• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dendeng adalah makanan tradisional Indonesia dan negara-negara di seluruh Asia Tenggara dengan bahan utamanya adalah daging sapi, ayam, babi atau kambing (Purnomo dan Adiono,1987). Dendeng merupakan salah satu produk olahan daging dengan cara pengeringan. Dendeng digolongkan sebagai pangan semi basah, yaitu makanan yang mempunyai kadar air tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah yaitu antara 15 sampai 50 persen. Pangan semibasah biasanya mempunyai aw 0.75 sampai 0.85 (Frazier,1967). Pada kisaran nilai aw ini bahan pangan memungkinkan untuk ditumbuhi kapang (Troller, 1980). Produk ini bersifat plastis dan tidak memerlukan rehidratasi terlebih dahulu sebelum dikonsumsi, stabil terhadap penyimpanan tetapi perlu dilakukan pemasakan sebelum dikonsumsi

(Winarno et al., 1980).

Keuntungan pangan semi basah antara lain tidak memerlukan fasilitas penyimpanan yang rumit, lebih awet, berbentuk siap konsumsi,

mudah penanganannya, mempunyai nilai gizi yang cukup baik. Sedangkan kekurangannya antara lain terjadi perubahan fisik (bentuk, rupa, dan

kekerasan), perubahan kimia (penurunan kadar vitamin dan mineral), dan perubahan mutu secara umum (rasa, mikrobiologi dan lain-lain) (Sunaryo, 1983).

Warna dendeng yang coklat dan kehitam-hitaman disebabkan oleh reaksi Maillard. Pembentukan warna coklat disebabkan adanya reaksi antara asam amino bebas dari protein atau komponen nitrogen lainnya dengan

grup karbonil yang berasal dari gula atau karbohidrat lainnya (Kramlich et al., 1973). Tahap pertama dari reaksi Maillard adalah pembentukan komponen

yang tidak berwarna dan kemudian membentuk komplek berwarna coklat. Proses pengolahan dendeng menggunakan prinsip pengeringan dengan penambahan gula, garam, dan rempah-rempah (Curing). Rempah-rempah

merupakan produk kering dari suatu tanaman yang dapat memberikan aroma, rasa, serta dapat menambah nafsu makan. Rasa dan aroma khas dari rempah- rempah terdapat pada minyak volatil dan oleoresin. Rempah-rempah juga dapat menghambat pertumbuhan mikroba, seperti bawang merah,

bawang putih, kayu manis, serta cengkeh dapat digunakan sebagai bahan pengawet alami dalam produk makanan, karena mengandung komponen antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri penyebab

kerusakan makanan (Winarno et al., 1980). Penambahan bumbu ke dalam dendeng bertujuan untuk menghasilkan aroma, rasa khas, dan memberikan daya awet pada dendeng (Rini, 1980). Prinsip pembuatan dendeng adalah substitusi air bahan dengan bumbu pengawet. Untuk memperpanjang daya tahan, sebagian air harus dihilangkan, misalnya dengan pengeringan. Dalam pembuatan dendeng, bahan baku biasanya dikeringkan dengan menambahkan campuran garam, gula, dan bumbu. Bumbu alami ini berguna untuk

menghasilkan aroma, rasa khas dan daya awet tertentu pada ikan. Perbedaan berbagai produk olahan ikan dengan metode curing dapat dilihat pada Lampiran

D. PROSES CURING

Curing merupakan suatu cara pengolahan dan pengawetan untuk menarik air atau mengurangi kadar air dari ikan dengan cara penggaraman (pengasinan), pengeringan, pengasapan, pemindangan (boiling in salt),

pengasaman dan fermentasi (Ilyas, 1980). Curing adalah suatu proses yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba melalui penggunaan garam NaCl

dan pengendalian aktivitas mikroba (Purnomo dan Adiono, 1987). Proses curing bertujuan untuk mempersiapkan daging pada penggunaan berikutnya, menghambat pertumbuhan mikroba, menimbulkan rasa dan

flavour yang enak.

Ada tiga metode curing yang biasa dilakukan, yaitu curing basah, curing kering dan kombinasi dari kedua metode tersebut. Curing kering adalah cara curing tanpa penambahan air, dimana air hanya berasal dari daging. Curing basah adalah cara curing dengan penambahan air untuk merendam daging dan bahan-bahan. Pada metode kombinasi, mula-mula dilakukan cara basah kemudian bahan-bahan curing ditambahkan lagi untuk meningkatkan penetrasinya ke dalam daging.

Waktu curing tergantung dari kecepatan difusi dari bahan curing ke dalam jaringan daging dan kecepatan difusi tersebut tergantung dari cara curing, bentuk dari bahan mentah dan kandungan lemak yang

menutupi daging (Sutakaria, 1973).

