4 HASIL DAN PEMBAHASAN
B. Desain dan evaluasi primer diferensial ToLCNDV dan SLCCN
Keberadaan dua Begomovirus yaitu ToLCNDV dan SLCCNV sudah terdeteksi pada pertanaman mentimun di Jawa Barat dan Bali menggunakan primer universal. Dibutuhkan primer spesifik yang langsung mengenali spesies ToLCNDV maupun SLCCNV dalam satu reaksi PCR sebagai alat deteksi cepat dan efisien.
Amplifikasi ToLCNDV dan SLCCNV
Primer S-2F/TS-2R berhasil mengamplifikasi bagian common region
SLCCNV dengan amplikon berukuran ± 550 pb. Pada suhu annealing 52 oC sampai dengan 56 oC, pita DNA SLCCNV yang terbentuk tipis. Selain itu, terdapat pita DNA bukan target pada amplifikasi suhu annealing 53 oC (Gambar 9). Pasangan primer T-2F/TS-2R berhasil mengamplifikasi ToLCNDV dengan
amplikon sebesar ± 600 pb (Gambar 9). Namun, pada suhu annealing 54 oC-56 oC terbentuk pita DNA bukan target. Oleh karena itu, diperlukan
optimasi lebih lanjut untuk mendapatkan pita DNA target tunggal yang tegas.
Gambar 9 Amplifikasi SLCCNV (A) menggunakan primer tunggal S-2F/TS-2R dan ToLCNDV (B) dengan T-2F/TS-2R pada suhu annealing 52 oC-56 oC. M= penanda DNA 1kb (Thermo Scientific), K- = kontrol negatif ddH2O.
Optimasi suhu annealing
Pasangan primer T-2F/TS-2R dan S-2F/TS-2R mampu mengamplifikasi ToLCNDV dan SLCCNV pada suhu annealing 57 oC - 61 oC (Gambar 10). Semakin tinggi suhu annealing, semakin tipis pita DNA SLCCNV yang terbentuk. Hal ini sedikit berbeda dengan primer T-2F/TS-2R yang dapat mengamplifikasi ToLCNDV pada semua suhu.
M 52 oC 53 oC 54 oC 55 oC 56 oC K- 550 pb 250 pb 1000 pb A. 600 pb B. M 52 oC 53 oC 54 oC 55 oC 56 oC K-
Gambar 10 Optimasi suhu annealing amplifikasi SLCCNV dengan S-2F dan TS- 2R (A) dan ToLCNDV menggunakan primer T-2F/TS-2R (B) pada suhu 57 oC – 61 oC. M= penanda DNA 1kb (Thermo Scientific), A= kontrol positif SLCCNV (TT), B= isolat asal Tabanan (TA), 1= kontrol positif ToLCNDV (PE), dan 2= isolat asal Klungkung (KA). Suhu annealing yang digunakan untuk optimasi selanjutnya adalah 59 oC. Meskipun pada suhu 57 oC dan 58 oC, amplikon yang dihasilkan cukup bagus, namun amplifikasi pada suhu tersebut tidak stabil; kadang bagus, kadang menghasilkan pita ganda atau tidak muncul pita DNA sama sekali. Amplifikasi menggunakan primer S-2F/TS-2R pada suhu annealing 57 oC dan 58 oC tidak berhasil mengeleminasi DNA bukan target dari keenam isolat (SM, SK, K, TA, KA, dan G) yang diuji-cobakan. Pada suhu annealing 60 oC dan 61 oC pita DNA yang dihasilkan terlalu tipis. Pasangan primer SLCCNV lebih stabil apabila digunakan pada suhu annealing 59 oC. Berbeda dengan pasangan primer S- 2F/TS-2R, primer T-2F/TS-2R mampu menghasilkan pita DNA tunggal ToLCNDV pada suhu annealing 57 oC- 61 oC. Oleh karena itu, suhu annealing
yang direkomendasikan untuk optimasi primer S-2F/TS-2R dan T-2F/TS-2R yaitu suhu 59 oC.
