• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Demam Tifoid

Demam tifoid adalah penyakit infeksi usus yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. Insiden tifoid di Indonesia masih sangat tinggi berkisar 350-810 per 100.000 penduduk, demikian juga dari kasus demam tifoid di rumah sakit besar di Indonesia menunjukkan angka kesakitan cenderung meningkat setiap tahun dengan rata-rata 500/100.000 penduduk. Angka kematian diperkirakan sekitar 0,6-5% sebagai akibat dari keterlambatan mendapat pengobatan serta tingginya biaya pengobatan (Depkes RI., 2006).

2.5.1 Patogenesis dan Patologi

Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella typhi atau Salmonella para typhi. Penularan ke manusia melalui makanan dan atau minuman yang tercemar dengan feses manusia. Setelah melewati lambung kuman mencapai usus halus dan invasi ke jaringan limfoid (plak nyeri) yang merupakan tempat predifeksi untuk berkembang biak. Melalui saluran limfe mesentrik kuman masuk aliran darah sistemik (Bakterimia I) dan mencapai sel- sel retikulo endothelial dari

jaringan ini kuman dilepas ke sirkulasi sistemik (bakteremia II) melalui duktus torasikus dan mencapai organ- organ tubuh terutama limpa, usus halus dan kandung empedu (Depkes RI., 2006).

Kuman Salmonella menghasilkan endotoksin yang merupakan kompleks lipopolisakarida dan dianggap berperan penting pada pathogenesis demam tifoid. Endotoksin bersifat pirogenik serta memperbesar reaksi peradangan dimana kuman Salmonella berkembang biak. Disamping itu merupakan stimulator yang kuat untuk memproduksi sitokin oleh sel- sel makrofag dan sel leukosit di jaringan yang meradang. Sitokin ini merupakan mediator- mediator untuk timbulnya demam dan gejala toksemia (proinflamatory). Oleh karena basil Salmonella bersifat intraselluler maka hampir semua bagian tubuh dapat terserang dan kadang- kadang pada jaringan yang terinvasi dapat timbul fokal- fokal infeksi (Depkes RI., 2006).

Kelainan patologis yang utama terdapat di usus halus terutama diileum bagian distal dimana terdapat kelenjar plak peyer. Pada minggu pertama, pada plak peyer terjadi hyperplasia berlanjut menjadi nekrosis pada minggu kedua dan ulserasi pada minggu ketiga, akhirnya membentuk ulkus. Ulkus ini mudah menimbulkan perdarahan dan perforasi yang merupakan komplikasi yang berbahaya. Hati membesar karena infiltrasi sel-sel limfosit dan sel mononuclear lainnya serta nekrosis fokal. Demikian juga proses ini terjadi pada jaringan retikuloendotelial lain seperti limpa dan kelenjar mesentrika. Kelainan- kelainan patologis yang sama juga dapat ditemukan pada organ tubuh lain seperti tulang, usus, paru, ginjal, jantung dan selaput otak. Pada pemeriksaan klinis, sering ditemukan proses radang dan abses- abses pada banyak organ, sehingga dapat

ditemukan bronchitis, arthtritis septic, pielonefritis, meningitis dll. Kandung empedu merupakan tempat yang disenangi basil salmonella. Bila penyembhan tidak sempurna, basil tetap tahan di kandung empedu ini, mengalir ke dalam usus, sehingga menjadi karier intestinal. Demikian juga ginjal dapat mengandung basil dalam waktu lama sehingga juga menjadi karir. Adapun tempat- tempat yang menyimpan basil ini, memungkinkan penderita mengalami kekambuhan (relaps) (Depkes RI., 2006).

2.5.2 Gambaran klinis

Gambaran klinis tifoid sangat bervariasi, dari gejala yang ringan sekali (sehingga tidak terdiagnosis) dan dengan gejala yang khas sampai dengan gejala klinis berat yang disertai komplikasi. Gambaran klinis juga bervariasi berdasarkan daerah atau Negara, serta menurut waktu. Gambaran klinis di Negara berkembang dapat berbeda dengan Negara maju dan gambaran klinis tahun 2000 dapat berbeda dengan tahun enam puluhan pada daerah yang sama (Depkes RI., 2006).

