• Tidak ada hasil yang ditemukan

Densitas kamba berfungsi sebagai salah satu indikator mudah atau tidaknya bahan pangan instan untuk dikemas secara otomatis dan indikator besar atau kecilnya kemasan yang diperlukan untuk membungkus produk pangan. Berdasarkan segi pengolahan dan teknologi pangan, semakin besar

nilai densitas kamba, maka kemasan yang dibutuhkan untuk membungkus produk akan semakin besar. Nilai densitas kamba dinyatakan besar apabila mendekati 1 (Kusumah 2008). Densitas kamba yang rendah merupakan salah satu indikator kemampuan bahan pangan untuk menyerap air yang besar. Kemampuan menyerap air yang besar ini akan membuat rasa cepat kenyang pada saat mengonsumsi. Hasil pengukuran densitas pada pati singkong dan pati singkong resisten terlihat pada Gambar 22.

Gambar 22 Grafik persentase denistas kamba pati

Pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) memiliki daya larut yang lebih tinggi daripada pati singkong (PS) dan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3). Pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) lebih mudah dikemas daripada kedua jenis pati lainnya. Kemampuan menyerap air yang rendah pada pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) akan membuat rasa cepat kenyang lebih tahan lama.

Metode pengeringan turut mempengaruhi densitas kamba suatu produk. Pembuatan pati modifikasi singkong menggunakan drum dryer sebagai pengering dengan penggunaan drum ganda yang puncaknya parallel sehingga bahan yang dikeringkan akan membentuk flat atau lapisan tipis. Suhu tinggi dalam drum dryer membuat pemutusan rantai cabang pati singkong sehingga meningkatkan kadar amilosa yang dapat meningkatkan kelarutan. Pati singkong resisten memiliki kapasitas ruang yang lebih rendah dalam penyerapan air daripada pati singkong. Hasil pengukuran densitas kamba tepung bubur pati singkong resisten terlihat di Gambar 23.

Gambar 23 Grafik persentase densitas kamba tepung bubur instan Densitas kamba tepung bubur instan yang tertinggi adalah tepung bubur pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) sebesar 0.46 g/ml, sedangkan yang tertinggi adalah tepung bubur pati singkong (BPS) sebesar 0.15 g/ml. Hal ini menunjukkan bahwa tepung bubur pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) akan memberikan rasa kenyang yang lebih lama saat dikonsumsi daripada ketiga bubur instan lainnya. Namun, kemasan yang digunakan untuk membungkus tepung bubur pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) paling besar diantara ketiga bubur instan lainnya.

Pengaruh Pengolahan tehadap Karakteritik Kimiawi Pati dan Tepung Bubur Instan

Parameter utama dalam penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pengolahan yaitu modifikasi autoclaving-cooling cycling terhadap karakteristik kimia pati dan bubur instan berupa kandungan amilosa, amilopektin, total pati, kadar pati resisten, dan daya cerna pati.

Amilosa, Amilopektin, dan Total Pati

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin (Winarno 2004). Pati singkong mengandung 83% amilopektin yang mengakibatkan pasta yang terbentuk menjadi bening dan kecil kemungkinan untuk terjadi retrogradasi (Friedman 1950, Gliksman 1969 dikutip Odigboh 1983 dalam Chan 1983). Kandungan amilosa dalam pati digolongkan menjadi empat kelompok yaitu kadar amilosa sangat rendah <10%, kadar amilosa rendah 10-19%, kadar amilosa sedang 20-24%, dan kadar amilosa tinggi >25% (Aliawati 2003).

