• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN KOMPONEN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

IPM tersusun atas tiga aspek mendasar pembangunan manusia. Aspek kesehatan yang bermakna mempunyai umur panjang diwakili oleh indikator harapan hidup, aspek pendidikan yang direpresentasi-kan oleh indikator harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah, serta dimensi perekonomian yang bermakna kehidupan yang layak digambarkan dengan pengeluaran per kapita disesuaikan. Ketiga aspek tersebut dianggap mampu untuk merepresentasikan pembangunan manusia sehingga sampai saat ini penghitungan IPM masih menjadi rujukan negara-negara di dunia dalam mengukur perkembangan pem-bangunan manusia.

Perkembangan IPM dari tahun ke tahun sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen yang me-nyusunnya. Sedangkan komponen-komponen tersebut bervariasi untuk tiap kabupaten/kota. Kemajuan ini sangat tergantung pada komitmen penyelenggara pemerintah daerah dalam meningkatkan kapasitas dasar penduduk yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup.

IPM sebagai indikator komposit memiliki nilai antara 0 hingga 100. Semakin besar nilai IPM mengindikasikan kualitas pembangunan manusia yang semakin baik. Penggolongan IPM berdasarkan kriteria dari United Nations Development Programme (UNDP) adalah sebagai berikut: nilai IPM yang kurang dari 60 digolongkan sebagai kategori “rendah” ; rentang antara 60 hingga 69 masuk kriteria sedang; rentang antara 70 hungga 79 masuk kriteria tinggi dan nilai 80 keatas merupakan kelompok “sangat tinggi.

Karena keterbatasan indikator komposit yang hanya memberikan gambaran secara agregat, maka implementasi hasil penghitungan IPM dalam program-program pembangunan membutuhkan pencermatan lebih lanjut pada indikator atau variabel yang terkait dengan indikator utama yang digunakan dalam menyusun IPM.

4.1 Perkembangan Kesehatan

Indikator ini menunjukkan kondisi dan sistem pelayanan kesehatan masyarakat, karena mampu merepresentasikan output dari upaya pelayanan kesehatan secara komprehensif. Hal ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa jika seseorang memiliki derajat kesehatan yang semakin baik maka yang bersangkutan akan berpeluang memiliki usia lebih panjang atau mempunyai angka harapan hidup yang

tinggi. Angka harapan hidup merupakan indikator yang cukup efektif untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk pada umumnya, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pada khususnya. Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan di suatu wilayah akan disertai oleh peningkatan usia harapan hidup penduduknya, namun sebaliknya semakin rendah usia harapan hidup di suatu wilayah mencerminkan buruknya kualitas pembangunan kesehatan. Angka harapan hidup menggambarkan perkiraan rata-rata tahun hidup yang akan dijalani oleh bayi yang baru lahir pada suatu tahun tertentu.

Perkembangan komponen kesehatan digambarkan dengan indikator angka harapan hidup. Angka harapan hidup adalah perkiraan banyaknya tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup (secara rata-rata). Indikator ini seringkali digunakan untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam hal kesejahteraan rakyat di bidang kesehatan.

Usia harapan hidup penduduk Kabupaten Gunungkidul selama periode 2011-2015 menunjukkan tren yang semakin meningkat. Pada tahun 2011, usia harapan hidup penduduk mencapai 73,36 tahun, dan terus meningkat menjadi 73,69 tahun pada tahun 2015. Secara umum, angka ini menunjukkan usia rata-rata yang akan dijalani oleh seorang bayi yang dilahirkan hidup pada tahun 2015 adalah mencapai 73,69 tahun. Peningkatan usia harapan hidup ini secara tidak langsung menunjukkan adanya perbaikan kualitas kesehatan penduduk. Program perbaikan kualitas kesehatan penduduk terutama pada kelompok yang berpendapatan rendah selama beberapa tahun terakhir dilakukan melalui program Askeskin (asuransi kesehatan bagi keluarga miskin), jamkesmas dan jamkesos. Program intervensi ini diharapkan dapat menaikkan kualitas kesehatan penduduk secara umum dengan sasaran utama mereka yang memiliki daya beli rendah terhadap pelayanan kesehatan.

Sebagai perbandingan, usia harapan hidup rata-rata di Provinsi DIY sekitar 74,68 tahun. Dengan demikian seperti tahun-tahun sebelumnya, rata-rata angka harapan hidup penduduk Kabupaten Gunungkidul masih berada di bawah rata-rata angka harapan hidup penduduk DIY.

Perkembangan angka harapan hidup per tahun di Gunungkidul tercatat tidak melebihi dari satu ta-hun dalam satu periode jangka waktu satu tata-hun. Hal ini berarti bahwa kondisi angka kematian bayi (infant mortality rate) di Gunungkidul termasuk dalam kategori Hardrock, artinya dalam waktu satu tahun penurunan angka kematian bayi yang tajam sulit terjadi. Sehingga implikasinya adalah angka harapan hidup yang dihitung berdasarkan harapan hidup waktu lahir menjadi lambat untuk mengalami kemajuan. Hal ini terlihat dari perkembangan angka harapan hidup yang tidak melebihi satu digit dalam kurun waktu satu tahun. Kondisi tersebut juga terjadi untuk kondisi nasional, penurunan angka kematian bayi terjadi secara gradual bahkan mengarah melambat.

