• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : TATA RUANG FISIK DAN SOSIAL MASYARAKAT

B. Desa Dermolo dan Desa Bondo sebagai Setting Kajian

Desa Dermolo bagian dari teritori kecamatan Kembang kabupaten Jepara. Kecamatan Kembang berbatasan dengan kecamatan Keling di sebelah Timur; kecamatan Bangsri di sebelah Barat dan Selatan; dan Laut Jawa di sebelah Utara (lihat peta pada lampiran). Sementara desa Bondo bagian dari teritori kecamatan Bangsri kabupaten Jepara. Kecamatan Bangsri berbatasan dengan kecamatan Kembang`di sebelah Timur; kecamatan Mlonggo di sebelah Barat; Laut Jawa di sebelah Utara, dan kecamatan Pakis Aji di sebelah Selatan (lihat peta pada lampiran). Kedua desa ini berada di wilayah kabupaten Jepara.

Luas wilayah desa Bondo adalah 1.147,033 Ha (kepadatan penduduk: 940 jiwa/Km2), sementara desa Dermolo memiliki luas wilayah 979,380 Ha (kepadatan penduduk: 522 jiwa/Km2). Kedua desa ini sama-sama memiliki sumberdaya alam yang besar. Desa Dermolo memiliki perkebunan negara (700 Ha) dan hutan karet yang sangat luas (300 Ha) dan dikelola oleh PTPN yang bergerak di bidang pengolahan bahan karet mentah. Kondisi inilah yang mendorong sebagian besar warga Dermolo (70 %) untuk memilih profesi sebagai buruh di PTPN. Adapun Bondo memiliki tanah sawah yang luas (534,347 Ha) dan tanah kering (612,686 Ha). Meskipun terdapat hutan negara, namun luasnya tidak sebesar Dermolo (134 Ha).

Kondisi ini kemudian berdampak pada jenis mata pencaharian yang dipilih oleh warga. Sebanyak lebih dari 70 % penduduk Dermolo menggantungkan hidupnya kepada PTPN, sebuah perusahaan milik negara di bidang pengolahan karet mentah. Selainnya, sebanyak 28 % bertani dan 2 % wiraswasta. Jika

honorarium pekerja PTPN sebesar Rp. 30 ribu/hari bagi pekerja tetap dan Rp. 17.500/ hari untuk pekerja lepas, dapat dikatakan bahwa dari tingkat kesejahteraan, masyarakat Dermolo pada level sedang. Sesuai data yang dirilis oleh Badan Statistik tahun 2012, kondisi masyarakat pra-sejahtera sebesar 37,4 %, sejahtera I: 14 %, sejahtera II: 18 %, sejahtera III: 19,9 %, sejahtera plus: 10,6 %. Kondisi ini setidaknya tergambar secara fisik di mana masih banyak rumah-rumah yang berdiri dengan kondisi sederhana. Tercatat, rumah gedung/permanen sebanyak 407 rumah, dan rumah gayu/genting sebanyak 1000 rumah. Bagi sebagian besar orang, rumah ditempatkan sebagai simbol status sosial pemiliknya. Jika sebagian besar masyarakat desa Dermolo berprofesi sebagai buruh di PTPN, profesi masyarakat desa Bondo tampak lebih variatif. 40 % berprofesi sebagai tukang kayu, 18 % pengusaha, 30 % petani, dan 5 % nelayan, dan 7 % sebagai PNS. Ditinjau dari persentase profesi yang digeluti masyarakat desa Bondo, maka sesuai data yang dirilis oleh Badan Statistik tahun 2012, kondisi masyarakat pra-sejahtera sebesar 22,5 %, sejahtera I: 13,2 %, sejahtera II: 25,8 %, sejahtera III: 23,3 %, sejahtera plus: 14,9 %. Angka dan persentasi ini diilustrasikan secara fisik melalui rumah-rumah yang berdiri berbentuk gedung permanen dengan atap genting.

