Modifikasi Pati Singkong
Tahap pertama dalam penelitian ini adalah pembuatan pati singkong termodifikasi yaitu pembuatan pati singkong tergelatinisasi dan pembuatan pati singkong resisten 1 siklus dan 3 siklus melalui proses autoclaving-cooling cycling. Pati singkong termodifikasi dibentuk dari pati singkong komersial merk “TUGU TANI”. Hal ini dikarenakan pati singkong komersial merk “TUGU TANI” memiliki kualitas tapioka yang baik dibandingkan tapioka merk lainnya.
Pati singkong tergelatinisasi merupakan pati singkong yang dbuat melalui proses gelatinisasi dan pengeringan. Hal ini dilakukan untuk proses pematangan pati singkong dan pengeringan bertujuan untuk instanisasi pati singkong. Pati singkong tergelatinisasi yang telah dikeringkan akan tergelatinisasi kembali apabila pati tersebut digelatinisasi kembali (Winarno 2004). Pati singkong tergelatinisasi dibuat sebagai bahan baku bubur pati singkong tergelatinisasi (BPS).
Pati singkong termodifikasi lainnya yang dibuat dalam penelitian ini adalah yaitu pati singkong resisten 1 siklus dan pati singkong resisten 3 siklus. Tahapan modifikasi pati sebagai dimulai dari pati singkong disuspensi dengan akuades (20% b/v) kemudian dilakukan pemanasan pada suhu 80ºC dengan pengadukan konstan hingga homogen dan mengental. Waktu yang diperlukan untuk mencapai suspensi homogen adalah 9 menit. Menurut SNI (1992) dalam Widowati (2000) menyebutkan bahwa suhu gelatinisasi pati singkong adalah 84˚C dalam waktu sekitar 23 menit. Berdasarkan pernyataan diatas waktu pemanasan pati singkong mencapai tahap gelatinisasi lebih rendah daripada SNI. Hal ini diduga disebabkan perbedaan botani singkong dan pengolahan saat proses gelatinisasi pati.
Suspensi pati yang telah tergelatinisasi mengalami peningkatan viskositas dan perubahan warna menjadi putih keruh. Hal ini menunjukkan telah terjadi tahap awal gelatinisasi. Selanjutnya pati digelatinisasi pada suhu tinggi yaitu suhu 121ºC selama 30 menit menggunakan autoklaf. Tujuan gelatinisasi adalah memecahkan granula pati melalui autoclaving sehingga amilosa terdegradasi. Pati yang telah digelatinisasi kemudian didinginkan hingga tercapai suhu ruang. Proses ini dilakukan agar panas dari pati berkurang. Perlakuan modifikasi ini disebut autoclaving-colling cycling treatment (Shin et al. 2002; Zabar et al. 2008).
Pati yang telah mencapai suhu ruang selanjutnya didinginkan atau cooling pada suhu 4ºC selama 24 jam sehingga terjadi retrogradasi. Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi disebut retrogradasi. Sebagian besar pati yang telah menjadi gel bila disimpan atau didinginkan untuk beberapa hari atau beberapa minggu akan membentuk endapan kristal di dasar wadahnya (Winarno 2004). Namun, alat yang tersedia terbatas sehingga proses cooling hanya mencapai suhu 8ºC dan membutuhkan waktu yang lebih lama yaitu 72 jam agar proses retrogradasi sempurna. Pati singkong resisten yang dihasilkan dalam penelitian ini merupakan pati resisten tipe III. Pati resisten tipe III merupakan fraksi pati yang paling resisten karena amilosa teretrogradasi yang terbentuk selama pendinginan pati tergelatinisasi (Sajilata etal. 2006).
Selama retrogradasi, molekul pati kembali membentuk struktur kompak yang distabilkan dengan adanya ikatan hidrogen (Sajilata et al. 2006). Selama proses cooling setelah autoclaving, sebagian fragmen yang terlarut akan membentuk lapisan kaku dan kuat pada permukaan granula. Perubahan struktur yang terjadi pada saat pendinginan disebabkan terbentuknya ikatan hidrogen antara amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin, amilopektin-amilopektin dan pembentukan gel yang keras menyebabkan granula pati tahan terhadap panas sehingga resisten terhadap enzim pencernaan (Raja & Shindu 2000). Pati singkong yang digelatinisasi akan meningkat daya cernanya. Namun, pati singkong tergelatinisasi tersebut diretrogradasi maka daya cernanya akan menurun dan resisten terhadap enzim pencernaan. Retrogradasi pati membuat struktur amilopektin menjadi linear.
