Gambar 9. Penerimaan tekstur bakso secara rating hedonik b. Uji ranking hedonik
Dari uji Friedman tidak ditemukan perbedaan signifikan pada tingkat kesukaan keempat formula (P>0.05), maka tidak dilakukan uji lanjutan. Rekapitulasi uji ranking hedonik terhadap tekstur dapat dilihat pada Lampiran 7. Karena pada uji ranking hedonik tidak ditemukan perbedaan nyata pada keempat sampel, maka formula 11 ditetapkan sebagai formula terbaik (uji rating hedonik). Dari hasil yang didapat pada uji rating hedonik dan uji ranking hedonik, ditetapkan bahwa formula terbaik yang akan digunakan untuk penelitian selanjutnya adalah formula 11, yaitu formula dengan penambahan STPP 0.2% dan pati sagu HMT 10%.
C. PEMBANDINGAN ANTARA BAKSO FORMULA TERBAIK
DENGAN BAKSO KONTROL DAN BAKSO KOMERSIAL 1. Texture profile analysis
Penilaian mutu bakso dapat dilakukan dengan menilai mutu sensori atau mutu organoleptiknya. Karakteristik tekstur merupakan salah satu atribut penting yang menentukan penerimaan konsumen. Dalam klasifikasi Bourne (2002), tekstur makanan dibagi menjadi tiga, yaitu kritikal, penting, dan minor. Daging dan produk turunannya tergolong
3,8 3,1 2,7 2,6 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4
formula 10 formula 11 formula 15 formula 16
SK
44 dalam makanan dengan tekstur sebagai karakterisitik yang dominan, sehingga tekstur adalah parameter kritis untuk produk tersebut.
Szczesniak (1963) menyebutkan bahwa karakteristik mekanik, yaitu karakteristik yang berhubungan dengan reaksi makanan terhadap tekanan, meliputi parameter primer dan sekunder. Parameter primer mencakup kekerasan, daya kohesif, viskositas, elastisitas, dan daya adhesif, sedangkan parameter sekunder meliputi kerapuhan, daya kunyah, dan stickiness.
Saat ini, salah satu metode instrumen yang digunakan untuk menentukan tekstur produk adalah metode kompresi (compression method) dengan TPA (Rosenthal, 1999). Metode ini menirukan kondisi bahan selama proses pengunyahan (Herrero et al., 2007). TPA sudah banyak digunakan dalam evaluasi produk daging, baik untuk menentukan kualitas produk akhir atau memilih formulasi terbaik. TPA adalah metode pengujian yang paling sering digunakan pada pengujian produk daging emulsi karena sifat pengujiannya yang homogen (Colmenero, 2000). Huidobro et al. (2005) juga melaporkan bahwa TPA lebih cocok untuk memprediksi tekstur sensori daging yang dimasak.
Dalam penelitian ini karakteristik tekstur bakso diukur melalui lima parameter dengan metode TPA, yaitu kekerasan, elastisitas, daya kohesif, stickiness, dan daya kunyah. Kelima parameter tersebut dipilih karena mewakili tekstur produk secara keseluruhan (Bourne, 1978). Bakso formula terpilih (STPP 0.2% dan pati sagu HMT 10%) dianalisis teksturnya dan dibandingkan dengan bakso kontrol, yaitu bakso tanpa penambahan pati sagu HMT, dan bakso komersial yang diperoleh dari pasar tradisional. Hasil pengujian TPA pada kelima parameter dan analisa stastistiknya dapat dilihat pada Tabel 7 dan Lampiran 8.