Gambaran ekonomi di atas sekaligus memberikan gambaran lain tentang tingkat pendidikan masyarakat desa Dermolo. Tidak lebih dari 12 % remaja usia kuliah, melanjutkan ke berbagai perguruan tinggi, baik di Jepara maupun luar Jepara. Terlebih lagi fasilitas sekolahan yang ada di desa Dermolo hanya berjumlah 9; 3 Sekolah dasar Negeri (SDN) dan 6 Taman Kanak-kanak. Jauhnya

jarak dari ibu kota kabupaten Jepara, yaitu sejauh 21 KM turut menyumbang faktor rendahnya pendidikan. Ini berhubungan dengan faktor terkait, misalnya kesulitan biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan. Dari sisi ketersediaan fasilitas pendidikan, Bondo memiliki fasilitas yang lebih banyak dibandingkan dengan Dermolo. Rinciannya, 5 Taman Kanak-kanak Swasta; 5 Sekolah Dasar Negeri; 1 Sekolah dasar Swasta (milik yayasan Kristen); 1 Madrasah Ibtidaiyah Swasta. Namun jumlah ini tidak lantas membuat jumlah warga berpendidikan formal yang cukup–dengan ukuran perguruan tinggi, lebih besar. Tercatat tidak lebih dari 8 % penduduknya yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.

Rendahnya tingkat pendidikan warga di kedua desa tersebut salah satunya dipicu oleh kesulitan biaya bagi orangtua. Ini seringkali dijadikan sebagai alasan utama. Orangtua umumnya masih berpandangan bahwa menyekolahkan anak ke perguruan tinggi membutuhnya biaya yang besar, sementara banyak lulusannya yang menganggur. Karena itu, secara umum mereka mengatakan, lebih baik anak disuruh kerja karena menghasilkan uang, daripada kuliah yang hanya menghabiskan uang. Sementara bagi kalangan tertentu, yaitu dari tokoh masyarakat, sebagian besar mengarahkan anaknya memilih perguruan tinggi atau fakultas yang lebih menjanjikan pekerjaan, misalnya Akademi Kepolisian (Akpol), STPDN, atau Akademi Militer (Akmil) yang memiliki ikatan dinas. Menurut bahasa mereka, menang ayeme nek wes ono ikatan (.... lebih tenang karena sudah ada ikatan kerja).

Karakter dan tipe keluarga di kedua desa tersebut dikategorikan sebagai keluarga kecil (nuclear family). Jika jumlah rumah di desa Dermolo berjumlah 1.407 dan dihuni oleh sebanyak 1860 jiwa, berarti setiap rumah bangunan dihuni oleh sekitar 3-4 orang. Hal yang sama juga terjadi di Bondo (sebanyak 10.781 rumah, dihuni oleh 2.989). Ini dapat dijelaskan bahwa bentuk keluarga yang umum adalah keluarga kecil, di mana rata-rata dalam satu rumah tangga, terdiri dari pasangan suami-istri dengan dua anak.

Dalam konteks desa Dermolo dan Bondo, rata-rata warga penduduk yang secara ekonomi dianggap cukup kaya, adalah mereka yang bekerja sebagai pengusaha seperti pengusaha meubel (meubeler), usaha jasa, seperti usaha angkutan, dan petani yang memiliki sawah luas dan sampingan.

“Di sini masyarakat dengan ekonomi menengah ke atas rata-rata adalah mereka yang berprofesi sebagai pengusaha.” (Purwanto, Bondo, 4 April 2014)

“Menawi nggantungno saking PTPN nggeh mboten katah, mas. Tapi menawi sampun tetep nggeh lumayan. Ingkang sampun tetep angsale 30 ribu hari. Tapi menawi taseh pekerja lepas nggeh sekitar 17.500 per-hari. Sing lumayan nggeh menawi gadah tanah terus digarapa kaleh tiyang.” (Soekarno, Dermolo, 10 Agustus 2014)