Berdasarkan hasil analisis amilosa yang terlihat pada Gambar 23, pati singkong resisten 1 siklus mengandung amilosa yang lebih tinggi daripada pati singkong. Pati singkong mengandung amilosa sebesar 20.12% (bk), sedangkan pati singkong resisten 1 siklus (RS1) dan 3 siklus (RS 3) masing-masing mengandung amilosa sebesar 24.22% (bk) dan 26.14% (bk). Pati singkong mengandung amilosa sebesar 17% (Friedman 1950, Gliksman 1969 dikutip Odigboh 1983 dalam Chan 1983) sehingga kandungan amilosa pati singkong pada penelitian ini lebih tinggi dari pernyataan Friedman (1950) dan Gliksman (1969). Namun, hasil tersebut sedikit lebih rendah dari penelitian Juliana (2007) yaitu amilosa pada pati singkong sebesar 27.32% (bk) dan pati singkong resisten sebesar 26.54% (bk). Hal ini diduga perbedaan botani singkong dan pengolahan modifikasi dalam pembuatan pati singkong resisten. Kandungan amilosa masing- masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 24.

Gambar 24 Grafik persentase amilosa pati dan tepung bubur instan Berdasarkan Aliawati (2003) kandungan amilosa tepung bubur instan formula terpilih (F3) tergolong rendah dan paling rendah diantara pati dan tepung bubur instan lainnya. Kandungan amilosa paling tinggi adalah pati singkong resisten 3 dan tergolong dalam kadar amilosa tinggi.

Proses autoclaving meningkatkan kadar amilosa pati singkong resisten disebabkan oleh degradasi amilosa rantai panjang menjadi amilosa rantai pendek yang berakibat meningkatnya kandungan amilosa (Shin 2004). Amilosa yang dengan rantai 1,4 α-gikosidik yang tidak bercabang menyebabkan ikatan amilosa lebih kuat sehingga sulit digelatinisasi dan pati sulit dicerna (Parker 2003). Kandungan amilosa pada suatu bahan berbanding lurus dengan kadar pati resisten dan berbanding terbalik dengan dengan daya cerna pati bahan tersebut. Semakin besar kandungan amilosa, maka pati semakin sulit dicerna sehingga daya cerna pati menjadi rendah.

Molekul amilopektin menentukan kemudahan untuk dicerna. Amilopektin merupakan polimer pati selain amilosa yang memiliki struktur bercabang yang dapat mengganggu rekristalisasi dan linearisasi amilopektin dapat meningkatkan pembentukan pati resisten (Sajilata et al. 2006). Kandungan amilopektin diperoleh dengan cara menghitung selisih antara kadar total pati dengan amilosa. Kadar amilopektin paling tinggi sebesar 71.03% (bk) pada pati singkong (PS), sedangkan amilopektin terendah adalah tepung bubur pati singkong resisten formula terpilih (F3) sebesar 33.32% (bk). Hal ini menunjukkan bahwa pati singkong paling mudah untuk dicerna. Hasil analisis kandungan amilopektin dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Perbandingan kadar total pati, amilosa, dan amilopektin

Sampel Total pati

%bk Amilosa %bk Amilopektin %bk Pati singkong 91.15 20.12 71.03

Pati resisten 1 siklus 80.79 24.22 56.57

Pati resisten 3 siklus 68.90 26.14 42.76

Bubur pati singkong 85.44 24.80 60.64

Bubur pati resisten singkong 1 siklus 80.97 16.48 64.49 Bubur pati resisten terpilih

Bubur pati resisten singkong 3 siklus

44.70 65.96 11.38 25.25 33.32 40.71 Penentuan total pati menggunakan metode Luff Schrol (AOAC 1995) adalah metode tidak langsung dengan menggunakan parameter kandungan glukosa pada bahan. Penetapan kadar pati dengan metode Luff Schoorl didasarkan pada prinsip gula-gula pereduksi. Gula-gula pereduksi dapat mereduksi Cu2+ menjadi Cu+ Kadar gula dapat ditentukan melalui selisih antara blanko dengan dengan hasil reduksi Cu2+. Berikut ini Gambar 25 grafik presentasi total pati dan tepung bubur instan.

