• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Desentralisasi: Napak Tilas

Desentralisasi, yang bergema kembali sejak reformasi tahun 1998, yang

terkenal dengan otonomi daerah sesungguhnya secara konstitusional sudah ada

sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945. Pasal 18 UUD 1945 berbunyi ; “

pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan

susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang”, adalah salah satu

bukti dan landasan penting otonomi daerah.

Untuk mengakomodir amanat konsitutusi tentang desentralisasi tersebut,

pemerintah Orde Lama, dan Orde Baru, hingga kini telah mengeluarkan berbagai

Undang-undang dan Peraturan Pemerintah antara lain :

1. Undang-undang No.32 tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Pusat

dan Daerah

2. Undang-undang No.5 tahun 1974 tentang Pokok –Pokok Pemerintah di

Daerah

3. Berbagai Peraturan Pemerintah, yang mengatur INPRES, seperti; (a).

INPRES Desa mulai tahun 1969, (b). INRES Dati I, II (1974), (c). INPRES

SD (1973), (d). INPRES Kesehatan (1974), (e). INPRES Penghijauan (1976),

(f). INPRES Pasar (1976), (g). INPRES Peningkatan Jalan Provinsi (1979),

(h). INPRES Desa Tertinggal (1994/95). Tiga faktor penting dalam alokasi

INPRES adalah (1) Jumlah penduduk, (2) Panjang Jalan, (3) Luas Daerah.

Selain itu dalam periode 1965 – 1974 itu ada juga berbagai jenis transfer

pemberian Subsidi Perimbangan Keuangan, yang diberikan murni berdasarkan

beban gaji pegawai negeri daerah, dikenal dengan SDO ( Mahi dan Adriansyah

(2002).

Sejak tahun anggaran 1972/73 sistem SDO (subsidi daerah otonom) kembali

diberlakukan . Besaran SDO dialokasikan 2/3 untuk provinsi, sisanya 1/3 untuk

dati II. Besarnya SDO ke provinsi karena pembayaran sebagian gaji pegawai

(pegawai daerah otonom, pegawai diperbantukan, pegawai dipekerjakan, dan

honor) dibayarkan di provinsi.

Bantuan INPRES mulai diberlakukan tahun 1969. INPRES dimaksudkan

untuk membiayai pembangunan di daerah. Dasar pemberiannya adalah adanya

penyerahan sebagian urusan kepada daerah, dan untuk membiayai urusan-urusan

tersebut. Beberapa tujuan program INPRES adalah; (a) mencapai pemerataan

kesempatan kerja, (b) pemerataan berusaha, (c) pemerataan hasil pembangunan

dan (d) pemerataan partisipasi dalam pembangunan.

Berdasarkan uraian diatas, isu desentralisasi di Indonesia bukanlah masalah

baru, namun sebagai isu lama dengan pendekatan baru ( Lewis 2001: ;Tambunan

dan Seldayo 1999 ; Smoke and Lewis 1996).

Menurut Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 , penyelenggaraan

otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas , nyata

dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan

dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang

berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Otonomi daerah

pemerintahan. Implikasi langsung dari pelimpahan wewenang dari pemerintah

pusat kepada pemerintah daerah adalah desentralisasi fiskal. Artinya pelimpahan

wewenang (otonomi daerah) diikuti dengan pelimpahan pembiayaan (otonomi

keuangan), atau yang dikenal dengan istilah “money follows function”.

Tabel 3. Historis Undang-Undang Otonomi Daerah sebelun dan sesudah Orde Reformasi di Indonesia

No Undang-Undang Tekanan Pada

1 UU No.22 Tahun 1948 Daerah dibagi menjadi;

a. Daerah Otonom dan daerah Istimewa Pemerintah terdiri dari;

b. Provinsi, Kabupaten, Kota dan Desa

Otonom Yang Dapat Mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri

2 UU No.44 Tahun 1950 Daerah dibagi menjadi;

• Daerah, Daerah Bagian dan Daerah Anak Bagian

UU Pemda Indonesia Timu dan Daerah Otonom

3 UU No.1 Tahun 1957 Daerah dibagi menjadi;

• Daerah Tingkat I, Provinsi Kotapraja Jakarta Raya

• Daerah Tingkat II/Kabupaten

• Daerah Tingkta III

Otonomi Riil

4 UU No.18 Tahun 1965 Pemerintah Daerah terdiri;

• Provinsi, Kabupaten dan Kecamatan

Otonomi riil dan seluas-luasnya

5 UU No.5 Tahun 1974 Pemerintah Daerah terdiri dari:

• DPRD dan Kepala Daerah

• Kepala Daerah Penguasa Tunggal

• Kepala Daerah bertanggung jawab kepada Presiden bukan DPRD

Otonomi Nyata dan Bertanggung jawab

6. UU No.22 Tahun 1999 Pemerintah Daerah terdiri dari:

• Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah otonom

• Pemerintah Daerah Otonom dan DPRD adalah peyelenggara pemerintah menurut azas desentralisasi