Peningkatan kadar pati resisten dilakukan dengan menggunakan pengulangan siklus. Tahapan modifikasi pati singkong resisten 3 siklus sama dengan 1 siklus, tetapi tahap autoclaving dilakukan sebanyak 3 kali atau 2 kali pengulangan dan waktu gelatinisasi 15 menit tiap siklusnya. Perbedaan waktu gelatinisasi saat autoclaving pada pembuatan pati singkong resisten turut mempengaruhi pembentukan pati singkong resisten pada 2 perlakuan. Waktu autoclaving dengan waktu 15 menit menghasilkan pati singkong resisten lebih tinggi daripada autoclaving 30 menit. Berdasarkan penelitian Pratiwi (2008), waktu pemanasan autoclaving 30 menit menghasilkan daya cerna pati yang lebih tinggi sehingga kandungan pati resistennya lebih rendah dibandingkan dengan waktu pemanasan autoclaving 15 menit.
Proses cooling mencapai suhu pendinginan sebesar 4ºC pada permukaan pati sehingga pati teretrogradasi sempurna, sedangkan pada bagian bawah suhu pati hanya mencapai 7.8ºC. Proses pengeringan pati hasil autoclaving-cooling menggunakan drum dryer. Suhu drum dryer yang tinggi dapat menstimulir pati tergelatinisasi kembali.
Rendemen merupakan persentase produk terhadap bahan baku. Pati singkong resisten 1 siklus dibuat dengan menggunakan pati singkong merk “TUGU TANI” menghasilkan rendemen sebesar 78%, sedangkan pati singkong resisten 3 siklus hanya menghasilkan rendemen 66%.
Formulasi Bubur Instan
Produk bubur yang dibuat adalah jenis pangan instan sehingga prinsip kematangan produk menjadi hal yang penting. Formula produk terdiri atas pati singkong tergelatinisasi, pati singkong resisten 1 siklus, sukralosa, garam, flavour essence “melon”, dan tepung emulsi. Pati singkong tergelatinisasi merupakan tapioka yang telah melewati fase gelatinisasi sehingga pati singkong tersebut telah matang dan dapat membentuk struktur bubur.
Pati resisten merupakan pati modifikasi yang telah terlewati masa gelatinisasinya dan teretrogradasi sehingga memiliki struktur yang berbeda dari pati pada umumnya. Pati resisten tipe III yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat mempertahankan karakteristik organoleptik suatu makanan ketika makanan tersebut ditambahkan pati resisten tipe III (Lehnmann et al. 2002). Pati resisten tipe III relatif tahan panas dibandingkan pati resisten tipe lainnya.
Penambahan tepung emulsi digunakan untuk meningkatkan kandungan gizi dan kekentalan bubur instan pati singkong termodifikasi. Isolat protein kedelai berfungsi sebagai emulsifier. Protein kedelai membantu pembentukan emulsi minyak dalam air. Emulsi yang terbentuk akan distabilkan oleh protein kedelai. Isolat protein kedelai juga dapat berfungsi sebagai zat aditif untuk memperbaiki penampakan produk, tekstur, dan flavour produk (Koswara 1995). Minyak nabati ditambahkan untuk meningkatkan kadar lemak bubur instan. Minyak nabati dipilih karena tidak mengandung kolesterol (Ketaren 1986).
Putih telur digunakan sebagai stabilizier. Putih telur mengandung protein akan terkoagulasi bila dipanaskan sehingga berperan sebagai agen pengental dan pengikat. Putih telur mengandung 87.8% air dalam 100 gram bahan sehingga membentuk sistem emulsi minyak dalam air yang baik pada tepung emulsi. Walaupun kuning telur mempunyai kemampuan emulsi yang lebih baik
dibandingkan putih telur, kuning telur akan memberikan penampakan yang buruk pada bubur instan. Kuning telur mengandung kolesterol yang tidak diharapkan pada bubur instan dalam penelitian ini.