45 Tabel 7. Parameter TPA pada bakso
Jenis Kekerasan (g force) Elastisitas (%) Daya kohesif (rasio) Stickiness (g force) Daya kunyah (g force) Kontrol 2987.5 ±6.1a 96.41 ±0.38a 0.873 ±0.000a 2608.2 ±4.4a 2514.1 ±14.3a HMT 3510.9 ±10.4c 96.04 ±0.05a 0.867 ±0.004a 3044.6 ±24.6c 2924.1 ±25.1c Komersial 3430.9 ±10.9b 95.82 ±0.60a 0.866 ±0.001a 2972.7 ±14.2b 2848.4 ±4.2b Superscript yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji Duncan (P<0.05)
a. Kekerasan
Kekerasan dapat didefinisikan secara fisik maupun sensori. Secara fisik, kekerasan adalah gaya yang dibutuhkan oleh bahan untuk mencapai perubahan bentuk, sedang secara sensori kekerasan adalah gaya yang dibutuhkan untuk menggigit bahan pada gigi geraham (Szczesniak, 2002). Kekerasan adalah karakter tekstur yang ditunjukkan pada gigitan pertama, yaitu daya tahan bahan untuk pecah akibat gaya tekan yang diberikan. Menurut Bratzler (1971) kesan kekerasan meliputi tiga aspek yaitu: (1) kemudahan awal penetrasi gigi ke dalam daging, (2) mudahnya daging dikunyah menjadi fragmen atau potongan-potongan yang lebih kecil dan (3) jumlah residu yang tertinggal setelah pengunyahan.
Dari analisis statistika menggunakan program SPSS dengan one way ANOVA untuk Windows (1995), ditemukan bahwa terdapat perbedaan siginifikan antara sampel (P<0.05). Uji dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat signifikasi perbedaan antara sampel (Lampiran 8). Hasil pengujian stastistik menunjukkan bahwa bakso dengan penambahan pati sagu HMT memiliki nilai kekerasan yang secara nyata berbeda dari kontrol dan bakso komersial. Urutan kekerasan dimulai dari yang tertinggi adalah bakso dengan penambahan pati sagu HMT, bakso kontrol dan bakso komersial. Bakso dengan penambahan pati sagu HMT memiliki tekstur yang lebih keras dibanding
46 kontrol karena pati sagu HMT memiliki tingkat gelatinisasi yang lebih rendah saat pemasakan bakso, sehingga air yang terserap juga lebih sedikit dibanding bakso kontrol tidak menambahkan pati sagu HMT.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Ahamed et al. (2007) bahwa pati memainkan peran yang sangat penting pada tekstur produk makanan, karena jenis pati dan kemampuan gelatinisasinya selama pemasakan memiliki pengaruh yang signifikan pada tekstur akhir produk. Purwani et al. (2006) melaporkan bahwa pati sagu HMT dapat meningkatkan kekerasan pada bihun sagu. Kombinasi sodium alginat dan pati tapioka termodifikasi juga dinyatakan dapat meningkatkan kekerasan tanpa mempengaruhi rasa (Ahamed et al., 2007).
Hasil pengukuran kekerasan bakso sampel dibandingkan dengan bakso kontrol dan bakso komersial dapat dilihat pada Gambar 11. Bakso dengan penambahan pati sagu HMT juga memiliki kekerasan yang lebih tinggi dibanding bakso komersial. Secara umum, bakso yang bertekstur keras dianggap memiliki kualitas yang lebih baik oleh konsumen.
Gambar 10. Perbandingan tingkat kekerasan bakso
2987.5a 3510.9c 3430.9b 2700 2800 2900 3000 3100 3200 3300 3400 3500 3600 bakso kontrol bakso HMT bakso komersial KEK E R A SAN (gf)
47 b. Elastisitas
Menurut Szczesniak (2002), elastisitas secara fisik didefinisikan sebagai kondisi ketika bahan yang ditekan kembali pada bentuknya awalnya setelah gaya dihilangkan. Secara sensori, elastisitas diartikan sebagai suatu kondisi ketika bahan kembali pada bentuk asalnya setelah digigit di antara gigi.
Dari analisis statistika menggunakan program SPSS dengan one way ANOVA untuk Windows (1995), ditemukan bahwa terdapat perbedaan siginifikan antara sampel (P<0.05). Urutan elastisitas dimulai dari yang tertinggi hingga yang terendah adalah bakso kontrol, bakso dengan penambahan pati sagu HMT, dan bakso komersial (Tabel 6). Namun, hasil pengujian dengan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (P>0.05) pada ketiga sampel (Lampiran 8).
