsur hara, KTK, kadar air,
kadar abu, pH, TPC, aktivitas mikroba, dan kadar pestisida. Campuran tersebut
kemudian diaduk hingga homogen lalu diinkubasi selama 28 hari dengan kadar
air bahan 30-60% pada suhu kamar (28-32 oC) dan pH 7-8. Selama proses
inkubasi berlangsung sampel ditutup dengan plastik untuk mengurangi terjadinya
penguapan dan tidak terkena cahaya.
Sampel diambil satu kali seminggu di lima titik dengan dua kali
pengambilan kemudian digabung menjadi satu dan diaduk hingga homogen
(sistem komposit) kemudian dianalisis penurunan kadar diazinonnya. Pada akhir
proses inkubasi, selain analisis penurunan kadar diazinon juga dilakukan
pengujian C/N, KTK, unsur hara, kadar abu, kadar air, pH, TPC, dan aktivitas
mikroba.
3.6. Analisis Kadar Diazinon
Analisis kadar diazinon menggunakan metode seperti yang dilakukan oleh
Ningsih (2001) yaitu menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) menggunakan
plat silika gel 60 F254 dan spektrofotometer UV/VIS Beckman DU 650 pada
panjang gelombang 241 nm.
3.6.1. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis adalah metode pemisahan fisikokimia yang
lapisan pemisahan terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam) dan ditempatkan
pada penyangga berupa plat gelas logam atau lapisan yang cocok, campuran yang
akan dipisahkan berupa larutan. Larutan ditotolkan berupa bercak, kemudian plat
diletakkan dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang
cocok (fase gerak) yang telah dijenuhkan. Pemisahan terjadi selama perambatan
fase gerak. Derajat retensi pada KLT dinyatakan sebagai “Retention Factor” (Rf)
yang dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:
Jarak titik pusat bercak dari titik awal
Rf = ……….(1)
Metode ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui adanya atau
tidaknya produk turunan hasil degradasi diazinon dalam sampel. Analisis kadar
diazinon dengan metode KLT ini menggunakan plat silika gel 60 F254, eluen
pengembang heksana:etilasetat dengan perbandingan 10:1 (v/v) dan pewarna
digunakan serium (II) sulfat.
KLT dilakukan dengan cara mentotolkan sampel pada plat kemudian
dimasukkan kedalam bejana yang berisi heksana dan etyl asetat dengan
perbandingan 10:1 (v/v) yang telah dijenuhkan selama 30 menit. Lalu didiamkan
hingga eluen naik sampai batas garis. Spot yang terbentuk dapat dilihat dengan
menggunakan sinar ultraviolet dan pewarnaan dengan menggunakan serium (II)
sulfat.
3.6.2. Spektrofotometer UV-VIS
Spektrofotometri adalah suatu metode pengukuran serapan radiasi
elektromegnetik pada panjang gelombang tertentu yang sempit dan mendekati
monokromatik dan diserap oleh zat. Pelarut yang sering digunakan adalah air,
metanol, n-heksana, etanol, minyak bumi, dan eter.
Analisis diazinon dengan metode spektrofometri ini merupakan modifikasi
yang dilakukan oleh Bavcon et al. (2003) dengan metode yang dilakukan oleh
Ningsih (2001), yaitu dilakukan dengan cara mengekstraksi sebanyak 10 gram
sampel dengan etil asetat sebanyak 20 ml. Larutan yang diperoleh diuapkan
kemudian dilarutkan kembali dengan 2 ml metanol p.a, sampel disonifikasi agar
larutan tersebut tercampur dengan baik (homogen). Kemudian dilakukan
pembacaan pada spektrofotometer UV-VIS (Beckman DU 650) dengan sinar UV
pada panjang gelombang 241 nm. Absorbansi yang diperoleh kemudian diplot
pada kurva standar untuk menghitung konsentrasi diazinon dalam sampel.
3.7. Isolasi Mikroba dan Identifikasi bakteri
3.7.1. Pembuatan Media
3.7.1.1. Potato Dekstrose Agar (PDA).
Cara pembuatan:
1. Ditimbang PDA sebanyak 3.9 g dan agar powder 0.5 g.
2. Kedua bahan tersebut dicampur dan ditambahkan dengan aquadest
sebanyak 100 ml, kemudian dipanaskan sambil diaduk.
3. Setelah mendidih dan homogen media disterilisasi dalam autoklaf pada
suhu 121 oC selama 15 menit.
4. Media didinginkan (hangat kuku) lalu ditambahkan khloramphenikol 50
ppm sebanyak 1 ml yang telah disterilkan dengan millipore 0.45 μm. 5. Media dituang ke dalam petri steril ± 1-2 ml, dan didinginkan
6. Setelah padat petri ditutup dan dibalik agar uap air tidak jatuh ke atas
permukaan agar.
3.7.1.2. Nutrien Agar (NA)
Media ini digunakan untuk menginokulasi bakteri dari SMC.
Cara pembuatan:
1. Ditimbang NA sebanyak 2.3 g dan agar powder 0.5 g.
2. Kedua bahan tersebut dicampur dan ditambahkan dengan aquadest sebanyak
100 ml, kemudian dipanaskan sambil diaduk.
3. Setelah mendidih dan homogen media disterilisasi dalam autoklaf pada suhu
121 oC selama 15 menit.
4. Media didinginkan (hangat kuku) lalu ditambahkan nistatyn 50 ppm
sebanyak 1 ml yang telah disterilkan dengan millipore 0.45 μm. 5. Media dituang ke dalam petri steril ± 1-2 ml, dan didinginkan
6. Setelah padat petri ditutup dan dibalik agar uap air tidak jatuh ke atas
permukaan agar.
3.7.2. Isolasi Mikroba (Bakteri dan Kapang)
Mikroba yang terdapat dalam SMC masih merupakan koloni campuran
sehingga perlu dilakukan isolasi untuk mendapatkan isolat/biakan murni (koloni