• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi interaksi obat pada pasien pediatrik demam tifoid di Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan periode Januari 2014 - Desember 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Evaluasi interaksi obat pada pasien pediatrik demam tifoid di Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan periode Januari 2014 - Desember 2014"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN PEDIATRIK DEMAM TIFOID di RUMAH SAKIT UMUM SARI MUTIARA MEDAN

PERIODE JANUARI 2014 - DESEMBER 2014

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

Seprida Yohana Uli Sinurat

NIM 111501101

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

EVALUASI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN PEDIATRIK DEMAM TIFOID di RUMAH SAKIT UMUM SARI MUTIARA MEDAN

PERIODE JANUARI 2014 - DESEMBER 2014

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

SEPRIDA YOHANA ULI SINURAT

NIM 111501101

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

EVALUASI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN PEDIATRIK DEMAM TIFOID di RUMAH SAKIT UMUM SARI MUTIARA MEDAN

PERIODE JANUARI 2014- DESEMBER 2014 OLEH:

SEPRIDA YOHANA ULI SINURAT NIM 111501101

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada tanggal: 2 Oktober 2015

Medan, Oktober 2015 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pejabat dekan,

Disetujui Oleh:

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. NIP 1953010119830310004 NIP 195103261978022001

Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. Pembimbing II, NIP 1953010119830310004

Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt. NIP 197803142005011002 NIP 195503121983032001

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan karunia yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan judul Evaluasi interaksi obat pada pasien pediatrik demam

tifoid di Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan periode Januari 2014 -

Desember 2014. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan

terima kasih kepada Ibu Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku Pejabat Dekan Fakultas

Farmasi USU Medan dan Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., selaku Wakil

Dekan I Fakultas Farmasi USU Medan, yang telah menyediakan fasilitas kepada

penulis selama perkuliahan di Fakultas Farmasi. Penulis juga mengucapkan terima

kasih kepada Bapak Prof. Dr. Urip Harahap., Apt dan bapak Hari Ronaldo

Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt, yang telah membimbing dan memberikan petunjuk

serta saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Ibu Prof. Dr.

Rosidah, M.Si., Apt., Ibu

Edy Suwarso, S.U., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik,

saran dan arahan kepada penulis dalam menyempurnakan skripsi ini. Bapa

yang selalu memberikan bimbingan kepada penulis selama masa perkuliahan serta

Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU Medan yang telah mendidik

selama perkuliahan.

Penulis juga mempersembahkan rasa terima kasih yang tiada terhingga

(5)

Astri F. Sinurat, Amd., adik Nonic O. Sinurat dan Rezky S. P Sinurat, juga kepada

keluarga atas limpahan kasih sayang, doa dan dukungan yang tidak ternilai

apapun. Penulis tak lupa mengucapkan terimakasih kepada Philadelphia, teman-

teman dan senior yang telah banyak membantu selama penulisan skripsi ini.

Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan

penulisan skripsi ini, namun demikian penulis menyadari sepenuhnya bahwa

skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis menerima kritik

dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini

dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Medan, 25 Oktober 2015 Penulis

(6)

EVALUASI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN PEDIATRIK DEMAM TIFOID DI RUMAH SAKIT UMUM SARI MUTIARA MEDAN PADA

PERIODE JANUARI 2014 – DESEMBER 2014 ABSTRAK

Demam tifoid merupakan suatu penyakit yang menyerang saluran pencernaan yang disebabkan oleh Salmonella thypi dan merupakan penyakit endemik di Indonesia. Terapi pada demam tifoid membutuhkan obat kombinasi, yang menyebabkan terjadinya potensi interaksi obat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kejadian potensi interaksi obat pada pasien demam tifoid. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode retrospektif melalui evaluasi terhadap data rekam medik pasien pediatrik demam tifoid. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Sari mutiara Medan. Subyek penelitian adalah pasien yang didiagnosa demam tifoid dan mendapat resep minimal 2 macam obat. Data diambil dari 352 rekam medik pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid selama bulan Januari 2014 – Desember 2014. Analisis data dilakukan dengan membandingkan data dari rekam medik dengan sumber yang terkini dan terpercaya (Drug Interaction Fact, Stockleys Drug Interaction, drugs.com, medscape.com, ncbi.com dan rxlist.com).

Hasil penelitian menemukan dari 352 pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid yang berpotensi mengalami interaksi obat sebanyak 202 rekam medik (57,38%). Obat- obat yang digunakan pada demam tifoid yang berpotensi berinteraksi adalah paracetamol, kloramfenikol dan ranitidin. Berdasarkan mekanisme terjadinya interaksi terdapat 26 kasus (6.90%) dengan mekanisme Farmakokinetik, 124 kasus (32,89%) dengan mekanisme farmakodinamik, dan 227 kasus (60,21%) mekanisme unknown. Berdasarkan tingkat keparahan terdapat tingkat keparahan ringan 224 kasus (59.42%), sedang 151 kasus (40.05%), dan berat 2 kasus (0.53%). Dengan menggunakan uji statistik Chi Square diketahui adanya hubungan yang bermakna antara umur pasien dan jumlah obat dengan jumlah potensi interaksi obat yang teridentifikasi dengan nilai p<0,05. Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka kejadian potensi interaksi obat di RSU Sari Mutiara Medan cukup tinggi.

(7)

EVALUATION OF DRUG INTERACTION IN PEDIATRIC WITH TYPHOID FEVER AT SARI MUTIARA GENERAL HOSPITAL MEDAN

DURING JANUARY 2014 – DECEMBER 2014 ABSTRACT

Typhoid fever is a disease that attacks the gastrointestinal tract caused by the Salmonella thypi and an endemic disease in Indonesia. Therapeutic treatment for typhoid fever requires combination drug therapy, leading to potential drug interaction.

This study aimed to identify potential drug interaction in patients with typhoid fever. This research was a descriptive study using a retrospective method through evaluation of medical records of pediatric patients with typhoid fever. This study was conducted in General Hospital Sari Mutiara Medan. Subjects were patients diagnosed with typhoid fever and was prescribed with minimum of two kinds of drugs. Data were taken from the medical records of 352 pediatric patients with typhoid fever during the month of January 2014 - December 2014. Data analysis was done by comparing data from the medical record with the most current and reliable sources (Drug Interaction Fact, Stockleys Drugs Interaction, drugs.com, medscape.com, ncbi.com and rxlist.com).

The results found that the 352 pediatric patients with typhoid fever experienced drug interaction as many as 202 medical records (57.38%). Drugs used in typhoid fever which potentially interact were paracetamol, chloramphenicol and ranitidine. Based on the mechanism of interaction there were 26 cases (6.90%) with pharmacokinetic mechanism, 124 cases (32,89%) with pharmacodynamic mechanism, and 227 cases (60.21%) with unknown mechanism. Based on the severity of the interaction there were minor 224 cases (59.42%), moderate 151 cases (40.05%), and major 2 cases (0.53%). By using statistical test Chi Square known significant correlation between patient age and drugs amount with the number of potential drug interaction (p<0.05). Based on the research, the incidence of potential drug interaction in RSU Sari Mutiara Medan was high enough.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Kerangka pikir penelitian ... 5

1.3 Perumusan masalah ... 6

1.4 Hipotesis ... 6

1.5 Tujuan penelitian ... 7

1.6 Manfaat penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Rumah Sakit ... 9

2.2 Rekam medik ... 9

2.3 Interaksi Obat ... 10

2.3.1 Mekanisme Interaksi Obat ... 13

(9)

2.4 Pasien Pediatrik ... 21

2.4.1 Farmakokinetika pada pediatrik ... 22

2.4.1.1 Absorbsi ... 22

2.4.1.2 Distribusi ... 22

2.4.1.3 Metabolisme ... 23

2.4.1.4 Ekskresi ... 23

2.5 Demam Tifoid ... 24

2.5.1 Patogenesis dan Patologi ... 24

2.5.2 Gambaran klinis ... 26

2.5.3 Komplikasi demam tifoid ... 28

2.5.4 Pemeriksaan demam tifoid ... 29

2.5.5 Penatalaksanaan demam tifoid ... 30

BAB III METODE PENELITIAN ... 34

3.1 Desain penelitian ... 34

3.2 Lokasi dan waktu penelitian ... 34

3.3 Populasi dan sampel ... 34

3.3.1 Populasi ... 34

3.3.2 Sampel ... 34

3.4 Cara pengumpulan data ... 35

3.4.1 Sumber data ... 35

3.4.2 Teknik pengumpulan data ... 35

3.4.3 Defenisi operasional ... 36

(10)