Berdasarkan hasil analisis total pati pada Gambar 25, kadar total pati pada pati singkong (PS) adalah 91.15% (bk) paling tinggi diantara pati singkong resisten dan tepung bubur instan pati singkong maupun tepung bubur pati singkong resisten. Hasil tersebut lebih tinggi dari pernyataan Liu (2005) dalam Cui (2005) yaitu kandungan pati dalam singkong adalah 90% (bk). Kandungan total pati pada tepung bubur instan pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1) adalah 80.79% (bk), sedangkan total pati pada tepung bubur instan pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) adalah 68.9% (bk).

Pati yang terdapat pada pati singkong resisten telah berkurang disebabkan suhu tinggi saat autoclaving. Semakin tinggi suhu pemanasan, pati singkong akan lebih cepat terdegradasi. Pati singkong resisten 1 siklus dibuat dengan 1 kali proses autoclaving, sedangkan pati singkong resisten 3 siklus dibuat dengan proses autoclaving sebanyak 3 kali pengulangan sehingga kandungan patinya paling rendah diantara semua perlakuan. Hal ini membuktikan bahwa proses autoclaving yang berulang membuat ikatan pati terhidrolisis dan menyebabkan kandungan pati berkurang.

Tepung bubur instan pati singkong menggunakan pati yang telah tergelatinisasi sehingga telah melewati pemanasan pada saat pengolahan yaitu 80ºC sehingga kandungan pati total pada bubur pati singkong lebih rendah daripada pati singkong alaminya. Hal tersebut dilakukan untuk instanisasi produk dan pematangan bahan baku yang siap konsumsi. Namun, kadar total pati pada tepung bubur instan pati resisten tidak jauh berbeda dengan pati resistennya karena pati resisten yang digunakan dalam pembuatan bubur instan adalah pati resisten itu sendiri.

Tepung bubur instan pati singkong resisten formula terpilih (F3) memiliki total pati paling rendah diantara semua perlakuan yaitu 44.7% (bk). Hal ini disebabkan penambahan tepung emulsi dalam produk sehingga persentase pati resisten dalam tepung bubur instan pati resisten formula terpilih adalah terendah yaitu 75% dari bobot keseluruhan. Interaksi pati resisten dengan protein dipercaya dapat mengurangi kandungan pati resisten pada pati kentang yang ditambahkan albumin saat proses autoklaf dan didinginkan pada suhu -20ºC (Sajilata et al. 2006).

Kadar Pati Resisten

Penggunaan produk kaya akan serat pangan sebagai bahan pensubtitusi tepung konvensional dalam pembuatan produk makanan diketahui secara

signifikan mengurangi mutu sensori dan daya terima produk yang dihasilkan sehingga pati resisten diharapkan dapat memperbaiki tekstur, penampakan dan mouth feel produk pangan yang dihasilkan (Sajilata et al. 2006). Pati resisten dalam penelitian ini diolah menjadi tepung bubur instan. Tepung bubur instan yang dianalisis terdiri dari tepung bubur pati singkong yang telah tergelatinisasi, tepung bubur pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1) dan 3 siklus (BRS 3), serta tepung bubur instan pati singkong resisten formula terpilih (F3).

Pati resisten yang dibuat dalam penelitian ini merupakan pati resisten hasil modifikasi fisik melalui proses autoclaving dan retrogradasi pati. Pati resisten yang dihasilkan dari proses ini adalah pati resisten tipe III. Menurut Leu et al. (2003) yang diacu dalam Satriawan (2010) pati resisten tipe III terdiri atas pati teretrogradasi yang terbentuk saat bahan pangan yang mengandung pati dimasak dan didinginkan. Pati singkong dimasak dengan pemanasan melalui proses autoclaving dan pendinginan melalui cooling. Hasil kadar pati resisten pati dan bubur instan dapat dilihat pada Gambar 26.

Gambar 26 Grafik persentase kadar pati resisten pada pati dan tepung bubur instan

Pati singkong tanpa perlakuan modifikasi mengandung kadar pati resisten sebesar 5.59% (bk). Hasil ini lebih tinggi dari kadar pati resisten hasil penelitian Juliana (2007) sebesar 4.33% (bk). Kandungan pati resisten tipe III dalam bahan makanan secara alami pada umumnya rendah. Kemungkinan pati yang terukur pada pati singkong tanpa perlakuan modifikasi didominasi pati resisten tipe II. Pati resisten tipe II (RS II) terdiri atas granula pati yang secara alami sangat resisten terhadap pencernaan oleh enzim α-amilase (Leu et al. 2003 dalam Satriawan 2010).

