Perbandingan FS 2 Jam Maskapai dengan Acuan Dephub
DESCRIPTION SEMESTER I JULY AUG SEPT OCT NOV DEC TOTAL
Gambar 15. Sumber: data Garuda/Terlapor I
31.14.1.8 Dalam periode 2006 - 2008, terbukti secara jelas dan nyata bahwa besaran fuel surcharge Garuda/Terlapor I juga selalu lebih kecil dari besaran fuel cost;---
R a h a s i a
Gambar 16. Sumber: data Garuda/Terlapor I
Hal ini membuktikan bahwa Garuda/Terlapor I tidak menjadikan fuel surcharge sebagai sumber pendapatan, melainkan untuk mempersempit selisih antara besaran avtur yang telah ditetapkan oleh Departemen Perhubungan dengan besaran nyata avtur yang harus dibayarkan oleh Garuda/Terlapor I ke Pertamina; --- 31.14.1.9 Di samping itu, Garuda/Terlapor I selalu memenuhi
kewajiban-kewajiban perpajakan nya terkait dengan fuel surcharge, termasuk pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) (lihat Lampiran - 22 dalam Tanggapan dalam Pemeriksaan Lanjutan);--- 31.14.1.10 Dengan demikian tuduhan Tim Pemeriksa KPPU bahwa fuel
surcharge merupakan komponen Garuda/Terlapor I untuk memperoleh pendapatan, terlebih lagi untuk memperoleh keuntungan adalah sama sekali tidak benar; --- 31.14.2 Pasal 21 UU No. 5/1999 mengatur tentang penetapan harga rendah;--- 31.14.2.1 Terkait dengan penjelasan dari Pasal 21 UU No. 5/1999,
maka secara yuridis Pasal 21 UU No. 5/1999 bagaimanapun juga harus dimaknai dalam kerangka penetapan harga rendah dengan tujuan mematikan pelaku usaha lain dan menguasai pasar; ---
31.14.2.2 Bahwa Pasal 21 UU No. 5/1999 harus diinterpretasikan dalam kerangka melarang pelaku usaha untuk melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya sebagai komponen harga, dengan melanggar peraturan perundang-undangan, yang bertujuan untuk memperoleh biaya faktor-faktor produksi yang lebih rendah dari yang seharusnya, atau yang dikenal sebagai 'Jual rugi" untuk mematikan pelaku usaha pesaing dan kemudian menguasai pasar atau kemungkinan untuk "transfer pricing";
31.14.2.3 Bahwa secara yuridis ketentuan Pasal 21 UU No. 5/1999 sudah amat sangat jelas dan tidak perlu ditafsirkan lain selain dari apa yang tertulis didalamnya, dimana terkait dengan maksud atau arti kata "kecurangan", penjelasan Pasal 21 UU No. 5/1999 secara tegas telah menyebutkan bahwa: "Kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya adalah pelanggaran terhadap peraturan perundang- undangan yang ber/aku untuk memperoleh biaya faktor-faktor produksi yang lebih rendah dari seharusnya"; --- 31.14.2.4 Bahwa penjelasan ketentuan Pasal 21 UU No. 5/1999
dimaksud merupakan bagian yang menjadi kesatuan dengan ketentuan pasal 21 UU No. 5/1999, hal mana didasarkan pada adanya ketentuan sesuai dengan Pasal 47 Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ("UU No. 10/2004"), yang pada pokoknya secara tegas menyatakan bahwa Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat penjelasan peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia;--- 31.14.2.5 Sebagaimana juga ditegaskan dalam UU No. 10/2004, pada
pokoknya penjelasan adalah tafsiran resmi dari pembentuk peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, dalam konteks ketentuan Pasal 21 UU No. 5/1999, secara yuridis
tafsiran resmi dari pembentuk UU No. 5/1999 khusus mengenai arti kata "kecurangan" dalam ketentuan Pasal 21 UU No. 5/1999 haruslah ditafsirkan sebagaimana penjelasan pasal 21 tersebut diatas, yakni bahwa kecurangan dimaksud harus dikaitkan tindakan untuk memperoleh biaya faktor- faktor produksi yang lebih rendah dari seharusnya, bukannya ditafsirkan lain, apalagi jika di tafsirkan untuk mengenakan biaya faktor-faktor produksi yang lebih tinggi;--- 31.14.2.6 Faktanya, Garuda/Terlapor I tidak menetapkan harga jual
rendah atas jasa penerbangan dan tidak memiliki maksud untuk melakukan transfer pricing atau untuk mematikan pelaku usaha lain atau untuk menguasai pasar. Berdasarkan Laporan Pemeriksaan Pendahuluan, Garuda/Terlapor I justru dituduh menetapkan besaran fuel surcharge yang terlalu tinggi; --- 31.14.2.7 Berdasarkan hal diatas maka secara yuridis Pasal 21 UU No.