Elastisitas produk dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya pemanasan yang berlebihan dan terlalu cepat selama proses pengolahan. Hal ini berhubungan dengan pengurangan kemampuan emulsi. Faktor yang mempengaruhi kemampuan emulsi antara lain : suhu kutter, pH, ukuran partikel lemak, jumlah protein miofibrilar yang terekstrak dan viskositas adonan. Daya ikat protein yang tinggi juga akan meningkatkan elastisitas bakso (Andayani, 1999). Namun, karena tidak terdapat perbedaan yang siginifikan pada beberapa faktor di atas, maka tidak ditemukan adanya perbedaan nyata pada ketiga sampel bakso.
c. Daya kohesif
Daya kohesif (fisik) adalah daya penahanan yang dilakukan bahan selama deformasi sebelum hancur. Secara sensori (Szczesniak, 2002), daya kohesif adalah suatu kondisi dimana bahan ditekan di antara gigi sebelum hancur. Dari analisis statistika menggunakan program SPSS dengan one way
48 ANOVA untuk Windows (1995), ditemukan bahwa terdapat perbedaan siginifikan antara sampel (P<0.05). Selanjutnya, dilakukan uji lanjutan dengan uji Duncan untuk melihat signifikasi perbedaan antara sampel (Lampiran 8).
Urutan daya kohesif dimulai dari yang tertinggi hingga yang terendah adalah bakso kontrol, bakso HMT, dan bakso komersial (Tabel 6). Namun, hasil pengujian dengan uji lanjutan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (P>0.05) pada ketiga sampel. Hasil yang didapatkan bahwa sesuai dengan penelitian Mittal dan Usborne (1986) bahwa pada produk emulsi daging, penambahan pati pda produk mengubah kualitas tesktur produk, namun tidak mempengaruhi daya kohesif produk. Pada penggantian pati pada bakso dengan pati sagu HMT, parameter pada gigitan pertama yang lebih terpengaruh adalah kekerasan, bukan daya kohesif.
d. Stickiness
Stickiness adalah energi yang dibutuhkan untuk memisahkan bahan agar dapat ditelan, yaitu gabungan antara kekerasan tingkat rendah dan daya kohesif tingkat tinggi (Szczesniak, 2002). Secara sensori, stickiness dikatakan sebagai kerapatan yang terjadi selama pengunyahan.
Dari analisis statistika menggunakan program SPSS dengan one way ANOVA untuk Windows (1995), ditemukan bahwa terdapat perbedaan siginifikan antara sampel (P<0.05). Uji dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat signifikasi perbedaan antara sampel. Hasil pengujian stastistik menunjukkan bahwa bakso dengan penambahan pati sagu HMT memiliki nilai stickiness yang secara nyata berbeda dari kontrol dan bakso komersial (Lampiran 8).
Urutan stickiness dimulai dari yang tertinggi adalah bakso dengan penambahan pati sagu HMT, bakso komersial dan bakso
49 kontrol. Bakso dengan penambahan pati sagu HMT memiliki tekstur yang lebih sticky dibanding kontrol dan bakso komersial. Hal ini sesuai dengan penelitian Herawati (2009) yang juga menyatakan bahwa bihun sagu HMT cenderung memiliki nilai stickiness yang lebih tinggi dibanding bihun kontrol. Hasil pengukuran stickiness bakso sampel dibandingkan dengan bakso kontrol dan bakso komersial dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Perbandingan stickiness bakso e. Daya kunyah
Daya kunyah adalah energi yang dibutuhkan untuk mengunyah makanan padat sampai pada suatu kondisi yang siap ditelan, dan merupakan gabungan dari kekerasan, daya kohesif, dan elastisitas. Secara sensori, daya kunyah dinyatakan sebagai lama waktu (dalam detik) yang dibutuhkan untuk mengunyah sampel, dalam gaya yang konstan sehingga konsistensi bahan sesuai untuk ditelan (Szczesniak, 2002). Daya kunyah adalah karakteristik tekstur yang ditentukan selama pengunyahan produk.
Dari analisis statistika menggunakan program SPSS dengan one way ANOVA untuk Windows (1995), ditemukan bahwa terdapat perbedaan siginifikan antara sampel (P<0.05).