Penambahan bahan-bahan tersebut dimaksudkan agar bubur instan memiliki rasa dan penampakan yang menarik. Sukralosa dipilih sebagai pemanis karena sukralosa menghasilkan 600 kali kemanisan daripada gula biasa (sukrosa) tanpa mengakibatkan peningkatan kalori. Sukralosa tidak menyebabkan risiko neurologik, gangguan reproduksi, maupun efek karsinogenik. Keunggulan lainnya adalah relatif stabil terhadap panas, sehingga tingkat kemanisan tidak banyak berubah (Branen et al. 1990). Flavour essence “melon” menyebabkan aroma pati singkong yang langu sedikit berkurang dan flavour buah dipilih karena bubur instan yang berbasis manis.
Tepung emulsi merupakan campuran dari putih telur, minyak nabati, dan isolat protein kedelai yang dibuat menggunakan homogenizer dan spray dryer. Putih telur dan minyak nabati sebagai bahan pembentuk tepung emulsi dilarutkan dan diratakan dengan menggunakan homogenizer. Selanjutnya kedua bahan yang telah tercampur rata dikeringkan dengan menggunakan spray dryer. Spray dryer merupakan alat dengan pengering prinsip pengeringannya adalah dengan mengubah bentuk larutan menjadi bubuk pada pembuatan tepung emulsi. Isolat protein kedelai sebagai emulsifier ditambahkan pada bubuk putih telur dan minyak nabati dengan cara dry mixing.
Penambahan air dalam penyajian bubur instan merupakan proses yang menentukan tekstur bubur instan pati modifikasi singkong. Air yang dituang terlebih dahulu adalah air dengan suhu kamar, dan baru kemudian air hangat dengan perbandingan bubur instan : air suhu kamar : air hangat (1:1:2).
Karakteristik Organoleptik Bubur Instan
Atribut makanan merupakan hal terpenting bagi konsumen, meliputi tekstur, citarasa, aroma, dan warna. Hal ini dapat menunjukkan kesukaan individu terhadap produk tertentu dan dapat mempengaruhi penerimaan (Fellow 2000). Oleh karena itu perlu dilakukan suatu uji sensorik produk yaitu uji organoleptik.
Uji organoleptik dilakukan oleh 30 orang panelis yang seluruhnya mahasiswa. Panelis tergolong ke dalam panelis agak terlatih yang didasarkan
pada keseringan menjadi panelis kegiatan uji organoleptik. Bubur yang dijadikan contoh untuk uji organoleptik seperti terlihat pada Gambar 9.
(a) (b)
(c) (d) (e)
Gambar 9 Bubur pati singkong (BPS) (a); Bubur Pati Resisten 1 siklus (BRS 1) (b); Bubur Pati Resisten F1, F2, F3 (c), (d), (e)
Bubur pati singkong resisten 3 siklus tidak diujikan dalam uji organoleptik disebabkan proses pembuatan pati singkong resisten 3 siklus dilakukan setelah setelah uji organoleptik dan beberapa analisis fisikokimia, kimia, dan kandungan gizi pati dan tepung bubur instan pati termodifikasi. Hal ini dikarenakan pati singkong resisten 3 siklus merupakan penelitian tambahan yang dilakukan untuk meningkatkan karakteristik fisikokimia, kimia, dan kandungan gizi bubur instan.
Warna
Warna merupakan variabel yang mempengaruhi penampilan suatu produk. Warna juga merupakan salah satu indikator kematangan atau kerusakan suatu produk (Parker 2003). Grafik mutu hedonik warna bubur instan dapat dilihat pada Gambar 10.
