• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : TATA RUANG FISIK DAN SOSIAL MASYARAKAT

2. Sejarah Lokal Desa Bondo

Sejarah lokal desa Bondo ini disarikan dari transkripsi terjemahan “Kisah Desa Bondo” yang diberikan oleh pendeta Samikhan dan penuturan beberapa tokoh masyarakat, diantaranya adalah Suniti (sesepuh desa Bondo dan juru kunci pesarean Lahut Gunowongso sebagai orang pertama yang babat alas di desa Bondo), Khoirul Anwar (tokoh masyarakat), dan Purwanto (Kepala Desa Bondo).

Pada tahun 1860, seorang pengembara asal Simongan Semarang Utara, bernama Lahut Gunowongso (selanjutnya disebut Gunowongso), datang ke desa Cumbring Jepara. Untuk menyambung hidup, ia menjadi pembantu seseorang berkebangsaan Belanda, Markam alias Sukias. Markam memiliki banyak persil (tanah-tanah yang disewakan dalam jangka panjang). Meskipun

dianjurkan dalam agama. Tahayyul identik dengan perbuatan bid’ah yang dinilai sebagai kesia-siaan.

17 Khurafat, dari asal kata Arab kho-ro-fa, yang artinya menyimpang. Kata ini biasanya dilabelkan

hidup berkecukupan dari gajinya, Gunowongso tidak bahagia karena hidup dalam kuasa orang lain.

Pada suatu malam, dalam mimpinya, ia didatangi orangtua yang berpakaian serba hitam. Orangtua tersebut berpesan, “jangan hanya menikmati

kemewahan. Pergilah mengembara ke arah utara demi masa depan anak cucumu. Sesampainya di hutan lebat, jadikan hutan itu menjadi perdukuhan. Hiduplah di sana.”

Ia terbangun, gelisah, dan lalu membangunkan istrinya, Nyai Kalisah. “Mbokne, bangun. Aku mau cerita,” tukasnya. Setelah bercerita, istrinya menimpali, “Itu hanya bunga mimpi, pakne.” Setelah mengutarakan niatnya untuk menjalani pesan dalam mimpi, Gunowongso bersama istri pergi ke arah utara dengan ditemani 8 orang temannya.

Selama 4 jam berjalan kaki, mereka baru sampai di Mlonggo (4 km dari Cumbring). Mereka istirahat dan memakan bekal yang dibawa. Dalam legenda, perjalanan sulit yang ditempuh ini diibaratkan, “minyak tanjang ripung bandil

anusup angayam alas [membuka gerumbul duri-duri dan menyusup seperti

kelakuan ayam hutan].” Karena terik matahari semakin panas, mereka memilih berisitirahat dan bersandar di bawah pohon jati besar yang menjulang tinggi. Semua tertidur, kecuali Gunowongso. Ia gelisah karena memikirkan pesan dalam mimpi tersebut. Pada saat semuanya bangun, Gunowongso berkata, “perjalanan kita ini ibarat mengejar layang-layang. Bagaimana kalau kita

Bondo –Bondan Tanpo Ratu.” Teman-temannya setuju dan memutuskan untuk

bermalam di hutan tersebut.

Keesokan harinya, mereka bergotong royong membersihkan hutan tersebut. Hari itu bertepatan dengan bulan September 1860 tanggal 15 purnama. Demi keamanan dan kenyamanan, dibuatlah gubug-gubug kecil untuk berteduh. Selama satu bulan mereka berada di hutan itu. Karena lokasi yang didiami lama-lama basah karena sumber air, mereka pindah ke dataran yang lebih tinggi dan menjadikan area yang basah tersebut menjadi sawah. Inilah awal mula mereka bertani.

Lima tahun lamanya mereka menyulap hutan lebat tersebut menjadi kampung kecil. Gunowongso kemudian menjemput temannya, Djani (warga Ngelo Ireng Semarang), yang memiliki keahlian di bidang pertanian, untuk membantu mengolah sawah. Djani pun tertarik menetap di sana. Mendengar kabar tersebut, warga Ngelo Ireng kemudian ramai-ramai pindah ke Bondo. Dalam waktu singkat, Bondo berubah menjadi desa yang subur. Ini digambarkan dalam peribahasa; “panjang apunjung lan pasir awukir [aman dan makmur, tanpa kurang apapun].”.