Optimasi konsentrasi primer
Kedua pasang primer T-2F/TS-2R dan S-2F/TS-2R dapat bekerja pada konsentrasi 0.1 µM hingga 1.0 µM dengan intensitas pita DNA yang sama. Pita DNA yang dihasilkan pada konsentrasi primer 0.1 µM lebih tipis dibandingkan konsentrasi primer lainnya (Gambar 11). Semakin rendah konsentrasi primer maka semakin sedikit primer yang tersedia dalam satu reaksi PCR sehingga kurang optimum dalam amplifikasi PCR, terutama pada virus-virus dengan titer
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 A B A B A B A B A B A. B. M 57 o C 58 oC 59 oC 60 oC 61 oC 600 pb 250 pb 1000 pb M 57 o C 58 oC 59 oC 60 oC 61 oC 550 pb 250 pb 1000 pb
26
rendah. Kedua pasangan primer bekerja secara optimum pada konsentrasi primer 0.4 µM-0.8 µM.
Gambar 11 Optimasi konsentrasi primer S-2F/TS-2R (A) dan T-2F/TS-2R (B) pada konsentrasi akhir primer 0.1 µM, 0.2 µM, 0.4 µM, 0.6 µM, 0.8 µM, dan 1.0 µM. M= penanda DNA 1kb (Thermo Scientific).
Sensitifitas primer
Optimasi konsentrasi templat secara kuantitatif. Pasangan primer T-2F/TS-2R yang mengamplifikasi ToLCNDV dapat menghasilkan amplikon berukuran ± 600 pb hingga konsentrasi 1 ng/µL. Hal tersebut menunjukkan bahwa pasangan primer ToLCNDV memiliki sensitifitas yang sangat tinggi sehingga masih mampu mendeteksi virus dengan konsentrasi sangat rendah. Sebaliknya, pasangan primer S-2F/TS-2R hanya mampu mendeteksi virus secara optimum hingga konsentrasi 50 ng/µL. Pita yang terbentuk pada konsentrasi 10 ng/µL sangat tipis sehingga tidak dianjurkan menggunakan konsentrasi templat ini (Gambar 12).
Gambar 12 Optimasi konsentrasi templat DNA yang dideteksi dengan primer S- 2F/TS-2R (A) dan T-2F/TS-2R (B) dengan menggunakan DNA templat 1 ng/µL, 10 ng/µL, 50 ng/µ L, 100 ng/µL, 500 ng/µL, dan 1000 ng/µ L. M= Penanda DNA 1kb (Thermo Scientific).
Optimasi konsentrasi templat secara pengenceran berseri. Kedua primer dalam reaksi PCR unipleks mampu mendeteksi virus hingga pengenceran DNA total hingga mencapai 10-5, ditandai dengan amplifikasi pita DNA sesuai ukuran amplikon. Semakin tinggi tingkat pengenceran maka semakin tipis amplikon yang dihasilkan (Gambar 13). Aloyce et al. (2013) membuktikan bahwa keempat primer yang didesain untuk mendeteksi African cassava mosaic virus (ACMV),
East African cassava mosaic Cameroon virus (EACMCV), East African cassava mosaic Malawa virus (EACMMV), dan East African cassava mosaic Zanzibar virus (EACMZV) mampu menghasilkan amplikon target hingga pengenceran 10-5.
M 1 10 50 100 500 1000 1000 pb 550 pb 250 pb 600 pb M 1 10 50 100 500 1000 M 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.1 1000 pb 550 pb 250 pb A. A. B. M 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.1 600 pb B.
Gambar 13 Optimasi sensitivitas primer S-2F/TS-2R (C) dan T-2F/TS-2R (D)
melalui pengenceran berseri 100, 10-1 , 10-2, 10-3, 10-4, dan 10-5. M= Penanda DNA 1kb (Thermo Scientific).