Berdasarkan mutu hedonik yang terdapat dalam Gambar 10 warna bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 4 sampai 7 (kuning kecoklatan sampai putih susu) dengan skor terbanyak pada skala 6 (putih gading) sebesar 41.94%. Bubur instan kontrol negatif atau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh skor 4 sampai 7 (kuning kecoklatan sampai putih susu) dengan skor terbanyak pada skala 5 (putih kekuningan) sebesar
38.71%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 1 sampai 6 (cokelat sampai putih gading) dengan skor terbanyak 5 (putih kekuningan) sebesar 32.26%, bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 2 sampai 7 (cokelat muda sampai putih susu) dengan skor terbanyak 4 (kuning kecoklatan) sebesar 25.81%, dan bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 1 sampai 5 (cokelat sampai putih kekuningan) dengan skor terbanyak 2 (cokelat muda) sebesar 41.94%. Grafik mutu hedonik warna bubur instan terlihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Grafik mutu hedonik warna bubur instan
Hasil sidik ragam (Lampiran 10) mutu hedonik warna menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap warna bubur instan. Uji lanjut Duncan mutu hedonik warna menunjukkan bahwa skor tertinggi adalah BRS (bubur pati resisten 1 siklus), sedangkan skor terendah adalah F1 dengan penambahan tepung emulsi 50 gram. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi menurunkan warna putih pada bubur instan.
Berdasarkan hasil uji hedonik warna bubur instan menurut Gambar 10 didapatkan bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 6 (suka) sebesar 25.81%. Bubur instan kontrol negatif atau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 6 (suka) sebesar 19.35%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 2 sampai 6 (tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 5 (agak suka) sebesar 25.81%, bubur instan dengan
penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 2 sampai 6 (tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 2 (tidak suka) sebesar 35.48%, dan bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 2 sampai 6 (tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 3 (agak tidak suka) sebesar 25.81%. Grafik hedonik warna bubur instan terlihat pada Gambar 11.
Gambar 11 Grafik hedonik warna bubur instan
Hasil sidik ragam (Lampiran 10) hedonik warna menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap kesukaan panelis pada rasa bubur instan.
Aroma
Aroma merupakan salah satu aspek penting dalam penilaian terhadap makanan. Bubur instan memiliki aroma singkong yang khas sehingga penambahan flavour essence melon dan tepung emulsi bertujuan untuk mengurangi aroma langu singkong pada bubur instan.
Berdasarkan hasil uji mutu hedonik aroma bubur instan menurut Gambar 12 didapatkan bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 2 sampai 7 (berbau langu sampai sangat harum) dengan skor terbanyak pada skala 5 (agak harum) sebesar 41.94%. Bubur instan kontrol negatif atau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh penilaian skor 2 sampai 7 (berbau langu sampai sangat harum) dengan skor terbanyak pada skala 5 (agak harum) sebesar 29.03%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 1 sampai 6 (sangat berbau langu sampai sangat harum) dengan skor terbanyak 4 (tidak berbau) sebesar 45.16%, bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 1 sampai 6 (sangat berbau
langu sampai harum) dengan skor terbanyak 3 (agak berbau langu) sebesar 41.94%, dan bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 1 sampai 6 (sangat berbau langu sampai sangat harum) dengan skor terbanyak 2 (berbau langu) sebesar 32.26%. Grafik mutu hedonik aroma bubur instan terllihat pada Gambar 12.
Gambar 12 Grafik mutu hedonik aroma bubur instan
Hasil sidik ragam (Lampiran 10) mutu hedonik aroma bubur instan menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap aroma bubur instan. Uji lanjut Duncan mutu hedonik aroma menunjukkan bahwa skor tertinggi adalah BRS (Bubur pati resisten 1 siklus), sedangkan skor terendah adalah F3 dengan penambahan tepung emulsi 50 gram. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi menurunkan aroma harum pada bubur instan.
Berdasarkan hasil uji hedonik aroma bubur instan menurut Gambar 13 didapatkan bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 5 (agak suka) sebesar 29.03%. Bubur instan kontrol negatif atau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh penilaian skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 4 (biasa) sebesar 35.48%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 2 sampai 7 (tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak 4 (biasa) sebesar 29.03%, bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak 4 (biasa) sebesar 45.16%, dan bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 2 sampai
6 (tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 3 (agak tidak suka) sebesar 38.71%. Grafik hedonik aroma bubur intstan terlihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Grafik hedonik aroma bubur instan
Hasil sidik ragam (Lampiran 10) hedonik aroma menunjukkan bahwa penambahan penambahan tepung emulsi tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap penerimaan panelis. Hal ini menunjukkan penambahan tepung emulsi tidak mempengaruhi penerimaan panelis terhadap aroma bubur instan.