“Kalau menggantungkan dari PTPN (saja) tidak terlalu banyak, mas. Kalau sudah jadi pekerja tetap, lumayan. Pekerja tetap gajinya 30 ribu per-hari. Tapi kalau masih pekerja lepas, hanya sekitar 17.500 per-hari. Lebih lumayan lagi, mereka yang punya sawah dan digarap oleh oranglain (buruh),” (Soekarno, Dermolo, 10 Agustus 2014)

Tingkat pendidikan, jenis pekerjaan yang dipilih, dan tingkat kesejahteraan keluarga, serta tipologi rumah yang dimiliki sebagaimana telah diuraikan di atas, menggambarkan adanya keterkaitan terhadap lingkungan alam fisik dalam satu

sisi, dan perubahan sosial pada sisi yang lain. Pada lingkungan alam fisik, pekerjaan-pekerjaan buruh, baik di pabrik (70 %) maupun di perusahaan meubel (40 %) menjadi pilihan mayoritas, dan kemudian disusul oleh profesi tani (28 %), wiraswasta, dan pegawai (2 %). Persentase ini menunjukkan fakta (1) berkurangnya jumlah pekerja boro20. (2) meningkatnya dinamika ekonomi di desa setempat. Ketika sebagian kecil dari masyarakat menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup bagi sebagian besar yang lain, akan muncul keinginan untuk tetap di kawasan itu. Dengan begitu, “para suami” yang umumnya diposisikan sebagai tulang-punggung nafkah bagi keluarga, berkurang minatnya pergi ke luar Jepara. Kondisi ini dirasakan nyaman, karena dengan tidak boro ke luar Jepara, mereka dapat tetap berkumpul dengan keluarga. “Para istri” juga dapat ikut menopang ekonomi keluarga dengan melakukan aktifitas ekonomi yang menghasilkan uang. Dengan cara ini maka “penopang” ekonomi keluarga dapat memiliki profesi “tambahan”, misalnya, jika pagi hingga sore bekerja di pabrik, maka malamnya “nyambi” kerja tambahan –misalnya- dengan menerima order membuatkan lemari bagi yang memiliki skill di bidang kerajinan kayu. Ketika libur, nyambi (sambilan) dengan menerima pekerjaan sebagai tukang opes21 jagung atau buruh di sawah. Bahkan tidak sedikit, ibu-ibu yang demi menopang ekonomi keluarga, bekerja serabutan sebagai tukang cuci pakaian atau volunteer sebagai pengasuh

20

Boro oleh orang Jepara diartikan merantau. Karena pertimbangan ekonomi, biasanya seseorang akan merantau ke tempat dengan penghasilan yang lebih besar. Jika tukang kayu mendapatkan bayaran sebesar Rp. 30.000 per-hari, di daerah Kalimantan (misalnya), mereka bisa mendapatkan Rp. 70.000-80.000 per-hari. Jauhnya jarak tidak memungkinkan mereka untuk bersama keluarga. Biasanya, mereka pulang 2-3 bulan sekali. Atau paling lama, mengambil momen mudik lebaran.

21

Tukang Opes sebutan bagi mereka yang mengambil biji jagung dari batangnya. Meskipun memakan waktu lebih lama, opes dengan cara manual dinilai lebih bagus dan tuntas hasilnya. Setelah bijinya diambil, biasanya jagung dijemur di bawah terik matahari.

anak. Dengan pola ini, maka jumlah masyarakat yang boro, baik di desa Dermolo ataupun Bondo, relatif kecil, sehingga kegiatan ekonomi dan sosial di desanya menjadi dinamis.

Perubahan ini pada perkembangannya berdampak pada perbaikan tingkat ekonomi yang ditandai dengan perubahan gaya hidup, misalnya semakin bertambahnya penduduk yang naik haji; renovasi rumah-rumah ibadah (mushola dan langgar); termasuk juga naiknya frekuensi kegiatan keagamaan, baik yang insidental (seperti pengajian umum), maupun yang rutin, seperti tahlilan,22

manaqiban,23 istighotsahan,24 dan sebagainya.