PCR Dupleks Begomovirus
PCR dupleks merupakan salah satu variasi teknik PCR yang mengamplifikasi beberapa templat DNA atau menggunakan dua pasang primer secara simultan dalam satu reaksi PCR (Henegariu et al. 1997; Aloyce et al. 2013; Jeevalatha et al. 2013). Pasangan primer T-2F/S-2F/TS-2R diuji dalam satu reaksi PCR dengan tujuan dapat menghasilkan dua amplikon berukuran ± 550 pb dan ± 600 pb. Pengujian dilakukan dengan menggunakan kombinasi konsentrasi primer (Tabel 2) pada suhu annealing 59 o
C dan templat DNA isolat TA (Tabanan). Intensitas pita DNA yang dihasilkan bervariasi berdasarkan kombinasi konsentrasi primer yang digunakan (Gambar 14). Hasil visualisasi menggunakan agarosa 2% dengan tegangan 25 volt selama 3 jam menunjukkan bahwa kedua amplikon berukuran ± 550 pb dan ± 600 pb berhasil terpisah dengan baik.
Gambar 14 Visualisasi PCR multiplex pada gel agarose 2 %. M= penanda DNA 1 kb (Thermo Scientific), A-F, produk PCR yang teramplifikasi oleh kombinasi konsentrasi primer A-F (Tabel 2). Tanda asterik (*) menunjukkan pita DNA tidak spesifik/DNA bukan-target.
Amplifikasi optimum apabila konsentrasi kedua primer berbeda. Dua pita DNA yaitu amplikon SLCCNV berukuran ± 550 pb dan amplikon ToLCNDV berukuran ± 600 pb terbentuk pada kombinasi primer A, D, E, dan F (Gambar 14). Konsentrasi yang sama antara primer forward T-2F, S-2F, dan primer reverse TS- 2R yaitu sebesar 1 µM, hanya terbentuk satu amplikon berukuran ± 600 pb saja.
M 10 -5 10 -4 10 -3 10 -2 10 -1 10 0 600 pb 250 pb 550 pb M 10 -5 10 -4 10 - 3 10 -2 10 -1 10 0 A. B. M A B C D E F 550 pb 250 pb 600 pb 1000 pb * 1000 pb * * *
28
Hal tersebut diduga karena dua primer forward saling berkompetisi pada saat
annealing (penempelan primer pada daerah target).
Aplikasi Primer Diferensial ToLCNDV dan SLCCNV dalam PCR Unipleks
Pengujian pasangan primer T-2F/TS-2R dan S-2F/TS-2R secara tunggal dilakukan terhadap enam isolat yang mewakili daerah pengambilan sampel. Keenam isolat asal Sukabumi (SK), Sumedang (SM), Karawang (KR), Tabanan (TA), Klungkung (KA), dan Gianyar (G) positif terdeteksi ToLCNDV. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya pita DNA berukuran ± 600 pb. Intensitas pita DNA isolat Sm dan K lebih terang dibandingkan isolat SK, TA, KA, dan G. Pasangan primer S-2F/TS-2R berhasil mengamplifikasi SLCCNV dengan terbentuknya pita DNA berukuran ± 550 pb. Ketiga isolat asal Bali yaitu isolat TA (Tabanan), KA (Klungkung), G (Gianyar), dan isolat Karawang (KR) positif terdeteksi SLCCNV. Hal ini selaras dengan hasil DIBA bahwa SLCCNV terdeteksi di lahan Klungkung, Tabanan, Gianyar, dan Karawang (Gambar 15).
Gambar 15 Aplikasi PCR tunggal ToLCNDV menggunakan primer T-2F/TS-2R (A) dan SLCCNV menggunakan primer S-2F/TS-2R (B). Lajur M = penanda DNA 1kb; K+ ToLCNDV= Kontrol positif isolat PE, K+ SLCCNV= Kontrol positif isolat TT, K - = Kontrol negatif menggunakan templat dH2O; SK= isolat asal Sukabumi; SM= isolat asal Sumedang; KR= isolat asal Karawang; TA= isolat asal Tabanan; KA= isolat asal Klungkung; G= isolat asal Gianyar. Tanda asterik (*) menunjukkan pita DNA tidak spesifik/DNA bukan-target.
