• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Penyakit Akibat Kerja

2.5.1. Dermatitis Kontak Iritan

Iritasi kulit dan alergika kulit merupakan kondisi yang paling lazim ditemui akibat paparan terhadap kulit yang terjadi di tempat kerja dalam industri kimia. Beberapa campuran pestisida dapat menjadi sangat berbahaya jika formulanya toksik dan mengandung solven yang larut lemak, seperti minyak tanah, xilen, dan produk petroleum lainnya yang dapat mempermudah pestisida menembus kulit. Iritasi kulit adalah kondisi pada kulit yang muncul akibat kontak yang berkepanjangan dengan

zat kimia atau faktor lainnya. Setelah beberapa waktu kulit akan mengering, terasa nyeri, mengalami perdarahan, dan pecah-pecah. Begitu kontak dihentikan, kulit akan pulih kembali. Umumnya, proses penyembuhan akan memakan waktu sampai beberapa bulan. Selama waktu tersebut, kulit akan menjadi rentan terhadap kerusakan daripada yang biasanya, sehingga memerlukan upaya perlindungan (Widyastuti, 2006).

Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras, dan jenis kelamin. Penderita iritasi kulit terutama yang yang disebabkan oleh kelainan ringan, sering tidak datang berobat, atau bahkan tidak mengeluh. Penyebab munculnya dermatitis kontak iritan adalah bahan yang bersifat iritan seperti bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisik (Djuanda, 2008).

Dari segi pandangan praktis, dikenal dua tipe utama dermatitis kontak iritan yaitu:

1. Dermatitis kontak iritan tipe akut, reaksi ini bisa beraneka ragam dari nekrosis hingga keadaan yang tidak lebih dari pada sedikit dehidrasi (kering) dan kemerahan.

2. Dermatitis kontak iritan kumulatif tipe kronis, merupakan tipe yang umum. Dermatitis berkembang lambat setelah terjadi pemaparan yang berulang oleh zat iritan yang didukung oleh berbagai kondisi. Dermatitis biasanya disekitar jari, tetapi lambat laun menyebar sampai kesamping dan permukaan telapak tangan,

kemudian tersebar semakin nyata sampai pada pergelangan tangan. Tandanya berupa vesikel, kekeringan dan merekah (Taylor, 2003).

Dermatitis kontak iritan yang terjadi setelah pemaparan pertama kali disebut dermatitis kontak iritan akut, sedangkan dermatitis kontak iritan yang terjadi setelah kontak yang berulang disebut dermatitis kontak iritan kronis dan biasanya terjadi karena agen fisika seperti dampak mekanik, panas dan dingin, kelembaban atau cahaya matahari (Robin, 2005).

Jenis dermatitis kontak iritan kumulatif atau kronis adalah yang paling sering terjadi. Penyebabnya adalah kontak berulang-ulang dengan iritan lemah (faktor fisik misalnya, gesekan, kelembaban rendah, panas atau dingin, deterjen, sabun, pelarut, tanah bahkan air). Kelainan pada kulit baru nyata setelah kontak bermingu-minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian, sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor penting. Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal (hiperkeratosis). Bila kontak terus berlangsung akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris. Keluhan penderita umumnya rasa gatal atau nyeri karena kulit retak (Djuanda, 2008).

Iritasi kulit sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu lebih banyak ditemukan di tangan dibandingkan dengan dibagian tubuh lainnya. Contoh pekerjaan yang berisiko tinggi untuk iritasi kulit adalah tukang cuci, kuli bangunan, montir di bengkel, juru masak, tukang kebun dan peñata rambut (Djuanda, 2008).

Sifat berbahaya utama penyebab terjadinya iritasi kulit adalah: 1. Kelarutan

2. pH

3. Ukuran molekul

4. Keadaan fisik, ionisasi dan polaritas 5. Konsentrasi pengiritasi dalam suatu bahan

Sifat utama yang berisiko dari iritasi kulit adalah: 1. Lama masa kontak

2. Intensitas dengan kontak

3. Penyumbatan (Farage et.al, 2007).

Prevalensi dermatitis akibat kerja dapat diturunkan melalui pencegahan yang sempurna, antara lain:

1. Pendidikan

2. Memakai alat pelindung diri 3. Melaksanakan uji tempel 4. Pemeriksaan kesehatan berkala

5. Pemeriksaan kesehatan secara sukarela 6. Pengembangan teknologi (Siregar, 1996).

2.6. Sektor Informal

Sektor informal adalah ekonomi tradisional yang mempunyai ciri-ciri :

1. Tidak menggunakan pola kegiatan yang diatur oleh sistem-sistem manajemen profesional, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun penerimaannya. Pada umumnya tidak tersentuh oleh peraturan dan ketentuan yang tetapkan oleh pemerintah

2. Modal, peraturan dan perlengkapan maupun omsetnya biasanya kecil 3. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha

4. Tidak selalu menggunakan keahlian dan keterampilan formal sehingga secara luwes dapat menyerap tenaga kerja dengan bermacam-macam tingkat pendidikan 5. Umumnya tiap-tiap satuan mempekerjakan tenaga dari lingkungan keluarga,

kenalan atau berasal dari daerah yang sama

6. Tidak menggunakan sistem manajemen sumber daya waktu, sumber daya manusia, permodalan, secara modern dan informal (Yustika, 2000).