Garam dapur merupakan bahan curing yang terpenting, karena merupakan bahan pengawet yang baik dan dapat menimbulkan rasa dan aroma yang disenangi. Garam dapur bersifat osmotik yang mampu menarik keluar air dari jaringan daging sehingga menurunkan aktivitas air (aw). Penurunan aw merupakan salah satu cara untuk menghambat pertumbuhan mikroba.

Penambahan garam saja pada proses curing akan menyebabkan produk menjadi keras, kering, warna yang tidak baik dan asin. Untuk memperbaiki penampilan, rasa dan meningkatkan daya pengawet maka ditambahkan gula dan sendawa dalam campuran. Gula yang ditambahkan bertujuan untuk menghasilkan aroma, dan mengurangi rasa asin yang berlebihan. Penambahan gula juga akan menimbulkan terjadinya reaksi maillard, yaitu reaksi antara asam amino dengan gula pereduksi yang akan menyebabkan warna coklat pada daging.

Ketumbar sebagai bumbu mempunyai fungsi menghilangkan bau anyir dan amis sehingga menimbulkan bau yang sedap dan rasa pedas yang gurih (Wimaruta, 1982). Bawang putih berfungsi sebagai pengawet

makanan karena bersifat bakteriostatik yang disebabkan oleh zat aktif allicin yang sangat efektif terhadap bakteri gram positif dan negatif. Bawang merah berfungsi sebagai pemberi aroma karena adanya enzim lyase yang masuk ke dalam cytoplasma, dan merupakan sumber mineral terutama kalsium dan fosfor (Frazier dan Westhoff, 1979). Asam jawa dapat menghambat

pertumbuhan bakteri proteolitik dan bakteri pembusuk dan dapat menambah citarasa, mengurangi rasa manis dan menaikkan rasa asin (Winarno et al., 1980). Lengkuas digunakan sebagai pewangi serta mengawetkan makanan.

E. AKTIVITAS AIR

Scott (1957) pertama kali menggunakan aktivitas air sebagai petunjuk akan adanya sejumlah air dalam bahan pangan yang dibutuhkan bagi pertumbuhan mikroorganisme. Aktivitas air ini juga terkait erat dengan adanya air dalam bahan pangan.

Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa komponen di samping ikut sebagai bahan pereaksi, sedang bentuk air dapat ditemukan sebagai air bebas dan air terikat. Air bebeas dapat dengan mudah hilang apabila terjadi penguapan atau pengeringan, sedangkan air terikat sulit dibebaskan dengan dengan cara tersebut.

Penguapan air baik secara pengeringan atau penambahan bahan penguap air bertujuan mengawetkan bahan pangan. Kriteria ikatan air dalam aspek daya awet bahan pangan dapat ditinjau dari kadar air, konsentrasi larutan, tekanan osmotik, kelembaban relatif berimbang dan aktivitas air. Kadar air dan konsentrasi larutan hanya sedikit berhubungan dengan sifat-sifat air yang berada dalam bahan pangan. Sekarang telah disepakati bahwa aktivitas air (aw) merupakan parameter yang sangat berguna untuk menunjukkan kebutuhan air atau hubungan air dengan mikroorganisme dan aktivitas enzim.

Kandungan air dalam bahan pangan akan berubah-ubah sesuai dengan lingkungannya, dan hal ini sangat erat hubungannya dengan daya awet bahan pangan tersebut (Purnomo, 1995). Hal ini merupakan pertimbangan utama dalam pengolahan dan pengelolaan pasca olah bahan pangan.

Aktivitas air didefinisikan sebagai perbandingan antara tekanan uap air dari larutan dengan tekanan uap air murni pada suhu yang sama :

dimana P = tekanan uap air dari larutan pada suhu T Po = tekanan uap air murni pada suhu T

Aktivitas air ini dapat juga dinyatakan sebagai jumlah molekul dalam larutan dan menurut hukum Raoult dapat dinyatakan sebagai berikut :

dimana n1 = jumlah molekul zat yang dilarutkan n2 = jumlah molekul air

Parameter ini juga dapat didefinisikan sebagai kelembaban relatif berimbang (equilibrium relative humudity = ERH) dibagi 100

Aw dari bahan pangan adalah untuk mengukur terikatnya air pada bahan pangan atau komponene bahan pangan tersebut, dimana aw dari bahan pangan cenderung untuk berimbang dengan aw lingkungan sekitarnya.

Aktivitas air merupakan faktor yang ikut berperan serta dalam pertumbuhan mikroorganisme agar diperoleh bahan pangan yang bergizi dan aman bagi kesehatan.