M K+ K- TA KA G SK SM KR 600 pb 250 pb 1000 pb B. A. M K- K+ TA KA G SK KR SM 250 pb 550 pb 1000 pb * * *
Gambar 16 Aplikasi PCR Dupleks menggunakan primer T-2F/S-2F/TS-2R. Lajur M = penanda DNA 1 kb; K+= Kontrol positif isolat PE; K- = Kontrol negatif (ddH2O); SK= isolat Sukabumi; SM= isolat Sumedang; K= isolat Karawang; TA= isolat Tabanan; KA= isolat Klungkung; G= isolat Gianyar.
Keenam isolat diuji menggunakan pasangan primer T-2F/S-2F/TS-2R dalam satu reaksi PCR dengan menggunakan kombinasi primer E (Tabel 2). Isolat KR, SK, SM, dan G teramplifikasi pada ukuran ± 600 pb. Hal ini mengindikasikan keempat isolat tersebut terinfeksi tunggal ToLCNDV. Sedangkan pada isolat KA dan TA terbentuk pita berukuran ± 550 pb dan ± 600 pb yang mengindikasikan adanya infeksi ganda ToLCNDV dan SLCCNV (Gambar 16).
Konfirmasi hasil deteksi primer diferensial dengan perunutan DNA
Konfirmasi dilakukan untuk memastikan spesifisitas primer diferensial dalam mendeteksi kedua virus. Beberapa isolat yang positif terinfeksi ToLCNDV dan SLCCNV secara ganda dideteksi ulang menggunakan pasangan primer T- 2F/TS-2R dan S-2F/TS-2R dengan PCR unipleks. Isolat Karawang (KR) dan Tabanan (TA) yang positif terdeteksi SLCV diamplifikasi menggunakan primer spesifik S-2F/TS-2R, sedangkan isolat Klungkung (KA) yang positif terdeteksi ToLCNDV diamplifikasi menggunakan primer T-2F/TS-2R. Hasil konfirmasi perunutan nukleotida menunjukkan bahwa isolat Karawang merupakan ToLCNDV meskipun diamplifikasi menggunakan primer spesifik SLCCNV (S- 2F/TS-2R). Isolat Karawang memiliki homologi tertinggi dengan isolat ToLCNDV asal Klaten, Indonesia sebesar 92.3% dan memiliki homologi kurang dari 89% dengan isolat SLCCNV (Lampiran 4).
Sebaliknya, primer S-2F/TS-2R berhasil mengidentifikasi SLCCNV pada isolat Tabanan, Bali. Isolat Tabanan (TA) memiliki homologi tertinggi dengan SLCCNV asal Malaysia sebesar 95.1%. Isolat Klungkung (KA) memiliki homologi tertinggi dengan ToLCNDV isolat Karawang (KR) sebesar 95.9% dan 91.4% dengan ToLCNDV isolat Klaten (Lampiran 4). Hasil ini sesuai dengan analisis nukleotida gen protein selubung menggunakan primer universal pAV1048/pAC494.
Hal ini menunjukkan bahwa primer S-2F/TS-2R bekerja secara universal karena mampu mendeteksi ToLCNDV dan SLCCNV. Homologi nukleotida lebih dari 80% antara ToLCNDV dan SLCCNV menyebabkan sulitnya menemukan area yang memiliki runutan nukleotida yang unik pada saat dilakukan desain primer sebagai kandidat primer forward. Primer forward S-2F diduga masih
550 pb 600 pb
250 pb 1000 pb
30
mampu menempel pada bagian CR-ToLCNDV dan berhasil teramplifikasi pada reaksi PCR terutama dengan suhu annealing yang sama 57 oC antara T-2F/TS-2R dengan S-2F/TS-2R. Primer forward SLCCNV (S-2F) memiliki panjang 25 basa, dan memiliki 12 basa yang sama antara ToLCNDV dan SLCCNV. Primer
forward tersebut dipilih dan digunakan karena hasil BLAST setelah mendesain primer menunjukkan bahwa primer tersebut hanya menempel pada SLCCNV yang mengindikasikan tingkat spesifikasi yang tinggi. Namun, hal tersebut tidak sesuai dengan hasil deteksi PCR yang menunjukkan bahwa primer S-2F/TS-2R masih mampu mengamplifikasi ToLCNDV. Oleh karena itu primer ini tidak dapat digunakan untuk deteksi SLCCNV secara cepat, namun masih dapat digunakan untuk identifikasi dengan konfirmasi melalui perunutan nukleotida.
