• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : HIFZH AL-DÎN DAN KONTESTASI SIMBOL DALAM

D. Interaksionisme Simbolik : Memaknai Interaksi Antar

3. Hakikat Individu

Beberapa proposisi penting dalam hakikat individu adalah sebagai berikut:

a. Individu memiliki kapasitas untuk melihat diri mereka sebagai subyek (I) dan obyek (Me) sebagai akibat proses dalam sebuah interaksi.

b. Individu tidak hanya diciptakan oleh faktor eksternal (sosial dan psikologis), tetapi ia merupakan pencipta aktif dari dunia-dunia yang mereka respon.

c. Pola-pola interaksi dalam organisasi sosial hanya dapat dipahami melalui individu-individu yang menciptakan makna simbol.

Interaksi para pemeluk agama terpola dalam bingkai upaya mendefinisikan keyakinannya terhadap agama. Pendefinisian tersebut lahir secara alamiah dari alam bawah sadar bahwa dengan motivasi yang tinggi, para pemeluk agama berupaya mengekspresikan loyalitasnya kepada agama. Akibatnya, kontestasi ragam ekspresi ini menjadi tak terelakkan dan terjadilah pertukaran penafsiran ‘gestur agama’. Fenomena yang akan muncul bahwa pemeluk agama dapat menunjukkan sikap ‘diam’ ketika keyakinan mereka tidak diusik oleh pemeluk agama lain. Namun pada situasi tertentu, pemeluk agama dapat memilih berkonfrontasi dengan pemeluk agama lain ketika terancam, baik secara ideologis (seperti pelecehan doktrin dan penghinaan terhadap Tuhan), ataupun fisik (seperti penghadangan dan teror).

Berdasarkan teori Mead, pemeluk agama dapat melihat diri mereka sebagai subyek, pada satu sisi, dan sebagai obyek pada sisi yang lain. Ia menjadi subyek ketika paham keagamaan tersebut terekpresikan secara verbal. Pada saat yang sama, ekspresi ini lalu memproduk fenomena atau makna baru yang akan direspon oleh individu atau kelompok lain. Misalnya, ketika baju koko dijadikan sebagai simbol ketakwaan, pada situasi ini akan muncul opsi tentang bagaimana ketakwaan diekpresikan. Sikap ini bisa berdampak pada penyikapan individu tersebut kepada muslim lain yang tidak ‘hobi’ memakai baju koko. Ini pada satu sisi. Pada sisi lain, individu tersebut melahirkan opsi tandingan dari individu yang tidak ‘hobi’ memakai baju koko, misalnya dengan ungkapan bahwa mereka yang memakai baju koko adalah kaum formalis yang mengedepankan simbol formal, bukan esensial. Interaksi dengan pola ini sekaligus melabeli individu sebagai

subyek dan obyek. Jadi, kedua individu ini sama-sama aktif berkontribusi terhadap fenomena tentang ekspresi ketakwaan. Dalam perspektif Mead, interaksi antarindividu tersebut bertolak dari sebuah standar tentang ketakwaan yang melahirkan makna-makna baru (the new meanings). Kemunculan makna-makna ini tidak lepas dari prinsip yang dipegang dalam memahami referensi-referensi teologis, misalnya al-Qur’an dan al-Hadits. Meskipun sumber teksnya sama, model pendekatan yang dipilih berimbas pada perbedaan hasil. Ketika teks dibaca melalui pendekatan normatif, hasilnya akan berbeda dengan pendekatan sosio-historis, dan seterusnya (Turner, 1975: 1980).

Dalam hal di atas, Stark dan Glock (1993: 291-294) mencatat bahwa keberagamaan memiliki definisi yang beragam. Keragaman ini bertalian dengan simbol-simbol yang dipakai oleh pemeluk agama berikut pemaknaannya. Misalnya, bagi pemeluk agama Islam, menunaikan ibadah haji adalah kewajiban sekali seumur hidup. Namun keyakinan ini tidak berlaku bagi pemeluk agama lain. Bagi pemeluk agama Hindhu, daging sapi tidak boleh dimakan. Begitu juga dengan pemeluk Protestan Evangelis yang melarang makan daging sapi pada hari Jum’at. Namun bagi muslim, sapi adalah salah satu binatang yang dikurbankan pada hari raya Idul Adha.