3.7 Alur penelitian ... 39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

4.1 Hasil penelitian ... 40

4.1.1 Karakteristik subjek penelitian ... 40

4.1.2 Profil pengobatan pasien dengan diagnosis demam tifoid ... 43

4.1.3 Gambaran potensi interaksi obat subjek penelitian . 47 4.2 Gambaran obat- obat demam tifoid yang berpotensi interaksi ... 50

4.2.1 Jenis obat demam tifoid yang berpotensi berinteraksi berdasarkan tingkat keparahannya ... 51

4.2.2 Jenis obat demam tifoid yang berpotensi berinteraksi berdasarkan mekanisme interaksi ... 54

4.3 Pengaruh karakteristik subjek penelitian terhadap kejadian potensi interaksi obat ... 56

4.3.1 Faktor usia ... 56

4.3.2 Faktor jumlah obat ... 57

4.3.3 Frekuensi potensi interaksi obat pada pasien pediatrik dan implikasinya ... 60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 63

5.1 Kesimpulan ... 63

5.2 Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Persentase volume cairan ekstraselular dan kadar air total

dalam tubuh terhadap berat badan ... 23

2.2 Nilai perkiraan GFR berdasarkan usia ... 24

4.1 Karakteristik subjek penelitian ... 40

4.2 Profil pengobatan pada pasien pediatrik dengan diagnosis Demam Tifoid di RSU Sari Mutiara Medan pada periode

Januari 2014 - Desember 2014 ... 44

4.3 Gambaran kejadian potensi interaksi obat pada subjek ... 48

4.4 Daftar obat yang berpotensi berinteraksi berdasarkan tingkat

keparahan ... 53

4.5 Tingkat keparahan potensi interaksi obat pada subjek penelitian 54

4.6 Jenis potensi interaksi obat berdasarkan mekanisme interaksinya

pada subjek penelitian ... 54

4.7 Jenis mekanisme interaksi obat subjek penelitian ... 55

4.8 Kejadian potensi interaksi obat berdasarkan usia subjek

penelitian ... 56

4.9 Kejadian potensi interaksi obat berdasarkan usia subjek

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Skema hubungan variabel bebas dan variabel terikat ... 5

2.1 Algoritma tatalaksana demam tifoid ... 30

3.1 Skema pelaksanaan melakukan penelitian ... 39

4.1 Gambaran kejadian potensi interaksi obat ... 47

4.2 Gambaran kejadian potensi interaksi obat berdasarkan variasi jumlah obat ... 48

4.3 Gambaran kejadian potensi interaksi obat berdasarkan variasi usia ... 49

4.4 Gambaran kejadian potensi interaksi obat berdasarkan variabel usia ... 57

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Surat izin permohonan penelitian pada RSU Sari Mutiara

Medan ... 70

2. Surat rekomendasi melakukan penelitian di RSU Sari Mutiara Medan ... 71

3. Surat keterangan telah selesai melakukan penelitian di RSU Sari Mutiara Medan ... 72

4. Hasil analisis data pada program SPSS Advanced Statistic 20.0 ... 73

5. Tinjauan interaksi obat kategori Ringan ... 77

6. Tinjauan interaksi obat kategori Sedang ... 80

(14)

EVALUASI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN PEDIATRIK DEMAM TIFOID DI RUMAH SAKIT UMUM SARI MUTIARA MEDAN PADA

PERIODE JANUARI 2014 – DESEMBER 2014 ABSTRAK

Demam tifoid merupakan suatu penyakit yang menyerang saluran pencernaan yang disebabkan oleh Salmonella thypi dan merupakan penyakit endemik di Indonesia. Terapi pada demam tifoid membutuhkan obat kombinasi, yang menyebabkan terjadinya potensi interaksi obat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kejadian potensi interaksi obat pada pasien demam tifoid. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode retrospektif melalui evaluasi terhadap data rekam medik pasien pediatrik demam tifoid. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Sari mutiara Medan. Subyek penelitian adalah pasien yang didiagnosa demam tifoid dan mendapat resep minimal 2 macam obat. Data diambil dari 352 rekam medik pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid selama bulan Januari 2014 – Desember 2014. Analisis data dilakukan dengan membandingkan data dari rekam medik dengan sumber yang terkini dan terpercaya (Drug Interaction Fact, Stockleys Drug Interaction, drugs.com, medscape.com, ncbi.com dan rxlist.com).

Hasil penelitian menemukan dari 352 pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid yang berpotensi mengalami interaksi obat sebanyak 202 rekam medik (57,38%). Obat- obat yang digunakan pada demam tifoid yang berpotensi berinteraksi adalah paracetamol, kloramfenikol dan ranitidin. Berdasarkan mekanisme terjadinya interaksi terdapat 26 kasus (6.90%) dengan mekanisme Farmakokinetik, 124 kasus (32,89%) dengan mekanisme farmakodinamik, dan 227 kasus (60,21%) mekanisme unknown. Berdasarkan tingkat keparahan terdapat tingkat keparahan ringan 224 kasus (59.42%), sedang 151 kasus (40.05%), dan berat 2 kasus (0.53%). Dengan menggunakan uji statistik Chi Square diketahui adanya hubungan yang bermakna antara umur pasien dan jumlah obat dengan jumlah potensi interaksi obat yang teridentifikasi dengan nilai p<0,05. Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka kejadian potensi interaksi obat di RSU Sari Mutiara Medan cukup tinggi.

(15)

EVALUATION OF DRUG INTERACTION IN PEDIATRIC WITH TYPHOID FEVER AT SARI MUTIARA GENERAL HOSPITAL MEDAN

DURING JANUARY 2014 – DECEMBER 2014 ABSTRACT

Typhoid fever is a disease that attacks the gastrointestinal tract caused by the Salmonella thypi and an endemic disease in Indonesia. Therapeutic treatment for typhoid fever requires combination drug therapy, leading to potential drug interaction.

This study aimed to identify potential drug interaction in patients with typhoid fever. This research was a descriptive study using a retrospective method through evaluation of medical records of pediatric patients with typhoid fever. This study was conducted in General Hospital Sari Mutiara Medan. Subjects were patients diagnosed with typhoid fever and was prescribed with minimum of two kinds of drugs. Data were taken from the medical records of 352 pediatric patients with typhoid fever during the month of January 2014 - December 2014. Data analysis was done by comparing data from the medical record with the most current and reliable sources (Drug Interaction Fact, Stockleys Drugs Interaction, drugs.com, medscape.com, ncbi.com and rxlist.com).

The results found that the 352 pediatric patients with typhoid fever experienced drug interaction as many as 202 medical records (57.38%). Drugs used in typhoid fever which potentially interact were paracetamol, chloramphenicol and ranitidine. Based on the mechanism of interaction there were 26 cases (6.90%) with pharmacokinetic mechanism, 124 cases (32,89%) with pharmacodynamic mechanism, and 227 cases (60.21%) with unknown mechanism. Based on the severity of the interaction there were minor 224 cases (59.42%), moderate 151 cases (40.05%), and major 2 cases (0.53%). By using statistical test Chi Square known significant correlation between patient age and drugs amount with the number of potential drug interaction (p<0.05). Based on the research, the incidence of potential drug interaction in RSU Sari Mutiara Medan was high enough.

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Drug Related Problems (DRPs) merupakan penyebab kurangnya kualitas

pelayanan rumah sakit yang didefinisikan sebagai kejadian tidak diinginkan yang

menimpa pasien yang berhubungan dengan terapi obat yang secara nyata maupun

potensial berpengaruh terhadap kesembuhan pasien yang diinginkan. Penggunaan

obat yang tidak rasional sering ditemukan dalam peresepan obat sehingga

menimbulkan pemborosan dan mengurangi kualitas pelayanan rumah sakit

(Christina, et al., 2014).

Salah satu kejadian DRP yang sering ditemukan pada peresepan di rumah

sakit yaitu interaksi obat. Interaksi obat pada pasien diakibatkan adanya suatu

interaksi yang bisa terjadi yaitu ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat

lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungan.