Di dalam kehidupannya semua mikroorganisme membutuhkan air. Hubungan antara air dan mikroorganisme telah dipelajari oleh beberapa pakar. Masing-masing jenis mikroorganisme membutuhkan jumlah air yang berbeda untuk pertumbuhannya. Pada nilai aw tinggi (0,91) bakteri umumnya tumbuh dan berkembang biak, khamir (ragi) dapat tumbuh dan berkembang biak pada nilai aw 0,87-0,91 sedangkan kapang lebih rendah lagi yaitu pada nilai aw 0,80- 0,87. Batas minimum nilai aw bagi pertumbuhan mikroorganisme dapat dilihat pada Tabel 2. n2 n1 + n2 Aw = P Po Aw = ERH 100 Aw =

Tabel 2. Perkiraan batas minimun nilai aw bagi pertumbuhan mikroorganisme yang penting dalam bahan pangan

Organisme aw Organisme aw

Kelompok

Kebanyakan bakteri pembusuk Kebanyakan khamir pembusuk Kebanyakan kapang pembusuk

0.90 0.88 0.80 Kelompok Bakteri halofilik Kapang xerofilik Khamir osmofilik 0.75 0.61 0.60 Organisme khusus

Clostridium botulinum tipe E Pseudomonas spp

Acinobacter spp E. coli

Enterobacter aerogenes Bacillus subtilis

Clostridium botulinum tipe A dan B Candida utilis Vibrio parahaemolyticus Botrytis cinerea Rhizopus stolonifer Mucor spinosus 0.97 0.97 0.96 0.96 0.95 0.95 0.94 0.94 0.94 0.93 0.93 0.93 Organisme khusus Candida scotii Trichosporon pollulans Candida xeylanoides Endomyces vernalis Staphylococcus aures Alternaria citri Penicillium patulum Aspergillus glaucus Aspergillus conicus Aspergillus echinulatus Saccharomyces rouxii Monascus bisporus (Xeromyces bisporus) 0.92 0.91 0.90 0.89 0.86 0.84 0.81 0.70 0.70 0.64 0.62 0.61 Sumber : Jayaraman (1986) F. PENGERINGAN

Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan energi panas (Winarno et al., 1980). Prinsip pengeringan adalah mengurangi kadar air dalam daging sampai batas

tertentu, sehingga bakteri pembusuk terhenti kegiatannya atau setidaknya dihambat (Soeseno, 1984).

Pengeringan bertujuan agar bahan menjadi awet dengan volume menjadi lebih kecil, sehingga mempermudah dan menghemat ruang dalam distribusi. Kerugian pengeringan adalah bahwa pengeringan dapat merubah sifat bahan asal, baik secara fisik maupun secara kimia (Winarno et al., 1980).

Menurut Purnomo dan Adiono (1987), faktor utama yang mempengaruhi kecepatan pengeringan suatu bahan adalah :

¾ Sifat fisik dan kimia dari produk (bentuk, ukuran, komposisi dan kadar air) ¾ Pengaturan geometris produk, sehubungan dengan permukaan alat atau

media perantara perantara pemindah panas

¾ Sifat fisik dari lingkungan alat pengering (suhu, kelembaban dan kecepatan udara)

¾ Karakteristik alat pengering

Meskipun pengeringan akan merubah sifat daging ikan dari sifatnya ketika masih segar, tetapi nilai gizinya relatif tetap dan kadar protein dalam satuan persen meningkat dengan berkurangnya kadar air (Moeljanto, 1992).

Kerusakan yang diakibatkan oleh pengeringan antara lain berubahnya warna pada produk menjadi coklat. Perubahan warna tersebut disebabkan oleh reaksi ”browning” non enzimatik. Reaksi ini disebabkan oleh reaksi antara asam-asam amino dengan gula pereduksi. Pengaturan suhu dan lama pengeringan sangat mempengaruhi mutu bahan yang dikeringkan. Jika proses pengeringan dilakukan dengan suhu terlalu tinggi, dapat mengakibatkan ”case hardening”, yaitu suatu keadaan dimana bagian luar (permukaan) bahan sudah kering sedangkan bagian dalam masih basah. Terjadinya ”case hardening” dapat mengakibatkan proses pengeringan selanjutnya lebih lambat, dan mikroba yang terdapat dalam bahan dapat tumbuh lagi. Cara mencegah ”case hardening” adalah dengan membuat suhu pengeringan tidak terlalu tinggi, atau proses pengeringan awal tidak terlalu cepat (Winarno et al., 1980).

G. PENGEMASAN

Semua pangan yang telah dikeringkan dapat mengalami kerusakan oleh air, oksigen dan serangga-serangga, serta dapat terkontaminasi oleh

bakteri dari luar (Saccharow dan Griffin, 1980). Menurut Syarief et al., (1989) kemasan berfungsi sebagai : (1) wadah untuk menempatkan produk dan memberi bentuk sehingga memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi; (2) memberi perlindungan terhadap mutu produk dari kontaminasi luat dan kerusakan; (3) untuk menambah daya tarik produk.