Kadar pati resisten tepung bubur instan dari pati singkong tergelatinisasi (PS), pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1) dan 3 siklus (BRS 3), serta pati singkong resisten formula terpilih (F3) masing-masing adalah 4.46% (bk), 7.09% (bk), 8.00% (bk) dan 5.60% (bk). Kadar pati resisten pada tepung bubur pati singkong (BPS) adalah yang paling rendah dari semua perlakuan. Hasil tersebut sama dengan kadar pati resisten pada pati singkong (PS) alaminya yang juga paling rendah diantara pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) dan 3 siklus (RS 3). Tepung bubur instan pati singkong resisten formula terpilih (F3) memiliki kandungan pati resisten yang sedikit lebih tinggi daripada tepung bubur instan pati singkong (BPS) disebabkan bahan baku pati resisten pada produk, sedangkan pada tepung bubur instan pati singkong (BPS) hanya pati singkong yang tergelatinisasi. Persentase pati resisten yang lebih tinggi pada produk turut mempengaruhi kadar pati resistennya.

Pati resisten tipe III (RS III) merupakan pati resisten yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku pangan fungsional. Jumlah pati resisten tipe III yang rendah secara alami pada makanan dapat ditingkatkan melalui modifikasi baik secara fisik, enzimatis, maupun kimiawi. Kadar pati resisten yang dihasilkan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) dengan waktu gelatinisasi 15 menit lebih tinggi yaitu sebesar 10.50% (bk) dibandingkan kadar pati resisten pada pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) dengan waktu gelatinisasi 30 menit sebesar 7.28% (bk). Hasil tersebut menunjukkan bahwa pengulangan siklus dalam pembuatan pati singkong resisten metode autoclaving-cooling meningkatkan kadar pati resisten. Semakin tinggi pengulangan siklus pada proses modifikasi maka akan meningkatkan kadar pati resisten bahan.

Hasil kadar pati resisten pada pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) lebih tinggi daripada kadar pati resisten hasil penelitian Juliana (2007) sebesar 6.52% (bk). Selain perbedaan botani singkong yang digunakan dan suhu cooling pati singkong resisten saat modifikasi turut mempengaruhi kadar pati resisten yang dihasilkan. Pati singkong termodifikasi dibuat dengan metode autoclaving- cooling dengan cara mensuspensikan pati dengan air 1:4 dan dimodifikasi 1 siklus serta 3 siklus dengan waktu gelatinisasi masing-masing 30 menit dan 15 menit pada suhu 121ºC (Lehnmann 2003). Hal-hal yang mempengaruhi kadar pati resisten yang terbentuk adalah (1) rasio amilosa:amilopektin pada pati, amilosa yang lebih tinggi dapat meningkatkan kadar pati resisten, (2) rasio pati:air dalam pembuatan pati resisten, (3) proses pemanasan yang dilakukan,

(4) banyaknya siklus pada proses modifikasi, dan (5) suhu autoclaving (Sajilata et al. 2006).

Kadar pati singkong resisten yang dihasilkan dalam penelitian ini lebih rendah daripada kadar pati resisten pada pati garut pada penelitian Anggraini (2007). Kadar pati resisten pada pati garut termodifikasi dengan perlakuan autoclaving cooling 3 siklus adalah 10.91% (bk), sedangkan kadar pati singkong resisten 3 siklus adalah 10.5% (bk). Hal ini disebabkan karena kandungan amilosa pada pati garut lebih tinggi daripada pati singkong.