2608.2a 3044.6c 2972.7b 2300 2400 2500 2600 2700 2800 2900 3000 3100 bakso kontrol bakso HMT bakso komersial KEL E N G KET A N (gf)
50 Uji dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat signifikasi perbedaan antara sampel (Lampiran 8). Hasil pengujian stastistik menunjukkan bahwa bakso dengan penambahan pati sagu HMT memiliki nilai daya kunyah yang secara nyata berbeda dari kontrol dan bakso komersial. Urutan nilai daya kunyah dimulai dari yang tertinggi adalah bakso dengan penambahan pati sagu HMT, bakso komersial dan bakso kontrol.
Bakso dengan penambahan pati sagu HMT memiliki tekstur dengan daya kunyah lebih tinggi dibanding kontrol dan bakso komersial. Menurut Caine et al. (2003), daya kunyah terutama dipengaruhi oleh nilai kekerasan produk. Selain itu, tidak terdapat perbedaan signifikan pada pengujian sebelumnya terhadap elastisitas dan daya kohesif ketiga jenis bakso, sehingga daya kunyah sangat bergantung pada nilai kekerasan.
Karena terdapat perbedaan nilai kekerasan yang signifikan pada bakso dengan penambahan pati sagu HMT dengan bakso kontrol dan bakso komersial, maka daya kunyah bakso HMT juga mengalami pengaruh yang nyata. Bakso dengan daya kunyah yang tinggi cenderung dikatakan bertekstur baik oleh konsumen, karena dianggap memiliki kualitas daging yang lebih baik. Hasil pengukuran daya kunyah bakso sampel dibandingkan dengan bakso kontrol dan bakso komersial dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Perbandingan daya kunyah bakso
2514.1a 2924.1c 2848.4b 2300 2400 2500 2600 2700 2800 2900 3000 bakso kontrol bakso HMT bakso komersial DAYA KU NY AH (gf)
51 2. Parameter tekstur lainnya
Selain parameter TPA, ada beberapa parameter tekstur lain yang berpengaruh pada produk daging, seperti bakso. Parameter-parameter ini juga menentukan kualitas tekstur bakso baik secara sensori maupun secara fisik, namun tidak terdeteksi oleh TPA. Parameter tekstur lain yang dianalisa adalah daya iris, daya ikat air, porositas, dan berat jenis spesifik. Nilai pengujian parameter tersebut dapat dilihat pada Tabel 7, sedangkan pengolahan data statistiknya dapat dilihat pada Lampiran 8.
Tabel 7. Nilai porositas, daya iris, WHC, dan berat jenis spesifik bakso Jenis Daya iris (gf) WHC (%) Porositas (%) Berat jenis
spesifik Kontrol 1158.9±1.4a 71.03±0.65b 55.92±0.52a 1.08±0.01a
HMT 1253.0±1.4a 66.53±1.19a 55.90±0.10a 1.05±0.00a Komersial 2085.3±1.8b 74.39±0.22c 62.51%±0.28b 0.97±0.01b
Superscript yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji Duncan (P<0.05)
a. Daya iris
Daya iris adalah gaya yang diperlukan untuk memotong atau mengiris produk pangan yang bersesuaian dengan sifat gigitan pada sensor panel (Larmond, 1979). Dari analisis statistika menggunakan program SPSS untuk Windows (1995), ditemukan bahwa terdapat perbedaan siginifikan antara sampel (P<0.05). Uji dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat signifikasi perbedaan antara sampel (Lampiran 8).
Hasil pengujian stastistik menunjukkan bahwa bakso dengan penambahan pati sagu HMT memiliki nilai daya iris yang tidak berbeda nyata dengan kontrol, namun berbeda nyata dengan bakso komersial. Urutan nilai daya iris dimulai dari yang tertinggi adalah bakso komersial, bakso dengan penambahan pati sagu HMT dan bakso kontrol.
