• Tidak ada hasil yang ditemukan

Derajat Kesehatan Masyarakat

3.2 Kondisi Kesehatan

3.2.2 Derajat Kesehatan Masyarakat

Selain dari sarana kesehatan, derajat kesehatan masyarakat juga dijadikan sebagai indikator untuk melihat indeks pembangunan manusia dibidang kesehatan mengingat manusia sebagai objek dari pem-bangunan itu sendiri. Pempem-bangunan bidang kesehatan antara lain bertujuan untuk meningkatkan pela-yanan kesehatan untuk semua lapisan masyarakat (universal akses) demi tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik. Objek yang dijadikan perhatian dalam pembangunan di bidang kesehatan salah satunya adalah kesehatan pada balita. Keberhasilan dalam meningkatkan tingkat kesehatan pada balita dapat dilihat dari tingkat kematian bayi, penolong kelahiran, dan imunisasi pada balita.

Tingkat pesakitan atau banyaknya keluhan kesehatan menunjukkan seberapa besar kebutuhan pela-yanan kesehatan pada masyarakat. Semakin banyak keluhan kesehatan yang terjadi dalam masyarakat maka tingkat kesehatan masyarakat semakin rendah. Kesehatan pada masyarakat juga dipengaruhi oleh pola hidup sehat yang dilakukan. Salah satunya adalah sistem sanitasi dalam masyarakat. Penggunaan air bersih dan sistem pembuangan tinja dianggap sebagai hal yang perlu diperhatikan.

Penolong Kelahiran

Indikator penting terkait dengan kesehatan adalah angka kematian bayi. Angka kematian bayi ber-pengaruh kepada penghitungan angka harapan hidup waktu lahir (e0) yang digunakan dalam salah satu dimensi pada indeks komposit penyusun indeks pembangunan manusia ditilik dari sisi kesehatan. Se-mentara itu salah satu aspek penentu besarnya angka kematian bayi adalah penolong kelahiran. Peno-long kelahiran sebenarnya tidak hanya terkait dengan angka kematian bayi namun juga angka kematian ibu sebagai resiko proses kelahiran. Dalam proses kelahiran bayi tidak dapat dipisahkan antara probabili-ta keselamaprobabili-tan ibu aprobabili-tau anak yang dilahirkan. Keduanya harus diselamatkan dalam resiko besar sebuah kelahiran. Penolong kelahiran yang dilakukan oleh dokter atau tenaga medis lainnya selama ini dianggap lebih baik jika dibandingkan dengan dukun atau famili. Dalam analisis ini digunakan penolong pertama pada kelahiran mengingat pada proses ini sangat mengandung resiko. Tabel 3.5 menunjukkan bahwa 51,84 persen penolong kelahiran balita dilakukan oleh bidan, kondisi ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 45,89 persen. Sementara penolong kelahiran tenaga medis lain sebesar 3,64 persen atau mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2013 sebesar 2,62 persen. Penolong kelahiran oleh dokter juga mengalami peningkatan 1,04 persen menjadi 17,80 persen di tahun 2015. Secara umum masyarakat masih dominan (lebih dari dua per tiga) dalam menggunakan jasa tenaga kesehatan terlatih dibandingkan dengan penolong kelahiran tidak terlatih.

Fenomena penolong kelahiran dengan bantuan dukun secara umum memang masih terjadi, dan pa-da beberapa Kecamatan. Di Kabupaten Gunungkidul, apa-da 2,43 persen masyarakatnya masih menggunakan jasa dukun beranak dalam menolong proses persalinan terakhirnya. Sedangkan sebagian besar masyarakat di Gunungkidul sudah mengggunakan tenaga medis dalam menolong kelahiran tera-khirnya yaitu sebesar 97,57 persen dengan rincian 52,84 persen oleh bidan; 41,87 persen oleh dokter kandungan, dan 2,86 persen oleh perawat.

Tabel 3.4 menunjukkan bahwa penolong kelahiran pertama di Gunungkidul paling utama dilakukan oleh bidan. Selain mayoritas proses persalinan tertangani oleh bidan, dominasi penolong kelahiran oleh tenaga kesehatan terlatih (dokter, bidan, dan tenaga kesehatan lainnya) masih terlihat, ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat untuk menggunakan jasa tenaga kesehatan terlatih masih baik, sehing-ga resiko kematian bayi maupun ibu dapat ditekan, dan tentunya akan menurunkan angka kematian bayi dan angka kematian ibu.