Pati resisten tidak dapat terhidrolisis di usus halus dalam waktu 120 menit setelah konsumsi, tetapi langsung difermentasi di kolon (Zaragoza et al. 2010). Hal tersebut disebabkan pati resisten yang melalui tahapan autoclaving yaitu pemanasan dengan air pada suhu tinggi atau gelatinisasi meningkatkan daya cerna pada enzim pencernaan. Namun, pati yang telah digelatinisasi kemudian didinginkan pada suhu rendah atau cooling akan menyebabkan kristalisasi sehingga resisten terhadap enzim pencernaan (Haralampu 2000).

Daya Cerna Pati

Analisis daya cerna pati dilakukan pada pati singkong (PS), pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) dan 3 siklus (RS 3), tepung bubur instan pati singkong (BPS), tepung bubur instan pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1) dan 3 siklus (BRS 3), serta tepung bubur instan pati resisten singkong formula terpilih (F3). Daya cerna pati dijadikan parameter utama dalam pengolahan bubur instan dari pati singkong resisten karena jika daya cerna pati tinggi maka kadar pati resisten pada pati tersebut rendah. Daya cerna pati juga menggambarkan kemampuan suatu enzim pemecah pati untuk menghidrolisis pati menjadi unit-unit yang lebih kecil(Prangdimurti, Palupi, & Zakaria 2007). Penentuan daya cerna pati sampel dilakukan secara in vitro dengan metode yang dikembangkan Muchtadi (1992). Sampel dihidrolisis oleh enzim α-amilase menjadi unit sederhana seperti maltosa. Hasil analisis daya cerna pati in vitro pati dan tepung bubur instan dapat dilihat pada Gambar 27.

Gambar 27 Grafik persentase daya cerna pati dan tepung bubur instan Berdasarkan Gambar 27 terlihat bahwa daya cerna pati singkong alami lebih besar daripada pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) dan 3 siklus (RS 3). Hal ini menunjukkan bahwa modifikasi pati singkong menggunakan proses pengulangan siklus autoclaving-cooling mampu menurunkan daya cerna pati. Perbedaan pengolahan pati rsingkong resisten 1 siklus (RS 1) dan 3 siklus (RS 3) adalah waktu autoclaving dan suhu retrogradasi pati saat cooling. Waktu autoclaving pada pati resisten 1 siklus (RS 1) adalah 30 menit, sedangkan waktu pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) adalah 15 menit. Hal ini didasarkan pada penelitian Pratiwi (2008) bahwa waktu pemanasan 30 menit menghasilkan daya cerna pati yang lebih tinggi pada pati garut modifikasi. Suhu cooling pati resisten 1 siklus (RS 1) hanya mencapai 8ºC, sedangkan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) mencapai 4ºC sehingga proses retrogradasi lebih sempurna.

Pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) memiliki daya cerna pati yang lebih rendah daripada pati singkong resisten 1 siklus (RS 1). Hasil ini serupa dengan penelitian Anderson et al. (2002) bahwa pati termodifikasi dengan waktu pemanasan 30 menit menghasilkan daya cerna pati lebih tinggi dibandingkan pati termodifikasi dengan waktu pemanasan 15 menit, baik pada modifikasi 1 siklus, 3 siklus, dan 5 siklus. Penurunan daya cerna pati disebabkan siklus autoclaving-cooling karenaterjadi penyusunan ulang molekul-molekul pati antara amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin, amilopektin-amilopektin yang berakibat pada penguatan ikatan pati dan membuat pati sulit tercerna (Shin 2004).

Rendahnya daya cerna pati berhubungan dengan tingginya kandungan yang tidak tercerna dalam usus halus, seperti serat pangan. Persentase daya cerna pati pada pati resisten singkong lebih besar dengan hasil analisis Juliana

(2007) yaitu sebesar 53.78% (bk). Hal ini disebabkan perbedaan botani singkong dan suhu cooling saat modifikasi.