Otonomi nyata, luas dan bertanggungjawab

7 UU No.32 Tahun 2004 (Revisi dari UU no.22 /1999

Pemerintah Daerah terdiri dari:

• Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah otonom

• Pemerintah Daerah Otonom dan DPRD adalah peyelenggara pemerintah menurut azas desentralisasi

Otonomi nyata, luas dan bertanggungjawab

Sumber : UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 2004 Yudoyono (2002)

Desentralisasi Fiskal dititikberatkan kepada daerah kabupaten dan kota,

atau daerah tingkat dua (Dati II), menurut istilah UU No.14 tahun 1974.

Desentralisasi fiskal ini memberi kabupaten dan kota kewenangan dan

keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan

aspirasi masyarakat. Landasan operasional Desentralisasi Fiskal adalah:

1. Undang-Undang No.22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, yang

mengatur desentralisasi politik dan

2. Undang-Undang No. 25 tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah (PKPPD), yang mengatur desentralisasi fiskal .

Dengan diundangkannya kedua Undang-undang ini, maka bertambah

panjanglah deretan undang-undang ataupun aturan-aturan yang pernah mengatur

tentang otonomi di Indonesia (Tabel 3).

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 memberikan dampak yang relatif

besar terhadap keuangan daerah, khususnya dari sisi penerimaan dan wewenang

alokasi penggunaannya. Penerimaan yang dikelola langsung oleh pemerintah

daerah baik jenis dan jumlah maupun wewenang penggunaannya semakin besar.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) misalnya, sekarang pembagiannya menjadi 90%

dialokasikan untuk daerah dan sisanya 10% untuk pusat. Jenis penerimaan lain

seperti Minyak Bumi dan Gas dialokasikan lebih banyak kepada daerah (Tabel 4).

Sejak diberlakukannya UU No.25 Tahun 1999 terjadi perubahan dan

pembagian yang signifikan pada penerimaan daerah jika dibandingkan dengan

undang-undang perimbangan keuangan sebelumya. (UU No.32 Tahun 1956)

sebelumnya seluruh penerimaan dari sektor tersebut tidak dibagikan, artinya

100% masuk kedalam penerimaan pemerintah pusat, dengan UU No.25 Tahun

1999 telah dibagihasilkan ke daerah.

Selain jumlah penerimaaan daerah yang bertambah besar, sumber-sumber

penerimaan daerah telah mengalami perubahan kearah yang lebih baik, dalam arti

basis penerimaan yang semakin luas sebagaimana diterangkan pada Tabel 5.

Tabel 4. Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam menurut Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 (UU-PKPD) dan UU No.32 Tahun 1956

(%)

Jenis Penerimaan

Sesudah Desentralisasi Fiskal Sebelum Desentralisasi Fiskal Pusat Prov Kab/

Kota

Saldo Pusat Dati I Dati II 1. Pajak Bumi Dan

Bangunan (PBB) 2. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 3. Iuran Hasil dan Pemeliharan Hutan (IHPH) 4. Provisi Sumberdaya Hutan 5. Iuran Tetap Pertambangan Umum (Landrent) 6. Iuran Eksploitasi dan eksplorasi 7. Perikanan 8. Minyak 9. Gas Alam 10.Pajak Penghasilan Perorangan(PPH) 10* 10 20 20 20 20 20 85 70 80 16.2 16 16 16 16 16 - 3 6 8 64.8 64 64 32 64 32 - 6 12 12 ** 10 - 32 - 32 80 6 12 - 10 10 55 55 20 20 100 100 100 100 16.2 16 30 30 16 16 - - - - 64.8 64 15 15 64 32 - - - - Sumber: UU No.25 Tahun 1999

UU No. 32 Tahun 1956

Keterangan; * , dibagi ratakan kepada kabupaten seluruh Indonesia **, biaya pemungutan PBB

Catatan: Untuk Otonomi Khusus Papua dan NAD Bagi Hasil Minyak dan Gas Alam 70% Daerah, 30% Pusat

Porsi penerimaan dan pengeluaran daerah pun menjadi meningkat

dan pengeluaran masing-masing 24.69% dan 16.62% dari penerimaan dan

pengeluaran nasional. Pada tahun 1994/1995 penerimaan daerah turun menjadi

“hanya” 6.11% dari penerimaan nasional sedangkan pengeluaran naik menjadi

22.97% dari pengeluaran nasional.