4.2 Perkembangan Pendidikan

Perkembangan komponen pendidikan direpresentasikan oleh harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah. Harapan lama sekolah didefinisikan sebagai lamanya sekolah (dalam tahun) yang diharap-kan adiharap-kan dirasadiharap-kan oleh anak pada umur tertentu di masa mendatang, sedangdiharap-kan rata-rata lama sekolah menggambarkan rata-rata jumlah tahun yang dijalani oleh penduduk untuk menempuh pendidi-kan formal. Bobot kedua indikator ini masing-masing sebesar setengah dalam membentuk komponen pendidikan.

4.2.1 Perkembangan Harapan Lama Sekolah

Angka Harapan Lama Sekolah (HLS) didefinisikan sebagai lamanya sekolah (dalam tahun) yang diharapkan akan dirasakan oleh anak pada umur tertentu di masa mendatang. HLS dapat digunakan untuk mengetahui kondisi pembangunan sistem pendidikan di berbagai jenjang. Untuk penghitungannya, umur yang digunakan adalah 7 tahun ke atas karena mengikuti kebijakan pemerintah yaitu program wajib belajar.

Untuk mengakomodir penduduk yang tidak tercakup dalam Susenas, HLS dikoreksi dengan siswa yang bersekolah di pesantren. Untuk mendapatkan data pesantren diperoleh dari Direktorat Pendidikan Islam.

Gambar 4.1

Angka Harapan Hidup (AHH) Kabupaten Gunungkidul Ta-hun 2011-2015

Angka harapan lama sekolah penduduk Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2015 sebesar 12,92 tahun, yang artinya lamanya sekolah yang diharapkan akan dirasakan oleh anak pada umur 7 tahun adalah sampai lulus SMA (12 tahun) atau Diploma I (13 tahun). Angka relatif mengalami kenaikan di-bandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni hanya naik 0,10 persen dari tahun sebelumnya. Kecilnya kenaikan angka harapan lama sekolah penduduk tidak berarti bahwa proses pembangunan di bidang pendidikan yang telah dilakukan tidak mengalami kemajuan. Hal ini terjadi karena pendidikan merupa-kan sebuah proses yang panjang dan hasilnya pun tidak dapat dilihat atau dirasamerupa-kan secara instan.

4.2.2 Perkembangan Rata-rata Lama Sekolah

Indikator rata-rata lama sekolah sangat dipengaruhi oleh partisipasi sekolah untuk semua kelompok umur. Bila angka partisipasi sekolah di Kabupaten Gunungkidul rendah maka kemungkinan besar angka rata-rata lama sekolahnya juga akan rendah.

Angka rata-rata lama sekolah di Kabupaten Gunungkidul bergerak sangat lambat . Pada tahun 2015 rata-rata lama sekolah Kabupaten Gunungkidul mencapai 6,46 tahun atau hanya mengalami pen-ingkatan sebesar 0,01 tahun dalam waktu satu tahun dibandingkan dengan tahun 2014. Sedangkan bila

Gambar 4.2

Harapan Lama Sekolah (HLS) Kabupaten Gunungkidul Tahun 2011-2015

dibandingkan dengan tahun 2013, angka rata-rata lama sekolah hanya meningkat sebesar 0,05 tahun dalam kurun waktu dua tahun.

Angka rata-rata lama sekolah sebesar 6,46 tahun mengandung arti rata-rata penduduk Kabupaten Gunungkidul hanya mengenyam pendidikan sampai dengan kelas 6 SD atau putus sekolah pada kelas 1 SLTP. Kondisi ini bahkan hampir dapat dikatakan hanya terjadi sedikit perubahan selama kurun waktu lima tahun yaitu periode tahun 2011-2015.

4.3 Perkembangan Pengeluaran Per Kapita Disesuaikan

Komponen terakhir yang digunakan untuk penghitungan IPM adalah dimensi ekonomi yaitu kemam-puan untuk hidup layak. Komponen ini digambarkan dengan pengeluaran per kapita disesuaikan diten-tukan dari nilai pengeluaran per kapita dan paritas daya beli. Daya beli merupakan kemampuan masyarakat dalam membelanjakan uang untuk barang dan jasa. Kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh harga-harga riil antar wilayah karena nilai tukar yang digunakan dapat menaikkan atau menurunkan daya beli

Dalam penghitungan pengeluaran per kapita disesuaikan, rata-rata pengeluaran per kapita dihitung dari level provinsi hingga level kab/kota. Rata-rata pengeluaran per kapita dibuat konstan/riil dengan

Gambar 4.3

Rata Lama Sekolah (RLS) Kabupaten Gunungkidul Tahun 2011-2015

tahun dasar 2012=100. Paritas daya beli telah menggunakan harga yang telah distandarkan dengan kondisi Jakarta Selatan sebagai rujukannya. Penggunaan standar harga ini untuk mengeliminasi perbedaan harga antar wilayah sehingga perbedaan kemampuan daya beli masyarakat antar wilayah dapat diperbandingkan.