Gambaran klinis pada anak cenderung tak khas. Makin kecil anak, gambaran klinis makin tidak khas. Kebanyakan perjalanan penyakit berlangsung dalam waktu pendek dan jarang menetap lebih dari 2 minggu.Kumpulan gejala- gejala klinis tifoid disebut dengan sindrom tifoid. Beberapa gejala klinis yang sering diantaranya adalah:

a. Demam

Pada awal sakit, demam kebanyakan samar samar saja, selanjutnya suhu tubuh sering turun naik. Dari hari ke hari intensitas demam makin tinggi yang disertai banyak gejala lain seperti sakit kepala, nyeri otot, pegal - pegal, insomnia,

bila pasien membaik pada minggu ketiga suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke 3. Demam khas pada tifoid tidak selalu ada, tipe demam menjadi tidak beraturan. Pada anak khususnya balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang (Depkes RI., 2006).

b. Gangguan saluran pencernaan

Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama, bibir kering dan terkadang pecah- pecah,lidah kotor, ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor, dan pada penderita anak jarang ditemukan. Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama region epigastrik, disertai nausea, mual dan muntah (Depkes RI., 2006).

c. Gangguan kesadaran

Umumnya berupa penurunan kesadaran ringan, sering kesadaran apatis dengan kesadaran seperti berkabut. Bila klinis berat, tak jarang penederita sampai somnolen dan koma. Pada penderita dengan toksis, gejala delirium lebih menonjol (Depkes RI., 2006).

d. Hepatosplenomegali

Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri tekan.

e. Bradikadia relative dan gejala lain

Bradikardi relative tidak sering ditemukan, mungkin karena teknik pemeriksaan yang sulit ditemukan. Bradikardi relative adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Gejala- gejala lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid adalah rose spot yang biasanya ditemukan diregio abdomen atas, serta sudamina, serta gejala- gejala klinis yang

berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot pada anak jarang terjadi malahan lebih sering epitaksis (Depkes RI., 2006).

2.5.3 Komplikasi demam Tifoid

Pada minggu kedua atau lebih, sering timbul komplikasi demam tifoid mulai yang ringan sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi yang sering terjadi diantaranya:

a. Tifoid toksik (tifoid ensefalopati)

Didapatkan gangguan atau penurunan kesadaran akut dengan delirium sampai koma yang disertai atau tanpa kelainan.

b. Syok septic

Adalah akibat lanjut dari respon inflamasi sistemik. Disamping gejala- gejala tifoid diatas, penderita jatuh kedalam fase kegagalan vascular (syok). Tensi turun, nadi cepat dan halus, berkeringat serta akral dingin. Akan berbahaya bila syok menjadi irreversible.

c. Perdarahan dan perforasi intestinal d. Peritonitis

e. Hepatitis tifosa f. Pancreatitis tifosa g. Pneunomonia

h. Komplikasi lain (Osteomielitis, arthritis , Miokarditis, perikarditis, endokarditis, pielonefritis, orkhritisdan peradangan ditempat lain) (Depkes RI., 2006).

2.5.4 Pemeriksaan Demam Tifoid a. Gambaran darah tepi

Pada pemeriksaan hitung leukosit total terdapat gambaran leukopeni (±3000-8000 per mm3), limfositosis relative, monositosis, dan eosinofilia dan trombositopenia ringan.

b. Pemeriksaan Bakteriologis

i. Jenis pembiakan menurut specimen a) Biakan darah

b) Biakan bekuan darah c) Biakan tinja

Biakan tinja lebih berguna pada penderita yang sedang diobati dengan kloramfenikol, terutama untuk mendeteksi karier.

d) Biakan cairan empedu e) Biakan air kemih ii. Biakan Salmonella typhi

Specimen untuk biakan dapat diambil dari darah,sumsum tulang, feses, urin. Spesimen darah diambil pada minggu selanjutnya. Pembiakan memerlukan waktu kurang lebih 5-7 hari. Bila laporan hasil biakan “Basil Salmonella tumbuh” maka penderita sudah pasti mengidap demam tifoid. iii.Serologis Widal

Test serologi widal adalah reaksi antara antigen (suspensi Salmonella yang telah dimatikan) dengan agglutinin yang merupakan antibody spesifik terhadap komponen basil Salmonella didalam darah manusia (saat sakit, karier atau pasca vaksinasi). Prinsip test adalah

terjadinya reaksi aglutinasi antara antigen dan agglutinin yang dieteksi yakni agglutinin O dan H.

Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu pertma demam sampai puncaknyapada minggu ke 3 sampai 5. Aglutinin ini dapat bertahan selama 6-12 bulan. Agglutinin H mencapai puncak lebih lambat minggu ke 4-6 dan menetap dalam waktu lebih lama (Depkes RI., 2006). 2.5.4 Penatalaksanaan Demam tifoid

Algoritma penatalaksanaan demam tifoid dapat dilihatpada Gambar 2.1

Gambar 2.1. Algoritma tatalaksana demam tifoid (Anonim, 2008) a. Tirah baring/istirahat

Penderita demam tifoid harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah kom.0oplikasi, terutama pendarahan dan perforasi. Bila gejala klinis berat, penderita harus istirahat total (Depkes RI., 2006).

b. Nutrisi i. Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan harus mengandung komponen glukosa, natrium, kalium, klorida dan air untuk rehidrasi pasien.

ii. Diet

Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulose (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi (Depkes RI., 2006).

c. Penatalaksanaan terapi farmakologi: i. Terapi simptomatik

Terapi simptomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan keadaan umum penderita seperti vitamin, antipiretik (untuk kenyamanan penderita terutama anak-anak) atau antiemetik (diperlukan bila penderita muntah hebat) (Depkes RI., 2006).

a) Antiemetik :

i) Domperidon (p.o) : 10-20 mg 3-4 x sehari untuk anak dengan BB≥ 35 kg,

ii) Ondansetron : 250-500 mikrogram/kg BB 3-4 x sehari untuk anak dengan BB < 35 kg. 8-12 mg i.v. atau 8-24 mg p.o. setiap 24 jam untuk dewasa, 4 mg p.o. 3 x sehari untuk anak usia 4-11 tahun.

b) Antipiretik :

i) Ibuprofen (p.o.) : Untuk anak 6 bulan–12 tahun < 39° C : 5 mg/kg BB & ≥

BB/hr. Dws : 325-650 mg setiap 4-6 jam atau 1000 mg 3-4 x sehari. Anak : setiap 4-6 jam

ii) Parasetamol (p.o.): 40 mg untuk bayi usia 0-3 bulan, 80 mg untuk bayi usia 4-11 bulan, 120 mg untuk anak usia 1-2 tahun, 160 mg untuk anak usia 2-3 tahun, 240 mg untuk anak usia 4-5 tahun, 320 mg untuk anak usia 6-8 tahun, 400 mg untuk anak usia 9-10 tahun, dan 480 mg untuk anak usia 11 tahun. c) Pemberian Antibiotik

Antimikroba segera diberikan bila diagnosis klinis demam tifoid telah dapat ditegakkan, baik dalam bentuk diagnosis konfirmasi, probable, maupun suspek. Sebelum anti mikroba diberikan, harus diambil specimen darah atau sumsum tulang lebih dulu, untuk pemeriksaan biakan kuman Salmonella, kecuali biakan ini betul- betul tidak ada dan tidak bisa dilaksanakan (Depkes RI., 2006).

Antimikroba lini pertama untuk tifoid adalah kloramfenikol, ampisilin atau amoksisilin dan trimetoprim-sulfametoksazol. Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps. Bila pemberian salah satu antimikroba lini pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan antimikroba yang lain atau dipilih antimikroba lini kedua. Antimikroba lini kedua untuk tifoid adalah seftriakson, sefiksim, dan antibiotik golongan kuinolon (Depkes RI., 2006).

i) Kloramfenikol : dewasa 4x 500 mg selama 14 hari, anak- anak 50-100 mg/Kg BB/hari. Max 2 g selama 10- 14 hari.

ii) Seftriakson: Dewasa (2-4) g/hari. Selama 3-5 hari. Anak- anak 80mg/kgBB/hari selama 5 hari.

iii) Ampisilin dan amoksisili : dewasa 3-4 g/hari selama 14 hari. Anak- anak 100mg /kgBB/hari selama 10 hari.

iv) Kotrimoksazol : dewasa 2 x (160- 800) mg selama 2 minggu. Anak-anak; TMP 6- 10 mg/kgBB/hari atau SMx 30-50 mg/kg/hari selama 10 hari. v) Quinolone :Siprofloksasin 2 x 500 mg 1 minggu

vi) Cefixime: anak anak 15- 20 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari. vii) Tiamfenikol : dewasa 4 x 500 mg, anak-anak 50mg/kgBB/hari selama 5-7

Dokumen terkait