Bakso dengan penambahan pati sagu HMT dan bakso kontrol memiliki daya iris yang lebih rendah dibanding bakso komersial. Hal ini dikarenakan daya iris dipengaruhi protein daging dan jaringan ikat daging. Bakso komersial memiliki tekstur lebih
52 berurat, sedangkan bakso kontrol dan bakso dengan penambahan pati sagu HMT teskturnya lebih halus tanpa urat. Hasil pengukuran daya kunyah bakso sampel dibandingkan dengan bakso kontrol dan bakso komersial dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Perbandingan daya iris bakso
b. Daya ikat air
Daya ikat air (WHC) adalah kemampuan daging untuk mempertahankan kandungan airnya selama mengalami perlakuan dari luar seperti pemotongan, pemanasan, pendinginan, dan pengolahan (Soeparno, 1998). Menurut Zayas (1997), daya ikat air adalah kemampuan untuk mengikat air yang ada dalam bahan maupun yang ditambahkan selama proses atau kemampuan struktur bahan pangan untuk menahan air lepas dari struktur tiga dimensi protein.
Dari analisis statistika menggunakan program SPSS untuk Windows (1995), ditemukan bahwa terdapat perbedaan siginifikan antara sampel (P<0.05). Uji dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat signifikasi perbedaan antara sampel (Lampiran 8). Hasil pengujian stastistik menunjukkan bahwa bakso dengan penambahan pati sagu HMT memiliki nilai daya ikat air yang berbeda nyata dengan bakso kontrol dan bakso
1158.9a 1253a 2085.3b 0 500 1000 1500 2000 2500 bakso kontrol bakso HMT bakso komersial DAYA PO T O NG (gf)
53 komersial. Urutan nilai daya iris dimulai dari yang tertinggi adalah bakso komersial, bakso kontrol dan bakso dengan penambahan pati sagu HMT.
Secara umum, daya ikat air pada produk daging sangat bergantung pada konsentrasi fosfat dan garam (Peng, 2005). Namun, pada percobaan tidak dilakukan pembedaan pada kedua faktor tersebut. Bakso dengan penambahan pati sagu HMT memiliki nilai WHC yang lebih rendah daripada bakso kontrol karena pati sagu HMT mengalami retrogradasi saat pendinginan, sehingga mempengaruhi nilai WHC (Herawati, 2009). Bakso komersial memiliki nilai WHC tertinggi, menyebabkan teksturnya cenderung terasa juicy saat dikunyah. Hasil pengukuran daya ikat air bakso sampel dibandingkan dengan bakso kontrol dan bakso komersial dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Perbandingan WHC bakso c. Porositas
Terminologi yang paling sering dipakai untuk mendeskripsikan pori-pori dalam produk adalah porositas. Porositas adalah volume pori-pori dalam produk berbanding dengan volume total (Rahman dan Sablani, 2002). Uji porositas pada produk pangan selama proses diperlukan untuk desain
71.03b 66.53a 74.39c 62,00% 64,00% 66,00% 68,00% 70,00% 72,00% 74,00% 76,00% bakso kontrol bakso HMT bakso komersial WHC (%)
54 proses, menentukan karakteristik lainnya, dan menentukan kualitas produk (Rahman, 2001). Porositas memiliki efek langsung terhadap karakteristik fisik lainnya, begitu juga dengan tekstur dan karakteristik mekanisnya. Selain mempengaruhi tekstur, Hullberg et al. (2005) juga menyatakan bahwa terdapatnya pori-pori pada produk daging menyebabkan turunnya nilai sensori produk tersebut, sehingga menimbulkan kerugian terhadap industri daging.
Dari analisis statistika menggunakan program SPSS untuk Windows (1995), ditemukan bahwa terdapat perbedaan siginifikan antara sampel (P<0.05). Uji dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat signifikasi perbedaan antara sampel (Lampiran 8). Hasil pengujian stastistik menunjukkan bahwa bakso dengan penambahan pati sagu HMT memiliki nilai porositas yang tidak berbeda nyata dengan kontrol, namun berbeda nyata dengan bakso komersial. Urutan nilai porositas dimulai dari yang tertinggi adalah bakso komersial, bakso kontrol dan bakso dengan penambahan pati sagu HMT.