Alkisah, seorang pria asal Kediri bernama Ibrahim Tunggul Wulung (selanjutnya disebut Tunggul Wulung) dan istrinya, Sampurnawati, datang ke Bondo (tahun 1860). Ia ikut menyebarkan injil bersama pendeta berkebangsaan Belanda, Yan-Tua (Yan Sr). Sekalipun pemeluk agama Kristen, keduanya mengambil aliran injil yang berbeda. Tunggul Wulung mengambil Injil Kristen Kerasulan, sementara Yan-Tua mengikuti Kristen Tata Injil. Karena sering

berselisih paham, Tunggul Wulung memutuskan berpisah. Ia lalu mencari Gunowongso setelah mendengar bahwa sahabatnya tersebut yang babat alas desa Bondo. Setelah bertemu, keduanya bekerjasama untuk meramaikan desa Bondo.

Dengan ditemani Kobis dan istrinya, Warijah, dan seijin Gunowongso, Tunggul Wulung memperluas perdukuhan. Setelah berjalan ke arah barat, sampailah di sebuah hutan di tepi sungai besar. Tahun 1865 ia mulai membersihkan lokasi tersebut yang selanjutnya disebut dengan Ujung Jati, 2 km dari lokasi babat alas Gunowongso.

Pada tahun 1870, Gunowongso meninggal dunia dan dimakamkan di desa Cumbring. Ia meninggalkan seorang istri, Nyai Kalisah dan 6 orang anak, yaitu Kalimin, Simbuh, Sipin, Duwok, Karno, dan Kadir.

Sepeninggal Gunowongso, Tunggul Wulung berniat memperistri Nyai Kalisah. Meskipun istrinya menolak diduakan, Tunggul Wulung tetap memperistri Kalisah. Bersama Kalisah, Tunggul Wulung pindah ke Bondo, sementara Sampurnawati tetap bersikeras tinggal di Ujung Jati. Sampurnawati berpesan agar kelak ketika ia lebih dulu meninggal, Tunggul Wulung menguburkannya di beranda rumahnya. Keinginan itupun terlaksana.

Setelah 10 tahun menjadi perdukuhan ramai, Wedana Banjaran, Tjitro Prodjo mendengar ada kawasan bernama Bondo. Atas perintah Bupati, Tjitro Soma, Wedana memanggil Tunggul Wulung namun ditolaknya. Singkat cerita, karena pengakuan teritorial oleh Tunggul Wulung merupakan tindakan melanggar hukum, masalah ini dilimpahkan ke pengadilan. Namun Bupati dan

Wedana memberikan bantuan hukum dan mengijinkan Tunggul Wulung untuk mengolah lahan dan memimpin kegiatan di sana. Dari sini Bondo dikenal dengan nama Bondo Bendan Tanpo Ratu Ngetepeng Tanpo Tinandur [kekayaan tanpa ada yang menguasai, pohon ketapang tanpa ada yang menanam]”.

Pada tahun 1875, seorang buruh tani asal Srobyong bernama Gangsar, mendapati seorang pemuda duduk di pohon ketapang di tengah hutan yang masih lebat dan sepi. Karena takut, Gangsar melaporkannya kepada Tunggul

Wulung. Mereka berdua menghampirinya. Awalnya pemuda itu

menyembunyikan identitasnya. Karena terus didesak, pemuda itu akhirnya mengaku. Ia bernama Suta Djiwo, putera Sultan Agung di Mataram.18 Suta Djiwo bercerita bahwa ia duduk di tempat tersebut untuk bertapa (semedi)19. Dalam pertapaannya, ia mendengar kicauan burung perkutut putih yang indah. Setelah hinggap di pohon Getah, ia hendak menangkapnya, tapi gagal. Ia berjanji tidak akan pergi dari tempat itu jika tidak mendapatkan burung tersebut. Tunggul Wulung dan Gangsar meninggalkannya dan Suta Djiwo terus melanjutkan pertapaannya.

