• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEPARTEMEN IKA RSMH

Dalam dokumen PPK AKI (Halaman 52-57)

Riwayat ISK Riwayat makan jengkol

DEPARTEMEN IKA RSMH

PALEMBANG

NEFRITIS LUPUS (SLE) KODE ICD: N80.5 No.Dokumen No. Revisi

Halaman: Panduan Praktek Klinis Tanggal revisi 25 Juni 2011 Ditetapkan oleh,

Dr. Dahler Bahrun, SpA(K) Definisi

Etiologi Patogenesis Anamnesis Pemeriksaan fisik

Kriteria diagnosis 1) Ruam kupu-kupu di muka 2) Ruam discoid di kulit 3) Fotosensitif

4) Ulserasi uro dan nasofating 5) Arthritis tanpa deformitas 6) Pleuritis atau perikarditis

7) Kelainan ginjal (proteinuria > 0,5 g,/hari atau +++, selinder seluler, sel darah merah/Hb/granuler/tubuler) 8) Kelainan neurologik: kejang atau psikosis.

9) Kelainan hematogik: anemia hemolitik dengan retikulositosis atau lekopenia atau limfopenia atau trombositopenia.

10) Kelainan imunologik: sel LE positif atau titer abnormal anti DNA terhadap DNA tubuh atau anti SM positif atau uji serologis sifilis positif palsu dalam 6 bulan terakhir

11) Pemeriksaan antibodi antinuklear positif.

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan > 4 dari 11 kriteria di atas yang salah satunya merupakan tanda nefritis (kelainan pada ginjal).

Pemeriksaan penunjang

Tatalaksana 1. Kortikosteroid

Sangat berguna untuk mengontrol manifestasi inflamasi akut LES. Penggunaan kortikosteroid mungkin secara adekuat dapat mengobati NL yang ringan dengan risiko rendah atau disfungsi ginjal yang progresif seperti NL mesangial, NL proliferatif fokal dini atau NL membranosa.

Glukokortikoid yang biasa dipakai adalah prednison atau metilprednisolon, yang masih merupakan terapi imunosupresif yang efektif dan bekerja secara cepat untuk episode awal dan rekurensi dari penyakit ginjal yang aktif. Obat ini digunakan sebagai imunosuopresif pada pengobatan gangguan autoimun. Aktivitasnya dengan melawan peningkatan premeabilitas kapiler dan menekan aktivitas PMN.

Prednison dengan dosis awal 60 mg/m2/hari atau 2 mg/kgbb (maksimum 80 mg/hari) dengan dosis terbagi ( 3 kali sehari) diberikan sampai terdapat perbaikan klinis (remisi) yang bisa dilihat dari menurunnya derajat proteinuria (<1 gr/hari atau +), berkurangnya hematuria (< 10/LPB), mambaiknya fungsi ginajl, normalisasi komplemen darah dan penurunan titer anti –ds DNA. Pemberian dosis penuh biasanya berlangsung 4-6 minggu, kemudian dosis diturunkan perlahan-lahan. Penurunan dosis secara cepat biasanya mengakibatkan rekurensi dari aktivitas penyakit. Mula-mula prednison atau sejenisnya dikurangi 5-10 mg dari dosis awal dengan pemberian dosis tunggal pada pagi hari setiap hari selama 4-6 minggu. Selanjutnya dosis diturunkan lagi 5-10 mg dari dosis sebelumnya setiap 4 minggu dengan pemberian selang sehari secara tunggal pada pagi hari sampai mencapai 5-10 mg/hari (0,1-0,2mg/kgbb/hari) dan dipertahankan 1-2 tahun baru dipertimbangkan untuk dihentikan. Tujuan dari diturunkan dosis secara perlahan adalah utnuk mengurangi efek toksisitas dari steroid. Bila timbul relaps dosis dinaikkan lagi menjadi 60mg/m2/hari.