Bakso dengan penambahan pati sagu HMT dan bakso kontrol memiliki nilai porositas yang lebih rendah dibanding bakso komersial. Porositas memiliki hubungan yang sangat erat dengan kondisi pemasakan, karena terjadinya denaturasi protein selama pemasakan (Ofstad et al., 1993). Denaturasi protein tersebut menyebabkan perubahan struktur dalam produk, sehingga memungkinkan keluarnya air dari dalam produk. Air yang keluar tersebut membuat rongga-rongga pada daging (Du dan Sun, 2006). Kondisi pemasakan, seperti suhu dan lama pemasakan yang berbeda akan menghasilkan nilai porositas yang berbeda.
Tidak terdapatnya perbedaan porositas antara bakso kontrol dan bakso dengan penambahan pati sagu HMT terjadi karena faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi dalam pemasakan
55 dipastikan sama. Hasil pengukuran porositas sampel dibandingkan dengan bakso kontrol dan bakso komersial dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Perbandingan porositas bakso d. Berat jenis spesifik
Berat jenis spesifik merupakan hubungan antara berat dan volume. Pada bakso, berat jenis spesifik tidak secara langsung mempengaruhi penerimaan tekstur secara sensori. Berat jenis spesifik berpengaruh pada penampilan bakso saat disajikan, dimana diharapkan bakso dapat mengapung.
Dari analisis statistika menggunakan program SPSS untuk Windows (1995), ditemukan bahwa terdapat perbedaan siginifikan antara sampel untuk parameter berat jenis spesifik (P<0.05). Uji dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat signifikasi perbedaan antara sampel (Lampiran 8). Hasil pengujian stastistik menunjukkan bahwa bakso memiliki berat jenis spesifik yang tidak berbeda nyata dengan kontrol, namun berbeda nyata dengan bakso komersial. Urutan berat jenis spesifik dimulai dari yang tertinggi adalah bakso kontrol, bakso dengan penambahan pati sagu HMT, dan bakso komersial.
Bakso dengan penambahan pati sagu HMT dan bakso kontrol memiliki nilai berat jenis spesifik yang lebih tinggi
55.92a 55.9a 62.51b 52 54 56 58 60 62 64 bakso kontrol bakso HMT bakso komersial POROSITAS (%)
56 dibanding bakso komersial. Sebenarnya, untuk produk bakso, nilai berat jenis spesifik yang diinginkan adalah yang lebih rendah dari berat jenis spesifik air (1.00), yang ditandai dengan mengapungnya bakso pada air. Tingginya nilai berat jenis spesifik pada bakso dengan penambahan pati sagu HMT dan bakso kontrol disebabkan karena jumlah daging yang digunakan dalam adonan relatif tinggi, sehingga terjadi daya ikat yang sangat kompak di antara molekul protein. Hal ini menyebabkan air yang terperangkap relatif sedikit, sehingga menghasilkan nilai berat jenis spesifik yang tinggi (Hermanianto dan Aulia, 2001). Hasil pengukuran berat jenis spesifik bakso sampel dibandingkan dengan bakso kontrol dan bakso komersial dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Perbandingan berat jenis spesifik bakso D. UJI PROKSIMAT
Uji proksimat dilakukan untuk menentukan kandungan kimia pada produk pangan. Dalam uji proksimat, ada lima parameter penting yang diujikan, yaitu kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat produk. Hasil uji proksimat dapat dilihat pada Tabel 9.
Hasil uji proksimat yang dilakukan dibandingkan dengan standar yang ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk bakso pada tahun 1995, yaitu SNI No. 01-3818-1995. SNI menetapkan bahwa untuk
1.08a 1.05a 0.97b 0,9 0,92 0,94 0,96 0,98 1 1,02 1,04 1,06 1,08 1,1 bakso kontrol bakso HMT bakso komersial BERAT JENI S
57 produk bakso, kadar air maksimalnya adalah 70.0% (b/b), kadar abu sebesar maksimal 3.0% (b/b), kadar protein minimal 9.0% (b/b), dan kadar lemak maksimal 2.0%. Setelah dilakukan pembandingan, terlihat bahwa semua nilai yang dirujuk oleh SNI terpenuhi oleh bakso dengan penambahan pati sagu HMT. Hal ini menandakan bahwa produk bakso yang diujikan telah sesuai dengan standar yang ada.
