• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pembuatan pati singkong termodifikasi terdiri dari pati singkong tergelatinisasi dan pati singkong resisten dilakukan dengan metode autoclaving- cooling yang dimodifikasi Proses modifikasi dilakukan dengan pengulangan siklus 1 kali dan 3 kali dengan waktu gelatinisasi masing-masing 30 menit dan 15 menit. Suhu cooling dan waktu cooling juga dimodifkasi dalam penelitian yaitu pada pembuatan pati singkong resisten 1 siklus adalah 8ºC selama 72 jam dan pati singkong resisten 3 siklus selama 24 jam. Pati singkong termodifikasi digunakan sebagai bahan utama dalam pembuatan bubur instan. Formula bubur instan yang paling disukai adalah formula bubur instan dari uji organoleptik adalah bubur instan pati singkong resisten 1 siklus dengan penambahan tepung emulsi 15 gram.

Hasil analisis karakteristik fisikokimia pati dan bubur instan menunjukkan bahwa pola gelatinisasi pati singkong dan pati singkong resisten menunjukkan pola yang berbeda dikarenakan proses pengolahan autoclaving-cooling meningkatkan kekentalan atau viskositas pati singkong dan menurunkan suhu gelatinisasi pati. Pengamatan granula pati pada pati singkong termodifikasi menunjukkan bahwa sifat birefringence semakin tidak terlihat jelas akibat degradasi amilosa yang menyebabkan pembengkakan granula saat autoclaving- cooling cycling. Derajat putih paling tinggi adalah pati singkong, sedangkan produknya adalah bubur pati singkong resisten 1 siklus. Densitas kamba yang tinggi pada pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) dan tepung bubur instan pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) menyebabkan rasa kenyang yang lebih tahan lama daripada kedua jenis pati dan tepung bubur instan lainnya. Derajat putih tertinggi adalah pati singkong.

Pengaruh pengolahan autoclaving-cooling pada pati singkong termodifikasi dan tepung bubur instan pati singkong termodifikasi dilamati dari daya cerna patinya, kandungan amilosa, total pati, serta kandungan pati resisten yang terukur sebagai serat tak larut (insoluble dietary fiber). Kadar pati resisten yang tinggi berhubungan dengan daya cerna pati dan total pati yang rendah serta kandungan amilosa yang tinggi. Kadar pati resisten tertinggi adalah pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) 10.5% (bk), dengan total pati terendah 60.89% (bk) dan daya cerna pati terendah 74.62% (bk). Kandungan amilosa pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) juga tertinggi diantara 2 jenis pati yang lain,

yaitu 26.14% (bk). Produk bubur instannya sama dengan pati yang menjadi bahan bakunya.

Hasil analisis kandungan gizi pati berupa kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat menunjukkan bahwa kadar air dan karbohidrat tertinggi adalah pati singkong (PS) 15.05% (bk) dan 98.63% (bk), sedangkan abu, kadar lemak, protein, pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) masing-masing sebesar 0.78% (bk), 2.15% (bk), dan 0.39% (bk). Kandungan gizi tepung bubur instan yang paling tinggi adalah karbohidrat mencapai 97.25% (bk) untuk tepung bubur pati singkong (BPS). Kadar lemak dan kadar protein yang paling tinggi adalah tepung bubur instan formula terpilih (F3) sebesar 2.34% (bk) dan 17.45% (bk). Serat pangan pati singkong termodifikasi tertinggi adalah pati singkong resisten 3 siklus sebesar tepung bubur instan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) sebesar 9.1% (bk), sedangkan serat pangan tepung bubur instan pati singkong termodifikasinya adalah tepung bubur instan pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) sebesar 7.5% (bk). Serat pangan tidak larut (insoluble dietary fiber) lebih banyak terdapat pati singkong termodifikasi dan tepung bubur instan. Tingginya kadar serat pangan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) dan bubur pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) menyebabkan kedua bahan pangan tersebut digolongkan sebagai pangan tinggi serat karena memenuhi 30% acuan label gizi serat pangan.

Kandungan energi bubur instan berbasis pati singkong resisten berkisar antara 398 Kalori hingga 407 Kalori per 400 gram bubur. Bubur instan berbasis pati singkong resisten memenuhi 20% AKG sarapan dari kebutuhan AKG sehari sehingga cocok dikonsumsi sebagai sarapan sebagai pangan tinggi energi. Harga serat pangan dan energi yang lebih murah pada BRS 3 daripada pangan instan komersial lainnya menunjukkan bahwa bubur instan kontrol (BRS 3) layak dipasarkan sebagai pangan fungsional.