Pembahasan Umum
Penyakit kuning pada tanaman mentimun di Jawa Barat dan Bali disebabkan oleh dua spesies Begomovirus yaitu Tomato leaf curl New Delhi virus dan Squash leaf curl China virus. ToLCNDV merupakan Begomovirus yang mendominasi pertanaman mentimun di provinsi Jawa Barat dan Bali. Virus yang dominan ditemukan pada pertanaman di Jawa Barat dan Bali adalah ToLCNDV dengan insidensi penyakit 28-100%, sedangkan SLCCNV hanya ditemukan di provinsi Bali dengan insidensi penyakit berkisar 30-80%. Isolat Karawang (KR) dan Sumedang (SM) positif terdeteksi SLCV secara serologi, namun berdasarkan perunutan nukleotida kedua isolat tersebut adalah ToLCNDV. Hal ini menunjukkan adanya reaksi silang antara antiserum SLCV yang mampu mendeteksi sampel ToLCNDV. Hasil identifikasi melalui PCR menggunakan primer universal Begomovirus mendukung fakta bahwa kedua isolat tersebut merupakan ToLCNDV.
Di lapangan, tanaman yang terinfeksi oleh ToLCNDV dan SLCCNV sulit dibedakan karena gejala yang mirip. Septariani et al. (2014) melaporkan bahwa gejala penyakit kuning pada tanaman mentimun di Bogor, Sleman, Tegal, dan Sukoharjo disebabkan oleh infeksi campuran dari beberapa virus seperti Squash mosaic virus (SqMV), Zucchini yellow mosaic virus (ZYMV), Cucumber mosaic virus (CMV), dan ToLCNDV. Penyakit kuning pada pertanaman mentimun di Bali diketahui disebabkan oleh infeksi ganda ToLCNDV dan SLCCNV. Infeksi ganda dapat menyebabkan gejala penyakit yang lebih parah dibandingkan infeksi tunggal dan mengindikasikan adanya interaksi sinergis antara kedua virus tersebut. SLCV dan Watermelon chlorotic stunt virus (WCSV) berinteraksi secara sinergis dalam menginfeksi tanaman melon, menyebabkan masa inkubasi virus lebih singkat, gejala yang lebih parah, menghambat pembentukan “netting” pada buah, dan keberadaan WCSV mampu meningkatkan akumulasi DNA SLCV (Ringwald dan Lapidot 2011).
Primer T-2F/S-2F/TS-2R dibuat untuk mendiferensiasi ToLCNDV dan SLCCNV dalam infeksi ganda menggunakan PCR dupleks. PCR dupleks merupakan suatu metode yang mampu memfasilitasi deteksi secara cepat dengan menggunakan primer spesifik dari masing-masing virus target (Henegariu et al.
1997). Optimasi PCR dupleks menggunakan metode trial and error sehingga dibutuhkan modifikasi untuk meningkatkan kerja PCR, dimulai dari optimasi kondisi siklus PCR (suhu annealing dan ekstensi, waktu annealing dan ekstensi,
jumlah siklus), optimasi komponen reaksi (konsentrasi primer, konsentrasi dNTP dan MgCl2, bufer PCR, konsentrasi templat, dan konsentrasi Taq DNA
Polymerase), optimasi visualisasi (jenis agar, voltase).