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan tersebut, keadaan lingkungan, dan sifat bahan pengemas. Gangguan yang paling umum terjadi pada bahan pangan adalah kehilangan atau perubahan kadar air, pengaruh gas dan cahaya. Sebagai akibat perubahan kadar air pada produk, akan timbul jamur, bakteri dan pengerasan pada produk kering (Syarief et al., 1989).

Plastik merupakan bahan kemasan yang penting di dalam industri pengemasan. Kelebihan plastik dari kemasan lain diantaranya adalah harga yang relatif murah, dapat dibentuk dalam berbagai rupa dan mengurangi biaya transportasi.

Salah satu jenis plastik yang dapat digunakan sebagai pengemas adalah polipropilen. Polipropilen termasuk jenis plastik olefin dan merupakan polimer dari propilen. Plastik jenis ini cukup mudah diperoleh di pasaran dan memiliki kekuatan yang cukup baik terhadap perlindungan keluar masuknya gas dan uap air. Menurut Syarief et al., 1989 ada beberapa sifat utama dari plastik polipropilen antara lain :

1. Ringan (densitas 0.9 g/cm3) dan mudah dibentuk.

2. Mempunyai kekuatan tarik lebih besar dai polietilen dan tidak bisa digunakan untuk kemasan beku karena rapuh pada suhu -30oC.

3. Lebih kaku daripada polietilen dan tidak mudah sobek sehingga mudah dalam penanganan distribusi.

4. Permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang dan tidak baik untuk mengemas produk yang mudah teroksidasi.

5. Tahan terhadap suhu tinggi (150oC), sehingga dapat digunakan untuk produk yang harus disterilisasi.

6. Titik lebur tinggi sehingga tidak bisa dibuat kantong dengan sifat kelim panas yang baik

7. Tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak.

8. Polipropilen dapat bereaksi dengan benzen, siklen, toluen, terpentin dan asam nitrat kuat.

H. PENYIMPANAN

Penyimpanan bahan pangan atau hasil pertanian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pengolahan, khususnya pengawetan dan pengemasan bahan pangan. Penyimpanan merupakan suatu perlakuan dimana bahan pangan baik yang telah dikemas maupun yang belum dikemas akan ditempatkan dalam suatu ruangan pada suhu dan kelembaban tertentu untuk proses selanjutnya. Prinsip penyimpanan adalah pengendalian kecepatan proses metabolisme dan fisik seperti laju respirasi dan transpirasi, timbulnya infeksi penyakit dan mempertahankan produk dalam bentuk yang paling berguna bagi konsumen.

Pada penyimpanan, berbagai aspek perlu dipertimbangkan mulai dari aspek karakteristik bahan pangan, pengontrolan kondisi lingkungan, perhitungan teoritis untuk memilih bahan kemasan dan perkiraaan lama penyimpanan hingga aspek ekonomi. Kondisi penyimpanan yang kurang baik dapat mempengaruhi penurunan mutu bahan pangan (Syarief dan Halid, 1993).

Selama penyimpanan, produk pangan mengalami penurunan mutu. Penurunan mutu dan berkurangnya masa simpan produk pangan disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme (bakteri dan kapang) sehingga menyebabkan timbulnya bau yang kurang enak (tengik), serta terbentuknya lendir, gas, warna, asam, dan toksin (Winarno et al., 1980). Dalam pertumbuhannya mikroba mengalami beberapa fase pertumbuhan yaitu fase lambat, fase tumbuh, fase pertumbuhan pesat, fase pertumbuhan mereda, fase pertumbuhan tetap, dan fase menurun (Syarief dan Halid, 1993). Pengujian perlu dilakukan untuk mengetahui apakah mutunya masih sama dengan produk baru. Pengujian ini sekaligus juga dapat menetapkan masa simpan suatu produk (Soekarto, 1985).

Selama penyimpanan terjadi ketengikan yang disebabkan oleh oksidasi lemak (Ketaren, 1986). Disamping itu selama penyimpanan juga terjadi perubahan warna yang disebabkan oleh oksidasi asam lemak tak jenuh sehingga warna menjadi pucat (Lawrie, 1974). Kerusakan bahan makanan juga disebabkan oleh dekomposisi protein menjadi amoniak, hidrogen sulfida, gugus amina, dan karboksilat (James, 1980) dan terbebasnya air terikat menjadi air bebas (Winarno et al., 1980).

III. METODOLOGI PENELITIAN

Dokumen terkait