Saran

Daya terima bubur instan masih kurang disukai daripada produk bubur instan pada umumnya sehingga diharapkan terdapat penelitian lanjutan untuk meingkatkan daya terima bubur instan berbasis pati singkong resisten tanpa mengurangi efek fisiologis pati resistennya. Produk bubur instan berbasis pati pati singkong resisten melalui proses pengulangan siklus perlu ditingkatkan agar pati resisten yang dihasilkan semakin meningkat. Pati modifikasi singkong (pati resisten) tidak hanya bisa dibuat menjadi bubur, tetapi juga sereal dan krakers.

DAFTAR PUSTAKA

Aliawati G. 2003. Tehnik analisis kadar amilosa dalam beras. Buletin Teknik Pertanian 8 (2):82-84.

Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Andarwulan N dan Adawiyah. 1992. Bahan Pengajaran Teknologi Emulsi. Pusat

Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Anggraini RW. 2007. Resistant Starch tipe III dan tipe IV pati ganyong (Canna

edulis), kentang (Solanum tuberosum), dan kimpul (Xanthosoma

violaceum Schott) sebagai prebiotik [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Apriyantono A, Fardiaz D, Nilen P, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: IPB Press.

[AOAC] Association of Official Agricultural Chemist. 1995. Official Methods of Analysis of the Association Analytical. Chemist. Inc., Washington D.C. ___________________________________________.2006. Official Methods of

Analysis of the Association Analytical Chemist. Chemist. Inc., Washington D.C.

Bao J, Bregman CJ. 2004. The funcsionality of rice starch. Di dalam: Elliason AC, editor. Starch in food: Structure, Function and Application. Cambridge, England: Woodheat Publishing, CRC Press.

Belitz HD dan Grosch W. 1987. Food Chemistry. Springer-Verlag Berlin Heidebers, New York.

Bender DA. 2003. Introduction Nutrition and Metabolism. London: Taylor & Francais.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Singkong solusi bangsa. www.bps.go.id. [17 Oktober 2010].

[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2007. Angka Label Gizi. Jakarta: Direktorat Standarisasi Produk Pangan.

Brannen AL, Michael PD, Salminen S. 1990. Food Additives. New York and Basel: Mercel Dekker Inc.

Brennann JG. 1974. Food Engineering Operations. Applied sciences Publ. Ltd., London.

Champ M, L Marti, L Noah, and M Gratas.1999. Analytical methods for resistant starch. In Complex Carbohydrates in Food, edited by SS Cho, L Prosky and M Dreher. Marcel Dekker Inc:New York(169-187). Ed: Kamp JW, Asp NG, Jones JM, Schaafsma G. 2004. Dietary Fiber (bio active

carbohydrates for food and feed. Netherlands: Weageningen Academic Publishers.

Chan HT,JR. 1983. Handbook Of Tropical Foods. Marcel Dekker Inc, New York and Bassel.

Charles Al, Chang YH, KO, WC, Sriroth K, dan Huang TC. 2005. Influence of amylopectin structure and amylase content on gelling properties of five cultivars of cassava starches. Journal of Agriculture Food Chemistry Vol53:2717-2725.

Cui SW. 2005. Food Carbohidrat Chemistry, Physical Propertis, and Aplicatin. CRC Press, Boca Raton, London, New York, Singapore, Departemen Kesehatan. 2009. Tahun 2030 Prevalensi diabetes mellitus di Indonesia mencapai 21,3 juta orang. www.Kementerian Kesehatan.go.id. [17 Oktober 2010].

Elmsthal HL. 2002. Resistant starch content in a selection of starchy foods on the Swedish market. European J of clinical Nutrition 56:500-505.

Englyst HN, SM Kingman, JH Cummings. 1992 Classifications and measurements of nutritionally important starch fractions. Europe Journal Clinical Nutrition 46(S2) S33-S39.Ed: Kamp JW, Asp NG, Jones JM, Schaafsma G. 2004. Dietary Fiber (bio active carbohydrates for food and feed. Netherlands: Weageningen Academic Publishers.

Fatmawati S. 2004. Formulasi bubur bayi berprotein tinggi dan kaya antioksidan dari tepung kecambah kacang tunggak (Vigna unguiculata) untuk makanan pendamping ASI [skripsi], Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Fellow PJ and Ellis.1992. Food Processing Technology: Principles and Practice. England: Ellis Horwood.