Definisi yang lebih relevan adalah ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya

atau yang terjadi ketika satu obat hadir bersama dengan obat yang lainnya

(Stockley, 2008).

Tidak semua interaksi obat akan bermakna secara signifikan, walaupun

secara teoritis mungkin terjadi. Banyak interaksi obat yang kemungkinan besar

berbahaya terjadi hanya pada sejumlah kecil pasien. Namun demikian, seorang

farmasis perlu selalu waspada terhadap kemungkinan timbulnya efek merugikan

akibat interaksi obat ini untuk mencegah timbulnya risiko morbiditas atau bahkan

(17)

Meningkatnya kejadian interaksi obat dengan efek yang tidak diinginkan

adalah akibat makin banyaknya dan makin seringnya penggunaan apa yang

dinamakan polipharmacy atau multiple drug therapy. Interaksi obat dapat dicegah

bila farmasis mempunyai pengetahuan farmakologi tentang obat- obat yang

dikombinasikan. Haruslah diakui bahwa pencegahan itu tidaklah semudah yang

kita sangka, mengingat jumlah interaksi yang mungkin terjadi pada penderita

yang menerima pengobatan polifarmasi cukup banyak (Gapar, 2003).

Populasi pediatrik merupakan kelompok yang memiliki fisiologi berbeda,

dan tidak boleh diperlakukan sebagai miniatur laki-laki atau wanita dewasa.

Secara internasional populasi pediatrik dikelompokkan menjadi bayi prematur

yang baru lahir (preterm newborn infants), bayi yang baru lahir umur 0-28 hari

(term newborn infant), bayi dan anak kecil yang baru belajar berjalan umur >28

hari sampai 23 bulan (infants and toddlers), anak-anak 2- 11 tahun (children), dan

anak remaja umur 12 sampai 16 sampai 18 tahuntergantung daerah (adoloscent)

(WHO, 2007).

Pasien anak-anak memiliki kebutuhan yang berbeda dalam pengobatan

dibandingkan dengan orang dewasa. Masalah yang berkaitan dengan perbedaan

farmakokinetika, dosis, rute pemberian dan kepatuhan semuanya harus

dipertimbangkan oleh ahli farmasi klinis agar dapat memaksimalkan layanan

kefarmasian pada kelompok pasien tersebut (Aslam, 2003).

Demam tifoid merupakan suatu penyakit yang menyerang saluran

pencernaan disebabkan Salmonella thypi dan merupakan penyakit endemik di

(18)

ini karena gambaran klinis hampir sama dengan penyakit infeksi lain. Sementara

laboratorium bakteriologi belum tersedia secara merata di seluruh Indonesia.

Diagnosis bisa ditegakkan melalui tanda-tanda klinis, terutama lima tanda utama

(mual, nyeri abdominal, anoreksia, muntah dan gangguan motilitas saluran cerna)

dan kriteria lainnya. Berdasarkan tanda-tanda klinis (Kalbe, 2014).

Demam tifoid merupakan penyakit yang terdapat di seluruh dunia, di

Amerika Serikat diperkirakan terdapat 5700 kasus demam tifoid terjadi tiap tahun,

umumnya terjadi pada wisatawan. Diperkirakan 21 juta kasus demam tifoid

terjadi dan 200.000 kematian di seluruh dunia. Demam tifoid merupakan masalah

utama bagi negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia, Malaysia, dan

Thailand. Pada tahun 2007, Centers for disease control and prevention

melaporkan prevalensi kasus demam tifoid di Indonesia sekitar 358-810 per

100.000 penduduk dengan 64% terjadi pada usia 3 sampai 19 tahun. Di Jakarta,

demam tifoid adalah infeksi kedua tertinggi setelah gastroenteritis dan

menyebabkan angka kematian yang tinggi (Moehario, 2009).

Menurut laporan data surveilans dari sub Direktorat surveilans

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, insiden penyakit demam tifoid

berturut-turut pada tahun 1990,1991,1992,1993 dan 1994 yaitu 9,2; 13,4; 15,8;

17,4 per 10000 penduduk. Sementara data penyakit demam tifoid dari Rumah

Sakit dan pusat kesehatan juga meningkat dari 92 kasus (1994) menjadi 125 kasus

(1996) per 100,000 penduduk (Rohman, 2010).

Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2008, pasien

demam tifoid pada rawat jalan di Rumah Sakit menempati urutan ke- 5 dari 10

(19)

Rumah Sakit menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbesar yaitu sebanyak

1.276 penderita (11,4%) (Dinkes Provinsi Sumatera Utara., 2009).

Terapi pengobatan demam tifoid dibagi menjadi pengobatan simptomatik

dan spesifik dengan antibiotik sehingga membutuhkan terapi obat kombinasi. Tata

laksana pengobatan demam tifoid, antibiotik seperti Kloramfenikol (drug of

choice) 50-100 mg/kgbb/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14

hari, amoksisilin 100 mg/kgbb/hari, oral atau intravena, selama 10 hari,

kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari, oral, selama 10 hari, seftriakson 80 mg/kgbb/hari,

intravena atau intramuskular, sekali sehari selama 5 hari, sefiksim 10

mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari, kortikosteroid diberikan

pada kasus berat dengan gangguan kesadaran, deksametason 1- 3mg/kgbb/hari

intravena dibagi 3 dosis dosis hingga kesadaran membaik (PPM IDI, 2009).

Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama atau hampir

bersamaan berpotensi menyebabkan interaksi yang dapat mengubah efek yang

diinginkan. Interaksi bisa bersifat aditif, sinergis atau antagonis efek satu obat

oleh obat lain, atau adakalanya beberapa efek lainnya. Walaupun hasilnya bisa

positif (meningkatkan kemanjuran) atau negatif (menurunkan kemanjuran,

toksisitas atau idiosinkrasi) (Martin, 2009).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di instalasi rawat inap di

Banjarnegara, disimpulkan terdapat variasi jumlah obat yang digunakan antara 1-7

golongan obat perharinya yang menimbulkan risiko interaksi obat (Handayani,

2005). Hasil evaluasi penggunaan obat demam tifoid pada periode Januari-

(20)

RSUD Purbalingga tahun 2009, juga terdapat beberapa obat demam tifoid yang

mengalami interaksi (Shinta, 2011).

Berdasarkan hal-hal diatas maka peneliti tertarik melakukan penelitian

mengenai kejadian potensi interaksi obat pada penyakit demam tifoid di RSU Sari

Mutiara Medan karena sampai sekarang belum ada data ilmiah mengenai interaksi

obat pada penyakit demam tifoid secara retrospektif pada pasien pediatrik.

1.2 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini mengidentifikasi kejadian potensi interaksi obat atau obat-

obat yang sering berinteraksi di RSU Sari Mutiara Medan, mengkaji frekwensi

kejadian potensi interaksi obat dan mempelajari mekanisme terjadinya interaksi

obat serta menentukan tingkat keparahan interaksi obat yang terjadi. Dalam hal ini

karakteristik pasien (usia) dan karakteristik obat (jumlah obat yang diterima

pasien) adalah variabel bebas (Independent variable) dan kejadian potensi

interaksi obat adalah variabel terikat (Dependent variabel). Adapun selengkapnya

mengenai gambaran kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.1.

Variabel bebas Variabel terikat Parameter

Gambar 1.1 Skema hubungan variabel bebas dan variabel terikat Potensi

Interaksi obat

Frekwensi interaksi

Mekanisme interaksi

Jenis obat yang berinteraksi

Tingkat keparahan interaksi Jumlah obat

Karakteristik pasien Karakteristik obat

(21)

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah penelitian ini

adalah:

a. bagaimana profil pengobatan pada pasien pediatrik dengan diagnosis

demam tifoid di RSU Sari Mutiara Medan?

b. apakah terjadi potensi interaksi obat pada pasien pediatrik dengan

diagnosis demam tifoid di RSU Sari Mutiara?

c. apakah jenis obat demam tifoid yang sering berpotensi interaksi?

d. apa sajakah pola mekanisme interaksi obat dan tingkat keparahan interaksi

obat pada pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid di RSU Sari

Mutiara?

e. apakah usia dan jumlah obat mempengaruhi potensi interaksi obat- obat

yang digunakan pada pasien demam tifoid?