Pada NL berat yaitu penurunan fungsi ginjal yang progresif serta dari gambaran biopsi ginjal memperlihatkan glomerulonefritis proliferatif difusa dan kresen epitelial,

dianjurkan pemberian terapi pulse dengan metil prednisolon intravena dengan dosis 15mg/kgbb (10-30 mg/kgbb) secar infus dalam 50-100 ml glukosa 5% selama 30-60 menit. Pemberian terapi pulse dapat diulang setiap hari atau selang sehari selama 3-6 hari dilanjutkan dengan pemberian prednison atau prednisolon oral dengan dosis 0,5mg/kgbb/hari selama 4 minggu kemudian dosisnya diturunkan 5 mg setiap minggunya dengan pemberian selang sehari sampai mencapai dosis minimum untuk mengontrol penyakit ekstra renal yang disertai flare yang berat, diperbolehkan untuk pemberian predni(solon)son 1 mg/kgbb/hari selama 2 minggu. Tekanan darah diukur secara ketat dan dipertahankan dalam rentang 110-130/70-85 dengan obat-obatan anti hipertensi.

Problem utama dengan pengobatan steroid adalah toksisitasnya yang dihubungkan penggunaannya yang lama yang dapat menimbulkan katarak, glaukoma, hipertensi, osteoporosis, aterosklerosis, avaskular nekrosis, striae kulit, fragilitas kapiler yang dihubungkan dengan ekimosis, penampilan cushinoid, insomnia, agitasi, gangguan ansietas dan risiko infeksi.

2. Obat sitostatika

Siklofosfamid dan azatioprin adalah obat yang sering dipakai pada lesi ginjal yang agresif (seperti NL proliferatif fokal, NL proliferatif difus). Pengobatan dengan sitostatika dipakai dalam kombinasi dengan kortikosteroid. Pada beberapa penelitian mikofenalat mofetil telah menunjukkan hasil yang efektif untuk pengobatan NL.

Obat imunosupresan sebagai tambahan kortikosteroid diindikasikan pada pasien yang tidak respon dengan kortikosteroid saja yang tidak dapat menerima toksisitas kortikosteroid, fungsi ginjal yang buruk, lesi proliferatif yang berat atau yang terbukti sklerosing pada pemeriksaan biopsi ginjal.

2.1.Siklofosfamid

Diindikasikan pada pengobatan pasien yang sebagian besar menunjukan gambaran NL proliferatif fokal atau NL proliferatif difus. Walaupun secara bermakna menimbulkan toksisitas tetapi telah ditunjukkan oleh berbagai penelitian dapat mencegah progresivitas nefritis dan memperbaiki outcome ginjal.

Sebagai alkilating agent mekanisme kerja dari metabolit aktif siklofosfamid akan mempengaruhi crosslinking DNA yang akan mempengaruhi pertumbuhan sel-sel normal dan neoplasma.

Siklofosfamid dapat dipakai secara oral dengan dosis 2 mg/kgbb/hari tetapi akhir-akhir ini lebih dianjurkan parenteral yaitu obat siklofosfamid dengan cara terapi pulse yaitu dengan pembarian bolus intravena 0,5-1gr/m2 secara infus selama 1 jam. Sebaiknya dikombinasikan dengan MESNA (2-merkaptopurin-etanesulfon). Pemberian mesna disulfida dapat menginaktifkan metabolit aktif dari siklofosfamid yang dapat menyebabkan iritasi pada kandung kemih (sistitis hemoragik).

