• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Densitas Asupan Gizi dan Pola Konsumsi Pangan

Drewnoski (2005) menyimpulkan bahwa densitas asupan zat gizi berbeda dengan Dietary Reference Intakes (DRIs). Densitas asupan zat gizi adalah cara untuk mengekspresikan kecukupan zat gizi dari diet yang diberikan; sedangkan DRIs merupakan perkiraan kuantitatif dari asupan zat gizi yang dapat digunakan untuk perencanaan dan penilaian diet dari orang-orang. Persentase niai-nilai harian sering dihitung atas dasar batas atas dari DRIs (Trumbo et al. 2001; Trumbo et al. 2002). Densitas zat gizi didefinisikan sebagai rasio komposisi zat gizi dari suatu pangan terhadap kebutuhan zat gizi manusia. Hansen et al. (1987) menyimpulkan bahwa perbandingan resmi komposisi zat gizi pangan dan nilai referensi harian bermakna hanya jika dibuat pada suatu standar berdasarkan per kalori -biasanya per 1 000 atau 2 000 kkal.

Departemen Kesehatan RI (2001) menjelaskan bahwa ASI eksklusif adalah memberikan hanya ASI tanpa memberikan makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, kecuali obat dan vitamin. Pemberian ASI dapat dilanjutkan sampai bayi berusia 24 bulan.

Winarno (1990) menyampaikan bahwa seorang ibu pada hari pertama sejak bayi lahir akan dapat menghasilkan 50-100 mL ASI sehari dari jumlah ini akan terus bertambah sehingga mencapai sekitar 400-450 mL pada waktu bayi mencapai usia minggu kedua. Jumlah tersebut dapat dicapai dengan menyusui bayinya selama 4-6 bulan pertama. Oleh karena itu, selama kurun waktu tersebut

ASI mampu memenuhi kebutuhan gizi pada bayi. Setelah 6 bulan volume pengeluaran air susu menjadi menurun dan sejak saat itu kebutuhan gizi tidak lagi dapat dipenuhi oleh ASI saja dan harus mendapat makanan tambahan. Neilson (1995) menyimpulkan bahwa konsumsi ASI bayi usia 3 bulan rata-rata 750 mL/hari.

Produksi ASI dalam keadaan normal, volume susu terbanyak yang dapat diperoleh oleh bayi adalah pada 5 menit pertama. Penyedotan/penghisapan oleh bayi biasanya berlangsung selama 15-25 menit (Winarno 1990). Nasution (2003) menyimpulkan bahwa volume ASI dipengaruhi oleh frekuensi bayi menyusu, lama bayi menyusu, dan kekuatan bayi mengisap ASI. Volume ASI paling tinggi adalah pada bulan ke-4 usia menyusu, dan menurun pada bulan ke-5 dan ke-6.

WHO (1998) melaporkan bahwa asupan energi yang berasal dari ASI pada bayi usia 6-8 bulan sebanyak 217 kkal di negara berkembang. Kandungan energi ASI per 100 g sebesar 66 kkal (Tabel 4), dengan demikian konsumsi ASI adalah 328,8 g/hari. Simondon et al. (1996) menyimpulkan bahwa di Brazzaville, bayi yang tidak mengkonsumsi susu formula pada usia 4-5 bulan mengkonsumsi ASI rata-rata 460 ± 191 g/hari. Bhadam dan Sweet (2010) menyimpulkan bahwa walaupun menyusu dengan optimal, bayi akan menjadi stunting jika tidak menerima makanan pendamping ASI dalam jumlah dan kualitas yang cukup setelah berusia enam bulan.

Tabel 3 Kandungan zat gizi per 100 g ASI

Zat Gizi Kandungan Air Susu Ibu (per 100 g)

Hardinsyah dan Briawan (1994) WHO (1998)

Energi, kkal 65 66

Protein, g 1.1 1.02

Vitamin B1, mg 70 0.02

Vitamin C, mg 2.7 3.9

Zat besi (Fe), mg 9 0.03

Kalsium, mg 35.5 27.2

Fosfor, mg 12.2 13.6

WHO (2005) melaporkan bahwa jika jumlah pangan hewani lain cukup dikonsumsi secara rutin, jumlah susu yang dibutuhkan anak usia 6-11 bulan adalah ~200-400 mL/hari, jika tidak, jumlah susu yang dibutuhkan adalah ~300- 500 mL/hari. Susu yang dapat diterima meliputi susu hewan full-cream (sapi,

kambing, kerbau, domba, unta), susu ultra high temperature (UHT), susu yang diuapkan kemudian dilarutkan, dan susu fermentasi atau yogurt.