1.4 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian ini

adalah:

a. profil pengobatan pada pasien pediatrik dilihat dari jumlah obat yang

paling banyak digunakan adalah antibiotik seperti Kloramfenikol.

b. terjadi potensi interaksi obat pada peresepan obat-obat pada pasien

pediatrik dengan diagnosis demam tifoid di RSU Sari Mutiara.

c. jenis obat demam tifoid yang sering berpotensi interaksi Parasetamol,

(22)

d. pola mekanisme interaksi obat adalah farmakokinetika, farmakodinamik

dan unknown dan tingkat keparahan interaksi obat adalah berat, sedang

dan ringan.

e. usia dan jumlah obat mempengaruhi potensi interaksi obat- obat yang

digunakan pada pasien demam tifoid.

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan hipotesis di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

a. mengetahui profil pengobatan pasien pediatrik dengan diagnosis demam

tifoid.

b. mengetahui potensi interaksi obat pada pasien demam tifoid.

c. mengetahui jenis obat demam tifoid yang sering berinteraksi

d. mengetahui pola mekanisme interaksi obat dan tingkat keparahan interaksi

obat pada pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid di RSU Sari

Mutiara

e. Mengetahui faktor yang mempengaruhi interaksi obat.

1.6 Manfaat Penelitian

Berdasarkan hal- hal di atas, maka manfaat penelitian ini adalah:

a. Memberikan gambaran mengenai profil pengobatan pada pasien pediatrik

demam tifoid

b. memberikan gambaran mengenai faktor risiko potensi interaksi obat, obat-

(23)

dan tingkat keparahan terjadinya interaksi pada penyakit demam tifoid

pasien pediatrik di RSU Sari Mutiara Medan

c. untuk meningkatkan pengetahuan tenaga kesehatan dalam upaya

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rumah sakit

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan

rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.

Tujuan penyelenggaraan Rumah Sakit:

a. mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan

b. memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,

lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit

c. meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit

d. memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya

manusia rumah sakit dan rumah sakit

Pada hakikatnya Rumah Sakit berfungsi sebagai tempat penyembuhan

penyakit dan pemulihan kesehatan dan fungsi dimaksud memiliki makna

tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam

meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat (Menkes RI., 2010).

2.2 Rekam medik

Rekam medik merupakan kumpulan data medik seorang pasien mengenai

pemeriksaan, pengobatan dan perawatannya di rumah sakit. Data yang dapat

diperoleh dari rekam medik, antara lain: data demografi pasien, keluhan utama,

(25)

riwayat keluarga, riwayat sosial, pemeriksaan fisik, laboratorium, diagnostik,

diagnosis dan terapi (Depkes RI., 2009).

2.3 Interaksi Obat

Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat

(drug-related problem) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi

obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Sebuah interaksi obat

terjadi ketika farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah

oleh kehadiran satu atau lebih zat yang berinteraksi (Piscitelli, 2005).

Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat

lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam

lingkungannya. Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika obat

bersaing satu dengan yang lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat hadir

bersama satu dengan yang lainnya (Stockley, 2008).

Meningkatnya kejadian interaksi obat dengan efek yang tidak diinginkan

adalah akibat makin banyaknya dan makin seringnya penggunaan apa yang

dinamakan polipharmacy atau multiple drug therapy (Gapar,2003).Polifarmasi

merupakan penggunaan obat dalam jumlah yang banyak dan tidak sesuai dengan

kondisi kesehatan pasien. Meskipun istilah polifarmasi telah mengalami

perubahan dan digunakan dalam berbagai hal dan berbagai situasi, tetapi arti dasar

dari polifarmasi itu sendiri adalah obat dalam jumlah yang banyak dalam suatu

resep (dan atau tanpa resep) untuk efek klinik yang tidak sesuai. Jumlah yang

(26)

adanya polifarmasi akan tetapi juga dihubungkan dengan adanya efek klinis yang

sesuai atau tidak sesuai pada pasien (Rambadhe, et al., 2012).

Interaksi obat didefenisikan oleh Committee for Proprietary Medicine

Product (CPMP) sebagai suatu keadaan bilaman suatu obat dipengaruhi oleh

penambahan obat lain dan menimbulkan pengaruh klinis. Biasanyah, pengaruh ini

terlihat sebagai suatu efek samping, tetapi terkadang terjadi pula perubahan yang

menguntungkan. Obat yang mempengaruhi disebut dengan precipitant drug,

sedangkan obat yang dipengaruhi disebut Object drug(Dalimunthe, 2009).

Secara farmakologis, obat yang bertindak sebagai precipitant drug

mempunyai sifat sebagai berikut:

a. Obat yang terikat banyak olh protein plasma, akan menggeser obat lain dari

ikatannya.

b. Obat yang menghambat atau merangsang metabolisme obat lain.

c. Obat yang mempengaruhi renal clearance object drug.

Sedangkan object drug, biasanya merupakan obat yang mempunyai kurva dose

response yang curam. Obat- obat ini menimbulkan perubahan reaksi terapeutik

yang besar dengan perubahan dosis kecil. Kelainan yang ditimbulkan bisa

memperbesar efek terapinya. Juga bila dosis toksik suatu object drug, dekat

dengan dosis terapinya, maka mudah keracunan obat bila terjadi suatu interaksi.

Pada umumnya akan terjadi dua hal, yaitu pengurangan efek terapinya dan

terjadinya efek samping (Dalimunthe, 2009).

Diperkirakan, insidensi terjadinya interaksi obat sekitar 7% dari semua

efek samping obat dan kematian akibat ini sekitar 4%. Hal ini dapat dipengaruhi

(27)

i. Kurangnya dokumentasi

ii. Seringkali lolos dari pengamatan karena kurangnya pengetahuan para dokter

tentang mekanisme dan kemungkinan terjadinya interaksi obat.

iii. Faktor keturunan, fungsi hati dan ginjal, usia (bayi dan lansia), ada atau

tidaknya suatu penyakit, jumlah obat yang digunakan dan juga faktor

sensitivitas penderita (Dalimunthe, 2009 ).

Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan

toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila

menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang

rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik

(Setiawati, 2007).

Efek dan keparahan interaksi obat dapat sangat bervariasi antara pasien

yang satu dengan yang lain. Faktor-faktor penderita yang berpengaruh terhadap

Interaksi Obat:

a. Umur Penderita

i. Bayi dan balita

Proses metabolik belum sempurna, efek obat dapat berbeda.

ii. Orang Lanjut usia

Orang lanjut usia relatif lebih sering berobat, lebih sering menderita

penyakit kronis seperti hipertensi, kardiovaskuler, diabetes, arthritis. Orang

lanjut usia sering kali fungsi ginjal menurun, sehingga ekskresi obat terganggu

kemungkinan fungsi hati juga terganggu, dan diet pada lanjut usia sering tidak

(28)

b. Penyakit yang sedang diderita

Pemberian obat yang merupakan kontra-indikasi untuk penyakit tertentu.

c. Fungsi Hati Penderita

Fungsi hati yang terganggu akan menyebabkan metabolisme obat terganggu

karena biotransformasi obat sebagian besar terjadi di hati.

d. Fungsi ginjal penderita

Fungsi ginjal terganggu akan mengakibatkan ekskresi obat terganggu. Ini akan

mempengaruhi kadar obat dalam darah, juga dapat memperpanjang waktu

paruh biologik (t½) obat. Dalam hal ini ada 3 hal yang dapat dilakukan, yaitu:

i. Dosis obat dikurangi

ii. Interval waktu antara pemberian obat diperpanjang, atau

iii. Kombinasi dari kedua hal diatas.

e. Kadar protein dalam darah/serum penderita

Bila kadar protein dalam darah penderita dibawah normal, maka akan

berbahaya terhadap pemberian obat yang ikatan proteinnya tinggi.

f. pH urin penderita

pH urine dapat mempengaruhi ekskresi obat di dalam tubuh.

g. Diet penderita

Diet dapat mempengaruhi absorpsi dan efek obat (Joenoes, 2002).

2.3.1 Mekanisme interaksi obat

Secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat :

a. Interaksi Farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi,

(29)

mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologisnya

(BNF 58, 2009). Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe :

i. Interaksi pada absorbsi obat

a) Efek perubahan pH gastrointestinal

Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung

pada apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan.