Tabel 5. Sumber penerimaan daerah menurut Undang-undang Nomor 32 tahun 1956 dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999

Keterangan Undang-undang Nomor 32 tahun 1956 Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 Sumber Pendapatan Daerah Pasal 3;

Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari

− Hasil Pajak Daerah

− Hasil Retribusi Daerah

− Hasil Laba Perusahaan Daerah

− Lain-lain Hasil Usaha Daerah yang syah

Pasal 55;

Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari

− Hasil Pajak Daerah

− Hasil Retribusi Daerah

− Hasil Laba Perusahaan Daerah

− Lain-lain Hasil Usaha Daerah yang syah Pendapatan Berasal

dari Pemerintah

− Sumbangan dari pemerintah

− Sumbangan lain yang diatur

dengan Peraturan PerUndang-undangan

Dana Perimbangan terdiri:

− Bagian dari Pajak Bumi dan Bangunan

− Bagian dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

− Bagi Hasil Sumber Daya Alam

− Dana Alokasi Umum

− Dana Alokasi Khusus Pinjaman Daerah Diberi hak daerah untuk

meminjam

Daerah diberi hak untuk meminjam

Lain-lain

Penerimaan yang syah

Lain-lain Penerimaan yang syah Lain-lain Penerimaan yang syah

Sumber: 1. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 2. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999

Sedangkan pada tahun 2001, saat awal kebijakan fiskal, persentase

penerimaan daerah menjadi 3.30 % dari penerimaan total nasional, sedangkan

pengeluaran daerah sebesar 27.78 % dari pengeluaran total nasional. Artinya

Porsi penerimaan pajak dan retribusi daerah pun mengalami perubahan,

sebagaimana diatur dengan Undang-undang No.34 tahun 2000 (Tabel 7). Dengan

perubahan sumber-sumber penerimaan daerah serta adanya keleluasaan

penggunaan uang oleh pemerintah daerah, maka daerah dapat melakukan fungsi

pelayanan dengan baik

Tabel 6. Porsi Penerimaan dan Pengeluaran Lokal Terhadap Nasional pada negara berkembang dan Negara lain tahun 1990-an.

(%)

No Negara Penerimaan Pengeluaran 1 2 3 4 5 6 7 Berkembang Transisi OECD (1990-an) Indonesia (1989/1990-an) Indonesia (1994/1995) Indonesia TA 2001 Indonesia TA 2001* 9.22 16.59 19.13 24.69 6.11 3.30 7.50 13.78 26.12 32.41 16.62 22.97 27.78 27.78

Sumber: World bank (2005), Bird dan Vaillancourt (2000). Catatan: Desentralisasi dari PBB, BPHTB, dan PPh

Diyakini bahwa pemerintah daerah yang lebih dekat dan lebih mengenal

kebutuhan daerahnya, akan dapat mengalokasikan anggaran semakin efisien, yang

pada gilirannya akan meningkatkan kinerja ekonomi daerah.

Berbagai negara telah membuktikan bahwa desentralisasi fiskal telah

memberikan keajaiban pada perekonomiannya. Cina misalnya, sebagai salah satu

negara dengan desentralisasi fiskal paling sukses, mencapai petumbuhan ekonomi

yang tinggi selama implemetasi desentralisasi (dimulai sejak akhir tahun 1970-

an), sekitar 10% (Lin and Liu,2000), bahkan dimasa krisis awal tahun 1997

hingga 2002 pertumbuhan ekonomi Cina mencapai (7-9%) per tahun

Menurut Bahl dan Lin 1992; Shah 1994; Ahmad 1997, peralihan

(switching) ke bentuk desentralisasi fiskal adalah salah satu cara untuk meloloskan diri dari berbagai jebakan ketidakefektifan, seperti;(1)

ketidakefisienan pemerintahan, (2) ketidakstabilan makroekonomi dan (3)

ketidakcukupan pertumbuhan ekonomi.

Tabel 7. Pajak dan Retribusi Daerah Menurut UU No.34 Tahun 2000

Jenis Pajak Milik Tarif Maks Pembagian Minimum Kenderaan Bermotor BBMKB Bahan Bakar KM Penggunaan Air Hotel Restoran Hiburan Advertensi Penerangan Jalan Penambangan Mineral Parkir Provinsi Provinsi Provinsi Provinsi Kab/Kota Kab/Kota Kab/Kota Kab/Kota Kab/Kota Kab/Kota Kab/Kota 5% 10% 5% 20% 10% 10% 35% 25% 10% 20% 20% 30% untuk Kab/Kota 30% untuk Kab/Kota 70% untuk Kab/Kota 70% untuk Kab/Kota 10% untuk desa terkait 10% untuk desa terkait 10% untuk desa terkait 10% untuk desa terkait 10% untuk desa terkait 10% untuk desa terkait 10% untuk desa terkait Sumber: UU No.34 Tahun 2000

Selain dari pada itu kebijakan desentralisasi fiskal diperlukan untuk

perbaikan efisiensi ekonomi, efisiensi biaya, perbaikan akuntabilitas dan

peningkatan mobilisasi dana. Karena menurut mereka, pelayanan masyarakat

setempat yang dilakukan daerah cenderung lebih efisien dibandingkan

pemerintah pusat.