Densitas mineral tulang ditentukan oleh konsumsi kalsium, ketersediaan vitamin D dan faktor genetik (IOM 1977). Rasio Ca dan P untuk pertumbuhan tulang yang ideal adalah 1:1 hingga 2:1 (Khomsan 2002). Attwood (2003) menjelaskan bahwa pada jumlah tertentu konsumsi protein yang diikuti dengan konsumsi kalsium yang baik terbukti memberi pengaruh nyata terhadap terbentuknya kepadatan tulang yang baik, namun konsumsi protein yang tidak diikuti dengan konsumsi kalsium yang cukup dapat memberikan pengaruh pada menurunnya kepadatan tulang. Hal ini dikarenakan konsumsi protein dapat meningkatkan hilangnya kalsium melalui urin. Kosnayani (2007) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang kuat (r=0.873) antara jumlah asupan kalsium yang dikonsumsi dengan kepadatan tulang (p=0.000). Kalsium dibutuhkan untuk pembentukan mineral tulang dan penting untuk pengaturan proses fisiologik dan biokimia. Kalsium diperlukan untuk memaksimalkan puncak massa tulang dan mempertahankan densitas tulang yang normal (Shroff & Pai 2000). Sumber kalsium yang bukan berasal dari susu dapat diperoleh dari bahan pangan khususnya dari sayuran hijau, kacang-kacangan, dan ikan laut (Suryono 2007).

WHO (2001) melaporkan bahwa sulit menginterpretasikan hubungan energi dan pertumbuhan anak. Namun demikian, Anton, Castro dan Paramastri (2005) menyimpulkan bahwa ada hubungan energi dan protein dengan pertumbuhan anak. Waterlow dan Schürch (1994) menyimpulkan bahwa pada anak usia dua tahun asupan kalsium signifikan lebih rendah pada anak stunting. Angeles et al. (1993) menyimpulkan bahwa suplementasi zat besi (Fe) terlihat mengurangi diare pada anak. Broto menjelaskan bahwa 70% kerangka manusia terdiri dari fosfor. Robins (1994) menyimpulkan bahwa copper merupakan enzim dalam proses pembentukan kolagen. WHO (2001) melaporkan bahwa suplemen seng (Zn) pada anak-anak diduga mengurangi durasi dan keparahan diare, disentri dan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). The National Academy of Sciences

(2002) menyimpulkan bahwa mangan merupkan zat gizi esensial dalam pembentukan tulang; magnesium berperan metabilisme matrik tulang dan

metabolisme mineral tulang; potasium merupakan enzim penting dalam metabolisme karbohidrat; dan vitamin B7 penting untuk proliferasi sel. Ehrlich (2010) menjelasksan bahwa vitamin D meningkatkan absorpsi kalsium dalam memelihara tulang.

Hardinsyah (2001) menjelaskan bahwa mutu gizi pangan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan dan penggunaan makanan oleh tubuh, sehingga dapat mempengaruhi status gizi dan kesehatan baik individu maupun masyarakat. Mutu gizi pangan atau makanan adalah totalitas kandungan gizi dari makanan yang dibutuhkan oleh manusia. Konsep mutu gizi yang semula diartikan sebagai kandungan zat gizi pangan, berubah menjadi tingkat kecukupan semua zat gizi, yaitu persentase asupan zat gizi terhadap kecukupan. Meningkatkan mutu asupan pangan memerlukan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang pangan yang bergizi, perubahan sikap, serta perubahan perilaku sehari-hari dalam menentukan, memilih, dan mengonsumsi pangan (Hardinsyah & Martianto 1992).

Vitamin C sebagai kofaktor penting untuk enzim yang memproduksi kolagen (Martini 2006).