Pengeluaran per kapita disesuaikan per tahun Kabupaten Gunungkidul tahun 2015 adalah sebesar Rp. 8.366.000,- meningkat seiring dengan semakin tingginya kebutuhan hidup dibandingkan tahun 2014 yaitu sebesar Rp. 8.235.000,-. Kondisi tersebut juga meningkat dibandingkan dengan situasi pada tahun 2013 yang mempunyai pengeluaran per kapita disesuaikan sebesar Rp. 8.202.000,-. Kenaikan nilai ini diperkirakan dipengaruhi oleh semakin membaiknya kondisi ekonomi penduduk dengan adanya kenai-kan pendapatan. Hal ini mengakibatkenai-kan kemampuan masyarakat untuk mengakses pendidikenai-kan untuk melanjutkan sekolah dan mengakses fasilitas kesehatan menjadi semakin baik.

Tabel 4.4

Pengeluaran Per Kapita Disesuaikan di Kabupaten Gunung-kidul Tahun 2010-2015 (Ribu Rupiah)

Sumber : Susenas 2012-2015 8093 8138 8170 8202 8235 8336 7950 8000 8050 8100 8150 8200 8250 8300 8350 8400 2010 2011 2012 2013 2014 2015

4.4 Perkembangan IPM

Di tahun 2015, IPM dihitung menggunakan metode baru. Hal ini disebabkan oleh beberapa indikator sudah tidak tepat untuk digunakan dalam penghitungan IPM. Angka melek huruf sudah tidak relevan dalam mengukur pendidikan secara utuh karena tidak dapat menggambarkan kualitas pendidikan. Selain itu, karena angka melek huruf di sebagian besar daerah sudah tinggi, sehingga tidak dapat mem-bedakan tingkat pendidikan antardaerah dengan baik. PDB per kapita tidak dapat menggambarkan pen-dapatan masyarakat pada suatu wilayah. Alasan kedua, penggunaan rumus rata-rata aritmatik sudah tidak sesuai dalam penghitungan IPM karena capaian yang rendah di suatu dimensi dapat ditutupi oleh capaian tinggi dari dimensi lain.

Keuntungannya adalah terdapat indikator yang lebih tepat dan dapat membedakan dengan baik (diskriminatif). Dengan memasukkan rata-rata lama sekolah dan angka harapan lama sekolah, bisa didapatkan gambaran yang lebih relevan dalam pendidikan dan perubahan yang terjadi. PNB mengganti-kan PDB karena lebih menggambarmengganti-kan pendapatan masyarakat pada suatu wilayah. Dengan menggunakan rata-rata geometrik dalam menyusun IPM dapat diartikan bahwa capaian satu dimensi tidak dapat ditutupi oleh capaian di dimensi lain. Artinya, untuk mewujudkan pembangunan manusia yang baik, ketiga dimensi harus memperoleh perhatian yang sama besar karena sama pentingnya.

Secara umum besarnya capaian IPM Kabupaten Gunungkidul selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Demikian pula dengan kabupaten/kota di Kabupaten Gunungkidul tidak satupun yang

Gambar 4.5

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Gunungkidul Tahun 2011-2015

mengalami penurunan angka IPM. Perkembangan capaian nilai IPM menandakan usaha-usaha pem-bangunan manusia telah berjalan, meskipun ada yang mengalami kemajuan yang pesat dan ada juga yang lambat berkembang.

4

.5 Pertumbuhan IPM

Pertumbuhan IPM ditujukan untuk melihat kemajuan atau kemunduran dari pencapaian sasaran pembangunan manusia di suatu daerah selama kurun waktu tertentu. Dengan kata lain, melalui angka pertumbuhan ini dapat dilihat kecepatan perkembangan IPM suatu daerah.

Terdapat sebuah kecenderungan dalam pencapaian IPM, jika nilai IPM semakin mendekati nilai maksimumnya (100 persen), maka pertumbuhannya akan semakin lambat. Sebaliknya jika angka ca-paian IPM masih berada pada level yang rendah maka kemampuan untuk memacu pertumbuhan yang tinggi dalam capaian IPM akan lebih mudah.

Pada tahun 2011 pertumbuhan IPM Gunungkidul mencapai 0,98 persen. Pada tahun 2012 pertum-buhan IPM Gunungkidul mengalami peningkatan menjadi 1,33 persen. Pertumpertum-buhan IPM Gunungkidul mengalami perlambatan menjadi 0,94 persen pada periode 2013, namun kembali naik menjadi 1,09 sen pada tahun 2014. Dan kembali mengalami perlambatan pada tahun 2015 ini yaitu sebesar 0,57 per-sen.

Tabel 4.6

Pertumbuhan IPM di Kabupaten Gunungkidul Tahun 2011-2015 Sumber : Susenas 2012-2015 0.98 1.33 0.94 1.09 0.57 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 2011 2012 2013 2014 2015

BAB V

Dokumen terkait