Imunisasi

Angka kematian bayi sangat berhubungan erat dengan proses kelahiran, setelah itu masih banyak tahap yang harus dilalui seseorang untuk tetap survive terutama selama tahap usia balita. Untuk menja-min kesehatan balitayang rentan dengan ancaman penyakit, sangat perlu diberikan imunisasi agar keke-balan pada tubuh balita dapat terbentuk. Imunisasi yang diberikan pada balita diantaranya adalah imunisasi BCG, DPT, Polio, Campak/Morbili, dan Hepatitis B. Pemberian imunisasi sebagai salah satu cara untuk mencegah terserang penyakit dan atau menyebabkan kematian. Tabel 3.5 menunjukkan bah-wa di tahun 2015, persentase balita yang mendapatkan imunisasi cukup tinggi untuk semua jenis

Gambar 3.5

Persentase Tenaga Penolong Kelahiran Terakhir di Kabupaten Gunungkidul Tahun 2015

imunisasi yaitu BCG (100 %); DPT (94,64 %); Polio (99,05 %); Campak /Morbili (88,51 %); dan sebanyak 89,88 persen imunisasi Hepatitis B.

Tingkat kesadaran tertinggi terdapat pada jenis imuniasi BCG, sedangkan kesadaran imunisasi ter-endah adalah pada jenis penggunaan imunisasi campak/morbili. Kesadaran dalam mengimunisasi balita sangat penting perannya dalam tumbuh kembang balita. Sebenarnya tidak hanya kesadaran dalam mengimunisasi balita saja yang harus diperhatikan oleh para orang tua, namun juga imunisasi dasar lengkap harus dilakukan.

Imunisasi dasar lengkap adalah pemberian lima vaksin imunisasi sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan untuk bayi dibawah satu tahun. Imunisasi lengkap tersebut yaitu: (1) Hepatitis-B, umur pem-berian kurang dari 7 hari sebanyak satu kali; (2) BCG, umur pempem-berian satu bulan sebanyak satu kali; (3) DPT, umur pemberian dua bulan, tiga bulan, dan empat bulan sebanyak 3 kali; (4) Polio, umur pemberian satu, dua, tiga, dan empat bulan sebanyak empat kali; (5) Campak, umur pemberian sembilan bulan sebanyak satu kali.

Perlu diketahui bahwa informasi pada tabel ini tidak dapat menampilkan apakah balita yang ber-sangkutan telah mendapatkan imunisasi secara lengkap, tetapi hanya menampilkan balita yang telah mendapatkan imunisasi. Pemahaman masyarakat tentang pemberian imunisasi lengkap perlu terus diga-lakkan agar tidak hanya sekedar diberikan imunisasi tetapi imunisasi dasar lengkap.

Tabel 3.6

Persentase Penggunaan Imunisasi Pada Balita di Kabupaten Gunungkidul Tahun 2015 Sumber : Susenas 2015 0 20 40 60 80 100 BCG Polio DPT HB Campak 100 99.05 94.64 89.88 88.51

Morbiditas/ Tingkat Pesakitan

Salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi kesehatan masyarakat dalam suatu wilayah adalah angka kesakitan penduduk dan rata-rata lamanya sakit. Angka kesakitan penduduk merupakan proporsi penduduk yang mengalami gangguan kesehatan sehingga menyebabkan terganggunya aktivitas sehari-hari, baik bekerja, sekolah maupun yang lainnya. Sedangkan rata-rata lamanya sakit menyatakan rata-rata lamanya hari penduduk mengalami keluhan sampai menyebabkan terganggunya aktivitas. Rata-rata lamanya sakit menunjukkan tingkat keparahan penduduk akibat dari akumulasi sakit yang dirasakan penduduk. Kedua ukuran ini dihitung berdasarkan data hasil Susenas. Waktu rujukan yang digunakan untuk mengamati indikator ini adalah selama sebulan yang lalu dari saat pencacahan. Besaran ini menggambarkan derajat kesehatan penduduk yang diwakili oleh angka kesakitan dan rata-rata lama sakit.

Berdasarkan hasil Susenas, persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan selama tahun 2015 tercatat sebanyak 20,03 persen. Cukup banyak mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 41,84 persen. Akan tetapi tingkat keparahan penyakit yang diukur dari rata-rata lamanya sakit mengalami kenaikan dari 4,68 hari pada tahun 2014 menjadi 5,84 hari pada tahun 2015. Fenomena ini mengindikasikan insiden kesakitan yang terjadi pada masyarakat relatif menurun akan naiknya angka rata-rata lama kesakitan mengindikasikan tingkat pelayanan fasilitas kesehatan yang tidak lebih baik. Angka kesakitan penduduk yang cukup tinggi ini membutuhkan perhatian serius melalui upaya peningkatan kualitas pelayanan dan penanganan

Gambar 3.7

Persentase Penduduk yang Mempunyai Keluhan Kesehatan di Kabupaten Gunungkidul Tahun 2011-2015

Sumber : Susenas 2015

14.5

38.5 38.3 41.84

20.03

penyakit yang diderita oleh penduduk.