Pada suatu siang, ia didatangi oleh seorang laki-laki berkulit hitam dan berpakaian serba hitam. Masyarakat menyebutnya Mbah Ireng. Ia menanyakan

18

Diceritakan, ketika Sultan Agung Mataram memerangi Pati, ia mendapatkan rampasan perang

dan tawanan seorang wanita yang kemudian dinikahi. Wanita tersebut memberikan dua anak; Suta Djiwo dan adiknya, Suta Widjaja. Setelah tumbuh dewasa, keduanya pergi mengembara. Suta Djiwo ke Rembang dan Suta Widjaja ke Juwana. Dalam perjalanannya, Suta Widjaja bertemu dengan seseorang dan kemudian dihadapkan ke Kanjeng Sinuhun PB VII. Ia lalu diangkat menjadi adipati Jepara dan berganti nama menjadi Tjitro Soma.

19

Semedi oleh masyarakat Jawa Klasik dikenal sebagai kegiatan yang dilakukan demi mencapai maksud tertentu, seperti kesaktian atau kebersihan jiwa. Biasanya orang yang melakukan semedi, duduk bertapa tidak makan dan minum.

maksud pertapaan tersebut. Suta Djiwo menjawab bahwa ia ingin mendapatkan perkutut hitam yang bagus dan merdu suaranya. Mbah Ireng tertawa dan berkata, “kamu tidak akan mendapatkan burung tersebut. Kalau mau ikut aku,

kamu akan mendapatkannya.” Suta Djiwo menyanggupi. Setelah sampai di

rumah Mbak Ireng, Suta Djiwo melihat burung tersebut berada di dalam sangkar. Mbah Ireng lalu memanggil anak perempuannya agar membawakan minum dan pakaian ganti untuk Suta Djiwo. Setelah minum dan berganti pakaian, Suta Djiwo berubah menjadi manusia tak berwujud fisik. Ia mulai sadar dengan keadaannya itu setelah beberapa kali berkunjung ke rumah sahabatnya, Tunggul Wulung. Ia melihat fisik Tunggul Wulung namun fisiknya tak dapat dilihat. Setelah beberapa kali melakukan percakapan, akhirnya Suta Djiwo menghilang entah ke mana.

Dilihat dari isi, pelaku, dan motif yang dituturkan dalam sumber legenda, akan didapati sebuah kesimpulan bahwa corak desa Bondo dikategorikan sebagai Desa Plural, yang secara historis, telah menyuguhkan kisah pertemuan sahabat beda agama. Gunowongso dikenal sebagai seorang muslim yang babat

alas Bondo, sementara Tunggul Wulung adalah penginjil yang menyebarkan

ajaran Kristen di Jawa. Menurut sebagian masyarakat desa Bondo, perjumpaan ini dilestarikan dalam tradisi bernama Arisan Gunowongso. Arisan ini memiliki makna, pentingnya jalinan interaksi masyarakat lintas iman yang dapat menciptakan kerukunan bersama.

Dilihat dari isi cerita rakyat ini, terdapat motif yang ingin ditonjolkan dalam legenda tersebut, yaitu (1) kegigihan Gunowongso untuk membuat lahan

baru bagi generasinya, tak pandang; apakah seagama atau tidak. Misi universal Gunowongso terlihat dari dikabulkannya Tunggul Wulung untuk membuka dukuh baru di Ujung jati; (2) tingginya tingkat toleransi yang tergambar dalam interaksi antara Gunowongso dan Tunggul Wulung. Misi menciptakan Bondo yang gemah ripah loh jinawe (makmur, sejahtera, dan aman), bagi mereka jauh lebih penting dibandingkan dengan gerakan memperkuat agama dan memperbanyak pengikut.

Dari dua motif pelajaran di atas, karakter Gunowongso dan Tunggul Wulung dijadikan sebagai simbol terjalinnya persahabatan beda agama yang mengedepankan nilai kemanusiaan, berupa perdamaian, daripada kepentingan eksklusif kelompok seagama. Sementara Suta Djiwo dipersonifikasikan sebagai sosok gigih dalam meraih sesuatu. Ini terlihat dari bagaimana ia mendapatkan burung perkutut melalui serangkaian pertapaan. Bagi masyarakat desa Bondo, suatu hasil akan terlihat ketika itu diraih melalui proses alamiah dengan cara yang semestinya.

Gambaran umum ini menyiratkan pesan bahwa pluralitas di desa Bondo mendapatkan landasan historis yang sangat kuat. Sebagaimana desa Dermolo, masyarakat desa Bondo memegangteguh sejarah sehingga memberikan kesan bahwa pelajaran nenek moyang masih dilestarikan, dan bahkan mampu menyatukan masyarakat dengan kesamaan kultur.