________. 2000. Food Processing Technology: Principle and Practice. Ed ke-2. England: Woodhea Publishing Ltd.

Fernando. 2008. Penggunaan Media Filtran dalam Upaya Mengurangi Beban Cemaran Limbah Cair Industri Kecil Tapioka [skripsi], Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Furia TE. 1990. Handbook of Food Additives. Ohio: The Chemical Rubber, CO. Gaman PM, Sherington KB. 1992. Ilmu Pangan: Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi,

dan Mikrobiologi. Yogyakarta: UGM Press.

Grenby TH. 1983. Nutritive Sukrose Subtitues and Dental Health. In: Development in sweeteners, vol 2; Grenby, T. Parker, K Lindley, M (eds) Applied Science Publisher; p 51-88.

Haralampu SG. 2000. Resistant Starch: A review of the physical properties and biological impact of RS 3. J of Carbohydrate Polymers 41: 445-450.

Hendy. 2007. Formulasi bubur instan berbasis singkong (Manihot esculenta Crantz) sebagai pangan pokok alternatif [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Higgins JA. 2004. Resistant starch:Metabolic effects and potential health benefits. J of AOAC International 87(3):761-768.

Hijova E and A Chmelarova. 2007. Short Chain Fatty Acids and Colonic Healts. Slovakia Bratish Lek Listy 108 (8): 354-358.

Juliana R. 2007. Resistant Starch Tipe III dan Tipe IV Pati SIngkong (Manihot esculenta Crantz). Suweg (Amorphallus campanulatus), dan Ubi Jalar (lpomoea batatas L.) Sebagai Prebiotik [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press.

Kim, SK, JE, Kwak, WK Kim. 2003. A simple method for estimation of enzyme- resistant starch content. Journal of Starch 55: 336-368.

Koswara S .1995. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadi Makanan Bermutu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kusumah D. Potensi pemanfaatan tempe kedelai dalam pembuatan bubur instan untuk diabetisi dengan komplikasi gangrene [Skripsi] Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Lehmann U, Jacobasch G, Schmiedl D. 2003. Characterization of resistant starch type II from banana (Musa acuminate). J of Agricultural and Food

Chemistry 50:5236-5240

Liu H, Corke H, dan Ramsden L. 2000. The effect of autoclavingon the acetylation of ae,wx, and normal Maize Starches. J Starch 52: 353-360. Matz SA and Matz TD. 1978. Cookie and Cracker Technology. Westport: Avy

Publishing Company.

Moehyi S. 1992. Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga. Jakarta: Bhratara.

Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1992. Metode kimia, biokimia, dan biologi dalam evaluasi nilai gizi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.

. 1992. Enzim dalam industri Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Muchtadi TR dan Sugiyono. 1992. Penuntun praktikum ilmu pengetahuan bahan

Mulyandari SH. 1992. Kajian perbandingan sifat-sifat pati umbi-umbian dan pati biji-bijian [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Nielsen SS. 2003. Food Analysis. Purdue University: Plenum Publisher

Pangestuti BD. 2010. Karakterisasi Tapioka dari Beberapa Varietas Ubi Kayu [skripsi], Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Parker R. 2003. Introduction of Food Science. New York: Delmar, Thomson

Learning.

Perdana. 2003. Dampak Penerapan ISO 9001 terhadap peningkatan mutu berkesinambungan pada proses produksi bubur bayi instan di PT. Gizindo Prima Nusantara [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Prangdimurti E, Palupi NS, Zakaria FR. 2007. Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Pratiwi R. 2008. Modifikasi pati garut (Marantha arundidinaceae) dengan perlakuan siklus pemanasan suhu tinggi-pendinginan (autoclaving-cooling cycling) untuk menghasilkan pati resisten tipe III [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Rahayu WP. 1998. Penuntun Praktikum Organoleptik. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.

Raja MKC dan Shindu P. 2000. Properties of starch treated arrowroot (Marantha arundinacea). J of Starch 52: 471-476

Satriawan E. 2010. Pengaruh metode heat moisture treatment (HMT) terhadap kandungan pati resisten tipe 3 dan daya cerna pati sagu [skripsi]. Bogor:, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Sajilata MG, Rekha SS, Puspha RK. 2006. Resistant starch-a review. J

Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety 6: 1-13.