5/1999 beserta penjelasannya tentu tidak relevan untuk diterapkan dalam penetapan fuel surcharge oleh maskapai penerbangan, di mana fuel surcharge ditetapkan untuk menutupi fluktuasi kenaikan harga avtur sejak tahun 2006; --- 31.14.2.8 Dari fakta-fakta dan dalil-dalil sebagaimana telah diuraikan di
atas, menjadi fakta yang tidak terbantahkan lagi bahwa Garuda/Terlapor I tidak terbukti melanggar Pasal 5 dan Pasal 21 UU No. 5/1999; --- 31.14.2.9 Oleh karenanya, Garuda/Terlapor I dengan ini memohon
kepada Majelis Komisi yang terhormat untuk: --- (1) Menolak dan mengesampingkan dalil-dalil dan bukti-
bukti Tim Pemeriksa KPPU dalam Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksaan Lanjutan; --- (2) Mempertimbangkan dan menerima setiap dan seluruh
fakta-fakta dan dalil-dalil yang telah disampaikan oleh Garuda/Terlapor I di atas;---
(3) Mengesampingkan alat-alat bukti yang tidak sah atau tidak memiliki nilai pembuktian yang sempurna serta kesimpulan dari Tim Pemeriksa KPPU; --- (4) Menjatuhkan putusan dengan menyatakan
Garuda/Terlapor I tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 UU No. 5/1999; --- (5) Menjatuhkan putusan dengan menyatakan
Garuda/Terlapor I tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 21 UU No.5/1999; --- 32. Menimbang bahwa dalam Pembelaan dan Tanggapan Terlapor terhadap LHPL,
Terlapor II, PT Sriwijaya Air menyampaikan hal-hal sebagai berikut (vide bukti C14.2);--- 32.1 Bahwa Tidak ada Bukti Pelanggaran Pasal 5 UU Persaingan; --- 32.1.1 Pasal 5 UU Persaingan melarang pelaku usaha membuat
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama; -- 32.1.2 Bahwa tidak ada bukti tertulis maupun lisan dari keseluruhan
laporan Tim Pemeriksa KPPU tentang pengikatan SJ dalam penetapan FS. Tim Pemeriksa Lanjutan mencoba mencermati perilaku pasar SJ dan dan Terlapor lain melalui pola koordinasi dari pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh INACA serta pola penerapan dari FS masing masing terlapor (Halaman 83 huruf c LHPL); --- 32.1.3 Tim Pemeriksa menyatakan bahwa perubahan FS di antara Mei
2006 dan Maret 2008 menunjukkan kecenderungan yang sama yang tidak dapat dijustifikasi secara ekonomi oleh para Terlapor. Atas dasar ini Tim Pemeriksa Lanjutan menilai kecenderungan tersebut didasarkan pada suatu perjanjian antar Terlapor. Tim Pemeriksa selanjutnya menyatakan perjanjian yang dimaksud adalah penetapan FS sebesar Rp. 20.000 pada tahun 2006 oleh
INACA. Tim Pemeriksa meyimpulkan kedua hal tersebut merupakan bukti adanya perjanjian penetapan harga; --- 32.1.4 SJ sangat keberatan dengan kesimpulan Tim Pemeriksa Lanjutan
dengan alasan berikut ini:--- 32.1.5 Bahwa penetapan FS tersebut dilakukan pada tahun 2006 dan
sebagaimana diketahui atas prakarsa KPPU sendiri penetapan harga tersebut dihentikan dengan mengembalikan kewenangan penentuan FS kepada masing-masing perusahaan penerbangan. SJ tidak melihat adanya hubungan antara penetapan FS oleh INACA pada tahun 2006 tersebut dengan pola penerapan FS setelahnya. Walaupun “dianggap” terdapat kesamaan FS diantara terlapor, SJ melihat justru tidak ada alasan ekonomi dari Tim Pemeriksa Lanjutan untuk membuktikan hubungan antara penetapan FS oleh INACA yang hanya berlaku sesaat pada waktu itu. Kesamaan FS secara ekonomi dapat dijelaskan dengan adanya persamaan struktur biaya pada perusahaan penerbangan. Terlebih apabila jenis pesawatnya sejenis dengan konsumsi bahan bakar yang sama kesamaan besaran FS dapat saja terjadi. Kesamaan atau kemiripan harga bukan merupakan suatu indikasi adanya penetapan harga. Terlebih ketika avtur dalam hal ini dipasok oleh pemasok tunggal Pertamina. Sehingga kalaupun ada persamaan, situasi ini merupakan fakta yang wajar dan bukan merupakan pelanggaran UU Persaingan; --- 32.1.6 Namun demikian, dalam kenyataannya Tabel 23 dari LHPL
justru menunjukkan bahwa sejak dikembalikannya penerapan FS kepada masing-masing perusahaan kami tidak melihat ada persamaan FS secara keseluruhan dalam tabel tersebut. Besaran FS Garuda misalnya hampir selalu lebih tinggi dari pada FS SJ. Begitupun terdapat perbedaan besaran FS SJ dibandingkan dengan perusahaan penerbangan yang lain baik untuk penerbangan kurang dari satu jam sampai dengan 3 jam. Jadi,