Menurut Bahl dan Lin (1994) keberhasilan desentralisasi fiskal ,

membutuhkan prasyarat seperti (1) kapasitas administrasi daerah yang tepat, (2)

pejabat daerah yang responsif dan bertanggung jawab atas besarnya otoritas

syarat keberhasilan desentralisasi fiskal yaitu (1) proses pengambilan keputusan di

daerah harus demokratis, artinya pengambilan keputusan biaya dan manfaat harus

transfaran dan melibatkan pihak-pihak terkait, (2) biaya-biaya dari keputusan

yang diambil sepenuhnya ditanggung oleh masyarakat setempat, sehingga tidak

perlu terjadi ”ekspor pajak” dan tidak ada transfer dari jenjang pemerintahan lain.

Bahl dan Mc Mullen (1999 ) mengatakan ada 12 aturan yang harus

dipenuhi suatu daerah agar kebijakan desentralisasi fiskal dapat berhasil.

Keduabelas syarat itu adalah; (1). Desentralisasi fiskal harus dilihat sebagai suatu

sistem yang komprehensif; artinya melibatkan pemerintah pusat, pemerintah

daerah, DPRD, sistem transfer dan wewenang dan tanggung jawab secara benar,

(2) Uang mengikuti fungsi (money follow function); artinya penyerahan tanggung jawab kepada daerah harus disertai dengan penyerangan wewenang keuangan,

pemungutan maupun penggunaannya, (3) Pemerintah pusat memiliki kemampuan

untuk memantau dan mengevaluasi proses desentralisasi fiskal; artinya proses

desentralisasi dikendalikan dan dibimbing secara bertahap, (4) Diperlukan sistem

antar pemerintah yang berbeda untuk sektor perkotaan dan sektor pedesaan;

artinya tahap implemetasi sebaiknya dimulai dari unit-unit pemerintah yang lebih

besar, dan membiarkan yang kecil menjadi besar, (5) Desentralisasi fiskal

memerlukan kewenangan besar bagi daerah untuk mengelola pajak, (6)

Pemerintah pusat harus mematuhi aturan-aturan desentralisasi fiskal yang

dibuatnya, (7) Pertahankan kesederhanaan, (8) Desain transfer antar pemerintah

seharusnya sesuai dengan tujuan reformasi desentralisasi; besarnya dana yang

mencerminkan keseimbangan fiskal secara horizontal, (9) Desentralisasi fiskal

harus mempertimbangkan ketiga tingkatan pemerintahan (pusat, provinsi dan

kabupaten/kota), (10) Terapkan batasan anggaran yang ketat; artinya pemerintah

daerah yang diberi otonomi dituntut menyeimbangkan anggarannya, (11) Sistem

fiskal antar pemerintah selalu dalam transisi dan antisipatif terhadap perubahan-

perubahan yang terjadi, dan (12) Harus ada pelopor bagi desentralisasi fiskal

Jika desentralisasi fiskal berhasil dilaksanakan maka akan tercapailah : (1)

efisiensi ekonomi, mobilitas dana, (2) stabilitas makroekonomi, pertumbuhan

ekonomi yang cukup dan (3) efisiensi dan efektivitas pemerintahan (Bahl and Lin

1992; Shah 1994; Ahmad 1997).

Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap kinerja perekonomian Indonesia

telah dilakukan oleh peneliti (Wuryanto 1996: Shah dalam Bird dan Vaillancourt

2000 : Kawagoe 1998 ; Lewis 2001). Studi pada tingkat provinsi pun sudah

pernah dilakukan. Penelitian tentang ”Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap

Perekonomian Daerah” pada level provinsi telah dilakukan oleh Pardede (2004)

di Sumatera Utara, khususnya Tapanuli Utara dan Medan, dengan pendekatan

Input-Output. Pakasi (2005) di Sulawesi Utara dengan pendekatan Ekonometrika.

SMERU (2002) juga melakukan studi dampak desentralisasi fiskal terhadap

investasi di Jawa Barat dan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Nusa Tenggara

Timur, dengan pendekatan kualitatif.