Pati singkong (PS), pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) dan 3 siklus (RS 3) kemudian diolah menjadi bubur instan. Daya cerna pati tepung bubur instan pati singkong dan tepung bubur instan pati singkong resisten lebih rendah daripada patinya. Hal ini disebabkan oleh pati singkong yang diolah menjadi bubur instan telah mengalami proses gelatinisasi sehingga terjadi proses pemanasan yang menyebabkan ikatan amilosanya lebih banyak. Tepung bubur instan pati singkong resisten memiliki daya cerna yang lebih rendah disebabkan bahan baku penyusunnya berupa pati resisten 1 siklus dan 3 siklus.

Namun, penambahan tepung emulsi (isolat protein kedelai, putih telur, dan minyak nabati) meningkatkan daya cerna pati pada bubur pati resisten formula terpilih. Hal ini disebabkan isolat protein kedelai merupakan ekstrak kedelai dapat meningkatkan daya cerna bubur pati resisten singkong. Isolat protein kedelai mengandung seluruh asam amino yang dibutuhkan manusia. Putih telur juga mengandung protein yang dapat terkoagulasi bila dipanaskan sehingga meningkatkan daya cerna bubur pati resisten singkong.

Kandungan Gizi Pati

Analisis kandungan gizi pati dilakukan pada pati singkong (PS), pati resisten singkong 1 siklus (RS 1) dan 3 siklus (RS 3) berupa kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat by difference, kadar serat pangan. Hasil analisis kandungan gizi pati disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Kandungan gizi pati singkong, pati singkong resisten 1 siklus dan 3 siklus Komposisi PS RS 1 RS 3 Kadar air (%bb) 15.46 7.46 7.62 Kadar abu (%bk) 0.30 0.28 0.78 Kadar protein (%bk) 0.34 0.31 0.39 Kadar lemak (%bk) 0.73 1.64 2.15 Kadar karbohidrat (%bk) 98.63 97.77 96.68 Kadar air

Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam suatu bahan. Pengukuran kadar air menggunakan metode pemanasan dengan oven (AOAC 1995). Sampel ditimbang dalam wadah kemudian dipanasakan di oven hingga dicapai bobot konstan. Pemanasan dilakukan hingga 19 jam untuk mendapatkan

bobot konstan dari sampel. Penghitungan kadar air dinyatakan dengan kehilangan bobot sampel.

Pati singkong atau tapioka dengan merk “TUGU TANI” merupakan pati singkong (PS) putih dengan kadar air rataan sebesar 15.05% (bb). Pati singkong termodifikasi atau pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) memiliki kadar air rataan sebesar 7.46% (bb), sedangkan kadar air pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) 7.62% (bb). Kadar air pati singkong resisten lebih rendah daripada pati singkong dikarenakan pati telah mengalami proses pengeringan saat modifikasi pati melalui drum dryer dengan suhu tinggi (80ºC). Berdasarkan SNI 01-3451-1994 tentang tapioka atau pati singkong memiliki kadar air maksimal 15% sehingga data pati singkong merk TUGU TANI yang memiliki sebesar 15.05% telah sesuai dengan SNI.

Kadar abu

Pengukuran kadar abu dilakukan dengan metode pengabuan kering. Pengabuan kering adalah pembakaran sampel pada suhu tinggi (550ºC) pada tanur. Wadah yang digunakan untuk pengabuan harus tahan terhadap suhu tinggi (550ºC) yaitu cawan porselen. Sebelum digunakan cawan harus dibersihkan dan dibakar terlebih dahulu untuk menghindari adanya kemungkinan interaksi mineral dengan bahan yang akan mengacaukan hasil analisis.

Pati singkong atau tapioka dengan merk “TUGU TANI” merupakan pati singkong putih dengan kadar abu rataan sebesar 0.3% (bk). Hal ini sesuai dengan Nielsen (2003) yang menyebutkan bahwa kadar abu dalam pati murni 0.3%. Pati singkong termodifikasi atau pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) memiliki kadar abu rataan sebesar 0.28% (bk), sedangkan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) memiliki kadar abu sebesar 0.78% (bk). Kadar abu pati singkong resisten singkong 3 siklus (RS 3) lebih tinggi daripada pati singkong (PS) dikarenakan pati resisten memiliki kandungan organik yang lebih tinggi daripada pati singkong. Berdasarkan SNI 01-3451-1994 tentang tapioka atau pati singkong memiliki kadar abu maksimal 0.6% (bb) sehingga data pati singkong merk “TUGU TANI” yang memiliki sebesar 0.3% (bk) telah sesuai dengan SNI.