Di luar perbedaan-perbedaan tersebut, Stark dan Glock (1993: 295-298) memberikan premis bahwa para pemeluk agama tersebut memiliki konsensus umum yang dapat menciptakan seperangkat dimensi keberagamaan sebagai berikut: (1) Dimensi Keyakinan. Dimensi ini berisikan pengharapan-pengharapan di mana pemeluk agama berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan

mengakui doktrin-doktrin tersebut; (2) Dimensi Praktik Agama. Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan oleh pemeluk agama untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik-praktik keagamaan terbagi menjadi dua; ritual dan ketaatan. Ritual mengacu pada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal, dan praktik suci yang semua agama mengharapkan para penganutnya untuk melakukannya. Adapun ketaatan merujuk pada kontinyuitas sebagai ekspresi loyalitas terhadap ritus. Ritus dan ketaatan adalah ibarat ikan dan air. Dalam tradisi Kristen, ritual diwujudkan -misalnya- dengan kebaktian di gereja dan persekutuan suci. Para pemeluknya dianggap taat -misalnya- ketika rutin membaca injil dan sembahyang pribadi; (3)

Dimensi Pengalaman. Dimensi ini berhubungan dengan persepsi-persepsi dan

sensasi-sensasi yang dialami seorang pelaku atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan, dalam hubungannya dengan kekuatan supranatural; (4)

Dimensi Pengetahuan Agama. Hal ini mengacu pada sebuah fakta bahwa pemeluk

agama paling tidak memiliki sejumlah pengetahuan keagamaan, misalnya tentang dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi; (5) Dimensi

Konsekuensi. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan

keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Kelima dimensi di atas menyiratkan makna bahwa agama dan masyarakat menjadi komponen yang tak terpisahkan. Dalam bahasa Durkheim (1993: 43), pengalaman agama berasal dari masyarakat. Ia menguraikan bahwa manuver masyarakat memberikan kekuatan moral yang dapat menciptakan sentimen dan konsepsi mengenai Tuhan. Masyarakat berkembang di luar diri individu, dan

bahkan masyarakatlah yang membentuk individu. Masyarakat tidak bisa membuat pengaruhnya dirasakan, kecuali jika masyarakat itu bertindak, dan masyarakat tidak akan bertindak kecuali jika individu-individu yang menyusunnya berhimpun bersama dan bertindak bersama pula. Gagasan dan sentimen kolektif hanya mungkin timbul jika ada gerakan-gerakan dari luar yang mensimbolisasikannya, sehingga tindakanlah yang menguasai kehidupan agama, karena fakta menunjukkan bahwa masyarakatlah yang merupakan sumbernya.

Dalam konteks ini, berbagai ekpresi masyarakat dalam menjaga agamanya (hifzh al-dîn) akan memunculkan fenomena keberagamaan yang bervariasi. Para pemeluk agama akan saling mencari cara untuk bertahan. Menurut Rousseau (1986: 14), keinginan mempertahankan prinsip yang dipegang adalah alamiah. Di saat kekuatannya tak lagi cukup membendung situasi yang menghadangnya, ia akan menghimpun diri dengan kekuatan-kekuatan yang lain. Dari sini, lalu setiap orang memberikan dirinya untuk umum dan tidak ada lagi individu yang berdiri sendiri. Inilah yang disebut Rousseau dengan Social Compact (Kesepakatan Sosial).