Absorpsi ditentukan oleh nilai pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi

usus dan sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai

contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada

pH rendah daripada pada pH tinggi (Stockley, 2008).

b) Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek

Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam

usus untuk pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan

beracun lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang

diberikan dalam dosis terapetik. Antasida juga dapat menyerap sejumlah

besar obat-obatan. Sebagai contoh, antibakteri tetrasiklin dapat membentuk

khelat dengan sejumlah ion logam divalen dan trivalen, seperti kalsium,

bismut aluminium, dan besi, membentuk kompleks yang kurang diserap dan

mengurangi efek antibakteri (Stockley, 2008).

c) Perubahan motilitas gastrointestinal

Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus

kecil, obat-obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat

(30)

lambung dan mengurangi penyerapan parasetamol (asetaminofen),

sedangkan metoklopramid memiliki efek sebaliknya (Stockley, 2008).

d) Induksi atau inhibisi protein transporter obat

Ketersediaan hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein

transporter obat. Saat ini, transporter obat yang terkarakteristik paling baik

adalah P-glikoprotein. Digoksin adalah substrat P-glikoprotein, dan

obat-obatan yang menginduksi protein ini, seperti rifampisin, dapat mengurangi

ketersediaan hayati digoksin (Stockley, 2008).

e) Malabsorbsi dikarenakan obat

Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat

mengganggu penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan

metotreksat (Stockley, 2008).

ii. Interaksi pada distribusi obat

a) Interaksi ikatan protein

Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh

oleh sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, yang

lainnya diangkut oleh beberapa molekul dalam larutan dan sisanya terikat

dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein

plasma bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara molekul-molekul

yang terikat dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat yang tetap bebas

dan aktif secara farmakologi (Stockley, 2008).

b) Induksi dan inhibisi protein transport obat

Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis,

(31)

secara aktif membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara

pasif. Obat yang termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan

penyerapan substrat obat ke dalam otak, yang dapat meningkatkan efek

samping CNS (Stockley, 2008).

iii. Interaksi pada metabolisme obat

a) Perubahan pada metabolisme fase pertama

Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak

berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi

senyawa lipid kurang larut, yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal.

Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan

terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini

disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia, atau

kadang-kadang detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum,

ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang

ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis

reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan

oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih

polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat

lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi)

untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Beratitas reaksi oksidasi fase I

dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).

b) Induksi Enzim

(32)

hipnotik yang sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas

enzim mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolisme dan

ekskresinya (Stockley, 2008).

c) Inhibisi enzim

Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat,

sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi

enzim, yang mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan

minggu untuk berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam

waktu 2 sampai 3 hari, sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang

cepat. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I

oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak

interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan

serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi

tidak penting secara klinis (Stockley, 2008).

d) Faktor genetik dalam metabolisme obat

Peningkatan pemahaman genetika telah menunjukkan bahwa

beberapa isoenzim sitokrom P450 memiliki polimorfisme genetik, yang

berarti bahwa beberapa dari populasi memiliki varian isoenzim yang

berbeda aktivitas. Contoh yang paling terkenal adalah CYP2D6, yang

sebagian kecil populasi memiliki varian aktivitas rendah dan dikenal

sebagai metabolisme lambat. Sebagian lainnya memiliki isoenzim cepat

atau metabolisme ekstensif. Kemampuan yang berbeda dalam metabolisme

(33)

berkembang mengalami toksisitas ketika diberikan obat sementara yang

lain bebas dari gejala (Stockley, 2008).

e) Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi

Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi

isoenzim ini, sedangkan ketokonazol menghambatnya, sehingga tidak

mengherankan bahwa rifampisin mengurangi efek siklosporin sementara

ketokonazol meningkatkannya (Stockley, 2008).

iv. Interaksi pada ekskresi obat

a)Perubahan pH urin

Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa

3-7,5) sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut lipid, yang

tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus dan karenanya akan tetap dalam

urin dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa

7,5 sampai 10.5. Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan

jumlah obat dalam bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat

(Stockley, 2008).

b) Perubahan ekskresi aktif tubular renal

Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di

tubulus ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai

contoh, probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya.

Dengan meningkatnya pemahaman terhadap protein transporter obat pada

ginjal, sekarang diketahui bahwa probenesid menghambat sekresi ginjal

(34)

c) Perubahan aliran darah renal

Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator

prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi

beberapa obat dari ginjal dapat berkurang (Stockley, 2008).

b. Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang

memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama.

Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara

obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat

diprediksi dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi

(BNFC, 2009).

i. Interaksi aditif atau sinergis

Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan

bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP,

jika diberikan dalam jumlah sedang dosis terapi normal sejumlah besar obat

(misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan mengantuk

berlebihan. Kadang-kadang efek aditif menyebabkan toksik (misalnya aditif

ototoksisitas, nefrotoksisitas, depresi sumsum tulang dan perpanjangan interval

QT) (Stockley, 2008).

ii. Interaksi antagonis atau berlawanan

Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan kegiatan

yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin dapat memperpanjang waktu

pembekuan darah yang secara kompetitif menghambat efek vitamin K. Jika

(35)

protrombin dapat kembali normal, sehingga menggagalkan manfaat terapi

pengobatan antikoagulan (Stockley, 2008).

2.3.2 Tingkat keparahan interaksi obat

Potensikeparahaninteraksisangat pentingdalam

menilairisikodanmanfaatterapi alternatif. Denganpenyesuaiandosis yang tepatatau

modifikasijadwalpenggunaan obat, efek negatif darikebanyakaninteraksidapat

dihindari. Tigaderajatkeparahandidefinisikan sebagai:

a. Keparahan minor

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika efek biasanya

ringan, konsekuensi mungkin mengganggu atau tidak terlalu mencolok tapi

tidak signifikan mempengaruhi hasil terapi. Pengobatan tambahan biasanya

tidak diperlukan (Tatro, 2009).

b. Keparahan moderate

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate (sedang) jika

efek yang terjadidapat menyebabkanpenurunanstatus klinispasien. Pengobatan

tambahan, rawat inap, ataudiperpanjangdirawat di rumah sakitmungkin

diperlukan (Tatro, 2009).

c. Keparahan major

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major(berat) jika

terdapat probabilitas yang tinggi,berpotensimengancam jiwaataudapat

menyebabkankerusakan permanen (Tatro, 2009).

Profesional perawatan kesehatan perlu menyadari sumber interaksi obat

(36)

Hal ini juga tugas para profesional kesehatan untuk dapat menerapkan literatur

yang tersedia untuk setiap situasi. Profesional harus mampu untuk

merekomendasi secara individu berdasarkan parameter-pasien tertentu.

Meskipun beberapa pihak berwenang menyarankan efek samping yang

dihasilkan dari interaksi obat mungkin kurang sering daripada yang terjadi,

profesional perawatan kesehatan harus melindungi pasien terhadap efek

berbahaya dari obat-obatan, terutama ketika interaksi tersebut dapat

diantisipasi dan dicegah (Tatro, 2009).

2.4 Pasien pediatrik

Menurut American academy of pediatriks (AAP), pediatrik adalah

spesialisasi ilmu kedokteran yang berkaitan dengan fisik, mental dan sosial

kesehatan anak sejak lahir sampai dewasa muda. Pediatrik juga merupakan

disiplin ilmu yang berhubungan dengan pengaruh biologis, sosial, lingkungan dan

dampak penyakit pada perkembangan anak. Anak- anak berbeda dari orang

dewasa secara anatomis, fisiologis, imunologis, psikologis, perkembangan dan

metabolisme (AAP, 2012).

Secara internasional populasi pediatrik dikelompokkan menjadi:

a. Bayi premature baru lahir (preterm newborn infants).

b. Bayi yang baru lahir atau neonatus umur 0-28 hari (term newborn infants).

c. Bayi dan anak kecil yang baru belajar berjalan umur > 28 hari sampai 23

bulan (infants and toddlers).

(37)

e. Anak remaja umur 12 sampai 16 sampai 18 tahun tergantung daerah (adolescents) (WHO, 2007).

2.4.1 Farmakokinetika pada pediatrik

Pasien pediatrik mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam pengobatan

dibandingkan dengan orang dewasa. Masalah yang berkaitan denngan perbedaan

farmakokinetika, dosis, rute pemberian dan kepatuhan semuanya harus

dipertimbangkan (Prest, 2004).