Rasa
Atribut rasa terdiri dari rasa asin, manis, pahit, dan asam. Rasa disebabkan oleh formulasi yang digunakan dan tidak dipengaruhi oleh proses pengolahan (Fellow 2000). Bubur instan yang dihasilkan memiliki rasa dominan manis karena penambahan sukralosa sebagai pemanis yang memiliki kemanisan 600 kali dari sukrosa dan rendah kalori karena awal pembuatan bubur instan ini dikhususkan bagi penyandang diabetes mellitus.
Berdasarkan hasil uji mutu hedonik rasa bubur instan menurut Gambar 14 didapatkan bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 3 sampai 7 (agak manis pahit sampai manis sekali) dengan skor terbanyak pada skala 6 (manis) sebesar 48.39%. Bubur instan kontrol negatif atau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh penilaian skor 2 sampai 7 (manis pahit sampai manis sekali) dengan skor terbanyak pada skala 6 (manis) sebesar 32.26%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 1 sampai 7 (manis pahit sekali sampai manis sekali) dengan skor terbanyak 4 (hambar) sebesar 38.71%, bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 2 sampai 7 (manis pahit sampai manis sekali) dengan skor terbanyak 5 (agak manis) sebesar 38.71%, dan bubur instan dengan
penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 1 sampai 7 (manis pahit sekali sampai manis sekali) dengan skor terbanyak 5 (agak manis) sebesar 29.03%. Grafik mutu hedonik rasa bubur instan terlihat pada Gambar 14.
Gambar 14 Grafik mutu hedonik rasa bubur instan
Hasil sidik ragam (Lampiran 10) mutu hedonik rasa bubur instan menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap rasa bubur instan. Uji lanjut Duncan mutu hedonik rasa menunjukkan bahwa skor tertinggi adalah BRS, sedangkan skor terendah adalah F1. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi menurunkan kemanisan bubur instan.
Berdasarkan hasil uji hedonik aroma bubur instan menurut Gambar 15 didapatkan bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 4 (biasa) sebesar 25.81%. Bubur instan kontrol negatif atau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh penilaian mmemperoleh skor skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 4 (biasa) sebesar 25.81%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak 4 (biasa) sebesar 29.03%, bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 1 sampai 6 (sangat tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 4 (biasa) sebesar 38.71%, dan bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 1 sampai 6 (sangat tidak suka sampai
suka) dengan skor terbanyak 3 (agak tidak suka) sebesar 25.81%. Grafik hedonik rasa bubur instan terlihat pada Gambar 15.
Gambar 15 Grafik hedonik rasa bubur instan
Hasil sidik ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap penerimaan panelis. Uji lanjut Duncan hedonik rasa menunjukkan bahwa skor tertinggi adalah F3, sedangkan skor terendah adalah F1. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi sebanyak 15 gram meningkatkan kesukaan panelis terhadap rasa bubur instan.
Tekstur
Tekstur makanan ditentukan oleh kadar air, kadar lemak, jenis dan jumlah karbohidrat terstruktur (selulosa, lignin, dan pektin). Perubahan tekstur disebabkan oleh hilangnya air atau lemak, pembentukan atau pemecahan emulsi, hidrolisis, karbohidrat polimer, dan koagulasi atau hidrolisis protein (Fellow 1992).
Berdasarkan hasil uji mutu hedonik tekstur bubur instan menurut Gambar 16 didapatkan bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat encer sekali sampai sangat kental sekali) dengan skor terbanyak pada skala 5 (agak kental) sebesar 19.35%. Bubur instan kontrol negatif atau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh penilaian skor 1 sampai 6 (sangat encer sekali sampai kental sekali) dengan skor terbanyak pada skala 2 (encer sekali) sebesar 35.48%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 3 sampai 7 (agak encer sampai sangat kental sekali) dengan skor terbanyak 6 (kental sekali) sebesar 38.71%, bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 1 sampai 6
(sangat encer sekali sampai kental sekali) dengan skor terbanyak 3 (agak encer) sebesar 32.26%, dan bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 2 sampai 6 (encer sekali sampai kental sekali) dengan skor terbanyak 4 (biasa) sebesar 25.81%. Grafik mutu hedonik tekstur bubur instan terlihat pada Gambar 16.