Kadar Protein

Pati singkong atau tapioka dengan merk X merupakan pati singkong (PS) putih dengan kadar protein rataan sebesar 0.34% (bk). Pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) memiliki kadar protein rataan sebesar 0.31% (bk), sedangkan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) memiliki kadar protein rataan sebesar 0.39%

(bk). Kadar protein pati yang rendah merupakan hal yang dikehendaki terkait dengan tujuan pembentukan pati resisten.

Kadar Lemak

Kadar lemak yang terdapat dalam suatu bahan dinyatakan dengan banyaknya lemak atau minyak yang terkandung dalam bahan tersebut. Pengukuran kadar lemak menggunakan metode soxhlet (AOAC 1995). Sampel dalam bahan dilarutkan dengan menggunakan pelarut organik, seperti heksana. Heksana berfungsi sebagai larutan yang melarutkan lemak dalam bahan. Semakin tinggi lemak dalam suatu bahan maka proses pengambilan lemak juga semakin lama. Sampel pati singkong dan pati resisten singkong memiliki kadar lemak yang rendah sehingga waktu pengukuran relatif singkat, yaitu 1 hingga 2 jam.

Pati singkong atau tapioka dengan merk “TUGU TANI” merupakan pati singkong (PS) putih dengan kadar lemak rataan sebesar 0.73% (bk). Pati singkong termodifikasi atau pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) memiliki kadar lemak rataan sebesar 1.64% (bk) dan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) 2.15% (bk). Kadar lemak pati singkong resisten dan pati singkong tergolong sangat rendah karena pati merupakan ekstrak terakhir dari pangan sumber karbohidrat seperti singkong. Namun, pati singkong resisten memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi daripada pati singkong dikarenakan dalam proses pengolahannya pati singkong termodifikasi terkontaminasi dengan alat pengolahan yang sebelumnya pernah digunakan untuk bahan lain.

Kadar Karbohidrat

Karbohidrat merupakan kandungan utama yang terdapat dalam pati. Pati singkong memiliki kandungan karbohidrat sekitar 80-90% (bb). Pati singkong merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik, sedangkan pati termodifikasi atau pati resisten singkong merupakan pati singkong yang telah terlampaui fase gelatinisasinya dan fase retrogradasinya sehingga amilopektinnya telah mengalami perpotongan cabang menjadi amilosa. Hal ini mengindikasikan semakin tinggi kandungan amilosa dalam pati, semakin rendah pula kandungan karbohidratnya.

Total karbohidrat dari pati dihitung berdasarkan perhitungan by difference yaitu pengurangan 100% bahan dengan total kadar air, abu, lemak, dan protein bahan. Kandungan karbohidrat pati resisten singkong yang rendah disebabkan oleh kadar amilosa pati resisten 1 siklus (RS 1) yang tinggi yaitu sebesar 24.22%

(bk) dan pati sigkong resisten 3 siklus (RS 3) sebesar 26.14% (bk). Kandungan amilosa yang tinggi menyatakan bahwa serat pangannya juga lebih besar daripada pati singkong sehingga pati singkong resisten sangat baik bagi orang yang mengalami gangguan pencernaan, seperti konstipasi, obesitas, gangguan fisiologis hormon insulin (Diabetes Mellitus).

Kandungan Gizi Tepung Bubur Instan

Pati singkong mengalami proses modifikasi yaitu gelatinisasi dan pengeringan. Gelatinisasi pati pada pembuatan bubur instan bertujuan untuk meningkatkan kekentalan pati, sedangkan pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air pati sehingga bubur instan yang dihasilkan lebih tahan lama. Kedua tahapan dalam pembuatan bahan bubur instan berbasis pati

Dokumen terkait