Ada dua hal sebagai jalan untuk menuju hifzh al-dîn yang berkeadilan;

Pertama, The Unity of God. Konsep kesatuan dalam kemahaesaan Tuhan dalam

konsep Teologi Inklusif-nya Madjid (2000: 23) membuka ruang diskusi; apakah semua agama memiliki konsep keesaan? Jika punya, apakah satu agama dengan lainnya konsepnya sama? Dalam kerangka membangun mutual understanding, dialog semestinya tidak membuka ruang diskusi tentang ketuhanan, melainkan doktrinnya. Bukan the unity of God, melainkan the existence of God. Kedua, The

Unity of Prophecy. Pada satu sisi, Madjid menyerukan keterbukaan untuk

menerima agama lain. Pada sisi lain, ia memberikan frame adanya kesatuan kenabian (the unity of prophecy). Jika diatribusikan kepada agama-agama samawi, ini bisa diterima. Namun tidak demikian halnya dengan agama-agama natural yang tidak berbasis wahyu.

Kajian tentang dîn dan hifzh al-dîn menegaskan bahwa agama bukanlah alat legitimasi kebenaran, melainkan legitimasi atas keragaman cara dalam mencari kebenaran. Semangat yang dibangun dalam QS. Al-Maidah [5]: 3 nyata-nyata memberikan penjelasan bahwa Islam datang untuk menyempurnakan ajaran sebelumnya. Jadi tidak hanya membuang beberapa syariat melalui nasakh-mansukh. Pertanyaannya, bagaimana agama itu sendiri memandang keragaman agama ini? Dengan kata lain, bagaimana pandangan agama tentang multikulturalisme?

Dalam QS. Assaba’ [34], Allah mengutus Nabi Muhammad kepada seluruh umat manusia, bukan hanya untuk orang Arab dan mereka yang mengikrarkan diri telah berislam. Pesan ini sesungguhnya memberi ruang kepada seluruh umat manusia untuk saling mengenal (ta’âruf) satu sama lain, dengan keragaman ras, etnis, budaya, agama dan seterusnya.

Menurut Thohir (2007), manusia dari segi nurture, lahir (the given) telah memiliki ciri-ciri bawaan sendiri secara berbeda, seperti bentuk ketubuhan, kromosom, warna kulit dan sebagainya. Dari segi culture, manusia hidup dan dibesarkan juga dipengaruhi oleh lingkungan fisik dan lingkungan sosial yang berbeda. Pengaruh keduanya, menjadikan manusia pada batas-batas tertentu

memiliki kemiripan, kesamaan atau perbedaan. Perbedaan-perbedaan inilah yang kemudian disebut dengan kemajemukan yang kemudian dikenal dengan multikultural.

Sebagaimana pengertiannya, multikulturalisme adalah sebuah diskursus budaya. Menurut Jamil (2011), ia paham tentang kultur yang beragam. Sebagaimana dinukil dari Abdullah (2006), multikulturalisme sebagai sebuah paham yang menekankan kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada. Dengan kata lain, penekanan multikulturalisme8 pada kesetaraan budaya.

Pada konteks ini, multikulturalisme membina sikap untuk menerima eksistensi agama orang lain. Dalam multikulturalisme, sikap yang ditunjukkan sesungguhnya bukan klaim kebenaran tanpa batas. Ketika seseorang mengklaim kebenaran agama yang dianut dan dipeluknya, maka pada saat yang sama, ia menerima kehadiran klaim kebenaran orang lain akan agama yang dianut dan dipeluknya. Dengan kata lain, multikulturalisme agama tidak terwujud pada pernyataan, “semua agama itu sama benarnya, sehingga setiap orang boleh berpindah agama sesukanya”. Melainkan, tumbuhnya pandangan dan sikap, ”orang lain berhak untuk melakukan klaim atas keyakinannya”.9

8

Pada ranah keagamaan, multikulturalisme menghadapkan umat beragama dengan yang lain. Ini ditandai dengan kesediaan untuk menghormati keragaman dan perbedaan yang ada dalam prinsip

coexistence. Perbedaan atau kemajemukan melahirkan sisi positif dan sisi negatif. Sisi positif di

antaranya melahirkan kesadaran bersama untuk hidup saling menghormati. Sisi negatifnya, kegagalan memenej masyarakat majemuk ini berpotensi melahirkan gejala-gejala mudahnya kecurigaan antar-kelompok, bahkan sampai konflik. Pada wilayah inilah manusia harus merasa ‘tertuntut’ untuk merealisasikan; bagaimana kedamaian tercipta dengan segala corak perbedaan yang ada.