sebenarnya persamaan besaran FS itu sendiri tidak terjadi dalam kenyataannya; --- 32.1.7 Tim Pemeriksa Lanjutan juga tidak dapat membuktikan adanya
pola koordinasi dari para terlapor melalui komunikasi yang berlanjut untuk menetapkan harga FS. Bahwa pergerakan atau penyesuaian harga dalam industri manapun tidak melanggar UU Persaingan apabila dilakukan secara spontaneous. Apapun perubahan dan penyesuaian FS yang dilakukan oleh perusahaan penerbangan pada perkara a quo, dengan tidak adanya bukti koordinasi melalui suatu komunikasi, merupakan suatu inisiatif yang spontaneous dan bukan merupakan pelanggaran;--- 32.1.8 Perlu dicatat bahwa dalam Draft Pedoman Kartel KPPU, program
leniensi diperkenalkan karena diakui oleh KPPU bahwa sangat sulit untuk membuktikan telah terjadinya kartel, tentunya termasuk penetapan harga; --- 32.1.9 Pada halaman 39 Draft Pedoman Kartel, KPPU menyatakan
sebagai berikut: “Pelanggaran terhadap hukum persaingan sangat berbeda dengan hukum lainnya. Suatu dugaan penetapan harga sulit untuk dibuktikan, karena keberadaan teori ekonomi maka terdapat kecenderungan para pelaku usaha yang bersaing akan mengeluarkan harga yang sama, baik pada pasar kompetitif maupun kartel, sehingga adanya harga yang sama tidak dapat dianggap sebagai indikasi pelanggaran terhadap hukum persaingan usaha”; --- 32.1.10 Draft pedoman kartel tersebut konsisten dengan pendapat dari
European Court of Justice (“ECJ”) dalam kasus “landmark” hukum persaingan di Uni Eropa, Suiker Unie and Zuchner (dimana keputusan komisi Eropa dibatalkan) yang menyatakan:
“Parallel pricing behavior in an oligopoly producing homogenous good would not in itself be sufficient evidence of a concerted practice. Thus parallel, action explicable in term of barometric price leadership (that is to say, linked to a change in
the market conditions, for example, an increase in the price of the main raw material) would not be sufficient evidence of a concerted practice”;---
32.1.11 Dengan demikian jelas bahwa apabila diasumsikan pergerakan FS menunjukkan adanya trend yang sama, korelasi positif dan variasi yang sama di antara para Terlapor bukan merupakan bukti yang memadai untuk menentukan adanya penetapan harga; --- 32.1.12 Ahli Ekonomi dari LPEM-UI Chatib Basri menegaskan dalam
pernyataannya bahwa pergerakan secara statistik sama tidak serta merta disimpulkan telah terjadinya penetapan harga atau kartel (lihat terlampir);--- 32.1.13 Karenanya kami berpendapat bukti-bukti yang disampaikan oleh
Tim Pemeriksa untuk menyimpulkan telah terjadinya penetapan FS tidak memadai dan seharusnyalah ditolak oleh Majelis Komisi; --- 32.1.14 Bahwa unsur penting yang harus dipenuhi dalam Pasal 5 UU
Persaingan adalah adanya penerapan harga yang eksesif yang merugikan konsumen atau pelanggan; --- 32.1.15 Menurut padangan kami, FS bukanlah merupakan harga
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 UU Persaingan. FS bukan merupakan pendapatan (income atau revenue) dari perusahaan penerbangan melainkan “biaya” karena aplikasinya ditujukan untuk menopang biaya produksi yang melonjak pada perusahaan penerbangan dikarenakan adanya lonjakan harga avtur. Karena FS bukan harga besaran FS justru lebih baik diatur oleh Pemerintah dengan rumusan yang dapat mengakomodir pergerakan harga avtur. Sebagaimana diketahui bahwa adanya FS dikarenakan eksistensi dari batas atas dari harga dasar tiket pesawat yang ditetapkan melalui KM 9 Tahun 2002. Keputusan Menteri ini dengan jelas menyatakan bahwa PPN, IWJR dan asuransi tidak termasuk dalam basic fare. Dalam hal ini tentunya FS tidak termasuk dalam harga dasar tiket tersebut. Dengan
demikian unsur harga justru tidak terpenuhi dalam penerapan Pasal 5 UU Persaingan pada perkara a quo;--- 32.1.16 Secara logis, apabila FS dikategorikan sebagai harga dalam
perkara a quo, Tim Pemeriksa Lanjutan memperbolehkan FS dipakai untuk mencari keuntungan asal tidak eksesif. Rasionalistas ini sekaligus menunjukkan kerancuan logika dari Tim Pemeriksa Lanjutan dalam perkara a quo; --- 32.1.17 Bahwa penentuan telah terjadinya harga yang eksesif hanya dapat
dilakukan dengan menganalisis biaya marginal (marginal cost). Pengujian ini harus melalui telaah yang komprehensif tentang biaya produksi aktual dari pelaku usaha; --- 32.1.18 Dalam praktek hukum persaingan di Eropa pada kasus United