2.4.1.1 Absorbsi

Pada absorbsi obat, ada dua faktor utama yang terlibat yaitu laju absorbs

dan jumlah yang terabsorbsi. Absorbsi sediaan oral dapat dipengaruhi oleh

beberapa factor, meliputi waktu transit didalam lambung dan usus, pH lambung

dan usus serta waktu pengosongan lambung yang berbeda pada neonatus maupun

pada bayi. Keasaman lambung belum mendekati nilai- nilai orang dewasa sampai

usia dua sampai tiga bulan. Waktu pengosongan lambung akan menyamai orang

dewasa pada usia 6 bulan dan baru setelah 2 tahun produksi asam lambung akan

meningkat sebanding dengan kadar per kg seperti pada orang dewasa (Prest,

2004).

Pada neonatus, waktu transit lambung lebih lama, pH lambung dan fungsi

enzim bervariasi, tidak ada flora usus akan mempengaruhi penyerapan obat yang

diberikan secara oral (Hashem, 2005).

2.4.1.2 Distribusi

Selama usia bayi, kadar air total dalam tubuh terhadap berat badan total

(38)

2.1. Obat yang larut air seharusnya diberikan dengan dosis yang lebih besar untuk mencapai efek terapeutik yang dikehendaki.

Tabel 2.1Presentase volume cairan ekstraseluler dan kadar air total dalam tubuh terhadap berat badan.

Usia Kadar air total dalam tubuh (%) Cairan ekstraseluler (%)

Preterm neonatus 85 50

Term neonatus 75 45

3 bulan 75 30

1 tahun 60 25

Dewasa 60 20

Jumlah obat yang berikatan dengan protein merupakan hal yang paling

berpengaruh dalam distribusi obat. Ikatan protein dapat berkurang pada bayi

karena rendahnya kadar globulin dan albumin. Penelitian menunjukkan bahwa

baru setelah usia 3 tahun ikatan protein menjadi sebanding dengan nilai orang

dewasa untuk obat yang bersifat asam, untuk obat yang bersifat basa memerlukan

waktu sampai usia 7-12 tahun (Prest, 2004).

2.4.1.3 Metabolisme

Pada saat baru lahir sebagian besar enzim yang terlibat dalam metabolism

obat belum terbentuk atau sudah ada namun dalam jumlah yang sangat sedikit.

Sehingga kapasitas degradasi metabolismenya juga belum optimal. Pada bayi dan

anak – anak terdapat peningkatan yang cukup besar dalam hal laju

metabolismenya. Sehingga untuk obat- obat tertentu dosis (mg/kg) yang lebih

besar mungkin diprlukan anak- anak dibandingkan orang dewasa (Prest, 2004).

2.4.1.4 Ekskresi

Laju filtrasi glomerolus (GFR) pada bayi yang baru lahir lebih rendah

dibandingkan dengan orang dewasa karena ginjalnya relative belum berkembang

(39)

belum optimal dan penurunan dosis mungkin diperlukan. Tetapi GFR akan

meningkat secara cepat setelah minggu- minggu pertama kelahiran an mencapai

nilai yang sebanding dengan orang dewasa pada usia 1 tahun (Perst, 2004). Nilai

perkiraan GFR ditunjukkan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Nilai perkiraan GFR berdasarkan usia

Umur GFR (ml/min/m2 )

4 hari pertama 1

14 hari 22

1 tahun 70

Dewasa 70

2.5 Demam tifoid

Demam tifoid adalah penyakit infeksi usus yang disebabkan oleh kuman

Salmonella typhi. Insiden tifoid di Indonesia masih sangat tinggi berkisar 350-810

per 100.000 penduduk, demikian juga dari kasus demam tifoid di rumah sakit

besar di Indonesia menunjukkan angka kesakitan cenderung meningkat setiap

tahun dengan rata-rata 500/100.000 penduduk. Angka kematian diperkirakan

sekitar 0,6-5% sebagai akibat dari keterlambatan mendapat pengobatan serta

tingginya biaya pengobatan (Depkes RI., 2006).

2.5.1 Patogenesis dan Patologi

Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella typhi atau Salmonella

para typhi. Penularan ke manusia melalui makanan dan atau minuman yang

tercemar dengan feses manusia. Setelah melewati lambung kuman mencapai usus

halus dan invasi ke jaringan limfoid (plak nyeri) yang merupakan tempat

predifeksi untuk berkembang biak. Melalui saluran limfe mesentrik kuman masuk

(40)

jaringan ini kuman dilepas ke sirkulasi sistemik (bakteremia II) melalui duktus

torasikus dan mencapai organ- organ tubuh terutama limpa, usus halus dan

kandung empedu (Depkes RI., 2006).

Kuman Salmonella menghasilkan endotoksin yang merupakan kompleks

lipopolisakarida dan dianggap berperan penting pada pathogenesis demam tifoid.

Endotoksin bersifat pirogenik serta memperbesar reaksi peradangan dimana

kuman Salmonella berkembang biak. Disamping itu merupakan stimulator yang

kuat untuk memproduksi sitokin oleh sel- sel makrofag dan sel leukosit di

jaringan yang meradang. Sitokin ini merupakan mediator- mediator untuk

timbulnya demam dan gejala toksemia (proinflamatory). Oleh karena basil

Salmonella bersifat intraselluler maka hampir semua bagian tubuh dapat terserang

dan kadang- kadang pada jaringan yang terinvasi dapat timbul fokal- fokal infeksi

(Depkes RI., 2006).

Kelainan patologis yang utama terdapat di usus halus terutama diileum

bagian distal dimana terdapat kelenjar plak peyer. Pada minggu pertama, pada

plak peyer terjadi hyperplasia berlanjut menjadi nekrosis pada minggu kedua dan

ulserasi pada minggu ketiga, akhirnya membentuk ulkus. Ulkus ini mudah

menimbulkan perdarahan dan perforasi yang merupakan komplikasi yang

berbahaya. Hati membesar karena infiltrasi sel-sel limfosit dan sel mononuclear

lainnya serta nekrosis fokal. Demikian juga proses ini terjadi pada jaringan

retikuloendotelial lain seperti limpa dan kelenjar mesentrika. Kelainan- kelainan

patologis yang sama juga dapat ditemukan pada organ tubuh lain seperti tulang,

usus, paru, ginjal, jantung dan selaput otak. Pada pemeriksaan klinis, sering

(41)

ditemukan bronchitis, arthtritis septic, pielonefritis, meningitis dll. Kandung

empedu merupakan tempat yang disenangi basil salmonella. Bila penyembhan

tidak sempurna, basil tetap tahan di kandung empedu ini, mengalir ke dalam usus,

sehingga menjadi karier intestinal. Demikian juga ginjal dapat mengandung basil

dalam waktu lama sehingga juga menjadi karir. Adapun tempat- tempat yang

menyimpan basil ini, memungkinkan penderita mengalami kekambuhan (relaps)

(Depkes RI., 2006).

2.5.2 Gambaran klinis

Gambaran klinis tifoid sangat bervariasi, dari gejala yang ringan sekali

(sehingga tidak terdiagnosis) dan dengan gejala yang khas sampai dengan gejala

klinis berat yang disertai komplikasi. Gambaran klinis juga bervariasi berdasarkan

daerah atau Negara, serta menurut waktu. Gambaran klinis di Negara berkembang

dapat berbeda dengan Negara maju dan gambaran klinis tahun 2000 dapat berbeda

dengan tahun enam puluhan pada daerah yang sama (Depkes RI., 2006).