Primer T-2F/TS-2R berhasil mendeteksi ToLCNDV isolat Jawa Barat dan Bali dan sesuai dengan hasil konfirmasi melalui perunutan DNA. Primer S-2F/TS- 2R masih mampu mendeteksi ToLCNDV pada isolat Karawang mengindikasikan bahwa primer tersebut masih bersifat universal sehingga primer ini tidak dapat digunakan untuk deteksi cepat SLCCNV. PCR dupleks menggunakan primer diferensial T-2F/S-2F/TS-2R berhasil mendiferensiasi ToLCNDV dan SLCCNV dalam infeksi ganda isolat Tabanan dan Klungkung.
Penggunaan metode semi-manual dalam desain primer memberikan keleluasaan untuk memilih kandidat primer suatu gen target. Penyejajaran genom lengkap ToLCNDV, SLCCNV, dan beberapa Begomovirus lainnya memudahkan untuk menyeleksi suatu daerah yang memiliki situs spesifik dan berbeda dengan virus lainnya. Meskipun hasil BLAST kandidat primer menunjukkan kespesifikan yang tinggi namun tidak menjamin primer tersebut mengamplifikasi gen target dengan baik. Kesamaan 12 nukleotida pada primer forward SLCCNV (S-2F) dengan daerah target ToLCNDV menyebabkan primer S-2F mampu menempel pada daerah CR ToLCNDV sehingga menurunkan spesifisitas primer tersebut. Selain itu, rendahnya spesifikasi primer SLCCNV (S-2F/TS-2R) disebabkan oleh sulit menemukan situs spesifik antara SLCCNV dan ToLCNDV sebagai kandidat primer yang ditunjukkan dengan homologi genom lengkap dari kedua virus tersebut mencapai 85%.
Desain primer menggunakan metode semi-manual lebih mudah digunakan, namun dibutuhkan ketelitian yang lebih tinggi untuk memilih kandidat primer. Beberapa metode desain primer sudah banyak dikembangkan dan diterapkan di Indonesia. Astuti (2013) menggunakan program online Primer3Plus untuk membuat primer spesifik Rice tungro bacilliform virus (RTBV) dan Rice grassy stunt virus (RGSV) yang mengamplifikasi bagian protein selubung. Nurulita (2014) menggunakan metode semi-manual dan menggunakan program Primer BLAST pada situs NCBI untuk membuat primer spesifik MYMIV.
PCR dupleks maupun multipleks menggunakan beberapa kombinasi primer banyak dimanfaatkan untuk mengidentifikasi virus pada tanaman dengan penyakit kompleks. Penyebab penyakit mosaik pada ubi kayu di Afrika berhasil diidentifikasi menggunakan PCR dupleks, yaitu African cassava mosaic virus
(ACMV), East African cassava mosaic Cameroon virus (EACMCV), East African cassava mosaic Malawa virus (EACMMV), dan East African cassava mosaic Zanzibar virus (EACMZV) (Aloyce et al. 2013). Fernandes et al. (2010) berhasil mendeteksi tiga spesies Begomovirus pada tomat di Brazil yaitu Tomato severe rugose virus (TSRV), Tomato rugose mosaic virus (ToRMV), dan Tomato yellow vein streak virus (ToYVSV). PCR dupleks juga dapat digunakan untuk menyeleksi primer spesifik yang didesain untuk virus tertentu. Jeevalatha et al.
(2013) menggunakan PCR dupleks untuk menyeleksi 8 pasang primer spesifik untuk deteksi cepat ToLCNDV strain “potato”.
Terdeteksinya infeksi ganda antara ToLCNDV dan SLCCNV isolat Tabanan dan Klungkung (Bali) merupakan laporan baru dalam penelitian ini. Primer diferensial dibutuhkan dalam deteksi cepat untuk mengetahui insidensi penyakit secara akurat, terutama pada tanaman terinfeksi ganda. SLCCNV yang baru
32
terdeteksi di provinsi Bali dan belum ditemukan di Jawa Barat dapat dijadikan sebagai tindakan preventif penyebaran SLCCNV ke daerah-daerah sentra produksi tanaman Cucurbitaceae.