Gambar 16 Grafik mutu hedonik tekstur bubur instan
Hasil sidik ragam (Lampiran 10) mutu hedonik tekstur bubur instan menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap tekstur bubur instan. Uji lanjut Duncan mutu hedonik tekstur menunjukkan bahwa skor tertinggi adalah BPS, sedangkan skor terendah adalah F1. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi menurunkan kekentalan bubur instan.
Berdasarkan hasil uji hedonik tekstur bubur instan menurut Gambar 17 didapatkan bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 5 (agak suka) sebesar 29.03%. Bubur instan kontrol negatifatau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh penilaian memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 4 (biasa) sebesar 25.81%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 2 sampai 7 (tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak 4 (biasa) sebesar 35.48 %, bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 2 sampai 6 (tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 5 (agak suka) sebesar 25.81%, dan bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 1 sampai
6 (sangat tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 5 (agak suka) sebesar 32.26%. Grafik mutu hedonik tekstur bubur instan terlihat pada Gambar 17.
Gambar 17 Grafik hedonik tekstur bubur instan
Hasil sidik ragam (Lampiran 10) hedonik tekstur bubur instan menunjukkan bahwa penambahan penambahan tepung emulsi tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap penerimaan panelis. Hal ini menunjukkan penambahan tepung emulsi tidak mempengaruhi penerimaan panelis terhadap tekstur bubur instan.
Keseluruhan
Berdasarkan hasil uji hedonik keseluruhan bubur instan menurut Gambar 18 didapatkan bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 5 (agak suka) sebesar 29.03%. Bubur instan kontrol – atau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh penilaian memperoleh skor skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 4 (biasa) sebesar 29.03%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 2 sampai 6 (tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 5 (agak suka) sebesar 32.26%, bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak 4 (biasa) sebesar 38.71%, dan bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 1 sampai 6 (sangat tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 4 (biasa) sebesar 29.03%. Grafik hedonik keseluruhan bubur instan terlihat pada Gambar 18.
Gambar 18 Grafik hedonik keseluruhan bubur instan
Hasil sidik ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap penerimaan panelis. Uji lanjut Duncan hedonik keseluruhan menunjukkan bahwa skor tertinggi adalah F3, sedangkan skor terendah adalah F1. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi sebanyak 15 gram meningkatkan kesukaan panelis terhadap keseluruhan aspek mutu bubur instan.
Penentuan formula terpilih ditentukan berdasarkan uji organoleptik bubur instan berupa uji mutu hedonik dan mutu hedonik. Bubur instan kontrol tidak dimasukkan dalam penilaian bubur instan terpilih dikarenakan bubur instan kontrol hanya digunakan sebagai pembanding dari bubur instan formula Presentase kelima bubur instan yang dipilih adalah bubur instan formula dengan tingkat kesukaan produk (5) agak suka, (6) suka, (7) sangat suka untuk uji hedonik. Berikut ini Tabel 4 menunjukkan bahwa presentase formula bubur instan yang disukai panelis berdasarkan hedonik.
Tabel 4 Presentase hedonik panelis terhadap bubur instan formula
Parameter F1 F2 F3 Agak suka (%) Suka (%) Sangat suka (%) Agak suka (%) Suka (%) Sangat suka (%) Agak suka (%) Suka (%) Sangat suka (%) Warna 22.58 12.90 0 12.90 9.68 0 25.81 19.35 0 Aroma 9.68 9.68 0 22.58 6.45 0 22.58 16.13 3.23 Rasa 16.13 3.23 0 9.68 3.23 0 16.13 25.81 3.23 Tekstur 32.26 9.68 0 25.81 9.68 0 6.45 29.03 3.23 Keseluruhan 16.13 3.23 0 16.13 6.45 3.23 32.26 22.58 0
Hasil presentasi hedonik bubur instan formula menunjukkan bahwa sebagian panelis sangat menyukai bubur instan F3. Hal ini ditunjukkan dengan sebagian kecil presentase pada bubur instan F3 untuk kategori sangat suka sebesar
3.23% untuk masing-masing parameter aroma, rasa, dan tekstur. Panelis lebih menyukai bubur instan F3 sebesar 19.35% dan secara keseluruhan panelis lebih menyukai bubur instan F3 sebesar 22.58% daripada bubur instan F1 maupun F2.