Gambaran klinis pada anak cenderung tak khas. Makin kecil anak,

gambaran klinis makin tidak khas. Kebanyakan perjalanan penyakit berlangsung

dalam waktu pendek dan jarang menetap lebih dari 2 minggu.Kumpulan gejala-

gejala klinis tifoid disebut dengan sindrom tifoid. Beberapa gejala klinis yang

sering diantaranya adalah:

a. Demam

Pada awal sakit, demam kebanyakan samar samar saja, selanjutnya suhu

tubuh sering turun naik. Dari hari ke hari intensitas demam makin tinggi yang

(42)

bila pasien membaik pada minggu ketiga suhu badan berangsur turun dan dapat

normal kembali pada akhir minggu ke 3. Demam khas pada tifoid tidak selalu ada,

tipe demam menjadi tidak beraturan. Pada anak khususnya balita, demam tinggi

dapat menimbulkan kejang (Depkes RI., 2006).

b. Gangguan saluran pencernaan

Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama,

bibir kering dan terkadang pecah- pecah,lidah kotor, ujung dan tepi lidah

kemerahan dan tremor, dan pada penderita anak jarang ditemukan. Pada

umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama region epigastrik,

disertai nausea, mual dan muntah (Depkes RI., 2006).

c. Gangguan kesadaran

Umumnya berupa penurunan kesadaran ringan, sering kesadaran apatis

dengan kesadaran seperti berkabut. Bila klinis berat, tak jarang penederita sampai

somnolen dan koma. Pada penderita dengan toksis, gejala delirium lebih menonjol

(Depkes RI., 2006).

d. Hepatosplenomegali

Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal dan

nyeri tekan.

e. Bradikadia relative dan gejala lain

Bradikardi relative tidak sering ditemukan, mungkin karena teknik

pemeriksaan yang sulit ditemukan. Bradikardi relative adalah peningkatan suhu

tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Gejala- gejala lain yang

dapat ditemukan pada demam tifoid adalah rose spot yang biasanya ditemukan

(43)

berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot pada anak jarang terjadi

malahan lebih sering epitaksis (Depkes RI., 2006).

2.5.3 Komplikasi demam Tifoid

Pada minggu kedua atau lebih, sering timbul komplikasi demam tifoid

mulai yang ringan sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi yang

sering terjadi diantaranya:

a. Tifoid toksik (tifoid ensefalopati)

Didapatkan gangguan atau penurunan kesadaran akut dengan delirium

sampai koma yang disertai atau tanpa kelainan.

b. Syok septic

Adalah akibat lanjut dari respon inflamasi sistemik. Disamping gejala-

gejala tifoid diatas, penderita jatuh kedalam fase kegagalan vascular (syok).

Tensi turun, nadi cepat dan halus, berkeringat serta akral dingin. Akan

berbahaya bila syok menjadi irreversible.

c. Perdarahan dan perforasi intestinal

d. Peritonitis

e. Hepatitis tifosa

f. Pancreatitis tifosa

g. Pneunomonia

h. Komplikasi lain (Osteomielitis, arthritis , Miokarditis, perikarditis,

endokarditis, pielonefritis, orkhritisdan peradangan ditempat lain) (Depkes RI.,

(44)

2.5.4 Pemeriksaan Demam Tifoid a. Gambaran darah tepi

Pada pemeriksaan hitung leukosit total terdapat gambaran leukopeni

(±3000-8000 per mm3), limfositosis relative, monositosis, dan eosinofilia dan

trombositopenia ringan.

b. Pemeriksaan Bakteriologis

i. Jenis pembiakan menurut specimen

a) Biakan darah

b) Biakan bekuan darah

c) Biakan tinja

Biakan tinja lebih berguna pada penderita yang sedang diobati

dengan kloramfenikol, terutama untuk mendeteksi karier.

d) Biakan cairan empedu

e) Biakan air kemih

ii. Biakan Salmonella typhi

Specimen untuk biakan dapat diambil dari darah,sumsum tulang,

feses, urin. Spesimen darah diambil pada minggu selanjutnya. Pembiakan

memerlukan waktu kurang lebih 5-7 hari. Bila laporan hasil biakan “Basil

Salmonella tumbuh” maka penderita sudah pasti mengidap demam tifoid.

iii.Serologis Widal

Test serologi widal adalah reaksi antara antigen (suspensi

Salmonella yang telah dimatikan) dengan agglutinin yang merupakan

antibody spesifik terhadap komponen basil Salmonella didalam darah

(45)

terjadinya reaksi aglutinasi antara antigen dan agglutinin yang dieteksi

yakni agglutinin O dan H.

Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu pertma demam

sampai puncaknyapada minggu ke 3 sampai 5. Aglutinin ini dapat

bertahan selama 6-12 bulan. Agglutinin H mencapai puncak lebih lambat

minggu ke 4-6 dan menetap dalam waktu lebih lama (Depkes RI., 2006).

2.5.4 Penatalaksanaan Demam tifoid

Algoritma penatalaksanaan demam tifoid dapat dilihatpada Gambar

2.1

Gambar 2.1. Algoritma tatalaksana demam tifoid (Anonim, 2008) a. Tirah baring/istirahat

Penderita demam tifoid harus tirah baring dengan sempurna untuk

mencegah kom.0oplikasi, terutama pendarahan dan perforasi. Bila gejala klinis

(46)

b. Nutrisi

i. Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun

parenteral. Cairan harus mengandung komponen glukosa, natrium, kalium, klorida

dan air untuk rehidrasi pasien.

ii. Diet

Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah

selulose (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi (Depkes RI.,

2006).

c. Penatalaksanaan terapi farmakologi:

i. Terapi simptomatik

Terapi simptomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan

keadaan umum penderita seperti vitamin, antipiretik (untuk kenyamanan penderita

terutama anak-anak) atau antiemetik (diperlukan bila penderita muntah hebat)

(Depkes RI., 2006).

a) Antiemetik :

i) Domperidon (p.o) : 10-20 mg 3-4 x sehari untuk anak dengan BB≥ 35 kg,

ii) Ondansetron : 250-500 mikrogram/kg BB 3-4 x sehari untuk anak dengan

BB < 35 kg. 8-12 mg i.v. atau 8-24 mg p.o. setiap 24 jam untuk dewasa, 4

mg p.o. 3 x sehari untuk anak usia 4-11 tahun.

b) Antipiretik :

i) Ibuprofen (p.o.) : Untuk anak 6 bulan–12 tahun < 39° C : 5 mg/kg BB & ≥

(47)

BB/hr. Dws : 325-650 mg setiap 4-6 jam atau 1000 mg 3-4 x sehari. Anak :

setiap 4-6 jam

ii) Parasetamol (p.o.): 40 mg untuk bayi usia 0-3 bulan, 80 mg untuk bayi usia

4-11 bulan, 120 mg untuk anak usia 1-2 tahun, 160 mg untuk anak usia 2-3

tahun, 240 mg untuk anak usia 4-5 tahun, 320 mg untuk anak usia 6-8 tahun,

400 mg untuk anak usia 9-10 tahun, dan 480 mg untuk anak usia 11 tahun.

c) Pemberian Antibiotik

Antimikroba segera diberikan bila diagnosis klinis demam tifoid telah

dapat ditegakkan, baik dalam bentuk diagnosis konfirmasi, probable, maupun

suspek. Sebelum anti mikroba diberikan, harus diambil specimen darah atau

sumsum tulang lebih dulu, untuk pemeriksaan biakan kuman Salmonella,

kecuali biakan ini betul- betul tidak ada dan tidak bisa dilaksanakan (Depkes

RI., 2006).

Antimikroba lini pertama untuk tifoid adalah kloramfenikol, ampisilin

atau amoksisilin dan trimetoprim-sulfametoksazol. Kloramfenikol masih

menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah

jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier

dan relaps. Bila pemberian salah satu antimikroba lini pertama dinilai tidak

efektif, dapat diganti dengan antimikroba yang lain atau dipilih antimikroba

lini kedua. Antimikroba lini kedua untuk tifoid adalah seftriakson, sefiksim,

dan antibiotik golongan kuinolon (Depkes RI., 2006).

i) Kloramfenikol : dewasa 4x 500 mg selama 14 hari, anak- anak 50-100

(48)

ii) Seftriakson: Dewasa (2-4) g/hari. Selama 3-5 hari. Anak- anak

80mg/kgBB/hari selama 5 hari.

iii) Ampisilin dan amoksisili : dewasa 3-4 g/hari selama 14 hari. Anak- anak

100mg /kgBB/hari selama 10 hari.

iv) Kotrimoksazol : dewasa 2 x (160- 800) mg selama 2 minggu. Anak-anak;

TMP 6- 10 mg/kgBB/hari atau SMx 30-50 mg/kg/hari selama 10 hari.

v) Quinolone :Siprofloksasin 2 x 500 mg 1 minggu

vi) Cefixime: anak anak 15- 20 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari.

vii) Tiamfenikol : dewasa 4 x 500 mg, anak-anak 50mg/kgBB/hari selama 5-7

(49)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian noneksperimen (survei) dengan

rancangan studi retrospektif terhadap rekam medis pasien demam tifoid yang

dirawat di bagian Pediatrik RSU Sari Mutiara. Penelitian retrospektif adalah

penelitian yang berusaha melihat kebelakang (backward looking), artinya

pengumpulan data dimulai dari efek atau akibat yang terjadi (Notoatmodjo, 2005).

Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data dari lembar rekam medis

pasien rawat inap dan pasien rawat jalan di RSU Sari Mutiara Medan, selama

periode Januari 2014 - Desember 2014.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSU Sari Mutiara Medan, pada bulan Mei

2015.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi adalah seluruh data pengobatan pasien pediatrik dengan diagnosis

penyakit demam tifoid pada unit rawat inap di RSU Sari Mutiara Medan.

3.3.2 Sampel

(50)

Kriteria inklusi adalah:

a. rekam medis pasien dengan diagnosis penyakit demam tifoid dan penyakit

penyerta pada pediatrik di RSU Sari Mutiara Medan periode Januari 2014

- Desember 2014.

b. kategori usia 0 - 18 tahun

c. mendapat terapi ≥ 2 obat

d. kategori semua gender

Kriteria eksklusi adalah:

a. rekam medis pasien yang tidak lengkap (tidak memuat informasi dasar

yang dibutuhkan dalam penelitian).

b. mendapat monoterapi

c. resep yang tidak dapat dibaca

3.4 Cara Pengumpulan dan Manajemen Data 3.4.1 Sumber data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu data sekunder berupa rekam medis

pasien Pediatrik dengan diagnosis demam tifoid di RSU Sari Mutiara Medan

periode Januari 2014 - Desember 2014.

3.4.2 Teknik pengumpulan data

Pengambilan data dilakukan dengan mengumpulkan rekam medis pasien

Pediatrik berdasarkan diagnosis demam tifoid di RSU Sari Mutiara Medan

(51)

Adapun data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah:

a. mengelompokkan data rekam medis pasien pediatrik dengan diagnosis demam

tifoid

b. mengelompokkan data pengobatan pasien pediatrik dengan diagnosis demam

tifoid meliputi data pasien (usia, jenis kelamin) dan data obat ( nama obat,

jumlah obat).

c. menyeleksi data berdasarkan ada tidaknya potensi interaksi obat berdasarkan

studi literatur.

3.4.3 Defenisi operasional

a. frekwensi interaksi adalah jumlah kasus interaksi obat yang terjadi.

b. jumlah obat adalah banyaknya item obat yang diberikan dalam satu resep yang

tercatat didalam rekam medis, jumlah obat ditentukan menjadi 2 obat, 3 obat, 4

obat dan ≥5obat.

c. tingkat keparahan interaksi obat adalah ringan, sedang dan major (Tatro,

2009).

d. interaksi dengan tingkat keparahan ringanadalah jika interaksi mungkin terjadi

tetapi dipertimbangkan signifikan potensial berbahaya terhadap pasien jika

terjadi kelalaian (Tatro, 2009).

e. interaksi dengan tingkat keparahan sedangadalah jika satu dari bahaya

potensial mungkin terjadi pada pasien, dan beberapa tipe intervensi /monitor

sering dilakukan (Tatro, 2009).

f. interaksi dengan tingkat keparahan beratadalah jika terdapat kemungkinan

(52)

g. mekanisme interaksi adalah bagaimana interaksi obat terjadi apakah secara

farmakokinetik, farmakodinamik, atau unknown

h. usia subjek dihitung sejak tahun lahir sampai dengan ulang tahun terakhir.

populasi pediatrik dikelompokkan menjadi bayi dan anak kecil baru belajar

berjalan <2 tahun, anak-anak 2- 11 tahun (children), dan anak remaja umur

12-18 tahun (adoloscent)

i. demam tifoid adalah suatu penyakit yang menyerang saluran pencernaan yang

disebabkan Salmonella thypi.

j. rekam medis yaitu berkas yang diberisikan catatan dan dokumen tentang

identitas, anamnesa, pemeriksaan, diagnosisis, pengobatan, tindakan dan

pelayanan lain yang diberikan kepada seorang penderita selama dirawat di

rumah sakit, baik rawat jalan maupun rawat inap.

3.5 Analisis data

Data yang diperoleh dari penelitian ini akan dianalisis secara deskriptif.

Bentuk dan kuantitas akan disajikan dalam bentuk tabel sedangkan data kualitatif

akan disajikan dalam bentuk uraian. Data interaksi obat dievaluasi secara teoritik

dan berurutan berdasarkan studi literatur Drug Interaction Fact, Stockley’s Drug

Interaction, A to Z Drug Facts serta digunakan juga situs internet terpercaya

(www.drugs.com, rxlist.com, ncbi.com, medscape.com).Analisis data

menggunakan metode statistik deskriptif. Ditentukan persentase potensi interaksi

obat-obat secara keseluruhan, dihitung apakah ada pengaruh usia dan jumlah obat

terhadap kejadian potensi interaksi obat demam tifoid menggunakan program

(53)

3.6 Langkah penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. meminta rekomendasi Dekan Fakultas Farmasi USU untuk dapat melakukan

penelitian di RSU Sari Mutiara Medan.

b. menghubungi pihak RSU Sari Mutiara Medan untuk mendapatkan izin

melakukan penelitian dan pengambilan data, dengan membawa surat

rekomendasi dari fakultas.

c. Mendapatkan surat rekomendasi dari direktur RSU Sari Mutiara untuk

mengakses data rekam medis ke kepala Instalasi rekam medis RSU Sari

Mutiara.

d. mengumpulkan data berupa data rekam medis yang tersedia di RSU Sari

Mutiara Medan.

e. mengolah data yang sudah dikumpulkan dengan menggunakan Ms. Excel

2007.

f. menganalisis data dan informasi yang diperoleh sehingga didapatkan

(54)

3.7 Alur penelitian

Adapun alur pelaksanaan penelitian digambarkan pada Gambar3.1.

BAB III

Gambar 3.1 Skema pelaksanaan melakukan penelitian Rekam medis pasien pediatrik demam tifoid

Pengelompokan data berdasarkan kriteria

inklusi

Pengelompokan datapenggunaan obat

pasien

Identifikasi potensi interaksi obat

Penghitungan frekuensi interaksi

Penentuan mekanisme interaksi

Penentuan tingkat keparahan interaksi

Analisis data

(55)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan dari rekam medik pasien pediatrik dengan

diagnosis demam tifoid pada rawat inap di RSU Sari Mutiara Medan periode

Januari 2014 – Desember 2014 diperoleh 396 rekam medis dengan diagnosis

demam tifoid, dan yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 352 rekam medis.

4.1.1 Karakteristik subjek penelitian

Berdasarkan sampel yang diambil dari 352 rekam medis pasien pediatrik

dengan diagnosis demam tifoid di RSU Sari Mutiara Medan, diperoleh gambaran

umum subjek yang dominan. Karakteristik subjek yang diteliti secara garis besar

ditunjukkan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 karakteristik subjek penelitian (n= 352)

Karakteristik subjek pada Tabel 4.1 terdiri dari tiga kelompok. Kelompok

Gambar

Tabel
Gambar 1.1 Skema hubungan variabel bebas dan variabel terikat
Tabel 2.2 Nilai perkiraan GFR berdasarkan usia
Gambar 2.1. Algoritma tatalaksana demam tifoid (Anonim, 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-5/W2, 2013 XXIV International CIPA Symposium, 2 – 6 September 2013,

Rincian Perubahan Anggaran Belanja Langsung Program dan Per Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah. Kode

In this paper, it is proposed to couple 2D infrared images representing the surface temperature of the building with 3D point clouds acquired with Terrestrial Laser Scanner

Rincian Perubahan Anggaran Belanja Langsung Program dan Per Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah. Kode

(1) Dalam hal hasil Penilaian lebih lanjut memerlukan tambahan data dan atau kajian lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (4), diterbitkan surat

Menurut penelitian Munayarokh (2014), Hubungan Lama Pemakaian Kontrasepsi Suntik Dmpa Dengan Gangguan Menstruasi Di Bpm Mariyah Nurlaili, Rambe Anak Mungkid,

rnetode latihan gaya cakupan cocok dipakai untuk anak yang mempunyai.. kemampuan motorik tinggi, sedangkan gaya resiprokal cocok dipakai untuk anak. yang