Keluhan kesehatan yang banyak dialami oleh masyarakat adalah penyakit akibat perubahan musim seperti pilek, batuk dan panas. Penyebab utama jenis penyakit tersebut adalah daya tahan tubuh yang kurang menunjang, disamping faktor kesehatan lingkungan serta perubahan cuaca yang terjadi secara mendadak. Gambar 3.9menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Gunungkidul apabila memiliki keluhan kesehatan cenderung untuk berobat jalan yaitu sebesar 66,12 persen.

.

Informasi mengenai keluhan kesehatan dapat digunakan sebagai referensi dalam penyediaan pelayanan kesehatan seperti persediaan obat-obatan dan tenaga medis maupun paramedis. Data Susenas 2015 juga menunjukkan bahwa sebanyak 44,68 persen penduduk di Gunungkidul melakukan pengobatan sendiri ketika menderita keluhan sakit. Dan lebih dari setengah penduduk yang mempunyai keluhan kesehatan cenderung merasa tidak perlu untuk berobat jalan.

Gambar 3.8

Persentase Penduduk yang Berobat Jalan di Kabupaten Gunungkidul Tahun 2015 Ya 66.12% Tidak 33.88% Gambar 3.9

Persentase Alasan Utama Penduduk tidak Berobat Jalan di Kabupaten Gunungkidul Tahun 2015

0.25%

44.68%

0.37% 50.44%

4.25%

Tidak ada biaya transport

Mengobati sendiri

Tidak ada yang mendampingi Merasa tidak perlu

Lainnya Sumber : Susenas 2015

Penggunaan Air Bersih

Selain dilihat dari tingkat morbiditas, derajat kesehatan masyarakat juga dapat diamati dari pola hidup. Pola hidup mempengaruhi tingkat kesehatan. Pola hidup yang bersih dan sehat tentunya lebih dapat menjamin kesehatan jika dibandingkan dengan pola hidup yang tidak bersih. Penggunaan air ber-sih baik itu sumber air minum maupun yang lainnya menentukan kondisi kesehatan masyarakat. Sumber air minum menentukan kualitas air minum. Hasil Susenas 2015 menunjukkan bahwa sebesar 28,13 per-sen rumah tangga di Gunungkidul menggunakan air leding meteran untuk minum; 26,19 perper-sen mengunakan air sumur terlindungi; 23,60 persen menggunakan air hujan; sedangkan pengguanaan air yang lainnya untu minum persentasenya masing-masing kurang dari 10 persen (lihat Gambar 3.11).

Kondisi penggunaan air sumur/ pompa/mata air yang digunakan untuk air minum menunjukkan kon-disi yang baik. Hal ini dapat dilihat dari gambar 3.11 yang menggambarkan persentase jauhnya jarak sumber air minum ke tempat penampungan limbah/kotoran/tinja terdekat, dimana sebagian besar sumur/ pompa/mata air di Gunungkidul jaraknya lebih dari 10 meter ke tempat penampungan limbah/kotoran/ tinja terdekat, yaitu mencapai 87,06 persen. Sedangkan yang jaraknya kurang dari 10 meter persen-tasenya sebesar 9,30 persen, dan sisanya tidak tahu.

Gambar 3.10

Persentase Sumber Air Utama yang Digunakan Rumah Tang-ga untuk Minum Kabupaten Gunungkidul Tahun 2015

Fasilitas air minum merupakan instalasi air minum yang dikelola oleh PAM/PDAM atau no-PAM/ PDAM, termasuk sumur dan pompa. Pendekatan yang digunakan untuk perhitungan ini adalah air minum yang banyak digunakan dalam satu bulan terakhir. Dimana dapat dilihat dari gambar 3.11, sebagian be-sar atau lebih dari setengah rumah tangga di Gunungkidul sudah memiliki fasilitas air bersih sendiri yaitu sebesar 62,95 persen. Rumah tangga yang menggunakan fasilitas bersama sebesar 24,99 persen, yang menggunakan fasilitas umum 3,89 persen dan yang tidak memiliki fasilitas air minum sebesar 8,17 per-sen.

Gambar 3.11

Persentase Jarak Air Sumur/Pompa/Mata Air untuk Minum ke Tempat penampungan Limbah Kabupaten Gunungkidul Tahun 2015 9.30 87.06 3.65 < 10 m >= 10 m Tidak tahu Sumber : Susenas 2015 Gambar 3.12

Persentase Penggunaan Fasilitas Air Minum Kabupaten Gunungkidul Tahun 2015 62.95 24.99 3.89 8.17 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 Sendiri Bersama Umum Tidak ada

Dokumen terkait