9

Bagi Jamil (2011), tidak ada satu agamapun yang tidak menggunakan perangkat simbolik dan kultural ketika hadir di tengah-tengah kehidupan manusia. Islam misalnya, adalah ‘agama yang hidup’ yang terus mengalami dinamika dan meninggalkan tempat, tradisi asalnya dan waktu

Dalam Islam, sikap ini telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Ketika ia melarang sahabatnya memberikan sedekah kepada non-muslim, Allah menegurnya dan menurunkan QS. al-Baqarah [2]: 272. Allah menegaskan, petunjuk akan keimanan bukanlah urusan manusia. Itu hak prerogatif Tuhan. Setelah itu, Nabi Muhammad Saw memberikan sedekah kepada siapapun yang membutuhkan tanpa harus memandang identitas dan agamanya (HR. Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas RA).

Pada kisah lain, ketika sahabat Salman Al-Farisi menemui Rasulullah Saw dan menceritakan tentang kebiasaan kaum Majusi yang menyembah api, Rasulullah Saw menjawab, “mereka masuk neraka”. Turunlah QS. Al-Hajj [22]: 17 dan QS. Al-Baqarah [2]: 62. Allah menegaskan, manusia tidak berhak memberikan vonis tentang kehidupan akhirat, karena itu hak prerogatif Allah.

Di sini kearifan setiap umat beragama diperlukan yang dimanifestasikan dalam sikap melihat keutuhan dalam perbedaan untuk selanjutnya didialogkan dengan prinsip toleransi (tasamuh) sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nahl [16]: 125. Dalam filsafat perennial, penglihatan dan penghayatan realitas agama pada tataran spiritual akan memberikan keuntungan ganda; pertama, spiritual akan menyediakan keseimbangan bagi kehidupan manusia yang terus menerus digerogoti oleh modernitas yang sekuler; kedua, dalam level spiritualitas akan

lampau dimana ia diturunkan (Makkah). Islam dibawa oleh pemeluknya, bersentuhan dengan budaya yang nyata-nyata berbeda dengan budaya Makkah. Dengan demikian, klaim Islam Murni tampaknya juga tidak memiliki legitimasi historis dan kultural yang kuat. Dengan kenyataan ini, agama kemudian menjadi identik dengan tradisi. Menurut Abdurrahman (2003: 149), agama adalah ekspresi budaya tentang keyakinan orang terhadap sesuatu Yang Suci, dan Yang Transenden. Apabila hubungan agama dan tradisi ditempatkan sebagai wujud interpretasi sejarah dan kebudayaan, maka semua domain agama adalah kreatifitas manusia yang bersifat relatif. Jika agama ditafsirkan oleh pemeluknya, maka tidak ada kebenaran yang absolute atas tafsiran tersebut karena kebenaran yang mutlak hanyalah milik Allah.

dapat dijalin hubungan yang harmonis antar berbagai agama. Komaruddin Hidayat dan Wahyudi Nafis (1994: 126) mengatakan:

“Kebenaran sejati itu hanya satu, bersumber dan membantu pada Yang Maha Benar. Hanya saja, manifestasi dari kebenaran itu selalu tampil dalam wujud yang plural. Di balik pluralitas itu ada kebenaran yang tunggal, namun tidak mungkin diketahui secara tuntas oleh manusia sebab realitas metafisis ontologi selalu berada di luar jangkauan manusia. Oleh karena itu, semua agama selalu hadir menyapa manusia dengan bantuan medium sejarah dan budaya. Dengan demikian, pluralitas pemahaman agama merupakan keniscayaan teologis, psikologis dan historis.”

Multikulturalisme harus menjadi titik tolak dalam keragaman umat beragama. Jika kebenaran mutlak hanya milik Tuhan, tentulah manusia tidak dalam posisi memberikan legitimasi atas kebenaran dan kesalahan. Maka, hendaknya antarumat beragama tidak terposisi dalam relasi binari (diperlawankan), melainkan relasi yang bersifat simbiotik-kulturatif, bahwa antarumat beragama dalam posisi saling memerlukan dan menghormati.