Austin dkk (1986) menganjurkan pemberian pulse siklofosfamid tiap 3 bulan selama 4 tahun atau 18 bulan setelah terjadi remisi. Lehman dkk (1989) melaporkan dengan hasil yang baik dengan pemberian pulse siklofosfamid sekali sebulan selama 6-12 bulan dengan hasil perbaikan fungsi ginajal pada NL proliferati difus. Dosis yang dipakai adalah 500mg/m2 pada bulan pertama, 750 mg/m2

pada bulan kedua selanjutnya 1 gram/m2 (dosis maksimal 40 mg/kgbb). Pada pasien dengan kelainan fungsi ginjal atau hepar hanya dipakai dosis 500 mg/m2. bila jumlah leukosit <2x109/L dosis tidak boleh dinaikkan dan bila 1x 109 dosis diturunkan 125mg/m2. Obat diberikan satu kali sebulan selam 7 bulan, dilanjutkan dengan tiap tiga bulan sampai selama 36 bulan. Bila terjadi peningkatan aktivitas penyakit, obat diberikan tiap bulan lagi selama 3 bulan. Pemberian siklofosfamid pulse dilaporkan memberikan efek samping yang kurang daripada oral yang diberikan tiap hari. Selama pengobatan ini dosis kortikosteroid diturunkan bertahap sampai 0,25 mg/kgbb/hari dan dipertahankan selama tiga tahun baru dosis diturunkan.

Selama pemakaian sikofosfamid dilakukan pemeriksaan hemoglobin, leukosit, trombosit tiap minggu. Efek samping yang dapat timbul adalah toksisitas seperti muntah, lekopenia, trombositopenia, anemia, infeksi, alopesia, sistitis hemoragik, infertilitas, teratogenik dan risiko terjadinya keganasan.

2.2. Azatioprin

Azatioprin berguna untuk NL yang moderat sampai berat. Obat ini bekerja dengan cara mengantagonis metabolisme

purin dan menghambat sintesis DNA, RNA dan protein. Hal ini mungkin menurunkan proliferasi sel-sel imun yang akan mengakibatkan aktivitas autoimun yang lebih rendah.

Walaupun obat ini dapat memperbaiki outcome ginjal tetapi tidak seefektif siklofosfamid walaupun kurang toksik. Dosis yang digunakan adalah 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal atau terbagi. Dosis awal 1mg/kgbb/hari kemudian dosis ditingkatkan tergantung dari respon klinisdan hematologi. Efek sampingnya adalah mual dan muntah, leukopenia, trombositopenia, anemia, infeksi dan abnormalitas fungsi hati.

2.3. Siklosporin

Siklosporin dapat digunakan untuk mengobati NL. Basis penggunaannya berhubungan dengan produksi limfokin yang diproduksi oleh aktivasi limfosit T. Dengan menghambat produksi interleukin-2, rekruitmen sel T sitotoksik dihentikan mengurangi respon inflamsi dan mempresipitasi pengendapan kompleks imun di ginjal. Pada individu dengan NL berat, penggunan siklosporin bersama dengan kortikosteroid, telah ditunjukan untuk mengurangi proteinuria dan menstabilisasi fungsi ginjal.

3. Plasma exchange

Walaupun terdapat korelasi yang jelas tentang plasma exchange pada lupus, tetapi pada beberapa penelitian pada NL belum jelas. Pada penelitian uji terkontrol menunjukkan tidak ada manfaat dengan penambahan 3 kali seminggu plasma exchange selama kombinasi dengan terapi sitostatik dan dengan terapi kortikosteroid. Pada penelitian lainnya menunjukkan tidak ada manfaatnya ketika pemberian siklofosfamid iv bersama dengan plasma exchange untuk mengurangi rebound antibody

4.Imunoglobulin intravena

Dosis tinggi imnoglobulin intravena digunakan untuk LES khususnya jika dijumpai adanya trombositopenia. Belum ada peneliti yang melaporkan penggunaannya pada NL anak. Imunoglobulin intravena dihubungkan dengan terjadinya gagal ginjal akut dan penggunaannya pada individu dengan insufisiensi ginjal terbatas.

Edukasi Komplikasi Prognosis Lain-lain (algoritma, protokol, prosedur, standing order) Referensi :

1. Husein Alatas, Nefritis Lupus. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002:366-380

DEPARTEMEN IKA

Dalam dokumen PPK AKI (Halaman 52-57)

Dokumen terkait