Tabel 9. Komposisi kimia bakso HMT
Komposisi Basis basah Basis kering
Air (%) 69.02±0.37 222.89±7.45
Abu (%) 2.29±0.06 7.38±0.19
Protein (%) 13.52±0.32 43.64±1.02
Lemak (%) 0.43±0.01 1.40±0.02
58
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Pati sagu yang dimodifikasi dengan HMT (perlakuan pH netral, lama pemanasan empat jam, suhu 1100C, dan kadar air 28%) menghasilkan pati sagu tipe C yang tidak memiliki puncak viskositas dan tahan pemanasan serta pengadukan. Penambahan pati sagu HMT pada konsentrasi tertentu dikombinasikan dengan sodium tripolifosfat (STPP) dapat meningkatkan kualitas tekstur bakso daging sapi.
Bakso daging sapi dengan penambahan HMT mencapai kondisi terbaik pada kombinasi pati sagu HMT 10% dan konsentrasi STPP 0.2% berdasarkan pengujian kekerasan dengan penetrometer dan uji organoleptik. Bakso terpilih memiliki tingkat kekerasan 12.5±0.1mm/10s, dan terbukti berbeda nyata secara kesukaan dengan bakso formula lainnya.
Pengujian dengan TPA menunujukkan bahwa bakso terpilih mempunyai nilai kekerasan dan daya kunyah yang lebih baik dibanding bakso komersial dan bakso tanpa penambahan pati sagu HMT. Pengujian dengan parameter lainnya, meliputi daya iris, porositas, kadar air, dan berat jenis spesifik menunjukkan bahwa bakso terpilih berbeda nyata dengan bakso komersial dan bakso tanpa penambahan pati sagu HMT.
Bakso dengan penambahan pati sagu HMT 10% dan STPP 0.2% memiliki kadar air sebesar 69.02±0.37 (%b/b), kadar abu sebesar 2.29±0.06 (%b/b), kadar protein sebesar 13.52±0.32 (%b/b), kadar lemak sebesar 0.43±0.01 (%b/b), kadar karbohidrat sebesar 14.74±0.38 (% b/b).
59 B. SARAN
Beberapa saran yang dapat diberikan sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian ini antara lain :
1. perlu dipelajari proses scaling up pada produk bakso terpilih sehingga dapat diproduksi secara massal di industri.
2. perlu dilakukan pengujian umur simpan bakso yang telah ditambahkan pati sagu HMT sehingga memudahkan bila akan diproduksi secara lebih luas.
3. perlu dilakukan modifikasi proses saat pembuatan bakso sehingga dapat diperoleh bakso dengan berat jenis spesifik yang lebih kecil dari berat jenis spesifik air, sehingga bakso terlihat menarik saat penyajian.
60 DAFTAR PUSTAKA
Ahamed ME, Anjaneyulu ASR, Sathu T, Thomas R and Kondaiah N. Effect of different binders on the quality of enrobed buffalo meat cutlets and their shelf life at refrigeration storage (4 ±10C). J of Meat Sci 75(7) : 451-459.
Ahmad BF, Williams PA, Doublier J, Durand S and Buleon. 1999.
Physicochemical characterization of sago starch. J of Carbohydrate
Polymer 38: 361-370.
Andayani R. 1999. Standardisasi Mutu Bakso Sapi Berdasarkan Kesukaan Konsumen (Studi Kasus Bakso di Wilayah DKI Jakarta). [skripsi]. FATETA, IPB, Bogor.
Anonymous. 2003. Texture Analyser User Manual. Ametek Lloyd Instruments Ltd., Warner Bratzler Shear Blade Set instructions, England.
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis 960.52 Modified, Chapter 12.1.07, p7.
⎯⎯. 2006. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemists, Washington, D.C.
Astawan MW and Astawan M. 1989. Teknologi pengolahan pangan hewani tepat guna (Applicative processing muscle food technology), First edition, C.V. Akademika Pressindo, Jakarta.
Barbut S, Maurer AJ and Lindsay RC. 1988. Effects of reduced sodium chloride and added phosphates on physical and sensory properties of turkey frankfurters. J of Food Sci, 53(1) : 62–66.
Bertrahm HC, Aaslyng MD and Andersen HJ. 2005. Elucidation of the relationship between cooking temperature, water distribution and sensory