Sardesai VM.2003. Introduction of Clinical Nutrition. Ed ke-2. New York: Marcel Dekker Inc.

Setyaningsih D, Apriyantono A, Sari M) .2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. Bogor: IPB Press.

Shin S, Byun J, Park KW, Moon TW. 2004. Effect of partial acid and heat moisture treatment of formation of resistant tuber starch. J Cereal Chemistry 81 (2): 194-198.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Tapioka. Di dalam: Widowati S. 2000. Potensi dan pembinaan masyarakat dalam pendayagunaan bahan pangan lokal untuk meningkatkan ketahanan pangan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Palawija. Jakarta.

____________________________. 1994. SNI: 01-3451-1994. Tapioka. Jakarta: Dewan Standar Nasional Indonesia.

Suprapti ML. 2005. Tepung Tapioka (Pembuatan dan Pemanfaatannya). Kanisus: Yogyakarta.

Tharanathan RN dan Mahadevamma S. 2003. Grain legumes: A boon to human nutrition. Trends in Food Science and Technology 14: 507-518.

[USDA] United States Department of Agriculture. 2010. Nutrient Data Laboratory.

http://www.nal.usda.gov[15 Maret 2011]

Wahyu MK. 2008. Pemanfaatan pati singkong sebagai bahan baku edible film. Bogor: Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Jurusan Teknologi Industri Pangan.

Wardlaw GM.1999. Perspective in Nutrition. Ed ke-4. Boston: McGraw-Hill. Winarno. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama

Washuttl S, Rieclerer P, Bancher E. 1973. Qualitative and Quantitative Study of Sugar Alcohols ini Several Foods. J Food Scl 38:1262-1267.

[WKNPG] Widiakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Zabar S, Shimoni E, Peled HB. 2008. Development of nanostructure in resistant starch type III during thermal treatments and cycling. J macromol Bioscience 8: 163-170.

Zaragoza EF, Navarrete MJ. R, Zapata ES, and Alvarez JA.P. 2010. Resistant Starch as functional ingredient: A review. J of Food Research International 43:931-942.

Lampiran 1 Prosedur analisis karakteristik fisikokimia 1.Rendemen

Penghitungan rendemen menggunakan metode gravimetrik Rendemen = x 100%

X = bobot produk bubur pati resisten singkong (g) Y = bobot singkong utuh (g)

2. Densitas Kamba

Sampel dituangkan ke dalam gelas ukur yang telah diketahui berat dan volumenya, kemudian diratakan 1 gram sampel sehingga volume dan berat sampel dalam gelas ukur dapat dilihat.

Densitas Kamba=

3.Pengamatan struktur mikroskopik granula pati

Pengamatan struktur mikroskopik granula pati terdiri dari bentuk dan ukuran granula pati. Bentuk dan ukuran granula pati dilihat dengan cara menyiapkan suspense contoh pati resisten singkong di dalam tabung reaksi yang diencerkan dengan air. Preparat dibuat pada gelas preparat, diamati struktur granula pati di bawah mikroskop polarisasi cahaya pada pembesaran 200x hingga 400 X. Sketsa granula pati resisten singkong digambar.

4.Uji gelatinisasi pati Brabender Amilograph

Bahan dimasukkan dalam Brabender Amilograph dan diatur suhunya 30ºC. Pena indikator diletakkan pada garis yang tepat kemudian dibersihkan indikato kaca dengan lap basah. Alat dinyalakan dengan menekan tombol on kemudian diamati grafik yang terbentuk karena kenaikan suhu.

Lampiran 2 Prosedur analisis karakteristik kimia 1.Kadar Pati total metode Luff Schorl (AOAC 1995)

Sampel ditimbang sebanyak 3 gram, kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dan ditambahkan larutan HCl 3% dan batu didih. Selanjutnya, hubungkan dengan kondensor dan didihkan selama 3 jam dan dinetralkan dengan NaOH 0,4 N kemudian ditambahkan 1 ml asam asetat pekat. Dimasukkan ke dalam labu ukur 250 atau 500 ml dan tepatkan sampai tanda tera. Disaring dengan penyaring berlipat kering, lalu dipipet 10 ml residu ke dalam Erlenmeyer 300 ml. Ditambahkan 25 ml larutan luff, 15 ml air dan beberapa batu didih. Hubungkan dengan kondensor dan didihkan selama 10

menit tepat. Ditambahkan 10 ml larutan KI 30% dan 25 ml H2SO4 4 N. Proses terakhir adalah mentiter dengan larutan Tio 0,1 N dan sebagai indikator digunakan larutan kanji (missal a ml). Blanko dikerjakan dengan menggunakan 25 ml larutan luff dan 10 ml air destilata (misalnya b ml). Dihitung kadar pati sebagai berikut:

Pengubahan menjadi jumlah ml tio 0,1 N

Z ml tio 0,1 N pada daftar ekuivalen dengan y mg glukosa Kadar pati =

2.Kadar Amilosa (IRRI 1978 dalam Apriyantono et al. 1989)

Standar amilosa dibuat dengan cara memasukan 40 mg amilosa murni ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml larutan NaOH 1 N. Tabung reaksi dipanaskan dalam penangas air suhu 95˚C selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan gel pati dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar 100 ml, lalu tepatkan sampai tanda tera. Larutan stok dipipet 1, 2, 3, 4, dan 5 ml dipindahkan masing-masing ke dalam labu takar 100 ml, tambahkan 0.2, 0.4, 0.6, 0.8 dan 1.0 ml larutan asetat 1 N. Selanjutnya ditambahkan 2 ml larutan iod (0.2 I2 dan 2 g KI dilarutkan ke dalam 100 ml air destilata) ke dalam setiap labu lalu tepatkan sampai 100 ml dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kurva standar merupakan hubungan antara kadar amilosa dengan absorbansinya.

Sebanyak 100 mg sampel pati dimasukan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan larutan etanol 95% dan 9 ml larutan NaOH 1 N. Tabung reaksi dipanaskan pada suhu 95˚C selama 10 menit. Setelah didinginkan larutan gel pati dipindahkan secara kuantitatif dan ditepatkan dengan air destilata sampai tanda tera. Dipipet 5 ml larutan gel ke dalam labu takar 100 ml, ditambahkan 1 ml larutan asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod. Kemudian ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Blanko dibuat dengan memipet 5 ml akuades ke dalam labu takar 100 ml, yang ditambahkan 1 ml larutan asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod, kemudian ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.

3.Pati resisten (Kim et al. 2003)

Sebanyak 0.5 g sampel pati dilarutkan dengan 25 ml buffer fosfat 0.08 M (pH 6.0) dalam gelas piala 250 ml, lalu ditutup dengan aluminium foil, kemudian ditambahkan 0.05 ml enzim termamyl, dan campuran diinkubasi dalam penangas air suhu 95oC selama 15 menit dengan diaduk lembut selama 5 menit sekali. Setelah didinginkan sampai suhu ruang, pH campuran diatur hingga 7.5 dengan 5 ml larutan NaOH 0.275 N dan ditambahkan 0.05 ml enzim protease (40 mg protease/50 ml buffer fosfat pH 6), lalu diinkubasi dalam penangas air bergoyang dengan suhu 60oC selama 30 menit. Setelah didinginkan sampai suhu ruang, pH campuran diturunkan menjadi 4.3 dengan penambahan 5 ml larutan HCl 0.325 N, lalu ditambahkan 0.05 ml enzim amiloglukosidase, dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 60oC selama 30 menit.

Setelah inkubasi selesai, ditambahkan empat bagian etanol 95% dan campuran didiamkan selama satu malam pada suhu ruang. Endapan disaring dengan kertas saring Whitman 40. Residu yang tertinggal dicuci dengan 20 ml etanol 78% sebanyak tiga kali, lalu dengan 10 ml etanol murni sebanyak dua kali. Residu tersebut dikeringkan dalam oven bersuhu 40oC. Kadar pati resisten dihitung dengan cara membandingkan bobot residu dengan bobot sampel dikalikan 100.

Kadar RS (%) =

4. Daya cerna pati in vitro (Muchtadi et al. 1992)

Sebanyak sampel setara 1 g pati dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan dengan 100 ml air destilata. Wadah ditutup dengan aluminium foil dan dipanaskan dalam waterbath hingga mencapai suhu 90oC tercapai, sampel segera diangkat dan didinginkan. Larutan tersebut dipipet sebanyak 2 ml ke dalam tabung reaksi tertutup, lalu ditambahkan 3 ml air destilata dan 5 ml buffer phosphate pH 7. Masing-masing sampel dibuat dua kali, salah satunya sebagai blanko. Tabung ditutup dan diinkubasi pada suhu 37˚C selama 15 menit. Larutan diangkat dan ditambahkan 5 ml larutan enzim α- amilase (1 mg/ml dalam buffer fosfat) untuk sampel dan 5 ml buffer phosfat pH 7 untuk blanko sampel. Inkubasi dilanjutkan selama 30 menit.