2.6.1. Sektor Kelautan dan Perikanan

Indonesia sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan dan memiliki potensi kelautan yang cukup besar, sektor kelautan yang didefinisikan sebagai sektor yang mencakup perikanan, pariwisata bahari, pertambangan laut, industri maritim, perhubungan laut, bangunan kelautan dan jasa kelautan yang merupakan andalan dalam menjawab tantangan dan peluang di masa depan. Kenyataan tersebut didasari bahwa potensi sumberdaya kelautan yang besar yaitu 75% wilayah Indonesia adalah

lautan dan selama ini telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi keberhasilan pembangunan nasional (Nasution, 2005).

Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang memiliki peranan dalam pembangunan ekonomi nasional, khususnya dalam bidang penyediaan bahan pangan protein, perolehan devisa dan penyediaan lapangan kerja. Sektor perikanan selama ini belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah dan kalangan pengusaha, padahal jika sektor perikanan dikelola secara serius akan memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pembangunan ekonomi nasional serta dapat mengentaskan kemiskinan masyarakat Indonesia terutama masyarakat nelayan dan petani ikan (Subri, 2005).

Sesudah ikan-ikan didaratkan lalu ditampung oleh pemborong ikan basah ataupun pengecer-pengecer yang langsung membeli di tepi pantai. Oleh pemborong ikan-ikan basah dan pengecer-pengecer ini, ikan-ikan tersebut dimasukkan ke dalam peti/tong kayu yang telah dilapisi terlebih dahulu dngan hancuran es setebal ±7 cm, lalu dimasukkan ikan-ikan, diselingi dengan lapisan es. Di atas sekali dari lapisan- lapisan ini dilapisi lagi dengan es. Dengan demikian, pengumpul ikan-ikan basah dapat menjualnya ke luar daerah atau ke pusat-pusat konsumen (Subri, 2005).

2.7. Landasan Teori

Dalam dunia pekerjaan segala kendala kerja harus dihindari untuk mencapai produktivitas yang optimal. Salah satu kendala dalam dunia kerja adalah penyakit

yang menimbulkan dua kali lipat kerugian yaitu kerugian waktu kerja dan kerugian dalam biaya pengobatan oleh perusahaan (Silalahi, 1985).

Penyakit akibat kerja dapat terjadi karena disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerjanya (Depkes RI, 1994). Pencegahan penyakit akibat kerja dapat diawali dengan memperhatikan keseimbangan tiga faktor dalam kesehatan kerja agar tidak mengalami gangguan. Ganguan keseimbangan ini berupa kapasitas kerja, beban kerja dan beban tambahan akibat lingkungan kerja (Suma’mur, 2009).

Pencegahan penyakit akibat kerja salah satunya dilakukan dengan melakukan upaya pengendalian terhadap lingkungan kerja, salah satunya dengan tersedianya fasiilitas pekerjaan berupa alat pelindung diri di tempat kerja. Untuk mewujudkan suatu tindakan pencegahan tidak terlepas dengan ketersediaan fasilitas pekerjaan ditempat kerja. Alat pelindung diri merupakan salah saatu bentuk dari fasilitas pekerjaan yang harus tersedia di tempat kerja agar pekerja dapat bekerja dengan lebih aman untuk kesehatannya. Fasilitas pekerjaan ini nantinya akan menunjang/mendorong dalam melakukan atau tidak melakukan untuk tindakan pencegahan kepada pekerja pengemasan ikan.

Notoatmodjo membagi ranah perilaku menjadi tiga bagian yaitu, pengetahuan (Knowledge), sikap (Attitude) dan Tindakan (Practice). Bentuk operasional perilaku ini dapat dikelompokkan menjadi 3 macam yaitu :

a. Perilaku dalam bentuk pengetahuan yaitu dengan mengetahui situasi atau rangsangan dari luar

b. Perilaku dalam bentuk sikap yaitu tanggapan terhadap keadaan atau rangsangan dari luar subjek

c. Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah nyata (konkrit) berupa perbuatan (action) terhadap situasi atau rangsangan dari luar (Notoatmodjo, 2010).

2.8. Kerangka Konsep

Berdasarkan Gambar 2.3. di atas, diketahui bahwa variabel independen dalam penelitian ini adalah pengetahuan, sikap, dan upaya pencegahan, sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian iritasi kulit pada pekerja pengemasan ikan.

Gambar 2.3. Bagan Kerangka Konsep Penelitian Upaya Pencegahan

Kejadian Iritasi Kulit Pengetahuan

Dokumen terkait