Sebanyak 1 ml campuran hasil inkubasi dipindahkan ke dalam tabung reaksi bertutup berisi 2 ml larutan DNS (0.3 g 1 asam dinitrosalisilat, 9 g NaK- Tartarat, 0.5 g NaOH). Larutan dipanaskan dalam larutan air mendidih selama 12

menit, kemudian segera didinginkan dengan air mengalir. Larutan ditambahkan 10 ml air destilata dan divorteks. Larutan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Kurva standar diperoleh dari 1 ml larutan yang mengandung 0.0, 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 mg larutan maltose murni yang dimasukan ke dalam tabung reaksi bertutup, kemudian ditambahkan masing-masing 2 ml larutan DNS. Larutan dipanaskan dalam air mendidih selama 12 menit, kemudian didinginkan dengan air mengalir. Larutan ditambahkan 10 ml air destilata dan dibuat homogen menggunakan vortek, diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm.

Daya Cerna Pati= x 100% A= kadar maltose sampel

a= kadar maltose blanko sampel B= kadar maltose pati murni

b= kadar maltose blanko pati murni

Lampiran 3 Prosedur analisis kandungan gizi 1. Kadar Air Metode Oven (AOAC 1995)

Kadar air diukur dengan metode oven biasa, sampel tidak terdegradasi pada suhu 100oC. Cawan aluminum kosong dikeringkan dalam oven suhu105oC selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator selama 5 menit atau sampai tidak panas lagi. Cawan ditimbang dan dicatat beratnya. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram di dalam cawan tersebut, sampel dikeringkan dengan oven sampai beratnya konstan (perubahan berat tidak lebih dari 0.003 g). Setelah itu cawan didinginkan di dalam desikator. Ditimbang berat akhirnya. Dihitung kadar air dengan persamaan sebagai berikut:

Kadar air (%b/b) =

x= berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan (g), a= berat cawan kosong (g), dan y= berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (g).

2.Kadar Abu metode Pengabuan Kering (AOAC 2006)

Sampel yang akan dianalisis ditimbang sebanyak 1-2 gram lalu dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Cawan berisi sampel diarangkan di atas nyala pembakar lalu diabukan dalam tanur listrik pada suhu maksimal 550oC sampai pengabuan sempurna (berwarna putih dan tidak mengeluarkan asap lagi). Cawan berisi abu sampel

dikeluarkan lalu didinginkan dalam desikator. Cawan berisi abu sampel kemudian ditimbang bobotnya. Kadar abu sampel diukur:

Kadar abu =

X = bobot cawan sampel setelah diabukan (g) Y = bobot sampel sebelum dikeringkan (g) Z = bobot cawan kosong (g)

3.Kadar Protein Metode Semi Mikro Kjedahl (AOAC1995)

Bahan ditimbang kira-kira 0,1-0,5 gram menurut besarnya kandungan protein, bahan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam labu kjedahl, ditambahkan 0,5 gram selenium mix dan 7 ml H2SO4 pekat. Sampel didekstruksi hingga diperoleh larutan berwarna jernih dan uap SO2 hilang. Hasil dekstruksi ditambahkan akuades dan dimasukkan ke dalam labu destilasi kemudian ditambahkan NaOH ke dalam labu dan dilakukan destilasi . Destilat ditampung dalam 20 ml larutan asam borat 3% lalu dititrasi dengan HCl standar (indikator metal merah biru).

% Protein =

fk = faktor konversi fp = fakor pengenceran

4.Kadar Lemak Metode Ekstraksi Langsung Soxhlet (AOAC1995)

Sampel yang akan dianalisis ditimbang sebanyak 1-2 gram lalu dimasukkan ke dalam selongsong kertas yang dialasi dengan kapas. Bagian atas selongsong kertas yang telah diisi sampel juga disumbat dengan kapas lalu dikeringkan dalam oven pada suhu tidak lebih dari 80oC selama lebih kurang 1 jam. Selongsong kemudian dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah dikeringkan dan telah diketahui bobotnya. Sampel diekstrak dengan heksana atau pelarut lemak

Dokumen terkait